Pria itu meminta semua orang yang ada di ruangan itu untuk keluar. Gisel tidak tahu siapa dia, tapi Clara dan Nabila sepertinya mengenalnya. Mereka bahkan menuruti perintah pria itu tanpa membantah sekalipun.
"Siapa kamu?," tanya Gisel dengan tatapannya yang galak, setelah pintu kamarnya sudah ditutup oleh orang yang terakhir keluar dari kamarnya itu.
Pria itu tidak menjawab pertanyaan Gisel. Dia hanya berjalan menghampiri Gisel yang sedang duduk di atas tempat tidurnya.
"Semua orang sudah keluar. Kamu masih tidak mengenal Om?," tanya pria.
Gisel menatap pria itu baik-baik. Dia khawatir apakah dia salah mengenali orang. Tapi, Gisel benar-benar tidak tahu siapa dia.
Pria itu menghela napasnya perlahan. "Om Bagas. Pengacara papa kamu. Ingat?," tanya pria itu.
"Pengacara papa? Setahuku pengacara papa cuma satu. Tapi, bukan dia," batin Gisel.
"Om akan jelaskan sedikit mengenai dirimu, mungkin ada sesuatu yang bisa kamu ingat."
Dari pria yang bernama Bagas ini, Gisel akhirnya mengetahui bahwa dia bernama Kanaya Bharatajaya, putri tunggal Farhan Bharatajaya dan Emma Pramudya.
Ayah Kanaya meninggal 3 bulan yang lalu, sedangkan ibunya sudah meninggal sejak dia berumur 10 tahun.
Clara adalah ibu tiri Kanaya. Ayah Kanaya menikahinya beberapa minggu setelah ibu Kanaya meninggal. Dan Nabila adalah anak Clara dari suami terdahulunya.
Om Bagas adalah teman dekatnya Farhan. Dia menjadi pengacara yang dipercayai Farhan. Karena itulah alasan dia berada di rumah sakit saat ini, untuk memastikan keadaan Kanaya.
"Om kemari hanya untuk menanyakan apakah kamu jatuh ke kolam renang karena kecelakaan, atau ada orang lain yang menyebabkan kamu begitu?," tanya Bagas yang menatap Gisel dengan serius.
Bagaimana Gisel akan menjawabnya? Dia hanya ingat dia mengalami kecelakaan mobil, bukan jatuh ke kolam renang. Dia ingat dengan jelas bagaimana mobilnya menabrak sebuah truk.
Bagas menghela napasnya perlahan. "Sepertinya kamu benar-benar amnesia."
"Om akan menyelidiki masalah ini. Jika kamu jatuh karena disengaja, maka om harus melakukan sesuatu pada mereka seperti yang sudah tertulis pada surat wasiat itu."
"Surat wasiat apa?," Gisel memberanikan dirinya untuk bertanya. Dia juga mendengar dari pembicaraan Clara dan Nabila yang menyebut hal itu.
"Papa kamu meninggalkan harta warisan hanya untukmu. Jatah mereka tetap ada hanya jika mereka bisa menjagamu dengan baik. Jika tidak ... semuanya akan hilang."
"Drama apa lagi ini?," teriak Gisel di dalam hatinya.
"Kamu turuti apa kata dokter, ya. Besok om akan kesini lagi sama Tika," kata Bagas saat dia berdiri dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi.
"Tika? Siapa Tika?," tanya Gisel. Hari ini dia serasa sedang menjalani masa ospek. Ada begitu banyak nama yang harus dia ketahui.
Sekali lagi, Bagas menghela napasnya perlahan. "Anak om. Dia teman kamu juga."
Setelah Bagas keluar dari kamarnya, Gisel kembali memikirkan semua yang dikatakan Bagas tadi. Isi di kepalanya menjadi berantakan tidak karuan.
"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"
Kepala Gisel terus berteriak menolak semua kenyataan yang sedang terjadi padanya. Semua yang dilihatnya saat ini terasa terlalu nyata untuk bisa dianggap sebagai mimpi. Gisel mencoba memahaminya dari berbagai sudut pandang, tapi tetap saja otaknya tidak mampu memberikan alasan logis mengenai apa yang sedang terjadi padanya.
Terlalu lama dia memaksakan otaknya untuk berpikir hingga dia bisa mendengar suara denging yang cukup melengking di telinganya. Bersamaan dengan itu, seluruh bagian kepalanya terasa seperti ditusuk oleh sebuah jarum besar. Gisel mencoba turun dari tempat tidurnya, dan berdiri di atas kedua kakinya. Tangannya memegangi meja yang ada di sebelahnya. Tapi, kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya. Gisel seketika terjatuh di samping tempat tidurnya.
Sebelum terjatuh, tangan Gisel masih sempat menarik meja yang dipeganginya. Sehingga saat dia terjatuh, meja yang tertarik olehnya menimbulkan suara yang cukup keras hingga keluar ruangan.
Sebelum Gisel menutup matanya, dengan samar-samar dia masih bisa melihat Bagas, Clara, dan juga Nabila masuk ke kamarnya. Tapi, rasa sakit di kepalanya terus memaksanya untuk menutup kedua matanya. Gisel akhirnya tidak memiliki kekuatan lagi untuk bisa tetap tersadar.
......................
Gisel sedang berada di samping seorang wanita yang sedang terbaring lemah. Tangan wanita itu menggenggam tangannya. Dilihatnya juga seorang pria yang menangis di samping wanita itu. Wanita itu memandanginya dengan tatapannya yang sendu.
"Maafkan mama ya ... Mama sepertinya ... tidak akan bisa melihatmu ... mengenakan gaun pengantin," kata wanita itu. Terlihat sekali dia sangat lemah bahkan untuk mengatakannya saja dia kesulitan.
"Jangan bicara seperti itu. Kamu harus sembuh demi aku dan Kanaya," tangis pria yang ada di sampingnya.
"Maafkan ... aku ... Mas."
Tiba-tiba, sesuatu seperti sedang menarik tubuh Gisel ke belakang dengan sangat cepat. Sepasang wanita dan pria yang tadi dilihatnya kini menghilang digantikan oleh bayangan hitam pekat. Tubuhnya seperti terbang melayang dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Lalu kemudian, dia merasakan dirinya dihempaskan ke bawah dengan keras. Gisel terjatuh dalam keadaan terduduk. Dia melihat sebuah nisan bertuliskan "Emma Pramudya" dengan bunga segar di atas gundukan tanahnya. Lagi-lagi, seorang pria sedang menangis di sampingnya.
Pria itu menarik lembut kepalanya dan menyandarkannya pada bahunya. Gisel seperti sedang tersihir, dia mengikuti saja apa yang diarahkan pria itu tanpa mengatakan apapun. Dalam keadaan bingung, Gisel bersandar pada bahu pria itu.
"Kita harus ikhlas, sayang. Kita harus ikhlas ...," tangis pria itu.
Sekali lagi, sesuatu yang tidak Gisel ketahui menarik tubuhnya dengan sangat keras dan cepat. Tubuhnya kembali terasa terbang melayang dengan kecepatan tinggi di antara kegelapan yang pekat dan tidak berbayang. Dan semenit kemudian, tubuhnya dihempaskan kembali ke bawah dengan kasar.
Gisel lagi-lagi terduduk. Kali ini dia duduk bersimpuh dengan sebuah kebaya cantik. Dilihatnya pria itu sedang duduk di depannya dengan seorang wanita di sampingnya. Gisel tidak dapat melihat siapa wanita disampingnya karena mereka sedang membelakanginya. Tapi seorang anak perempuan yang ada di sampingnya, Gisel dapat mengenalinya meski anak itu terlihat jauh lebih muda dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Anak itu mirip sekali dengan Nabila.
Saat wanita itu menoleh ke samping, Gisel dapat melihatnya dengan jelas. Wanita yang duduk di samping pria itu adalah Clara.
Kemudian, tubuh Gisel kembali ditarik dan dibuat melayang. Lalu kemudian dihempaskan ke bawah. Kali ini Gisel melihat Clara dan juga Nabila sedang berdiri memandanginya dengan tatapan hina. Tiba-tiba, kepala Gisel tertarik ke belakang karena Clara menarik rambutnya dengan keras. Anehnya, Gisel tidak merasakan sakit.
"Dengar, ya. Jangan coba-coba berani ngomong ke papa kamu. Atau aku akan bikin kamu lebih sengsara lagi," kata Clara yang lalu menghempaskan kepalanya dengan kasar.
Tepat di saat kepalanya terhempas, tubuh Gisel serasa ditarik lagi oleh sesuatu, lalu dibawa ke sebuah tempat dengan kolam renang yang ada di belakangnya. Nabila sedang berdiri di depannya.
"Kamu tahu kan? Kalau aku paling tidak suka kalau kamu dekat-dekat dengan Evan," kata Nabila sambil terus menerus mendorong keras bahunya. Mau tidak mau, Gisel terdorong ke belakang.
"Bisa nggak sih, kamu nggak usah sok cantik di depan Evan? Dia itu milikku!."
Gisel terus memperhatikan kolam renang yang ada di belakangnya, dia takut dia akan terjatuh ke dalamnya. Tapi, Nabila terus menerus mendorongnya ke belakang.
Tiba-tiba, kaki Gisel mengenai sesuatu. Sebuah selang terlihat sedang membelit kakinya. dia menghentakkan kakinya untuk melepaskan dirinya dari selang itu, tapi dia malah kehilangan keseimbangan. Gisel terjatuh ke samping, kepalanya terbentur pinggiran kolam. Sedetik kemudian, dia sudah berada di dalam air.
Mengetahui dirinya sedang berada di dalam air, Gisel secara refleks mencoba menahan napasnya. Tapi, dia merasakan air telah masuk melalui hidung dan mulutnya. Di saat dia akan kehilangan kesadarannya, tubuhnya kembali ditarik dengan sangat keras.
Gisel merasakan tubuhnya dihempaskan kembali ke bawah. Tapi, hempasan kali ini membuatnya terbangun dari tidurnya dan langsung terduduk di atas tempat tidurnya. Dia memandangi sekelilingnya. "Masih di rumah sakit," ucapnya lirih.
Gisel merasakan sesuatu yang hangat membasahi wajahnya. Matanya seketika tidak dapat melihat dengan jelas karena terlalu banyak air. Gisel akhirnya menyadari bahwa dia sedang menangis saat ini.
"Menangis? Aku menangis? Untuk apa aku menangis?," ucap Gisel lirih setelah dia mengusap wajahnya dari air matanya itu. Sepanjang yang dia ingat, sudah lama dia tidak menangis. Jadi mengapa dia menangis saat ini? Dia tidak sedang merasakan kesedihan, untuk apa dia menangis?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments