Ashana ikut menundukkan kepalanya saat yang lain menundukkan kepalanya. Wanita itu sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan si kejam Achazia. Mengingat nama pria itu membuat Ashana memutar kedua bola matanya.
"Selamat pagi Pak.." Sapa para karyawan termasuk Ashana. Wanita itu melirik Achazia yang berjalan dengan gaya angkuh seperti biasa. Ia mencibir, memangnya dia siapa? Ah iya, Ashana lupa, dia kan direktur.
"Ashana!"
Ashana terlonjak kaget. Wanita itu menatap Andini yang berdiri tepat di sebelahnya.
"Aku masih di sampingmu Andini! Tidak perlu berteriak!" Kesalnya.
Andini memutar kedua bola matanya. "Kalau saja kamu merespon saat aku memanggilmu aku tidak akan berteriak." Balas wanita itu.
"Ada apa?" Tanya Ashana. Karyawan-karyawan yang tadi berbaris untuk menyapa Achazia kini sudah bubar. Kembali ke pekerjaannya masing-masing.
Ashana menghela napas. "Kamu tidak mau kembali ke tugasmu? Apa jangan-jangan kamu sudah terpesona oleh ketampanan direktur kita?" Ucap wanita itu karena sedari tadi Ashana terus melirik Achazia sampai menghilang di telan jarak.
Ashana menatap Andini horor. "Aku? Terpesona padanya? Mustahil!" Ucap wanita itu kemudian berjalan pergi meninggalkan Andini untuk mengurus pekerjaannya.
Andini menatap kepergian Ashana di sertai kedua bahunya yang di naikkan. "Siapa tau kan?" Wanita itu kemudian kembali untuk mengerjakan tugasnya.
*****
"Caramel macchiato satu."
"Baik mbak. Sedang di proses."
Ashana mengeluarkan ponselnya sambil menunggu pesanannya selesai di buat. Entah kenapa tiba-tiba tenggorokannya kering. Jadi ia memilih membeli minuman untuk menyegarkan tenggorokannya. Berhubung sekarang masih jam makan siang.
"Ini Mbak."
"Terima kasih." Setelah menerima minuman dan memberikan uang, Ashana berjalan untuk duduk bersama Andini. Ya, Andini Bea Cadereyn adalah sahabatnya dari SMA. Wanita itu bersyukur bisa sekantor dengan Andini walaupun mereka kuliah di universitas yang berbeda.
Dug!
"Ya ampun, maaf maaf." Ucap Ashana menyesal karena tidak memperhatikan jalan. Wanita itu menunduk merasa bersalah. Beruntung minumannya tidak sampai tumpah membasahi kemeja orang yang di tabraknya.
Orang yang di tabrak Ashana diam saja, membuat Ashana berpikir kalau orang itu memaafkannya. Jadi wanita itu memilih untuk meneruskan jalannya.
"Berhenti."
Ashana menghentikan langkahnya. Wanita itu berbalik menatap pria yang tadi ia tabrak yang kini sudah berbalik. Ashana membulatkan matanya. Adrian Bilal Chawki. Sahabat dari si direktur kejam. Adrian di kenal dengan sifatnya yang hampir sama dengan Achazia.
Ashana meneguk salivanya susah. Wanita itu baru sadar kalau kini ia telah menjadi pusat perhatian. Andini yang menatapnya hanya bisa diam berdoa.
"Kemari."
Walaupun enggan, Ashana berjalan pelan menghampiri Adrian yang menatapnya tajam. "Iya, ada yang bisa saya bantu?" Walaupun gugup, wanita itu masih bisa mengontrol diri.
"Siapa namamu?"
"Apa?"
"Kau punya kelainan pada telingamu?"
Jika saja yang ada di hadapannya ini bukan Adrian, maka Ashana akan menjambak rambut cowok itu sampai botak. "Ashana."
"Nama lengkap."
"Ashana Berryl Carissa."
"Baiklah." Setelah mengucapkan kata itu Adrian pergi meninggalkan Ashana dengan kedua tangan yang masuk ke dalam kantung celana.
Ashana baru bisa bernapas lega. Akhirnya Adrian pergi juga. Ia kira Adrian akan memberikan hukuman padanya.
"Kau tidak apa-apa?" Sepeninggal Adrian, Andini langsung berlari menghampiri Ashana lalu memeriksa keadaan Ashana.
Ashana berdecak. "Aku tidak apa-apa."
"Syukurlah. Eh tapi, ku dengar tadi dia menanyakan namamu."
Ashana mengangguk polos. "Iya."
Andini melebarkan kedua matanya. "Astaga, gawat! Lalu kau jawab apa?"
"Aku jawab pertanyannya. Menyebutkan nama lengkapku." Ucap Ashana santai.
Andini memukul keningnya dengan mata yang terpejam. "Habis sudah, habis."
Ashana menatap Andini tak mengerti. "Kau kenapa?"
Andini menurunkan tangannya. Wanita itu menatap Ashana kesal. "Harusnya aku yang tanya, kau sebenarnya kenapa? Bagaimana bisa kau menabrak Pak Adrian?"
"Aku terlalu fokus menatap ponsel. Memangnya ada apa? Toh, dia juga tidak mempermasalahkan itu."
Andini menghela napas. "Bukan itu yang di permasalahkannya Ashana Berryl Carissa. Yang di permasalahkan adalah Pak Adrian menanyakan namamu. Hanya ada dua kemungkinan. Kau di pecat atau di turunkan jabatan."
Ashana melebarkan kedua matanya. Wanita itu baru sadar kalau Achazia atau Adrian sudah menanyakan nama pegawai maka hidupnya sudah ada di ambang maut. Beruntung dua lainnya tidak seperti itu.
"Lalu aku harus bagaimana?" Tanya Ashana panik.
Andini hanya mengusap-ngusap pundak Ashana. "Hanya Tuhan yang tahu."
"Maaf permisi,"
Andini dan Ashana menoleh ke sumber suara. Di sana sudah berdiri wanita dengan kacamata tebal.
"Ya, ada masalah?" Tanya Andini.
Wanita berkacamata tebal itu menatap Ashana. "Kau di panggil oleh direktur utama. Ditunggu di ruangannya."
Ashana melebarkan kedua matanya. Begitu juga Andini. Bahkan sampai wanita berkacamata tebal itu berlalu mereka tetap dalam posisinya.
"Andini, aku harus bagaimana?" Ashana menatap Andini memelas.
Andini yang merasa tidak tega langsung menarik Ashana ke dalam pelukannya. "Aku akan berdoa yang terbaik untukmu."
"Harus."
Andini melepaskan pelukannya. Wanita itu mendorong tubuh Ashana untuk pergi. "Sudah, sekarang kau penuhi panggilannya. Bisa gawat kalau kau telat."
Ashana mengangguk. Urusannya akan tambah panjang jika ia telat untuk datang. Wanita itu berjalan menuju ruangan Achazia. Setiap langkah Ashana terus merapalkan doa. Semoga keberuntungan ada di pihaknya.
Setelah sampai di depan ruangan Achazia, Ashana menarik napas kemudian menghembuskannya perlahan. Ia tidak boleh gugup. Wanita itu mulai mendorong pintu dan langsung masuk. Terlihat Achazia sedang duduk di kursi kekuasaannya dan Adrian yang sedang menatap jalan dari balik jendela.
"Kau telat 0,4 detik." Ucap Achazia pendek.
"Ma-maaf." Ucap Ashana sambil membungkukkan tubuhnya.
Adrian yang sedang menatap jalanan berbalik dengan senyum yang menghiasi wajah tampannya. "Ini adalah orang yang aku rekomendasikan kepadamu."
"Apakah dia berbakat?"
Adrian tertawa. Tawa yang renyah. "Kau bertanya apa? Tentu saja karyawan-karyawan di kantor ini semuanya berbakat."
"Tapi untuknya aku tak yakin."
Dalam hati Ashana mendengus. Maksudnya apa dia bilang begitu? Jadi menurutnya ia tidak punya bakat apa pun? Seperti itu?
"Bahkan dia tidak bisa mengikat rambutnya dengan benar." Tambah Achazia lagi.
Refleks, tangan Ashana terulur untuk menyentuh rambutnya yang berantakan karena bertabrakan dengan Adrian tadi.
"Itu karena dia habis bertabrakan denganku di jalan tadi," Ucap Adrian.
"Menabrakmu? Bahkan dia tidak bisa berjalan dengan benar."
Ingin rasanya Ashana meninju pria dengan wajah sombong di hadapannya ini. Angkuh sekali dia. Apakah semua orang kaya seperti itu?
"Kau yang menyuruhku untuk mencari orang tapi kau sendiri yang berkomentar. Kalau begitu cari saja sendiri sana." Ucap Adrian yang malas mendengar ucapan-ucapan menusuk Achazia untuk wanita yang ada di hadapannya.
Ashana melirik Adrian. Ternyata pria itu tak seburuk yang di gosipkan oleh orang-orang kantor. Di balik sifat dinginnya ternyata dia lebih baik dari Achazia.
Achazia menghela napas. "Baiklah." Pria itu bangkit dari duduknya. Pria itu berjalan menghampiri Ashana. "Kau," Ia menunjuk Ashana menggunakan jari telunjuknya. Membuat Ashana mau tak mau menatap Achazia. "Mulai sekarang kau akan menjadi asisten pribadiku. Bahkan lebih dari asisten pribadi. Ini perintah, bukan penawaran."
Seketika Ashana ingin pingsan saat itu juga.
"APA?!!"
Ashana menutup kedua telinganya. Wanita itu menatap Andini kesal. "Sudah ku bilang, aku masih di sampingmu. Jadi tidak perlu teriak."
Andini tidak memperdulikan kekesalan Ashana. Wajah melongo yang sangat khas itu serasa ingin di siram air panas oleh Ashana.
"Pak Achazia benar-benar menawarkan itu?"
Ashana mengangguk lesu. "Lebih tepatnya perintah dari atasan untuk bawahan."
Andini terdiam. Wanita itu seperti sedang memikirkan sesuatu. Sepersekian detik kemudian ia tersenyum. "Ya sudah terima saja. Hitung-hitung pendekatan dengan Pak direktur." Goda Andini.
Ashana menatap Andini malas. Wanita itu melemparkan bantal kecil yang di peluknya ke wajah Andini. "Kau saja sana!!"
Andini mengusap hidungnya yang sakit. Wanita itu melipat bibirnya. "Kalau aku jadi kamu juga akan aku terima Ash."
Ashana menghela napas. Wanita itu menyenderkan kepalanya ke sandaran sofa. Kini ia sedang berada di apartemen Andini. Andini memang tinggal seorang diri. Orang tuanya terlalu sibuk mengurus bisnis keluarga. Andini ini termasuk orang kaya. Tapi entah mengapa ia enggan untuk mengakui itu. Ia mengaku kalau ia lebih menyukai hidup yang sederhana. Hasil jerih payahnya sendiri.
"Aku harus gimana Andin?"
"Gimana bagaimananya? Memang kamu bisa menolak?"
Ashana menggeleng dengan kedua mata yang terpejam.
"Ya sudah, bagaimana lagi. Pasrahkan saja semuanya pada Tuhan." Ucap Andini mengakhiri obrolan mereka.
*****
Suara tepuk tangan tidak mengalihkan atensi Achazia pada jalan yang terhampar di bawah. Kini pria itu sedang berada di hotel miliknya. Tepatnya di lantai 53.
"Mau apa kau kemari? Aku tidak memberi tumpangan." Ucap Achazia. Pria itu melipat kedua tangannya. Walaupun belum melihat rupanya ia sudah menebak siapa yang datang.
Pria itu tertawa keras. Ia berjalan mendekat lalu merangkul Achazia dari belakang. "Aku tidak pernah menyangka kau punya rencana seperti ini, kawan."
"Setidaknya aku tidak sepertimu Abqari," Ucap Achazia menyebut nama sahabatnya itu.
Abqari mengangkat kedua bahunya. "Ya.. Hanya berbeda sedikit." Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Ia berjalan ke arah sofa lalu duduk disana. "Siapa namanya?"
"Apa?"
"Wanita itu,"
"Ashana. Ashana Berryl Carissa."
"Ashana. Nama yang bagus. Pasti orangnya cantik." Abqari mengusap-usap dagunya. Membayangkan betapa cantiknya Ashana sampai Achazia mau memilih wanita itu.
"Di matamu tidak ada wanita yang jelek." Balas Achazia.
Abqari terkekeh. "Benar juga,"
Achazia berbalik. Pria itu berjalan untuk duduk di atas sofa. Ia menatap Abqari. "Kau tidak bersama Abercio?" Tanya Achazia. Karena tidak biasanya Abqari sendiri. Pasti ia selalu membawa Abercio bersamanya. Mereka adalah empat sahabat. Tapi keempatnya mempunyai sifat yang berbeda. Jika Achazia selalu sependapat dengan Adrian, maka Abqari selalu sepemikiran dengan Abercio.
"Dia sedang kencan," Jawab Abqari. Achazia sudah tak aneh lagi mendengarnya. Bahkan mungkin wanita yang sekarang sedang di kencani Abercio adalah wanita yang akan di buang kesekian ratus kalinya.
"Kau tidak?"
Abqari menatap Achazia. "Tidak apa?"
"Kencan," Jawab Achazia santai. Pria itu sudah hafal di luar kepala bagaimana sifat-sifat para sahabatnya.
Abqari terkekeh. "Di kalender milikku hari ini tanggal merah. Dengan artian kalau aku libur kencan."
Achazia menuangkan minuman yang tersedia di meja. Pria itu meneguknya sekali. "Atau mungkin kau sudah tidak ada yang mau?" Ia menatap Abqari dengan senyuman miring.
"Enak saja! Aku ini orang yang sangat para wanita idam-idamkan di masa depan. Tidak mungkin aku tidak ada yang mau."
"Terserah kau saja." Achazia menaruh gelas yang ada di tangannya. Akhir-akhir ini kepalanya sangat pusing. Ya, apa lagi yang membuatnya pusing selain Mommynya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Adriyana. Achazia tidak pernah menyangka Adriyana akan mengambil langkah seperti ini. Langkah yang amat sangat tidak di setujui oleh Achazia. Dan ini menjadi alasan kenapa Achazia memilih Ashana sebagai 'asisten pribadi'.
*****
"ANDINIIIII!!!! HUWAAAAA!!!!"
Andini yang sedang menyiapkan makan malam di dapur berlari tergesa-gesa menghampiri Ashana yang berada di kamarnya. Wanita itu sampai lupa untuk menaruh spatula. Ia membawa spatula ikut lari bersamanya.
"Ada apa?! Ada apa?!" Andini langsung masuk ke dalam kamarnya dengan tergesa-gesa. Wanita itu langsung mendapatkan pemandangan Ashana yang sedang berdiri di atas meja dengan baju mandi dan handuk yang terlilit di kepalanya. "Ashana ada apa?!"
Melihat kedatangan Andini, Ashana langsung berlari memeluk Andini. Wanita itu menyembunyikan wajahnya di belakang Andini. "A-ada kecoa Andin. Aku ta-takut."
Andini menghela napas kesal. Wanita itu tahu kalau Ashana sangat takut pada kecoa. Ia melepas pelukan Ashana. Tapi Ashana memeluknya begitu kuat.
"Hey, bagaimana aku bisa mengusir kecoa kalau kau saja memelukku seperti ini?" Protes Andini.
Ashana menggeleng. "A-aku takut."
"Aku tahu. Maka dari itu lepaskan aku. Akan ku usir kecoanya. Memang kau mau kecoa itu membuat rumah di kamarku?"
Ashana kembali menggeleng.
"Nah, ya sudah. Lepaskan aku."
Ashana melepaskan pelukannya yang erat meskipun enggan. Wanita itu langsung berlari ke arah pintu dan bersembunyi di sana. "Hati-hati Andin."
Andini hanya mengangguk. Beruntung dia bawa spatula. Wanita itu mencari keberadaan sang kecoa. Dari mulai di atas meja dan sofa, di bawah meja sampai ke bawah lemari. Ia menatap Ashana yang terlihat ketakutan di belakang pintu.
"Dimana?"
"Di-di kamar mandi."
Andini berjalan mendekat. Wanita itu membuka pintu kamar mandi. Ia melongokan kepalanya ke dalam, mencari kecoa yang di maksud Ashana. "Tidak ada."
"HUWAAAA ANDINIIII!!! DIA ADA DI RAMBUTMUUU!!"
Refleks Andini langsung mengusap-usap rambutnya dengan panik. Benar saja, kecoa itu terbang lalu menempel di dinding kamar mandi. Wanita itu menatap kecoa itu marah. "Awas kau!"
PLAK!
Tidak, tidak dapat. Andini kurang tepat. Kecoa itu pindah dan menempel di dinding lain. "Sini kau!"
PLAK!
Tidak dapat lagi. Kecoa yang hebat itu kembali pindah ke dinding lain. Andini yang mempunyai kesabaran rendah sudah dikuasai oleh amarah. "Pasti dapat!"
PLAK!
PLAK!
PLAK!
"Hati-hati Andin!" Teriak Ashana takut. Wanita itu masih bersembunyi di belakang pintu. Ia menggigit jari-jari kukunya.
PLAK!
PLAK!
PLAK!
Andini tertawa jahat. Wanita itu menatap kecoa yang hebat itu sudah terkapar tak berdaya. Ia mengambil kecoa yang sudah mati itu menggunakan spatula yang ia bawa.
Ashana yang merasa kalau Andini sudah menang berjalan mendekat. Tapi wanita itu tetap bersembunyi di belakang tubuh Andini. "Kau menang?"
Andini mengibaskan rambutnya. "Tidak mungkin aku kalah dengan kecoa." Ucap wanita itu bangga.
Ashana menatap kecoa yang ada di atas spatula. Tiba-tiba tubuhnya merinding. Ia langsung pergi untuk mengganti bajunya.
Andini membawa kecoa yang mati itu untuk di buang. Wanita itu membuka jendela apartemennya. Lalu dengan santai membuang kecoa itu ke bawah. "Selesai." Ia tersenyum manis sebelum melanjutkan langkahnya menuju dapur.
*****
Tok tok tok
Andini dan Ashana mengalihkan perhatiannya ke pintu. Kedua wanita itu saling berpandangan sebelum Andini bangkit berdiri. "Kau lanjutkan makan saja. Biar aku yang membukakan pintu." Ucapnya.
Ashana mengangguk. Wanita itu kembali melanjutkan makan. Tapi matanya tetap mengawasi. Ia terus menatap Andini sampai wanita itu membukakan pintu.
"Ya, ada apa?" Sapa Andini lebih dulu.
Andini mengernyit bingung saat melihat Abercio, salah satu sahabat dari pemilik sekaligus direktur utama perusahaannya ada di depan pintu.
"Kau wanita yang melempar kecoa ke bawah?"
Andini mengangguk polos. Wanita itu masih belum mengerti topik dari pembicaraan ini. "Iya."
"Kecoa itu jatuh di atas kepalaku."
Andini melebarkan kedua matanya terkejut. Wanita itu langsung berjinjit untuk melihat kecoa yang sudah mati itu. "Dimana? Tidak ada."
Abercio berdecak. "Ya karena sudah ku buang."
"Oh, begitu. Ya sudah, aku minta maaf." Ucap Andini sambil mengeluarkan senyumannya yang manis. "Apakah ada lagi yang mau di bicarakan? Kalau tidak aku mau masuk."
Abercio hanya diam saja. Membuat Andini berpikir kalau Abercio mempersilakannya masuk. Saat wanita itu akan masuk, Abercio menahan lengannya.
"Apa lagi?"
"Kau bukannya orang yang bekerja di Comman Grup? Perusahaan milik Achazia?"
Andini mengangguk.
"Kau tahu aku?"
Andini mengangguk lagi. "Abercio Bramantyo Cakra. Sahabat dari Achazia, Adrian dan Abqari. Anak kedua dari tiga bersaudara. Walaupun dia anak tengah, tapi dia tidak pernah terlupakan. Ayahnya mempunyai Bramantyo Hospital yang kini di urus oleh kakaknya. Karena ayahnya sudah mulai tua. Apakah itu sudah cukup?"
Abercio menatap Andini. Mengerutkan keningnya. "Kau sudah tahu, tapi kenapa kau tidak sopan padaku?"
"Apanya yang tidak sopan?" Tanya Andini balik.
"Minta maaflah dengan baik." Ucap Abercio tajam.
Andini memutar kedua bola matanya. "Aku sudah meminta maaf dengan baik padamu. Memang menurutmu itu tidak baik? Apa aku harus menunduk? Atau bersujud? Yang benar saja!" Ucap wanita itu berani.
Abercio tersenyum miring. Keberanian wanita yang ada di hadapannya ini membuat dirinya tertantang. "Aku adalah sahabat Achazia. Jika aku mengadukanmu pada Achazia kau bisa saja di pecat karena ketidak sopananmu ini."
Andini melebarkan kedua matanya. Enak sekali dia bicara, memangnya siapa dia? "Bosku adalah Achazia. Bukan kau. Lagipula bagaimana bisa kau membawa urusan pribadi dengan urusan kantor. Lagipula apa yang kurang? Aku sudah minta maaf."
"Permintaan maafmu tidak membuatku puas." Jawab Abercio.
Andini terkekeh. "Ya lalu apa urusannya denganku? Kau puas kau tidak puas ya itu urusanmu. Yang penting aku sudah minta maaf."
Abercio menunjuk Andini. "Kau benar-benar---"
Cklek!
Abercio berdecak. Pria itu melipat kedua tangannya. Andini masuk ke dalam. Meninggalkannya dengan tidak sopan. Tapi membuat sudut-sudut bibirnya tertarik. "Menarik juga."
Sedangkan di sisi lain, Andini terus saja bicara saat berjalan sampai dapur. "Dasar pria aneh. Memangnya dia kira dia siapa? Hanya sebatas sahabat Achazia. Lagipula urusan kantor dan urusan pribadi itu sudah beda lagi. Tapi kenapa dia mengikut sertakan urusan kantor. Dasar pria tidak tahu diri. Aku kan sudah minta maaf. Dan dia meminta aku untuk minta maaf dengan baik. Memangnya tadi aku minta maaf dengan cara tidak baik begitu?" Ucap wanita itu.
Ashana yang mendengar ocehan Andini hanya menatap sahabatnya itu aneh. Wanita itu tidak tahu Andini bertemu siapa dan menjadi seperti ini karena siapa. "Kau tadi bertemu siapa?" Tanya Andini.
"Kau tahu? Abercio Bramantyo Cakra. Dia sangat menyebalkan. Ya walaupun dia adalah sahabat dari Achazia. Kau tahu tidak? Kecoa yang tadi aku bunuh lalu aku buang keluar, ternyata jatuh di atas kepala Abercio." Ucap Andini menjelaskan.
Ashana seketika langsung menghentikan pergerakan tangannya. Wanita itu tahu bagaimana sifat Andini. Walaupun Andini selalu mengajarkan sifat itu pada Ashana, tapi Ashana tetap tidak mau. Mau di luar kantor atau pun di dalam kantor ia akan tetap menghormati para atasannya. Tapi bagi Andini itu berbeda. Ashana hanya mengiyakan saja. Toh, kalaupun Andini di pecat, ia tetap masih punya banyak uang. Lagipula bagi Andini, mudah sekali bekerja di setiap perusahaan. Karena Andini mempunyai kakak yang akan membantunya. Kakaknya kan, punya koneksi dimana-mana. Ia menatap Andini. "Lalu kau bilang apa?"
"Aku meminta maaf karena aku sadar aku salah. Tapi dia malah mengatakan kalau aku harus meminta maaf dengan baik. Memang cara minta maaf yang aku lakukan tidak baik?"
Ashana menghembuskan napasnya. "Sudahlah, mungkin dia memang menyebalkan."
"Lebih dari menyebalkan!" Kesal Andini. Wanita itu melipat kedua tangannya.
Ashana menggaruk pelipisnya. Kalau dalam situasi seperti ini ia bingung harus melakukan apa. "Mmm.. Kau tidak mau melanjutkan makan?" Tanya wanita itu mengubah topik pembicaraan.
Andini menatap makanan yang tersaji. Walaupun dalam keadaan marah Andini tetap tidak akan bisa jauh dari makanan. Andini adalah definisi suka makan tapi tidak gendut-gendut.
"Baiklah, lupakan Abercio. Dia tidak penting. Lebih baik aku makan." Ucap Andini yang kembali memegang sendok.
Ashana tersenyum. Terkadang wanita itu iri dengan kehidupan yang dimiliki Andini. Kaya dan tidak perlu memikirkan ke depannya akan seperti apa. Karena mereka mempunyai banyak uang. Ia ingin seperti Andini yang bersikap seadanya. Bukan berpura-pura baik di depan atasan seperti dirinya. Hanya ada satu alasan. Ia tidak mau di pecat dari pekerjaannya hanya karena ia bersikap tidak sopan.
"Ashana? Kenapa kau melamun?" Andini menyentuh bahu Ashana. Membuat Ashana terperanjat. Wanita itu tersenyum kikuk. "Iya?"
"Kau memikirkan apa?" Tanya Andini khawatir.
Ashana menggeleng dengan senyum yang tercetak. "Tidak ada."
Andini menatap Ashana dengan mata menyelidik. "Kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
Ashana menggeleng. "Tidak ada. Benar-benar tidak ada apa-apa." Ucap wanita itu. Ia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
"Ya sudah. Aku percaya padamu." Ucap Andini. Wanita itu melanjutkan makan.
Setelah di selimuti hening selama beberapa menit, Ashana mengeluarkan suaranya. "Andin, bagaimana rasanya menjadi orang kaya?"
Pergerakan tangan Andini terhenti. Wanita itu menatap Ashana yang sedang tersenyum. "Memangnya kenapa?"
"Tidak, aku hanya bertanya saja." Ashana menunduk. Menahan air mata untuk tidak keluar. Entah kenapa tiba-tiba ia menanyakan pertanyaan seperti itu. Kalau boleh jujur, Ashana sudah lelah. Lelah dengan semuanya. Ia ingin hidup tenang tanpa memikirkan uang atau pun biaya. Tapi mau bagaimana lagi. Ashana di takdirkan untuk seperti ini. Ia tidak bisa menolaknya. Mungkin Tuhan tahu kalau ia kuat.
Andini berdiri kemudian duduk di sebelah Ashana. Ia merangkul bahu Ashana yang membuat tangis Ashana pecah. Andini terus mengusap-usap bahu Ashana yang bergetar. "Tidak apa. Keluarkan semuanya."
Tangis Ashana makin kencang. Andini hanya diam sambil mengusap-usap bahu Ashana. Wanita itu tahu kalau Ashana hanya butuh sahabat untuk mengerti dirinya. Untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Dan Andini siap untuk itu.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!