Aku Bukan Anak SMA
"Dimana ini?"
Saat Gisel membuka matanya dia hanya melihat langit-langit sebuah ruangan yang tidak dia kenali. Putih polos, tanpa lampu kristal yang biasanya ada di kamarnya.
Ruangan itu tidak gelap. Gisel bisa langsung mengetahui cerahnya ruangan itu disebabkan karena sinar matahari yang masuk melalui jendela. Masalahnya adalah gorden putih polos yang mengelilingi tempat tidurnya ini yang menghalangi sinar matahari itu masuk mengenainya.
"Rumah sakit. Ini pasti di rumah sakit. Cuma rumah sakit yang punya gorden kayak ginian," pikir Gisel.
Gisel mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya sebelumnya. Dia sedang mengendarai mobilnya menuju kantor. Hari ini ada rapat penting. Sekretarisnya sudah menelponnya dari pagi mengingatkan ini itu. Telepon masuk terus menerus tanpa henti dari rekan-rekan kerjanya.
Terlalu sulit menerima telepon sambil menyetir, karena itu Gisel mencari earpod nya. Saat akan memasangnya, earpod terlempar lalu jatuh ke bawah. Dia mencoba mencarinya di bawah kakinya. Kesalahan bodohnya adalah dia tidak menepikan mobilnya saat melakukan itu.
Gisel terus mendengar suara klakson dibunyikan. Tapi dia masih berusaha mencari earpod nya. Tepat disaat Gisel menemukannya, dia melihat sebuah truk sedang melaju ke arahnya.
Gisel mencoba membelokkan setir mobilnya, tapi entah mengapa mobil tidak berbelok. Begitu juga dengan pedal remnya. Berkali-kali Gisel menekannya, tapi tidak juga berhenti. Dan tabrakan itu tidak dapat dihindari.
Brak !!!
Dan saat terbangun, dirinya sudah berada di ruangan ini. Tentu saja, sudah pasti ini adalah rumah sakit.
Tapi ... "Sekretarisku bodohku pasti yang menutup semua gorden ini. Entah apa yang ada di kepalanya sampai dia harus menutup semuanya," pikir Gisel kesal.
Sayup-sayup, Gisel mendengar pembicaraan dua orang perempuan. Dia tidak mengenali siapa pemilik suara itu.
"Sepertinya bukan si bodoh itu. Suaranya terdengar lebih muda. Yang satu juga terlalu tua. Siapa mereka?," pikirnya penasaran.
Mereka sedang berbisik. Gisel berusaha keras mendengarkan pembicaraan mereka.
"Bisa-bisanya anak ini merepotkanku. Apa dia sengaja mau bunuh diri?," suara perempuan yang lebih tua terdengar sangat marah.
"Ya udah sih, Ma. Mati ya mati aja. Kita kan jadi nggak perlu repot-repot ngurusin dia," kali ini suara perempuan yang lebih muda.
Plak! "Aduh ..."
Terdengar suara tangan yang menepuk tubuh seseorang. Jika mendengar suara mengaduh dari perempuan yang lebih muda, sepertinya dia yang baru saja dipukul oleh ibunya.
"Kamu gila, ya? Apa kamu sudah lupa isi surat wasiat itu?"
"Surat wasiat? Wasiat apa? Siapa yang mati? Aku belum mati!!," batin Gisel.
"Kita ngomong di luar saja. Nanti dia bangun."
Setelah Gisel mendengar bunyi pintu yang ditutup. Perlahan, Gisel membuka kedua matanya. Dia memastikan sebentar tidak ada lagi suara orang lain di sana. Lalu, dengan gerakan cepat dia menaikkan tubuhnya.
"Aduh ...," kata Gisel sambil memegangi kepalanya. Rupanya gerakan naik tiba-tibanya itu menyebabkan kepalanya merasakan nyeri. Dia merasakan ada sesuatu yang membalut kepalanya.
"Oh, iya ... aku rasa kepalaku terhantam setir tadi," pikirnya.
"Tapi, siapa yang baru saja disini? Siapa mereka? Ngapain mereka disini? Apa mereka tidak tahu ini kamarnya orang? Numpang ngobrol kok di kamar orang. Nggak sopan!"
Saat Gisel akan turun dari tempat tidurnya, perhatiannya tertuju pada bayangan yang muncul pada TV yang tergantung di atasnya. TV itu dalam keadaan mati, karena itu bayangan seluruh sudut ruangan kamarnya muncul dalam TV itu seperti sebuah cermin.
Yang Gisel pikirkan bukan bayangan kamarnya, tapi bayangan dirinya sendiri yang dia lihat di TV itu. Meski terlihat jauh dan tidak jelas, Gisel tahu itu bukan bayangan dirinya. Sama sekali tidak mirip dirinya.
Gisel memastikan sekali lagi bahwa yang muncul di TV itu adalah bayangan dirinya.Tapi, tetap saja, sama sekali tidak terlihat seperti dirinya. Lalu, siapa yang ada di bayangan itu?
"AAAHHHH !!!!," teriak Gisel sekencang-kencangnya.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita setengah tua masuk ke kamarnya bersama dengan seorang gadis remaja. Gisel tidak mengenal mereka semua.
"Ada apa? Ada apa?," tanya wanita setengah tua yang terlihat sangat panik.
"AAAHHHH !!!" Sekali lagi Gisel berteriak lebih kencang dari yang tadi.
Tak lama kemudian, perawat datang dengan wajah panik. "Ada apa? Mengapa berteriak?"
"Kalian siapa?!?," teriak Gisel memandangi dua perempuan yang tidak dia kenali.
Sontak kedua orang ibu dan anak itu terkejut mendengar pertanyaan Gisel.
"Kamu lupa sama mama? Ini mama," kata wanita itu.
"Sejak kapan aku punya mama sejelek kamu?," bentak Gisel dengan tatapan tidak nyaman.
"Heh! Kamu jangan kurang ajar sama mamaku, ya," si gadis kini juga ikut membentak.
"Dia mamamu, kenapa ngaku-ngaku mamaku? Kalian siapa?," Gisel masih terus membentak kedua perempuan itu.
Perawat yang lain mulai berdatangan satu persatu. Sedangkan perawat yang pertama sepertinya memahami situasi yang sedang terjadi.
"Cepat panggil dokter. Katakan padanya ada komplikasi pada pasien kamar 31," perintah perawat itu yang segera dilaksanakan oleh perawat yang lain.
Setengah jam kemudian, dokter datang memeriksa Gisel. Kedua perempuan itu masih disana memandangi Gisel dengan tatapan takut, karena Gisel terus menatap tajam ke arah mereka. Gisel merasa tidak nyaman dengan kehadiran kedua perempuan itu.
"Semuanya normal. Tidak ada masalah dengan kondisi vitalnya. Bisa jadi ini karena luka di kepalanya. Ada kemungkinan dia amnesia," jelas dokternya.
"Amnesia apa? Saya nggak amnesia! Saya memang tidak kenal mereka. Bagaimana bisa itu dikatakan amnesia?," bentak Gisel yang mendelik pada dokter itu.
"Kamu beneran dokter, kan? Diagnosis macam apa itu? Amnesia?," teriak Gisel.
Dokter itu meminta sebuah cermin pada perawat yang ada di sampingnya. Setelah itu, dihadapkannya cermin itu ke Gisel.
Gisel melihat bayangan dirinya pada cermin itu dengan jelas kali ini. Lebih jelas dari yang dia lihat dari bayangan di TV tadi.
"Apa kamu tahu siapa yang ada di cermin ini?," tanya dokter itu.
Gisel memandangi bayangan dirinya dengan perasaan merinding di sekujur tubuhnya. Bagaimana bisa dia melihat bayangan yang berbeda dari yang biasanya dia lihat setiap hari? Siapa orang yang dia lihat di cermin itu?
"Apakah kamu tahu siapa nama orang yang ada di cermin itu?," tanya dokter itu lagi.
Gisel masih merinding memandangi cermin itu. Dia menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dokter. Dia memang tidak tahu siapa yang dia lihat itu.
"Nama kamu Kanaya. Pernah dengar?"
"Kanaya? Aku? Bagaimana bisa?," pikir Gisel.
"Mereka mama dan kakak kamu. Ibu Clara dan Nabila. Ada sesuatu yang kamu ingat?"
"Siapa lagi itu? Aku punya mama, tapi bukan Clara namanya. Dan aku tidak punya saudara. Aku anak tunggal!," teriak Gisel dalam hatinya.
"Jadi, sudah jelas. Kamu amnesia," jelas dokter itu mempertegas sekali lagi diagnosisnya yang terakhir.
Gisel menatap dokter itu dengan tatapan tidak percaya. "Omong kosong macam apa ini?," batin Gisel yang masih saja tidak terima dengan kenyataan ini.
"Saya yang akan memutuskan apakah dia benar amnesia atau tidak."
Suara seorang pria tiba-tiba memecahkan keheningan yang terjadi di kamar itu. Pria setengah baya itu berdiri di belakang dua perempuan yang baru saja dinamai dengan Clara dan Nabila.
"Kali ini siapa lagi dia?," teriak Gisel berulang-ulang dalam kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Abizar zayra aLkiaana
👣
2023-06-23
2
Park Kyung Na
mampir😊
2023-06-21
1