"Ayyaaaaa ...."
Pintu kamar Gisel tiba-tiba dibuka oleh seorang gadis muda. Secara refleks Gisel segera menghapus air matanya. Sebelum Gisel sempat mengidentifikasi siapa gadis yang baru saja membuat jantungnya melompat keluar karena teriakannya yang terlalu dramatis itu, gadis itu sudah memeluknya dengan erat dan menangis.
"Ayyyaaaaaa .... kamu kenapa jadi beginniii? Kenapa bisa jatuh ke kolam renang? Waktu papa cerita kamu jatuh, aku langsung histeris. Aku kira kamu tenggelam," tangis gadis itu.
Gisel berusaha sekuat tenaganya untuk melepaskan diri dari pelukan gadis itu. Dia paling benci dipeluk oleh orang yang tidak dia kenali.
"Kamu ... siapa?," kata Gisel melepaskan kaitan tangan gadis itu yang sedang membelit lehernya.
Gisel berhasil membuat gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuhnya. Tapi sekarang gadis itu menatap dirinya dengan tatapan yang tidak dipahami Gisel. Air mata gadis itu masih penuh membasahi kedua matanya itu.
"Aaayyyaaaaa ...." Kembali gadis itu memeluk Gisel. Kali ini jauh lebih erat dari yang tadi. Usaha Gisel melepaskan dirinya dari gadis itu harus dimulai lagi dari nol.
"... kamu kok bisa lupa sama aku? Aku sahabatmu yang paling baik, cantik, dan juga menggemaskan. Bisa-bisanya kamu melupakan aku, Ayyyaaa ...."
"Tika, lepaskan Aya dulu. Dia jadi susah bernapas kalau seperti itu."
Bagas ternyata baru saja masuk dengan sebuah termos makanan di tangannya. Ternyata, gadis yang ada di depannya ini adalah Tika, anaknya Bagas, yang dia ceritakan kemarin malam.
"Tapi, pa ...," isak Tika. Gisel akhirnya bisa bernapas lega karena Tika akhirnya melepaskan pelukannya yang mematikan itu.
"Jangan terburu-buru, sayang. Aya butuh waktu untuk bisa pulih. Dokter bilang mungkin ini efek traumatis karena kepalanya terbentur," jelas Bagas dengan lembut. Jelas sekali terlihat perbedaan antara ayah dan anak ini. Yang satu terlihat tenang, sedangkan yang satu terlihat seperti ratunya drama. Gisel yakin dia tidak akan bisa tahan dengan yang ratu drama.
Tak lama kemudian, datang lagi seorang pria muda yang sepertinya baru saja berlari. "Aya ...," panggilnya dengan napas yang sudah terengah-engah.
"Kamu ... nggak apa-apa ... kan? Aku dengar ... kamu tenggelam," kata pria itu lagi.
"Kejadiannya kemarin. Dia sudah tidak apa-apa sekarang. Hanya saja ..." Bagas lalu menarik pria muda itu keluar dari kamar Gisel. Sepertinya dia akan menjelaskan banyak hal padanya.
"Adit hebat! Aku mengatakannya 30 menit yang lalu. Dan sekarang dia sudah ada disini," kata Tika memandangi papanya membawa pria muda yang dipanggilnya Adit itu.
Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, Tika menolehkan kepalanya ke arah Gisel. Dipeganginya wajah Gisel dengan kedua telapak tangannya. Dengan tatapannya yang terlihat sangat serius itu, Tika berkata, "Dengar, Aya. Aku nggak peduli kalau kamu nggak ingat yang lain. Tapi aku? Aku nggak akan biarkan kamu melupakan aku. Karena aku Tika, sahabat terbaikmu. Aku sudah bersama denganmu bahkan sebelum kamu lahir. Jadi, bersiaplah, aku akan buat kamu ingat aku lagi."
Gisel tidak memahami semua perkataan Tika. Tapi, apapun itu bentuknya, dia merasa dia harus menjalani hari buruk setelah ini. Dengan keras, Gisel menelan ludahnya membayangkan dirinya terjebak bersama manusia yang ada di depannya saat ini.
"Jangan begitu, Tika," kata Adit sambil melepaskan tangan Tika dari wajah Gisel. "Aku juga ... orang terdekatnya. Dia pasti akan mengingat kita."
Dengan lembut, tangan Adit membelai rambut Gisel. "Pelan-pelan saja, ya. Yang terpenting sekarang kamu baik-baik saja. Aku hampir ketakutan saat dia bilang kamu tenggelam. Aku kira kamu ..."
"Hehe ... maaf," kata Tika dengan tampangnya yang tidak berdosa. "Aku dengernya dari papa juga begitu. Ternyata salah waktu."
"Sudah, sudah. Om akan pulang dulu. Kalian disini saja temani Aya. Nanti kalau kamu pulang, om titip Tika ya, Dit," kata Bagas menyela pembicaraan Adit dan juga Tika.
"Papa mau kemana?," tanya Tika.
"Papa mau mengecek rekaman CCTV rumah Aya. Mungkin bisa ada petunjuk. Setahu papa di dekat sana ada satu CCTV."
"Nanti begitu kamu sudah keluar dari rumah sakit, akan om tunjukkan ke kamu. Sekarang kamu fokus sama kesehatan kamu saja. Jangan pikirkan apapun," kata Bagas yang sekarang bicara dengan Gisel.
"Oh iya ... hampir lupa. Tadi Tante Maya minta om bawakan bubur untukmu. Nanti berikan ke Aya, ya Tika."
"Siap, Bapak Komandan," seru Tika dengan semangat 45 nya.
Seperginya Bagas, Gisel ditemani oleh dua orang yang terlihat sangat muda bagi Gisel. Entah berapa umur mereka. Gisel memperkirakan umur mereka sekitar belasan tahun.
"Jika dua orang ini adalah sahabat Kanaya, itu artinya ... aku adalah seorang anak remaja," pikir Gisel.
Gisel kembali memikirkan mimpi yang tadi dia lihat sebelum mereka datang. Dia tidak berani mengatakan jika itu adalah mimpi. Karena semuanya terlihat begitu nyata.
"Apakah mimpi bisa terlihat begitu jelas? Tapi mengapa aku bisa melihatnya? Jelas-jelas aku tidak pernah mengalami itu. Atau jangan-jangan ... itu ingatan Kanaya."
"Jika itu ingatan Kanaya, itu artinya ... kejadian di kolam renang itu ... benar. Anak ini jatuh ke dalam kolam renang."
Gisel masih berusaha menata kembali kepingan puzzle yang berantakan di dalam kepalanya.
"Oke ... sekarang aku tahu kalau sekarang aku sedang menjadi Kanaya. Tapi siapa Gisel? Mengapa aku terus mengingat aku adalah Gisel?"
"Tunggu ... apakah aku pindah ke dimensi lain seperti yang di film-film itu? Namaku Kanaya di dimensi ini."
Tiba-tiba, Gisel melihat Tika sedang memegangi ponselnya. Dia seperti mendapatkan sesuatu di kepalanya. "Pinjam HP mu," kata Gisel.
Tika terlihat tidak memahami maksud sahabatnya itu meminjam ponselnya miliknya. Tapi tetap saja gadis itu memberikan ponsel miliknya.
Segera Gisel membuka aplikasi pencari, lalu mengetikkan namanya disana. Dan dalam hitungan detik, semua pencarian mengenai namanya muncul di layar ponsel itu.
"Ada! Ternyata masih satu dimensi!," kata Gisel dalam hatinya yang terasa lega sekarang. Setidaknya masih ada orang yang bisa dikenali di dimensi ini, begitu pikirnya.
"Kamu cari apa?," tanya Tika yang heran dengan apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu dengan ponsel miliknya.
"Gisella Mathilda Hadiwijaya? Oh, pengusaha yang baru kecelakaan itu?," seru Tika.
"Kecelakaan?," tanya Gisel.
"Iya. Semua berita ngomongin dia terus. Aku sampai bosan. Sebegitunya sampai diberitain terus menerus," kata Tika kesal.
"Tentu saja akan jadi perhatian. Skylar Corp adalah satu-satunya perusahaan nasional yang berhasil menandatangani kontrak kerjasama pembangunan kota baru di sebuah pulau milik Inggris. Gisella adalah CEO nya, dan kecelakaan ini dikhawatirkan akan menghambat pembangunannya."
Gisel merasa senang sekali hingga menganggukkan kepalanya berulang-ulang, tidak disangka ada yang mengenali dirinya.
"Darimana kamu tahu?," tanya Tika.
Adit mendadak menjadi malu. "Yang mendesain kota B-2 adalah ayahku."
"B-2? Kamu ... anaknya Pak Rendi??," kata Gisel yang hampir terdengar seperti teriakan.
"Kamu ingat ayahku? Kamu pernah bertemu dengannya."
Gisel tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dia hanya ingat Rendi sebagai kepala divisi untuk pembangunan area B-2. Bagaimana dia bisa menjelaskannya? Jadi Gisel memilih untuk diam saja.
"Oke, oke. Pelan-pelan. Mungkin kamu masih kaget. Jangan dipaksa," kata Adit berusaha menenangkan Gisel yang terlihat olehnya agak gugup.
Gisel kembali mencari berita kecelakaan dirinya. Dia berharap bisa menemukan tempat dirinya dirawat. Tapi, tidak ada satupun media yang menulis nama rumah sakitnya.
"Apa ayahmu ada menyebutkan tempat Gisella dirawat?," tanya Gisel. Menurut Gisel, Rendi seharusnya tahu dimana dirinya dirawat, karena dia adalah salah satu kepala divisi.
"Papa pasti sudah memanggilnya untuk membahas masalah kelanjutan pembangunan," pikir Gisel.
"Di rumah sakit ini. Tadi aku kesini berangkat sama ayahku," jawab Adit.
"Di rumah sakit ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Park Kyung Na
💪💪
2023-06-22
1
Ling 铃
Akhirnyaaaa yang ditunggu-tunggu... karya baruu telah tibaaa~
Semangat untuk author!!!
2023-02-03
5