NovelToon NovelToon

Aku Bukan Anak SMA

BAB 1 : Identitas yang Hilang

"Dimana ini?"

Saat Gisel membuka matanya dia hanya melihat langit-langit sebuah ruangan yang tidak dia kenali. Putih polos, tanpa lampu kristal yang biasanya ada di kamarnya.

Ruangan itu tidak gelap. Gisel bisa langsung mengetahui cerahnya ruangan itu disebabkan karena sinar matahari yang masuk melalui jendela. Masalahnya adalah gorden putih polos yang mengelilingi tempat tidurnya ini yang menghalangi sinar matahari itu masuk mengenainya.

"Rumah sakit. Ini pasti di rumah sakit. Cuma rumah sakit yang punya gorden kayak ginian," pikir Gisel.

Gisel mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya sebelumnya. Dia sedang mengendarai mobilnya menuju kantor. Hari ini ada rapat penting. Sekretarisnya sudah menelponnya dari pagi mengingatkan ini itu. Telepon masuk terus menerus tanpa henti dari rekan-rekan kerjanya.

Terlalu sulit menerima telepon sambil menyetir, karena itu Gisel mencari earpod nya. Saat akan memasangnya, earpod terlempar lalu jatuh ke bawah. Dia mencoba mencarinya di bawah kakinya. Kesalahan bodohnya adalah dia tidak menepikan mobilnya saat melakukan itu.

Gisel terus mendengar suara klakson dibunyikan. Tapi dia masih berusaha mencari earpod nya. Tepat disaat Gisel menemukannya, dia melihat sebuah truk sedang melaju ke arahnya.

Gisel mencoba membelokkan setir mobilnya, tapi entah mengapa mobil tidak berbelok. Begitu juga dengan pedal remnya. Berkali-kali Gisel menekannya, tapi tidak juga berhenti. Dan tabrakan itu tidak dapat dihindari.

Brak !!!

Dan saat terbangun, dirinya sudah berada di ruangan ini. Tentu saja, sudah pasti ini adalah rumah sakit.

Tapi ... "Sekretarisku bodohku pasti yang menutup semua gorden ini. Entah apa yang ada di kepalanya sampai dia harus menutup semuanya," pikir Gisel kesal.

Sayup-sayup, Gisel mendengar pembicaraan dua orang perempuan. Dia tidak mengenali siapa pemilik suara itu.

"Sepertinya bukan si bodoh itu. Suaranya terdengar lebih muda. Yang satu juga terlalu tua. Siapa mereka?," pikirnya penasaran.

Mereka sedang berbisik. Gisel berusaha keras mendengarkan pembicaraan mereka.

"Bisa-bisanya anak ini merepotkanku. Apa dia sengaja mau bunuh diri?," suara perempuan yang lebih tua terdengar sangat marah.

"Ya udah sih, Ma. Mati ya mati aja. Kita kan jadi nggak perlu repot-repot ngurusin dia," kali ini suara perempuan yang lebih muda.

Plak! "Aduh ..."

Terdengar suara tangan yang menepuk tubuh seseorang. Jika mendengar suara mengaduh dari perempuan yang lebih muda, sepertinya dia yang baru saja dipukul oleh ibunya.

"Kamu gila, ya? Apa kamu sudah lupa isi surat wasiat itu?"

"Surat wasiat? Wasiat apa? Siapa yang mati? Aku belum mati!!," batin Gisel.

"Kita ngomong di luar saja. Nanti dia bangun."

Setelah Gisel mendengar bunyi pintu yang ditutup. Perlahan, Gisel membuka kedua matanya. Dia memastikan sebentar tidak ada lagi suara orang lain di sana. Lalu, dengan gerakan cepat dia menaikkan tubuhnya.

"Aduh ...," kata Gisel sambil memegangi kepalanya. Rupanya gerakan naik tiba-tibanya itu menyebabkan kepalanya merasakan nyeri. Dia merasakan ada sesuatu yang membalut kepalanya.

"Oh, iya ... aku rasa kepalaku terhantam setir tadi," pikirnya.

"Tapi, siapa yang baru saja disini? Siapa mereka? Ngapain mereka disini? Apa mereka tidak tahu ini kamarnya orang? Numpang ngobrol kok di kamar orang. Nggak sopan!"

Saat Gisel akan turun dari tempat tidurnya, perhatiannya tertuju pada bayangan yang muncul pada TV yang tergantung di atasnya. TV itu dalam keadaan mati, karena itu bayangan seluruh sudut ruangan kamarnya muncul dalam TV itu seperti sebuah cermin.

Yang Gisel pikirkan bukan bayangan kamarnya, tapi bayangan dirinya sendiri yang dia lihat di TV itu. Meski terlihat jauh dan tidak jelas, Gisel tahu itu bukan bayangan dirinya. Sama sekali tidak mirip dirinya.

Gisel memastikan sekali lagi bahwa yang muncul di TV itu adalah bayangan dirinya.Tapi, tetap saja, sama sekali tidak terlihat seperti dirinya. Lalu, siapa yang ada di bayangan itu?

"AAAHHHH !!!!," teriak Gisel sekencang-kencangnya.

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita setengah tua masuk ke kamarnya bersama dengan seorang gadis remaja. Gisel tidak mengenal mereka semua.

"Ada apa? Ada apa?," tanya wanita setengah tua yang terlihat sangat panik.

"AAAHHHH !!!" Sekali lagi Gisel berteriak lebih kencang dari yang tadi.

Tak lama kemudian, perawat datang dengan wajah panik. "Ada apa? Mengapa berteriak?"

"Kalian siapa?!?," teriak Gisel memandangi dua perempuan yang tidak dia kenali.

Sontak kedua orang ibu dan anak itu terkejut mendengar pertanyaan Gisel.

"Kamu lupa sama mama? Ini mama," kata wanita itu.

"Sejak kapan aku punya mama sejelek kamu?," bentak Gisel dengan tatapan tidak nyaman.

"Heh! Kamu jangan kurang ajar sama mamaku, ya," si gadis kini juga ikut membentak.

"Dia mamamu, kenapa ngaku-ngaku mamaku? Kalian siapa?," Gisel masih terus membentak kedua perempuan itu.

Perawat yang lain mulai berdatangan satu persatu. Sedangkan perawat yang pertama sepertinya memahami situasi yang sedang terjadi.

"Cepat panggil dokter. Katakan padanya ada komplikasi pada pasien kamar 31," perintah perawat itu yang segera dilaksanakan oleh perawat yang lain.

Setengah jam kemudian, dokter datang memeriksa Gisel. Kedua perempuan itu masih disana memandangi Gisel dengan tatapan takut, karena Gisel terus menatap tajam ke arah mereka. Gisel merasa tidak nyaman dengan kehadiran kedua perempuan itu.

"Semuanya normal. Tidak ada masalah dengan kondisi vitalnya. Bisa jadi ini karena luka di kepalanya. Ada kemungkinan dia amnesia," jelas dokternya.

"Amnesia apa? Saya nggak amnesia! Saya memang tidak kenal mereka. Bagaimana bisa itu dikatakan amnesia?," bentak Gisel yang mendelik pada dokter itu.

"Kamu beneran dokter, kan? Diagnosis macam apa itu? Amnesia?," teriak Gisel.

Dokter itu meminta sebuah cermin pada perawat yang ada di sampingnya. Setelah itu, dihadapkannya cermin itu ke Gisel.

Gisel melihat bayangan dirinya pada cermin itu dengan jelas kali ini. Lebih jelas dari yang dia lihat dari bayangan di TV tadi.

"Apa kamu tahu siapa yang ada di cermin ini?," tanya dokter itu.

Gisel memandangi bayangan dirinya dengan perasaan merinding di sekujur tubuhnya. Bagaimana bisa dia melihat bayangan yang berbeda dari yang biasanya dia lihat setiap hari? Siapa orang yang dia lihat di cermin itu?

"Apakah kamu tahu siapa nama orang yang ada di cermin itu?," tanya dokter itu lagi.

Gisel masih merinding memandangi cermin itu. Dia menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan dokter. Dia memang tidak tahu siapa yang dia lihat itu.

"Nama kamu Kanaya. Pernah dengar?"

"Kanaya? Aku? Bagaimana bisa?," pikir Gisel.

"Mereka mama dan kakak kamu. Ibu Clara dan Nabila. Ada sesuatu yang kamu ingat?"

"Siapa lagi itu? Aku punya mama, tapi bukan Clara namanya. Dan aku tidak punya saudara. Aku anak tunggal!," teriak Gisel dalam hatinya.

"Jadi, sudah jelas. Kamu amnesia," jelas dokter itu mempertegas sekali lagi diagnosisnya yang terakhir.

Gisel menatap dokter itu dengan tatapan tidak percaya. "Omong kosong macam apa ini?," batin Gisel yang masih saja tidak terima dengan kenyataan ini.

"Saya yang akan memutuskan apakah dia benar amnesia atau tidak."

Suara seorang pria tiba-tiba memecahkan keheningan yang terjadi di kamar itu. Pria setengah baya itu berdiri di belakang dua perempuan yang baru saja dinamai dengan Clara dan Nabila.

"Kali ini siapa lagi dia?," teriak Gisel berulang-ulang dalam kepalanya.

BAB 2 : Ingatan dan Emosi yang Tidak Dikenal

Pria itu meminta semua orang yang ada di ruangan itu untuk keluar. Gisel tidak tahu siapa dia, tapi Clara dan Nabila sepertinya mengenalnya. Mereka bahkan menuruti perintah pria itu tanpa membantah sekalipun.

"Siapa kamu?," tanya Gisel dengan tatapannya yang galak, setelah pintu kamarnya sudah ditutup oleh orang yang terakhir keluar dari kamarnya itu.

Pria itu tidak menjawab pertanyaan Gisel. Dia hanya berjalan menghampiri Gisel yang sedang duduk di atas tempat tidurnya.

"Semua orang sudah keluar. Kamu masih tidak mengenal Om?," tanya pria.

Gisel menatap pria itu baik-baik. Dia khawatir apakah dia salah mengenali orang. Tapi, Gisel benar-benar tidak tahu siapa dia.

Pria itu menghela napasnya perlahan. "Om Bagas. Pengacara papa kamu. Ingat?," tanya pria itu.

"Pengacara papa? Setahuku pengacara papa cuma satu. Tapi, bukan dia," batin Gisel.

"Om akan jelaskan sedikit mengenai dirimu, mungkin ada sesuatu yang bisa kamu ingat."

Dari pria yang bernama Bagas ini, Gisel akhirnya mengetahui bahwa dia bernama Kanaya Bharatajaya, putri tunggal Farhan Bharatajaya dan Emma Pramudya.

Ayah Kanaya meninggal 3 bulan yang lalu, sedangkan ibunya sudah meninggal sejak dia berumur 10 tahun.

Clara adalah ibu tiri Kanaya. Ayah Kanaya menikahinya beberapa minggu setelah ibu Kanaya meninggal. Dan Nabila adalah anak Clara dari suami terdahulunya.

Om Bagas adalah teman dekatnya Farhan. Dia menjadi pengacara yang dipercayai Farhan. Karena itulah alasan dia berada di rumah sakit saat ini, untuk memastikan keadaan Kanaya.

"Om kemari hanya untuk menanyakan apakah kamu jatuh ke kolam renang karena kecelakaan, atau ada orang lain yang menyebabkan kamu begitu?," tanya Bagas yang menatap Gisel dengan serius.

Bagaimana Gisel akan menjawabnya? Dia hanya ingat dia mengalami kecelakaan mobil, bukan jatuh ke kolam renang. Dia ingat dengan jelas bagaimana mobilnya menabrak sebuah truk.

Bagas menghela napasnya perlahan. "Sepertinya kamu benar-benar amnesia."

"Om akan menyelidiki masalah ini. Jika kamu jatuh karena disengaja, maka om harus melakukan sesuatu pada mereka seperti yang sudah tertulis pada surat wasiat itu."

"Surat wasiat apa?," Gisel memberanikan dirinya untuk bertanya. Dia juga mendengar dari pembicaraan Clara dan Nabila yang menyebut hal itu.

"Papa kamu meninggalkan harta warisan hanya untukmu. Jatah mereka tetap ada hanya jika mereka bisa menjagamu dengan baik. Jika tidak ... semuanya akan hilang."

"Drama apa lagi ini?," teriak Gisel di dalam hatinya.

"Kamu turuti apa kata dokter, ya. Besok om akan kesini lagi sama Tika," kata Bagas saat dia berdiri dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi.

"Tika? Siapa Tika?," tanya Gisel. Hari ini dia serasa sedang menjalani masa ospek. Ada begitu banyak nama yang harus dia ketahui.

Sekali lagi, Bagas menghela napasnya perlahan. "Anak om. Dia teman kamu juga."

Setelah Bagas keluar dari kamarnya, Gisel kembali memikirkan semua yang dikatakan Bagas tadi. Isi di kepalanya menjadi berantakan tidak karuan.

"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"

Kepala Gisel terus berteriak menolak semua kenyataan yang sedang terjadi padanya. Semua yang dilihatnya saat ini terasa terlalu nyata untuk bisa dianggap sebagai mimpi. Gisel mencoba memahaminya dari berbagai sudut pandang, tapi tetap saja otaknya tidak mampu memberikan alasan logis mengenai apa yang sedang terjadi padanya.

Terlalu lama dia memaksakan otaknya untuk berpikir hingga dia bisa mendengar suara denging yang cukup melengking di telinganya. Bersamaan dengan itu, seluruh bagian kepalanya terasa seperti ditusuk oleh sebuah jarum besar. Gisel mencoba turun dari tempat tidurnya, dan berdiri di atas kedua kakinya. Tangannya memegangi meja yang ada di sebelahnya. Tapi, kakinya terlalu lemas untuk menopang tubuhnya. Gisel seketika terjatuh di samping tempat tidurnya.

Sebelum terjatuh, tangan Gisel masih sempat menarik meja yang dipeganginya. Sehingga saat dia terjatuh, meja yang tertarik olehnya menimbulkan suara yang cukup keras hingga keluar ruangan.

Sebelum Gisel menutup matanya, dengan samar-samar dia masih bisa melihat Bagas, Clara, dan juga Nabila masuk ke kamarnya. Tapi, rasa sakit di kepalanya terus memaksanya untuk menutup kedua matanya. Gisel akhirnya tidak memiliki kekuatan lagi untuk bisa tetap tersadar.

......................

Gisel sedang berada di samping seorang wanita yang sedang terbaring lemah. Tangan wanita itu menggenggam tangannya. Dilihatnya juga seorang pria yang menangis di samping wanita itu. Wanita itu memandanginya dengan tatapannya yang sendu.

"Maafkan mama ya ... Mama sepertinya ... tidak akan bisa melihatmu ... mengenakan gaun pengantin," kata wanita itu. Terlihat sekali dia sangat lemah bahkan untuk mengatakannya saja dia kesulitan.

"Jangan bicara seperti itu. Kamu harus sembuh demi aku dan Kanaya," tangis pria yang ada di sampingnya.

"Maafkan ... aku ... Mas."

Tiba-tiba, sesuatu seperti sedang menarik tubuh Gisel ke belakang dengan sangat cepat. Sepasang wanita dan pria yang tadi dilihatnya kini menghilang digantikan oleh bayangan hitam pekat. Tubuhnya seperti terbang melayang dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Lalu kemudian, dia merasakan dirinya dihempaskan ke bawah dengan keras. Gisel terjatuh dalam keadaan terduduk. Dia melihat sebuah nisan bertuliskan "Emma Pramudya" dengan bunga segar di atas gundukan tanahnya. Lagi-lagi, seorang pria sedang menangis di sampingnya.

Pria itu menarik lembut kepalanya dan menyandarkannya pada bahunya. Gisel seperti sedang tersihir, dia mengikuti saja apa yang diarahkan pria itu tanpa mengatakan apapun. Dalam keadaan bingung, Gisel bersandar pada bahu pria itu.

"Kita harus ikhlas, sayang. Kita harus ikhlas ...," tangis pria itu.

Sekali lagi, sesuatu yang tidak Gisel ketahui menarik tubuhnya dengan sangat keras dan cepat. Tubuhnya kembali terasa terbang melayang dengan kecepatan tinggi di antara kegelapan yang pekat dan tidak berbayang. Dan semenit kemudian, tubuhnya dihempaskan kembali ke bawah dengan kasar.

Gisel lagi-lagi terduduk. Kali ini dia duduk bersimpuh dengan sebuah kebaya cantik. Dilihatnya pria itu sedang duduk di depannya dengan seorang wanita di sampingnya. Gisel tidak dapat melihat siapa wanita disampingnya karena mereka sedang membelakanginya. Tapi seorang anak perempuan yang ada di sampingnya, Gisel dapat mengenalinya meski anak itu terlihat jauh lebih muda dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Anak itu mirip sekali dengan Nabila.

Saat wanita itu menoleh ke samping, Gisel dapat melihatnya dengan jelas. Wanita yang duduk di samping pria itu adalah Clara.

Kemudian, tubuh Gisel kembali ditarik dan dibuat melayang. Lalu kemudian dihempaskan ke bawah. Kali ini Gisel melihat Clara dan juga Nabila sedang berdiri memandanginya dengan tatapan hina. Tiba-tiba, kepala Gisel tertarik ke belakang karena Clara menarik rambutnya dengan keras. Anehnya, Gisel tidak merasakan sakit.

"Dengar, ya. Jangan coba-coba berani ngomong ke papa kamu. Atau aku akan bikin kamu lebih sengsara lagi," kata Clara yang lalu menghempaskan kepalanya dengan kasar.

Tepat di saat kepalanya terhempas, tubuh Gisel serasa ditarik lagi oleh sesuatu, lalu dibawa ke sebuah tempat dengan kolam renang yang ada di belakangnya. Nabila sedang berdiri di depannya.

"Kamu tahu kan? Kalau aku paling tidak suka kalau kamu dekat-dekat dengan Evan," kata Nabila sambil terus menerus mendorong keras bahunya. Mau tidak mau, Gisel terdorong ke belakang.

"Bisa nggak sih, kamu nggak usah sok cantik di depan Evan? Dia itu milikku!."

Gisel terus memperhatikan kolam renang yang ada di belakangnya, dia takut dia akan terjatuh ke dalamnya. Tapi, Nabila terus menerus mendorongnya ke belakang.

Tiba-tiba, kaki Gisel mengenai sesuatu. Sebuah selang terlihat sedang membelit kakinya. dia menghentakkan kakinya untuk melepaskan dirinya dari selang itu, tapi dia malah kehilangan keseimbangan. Gisel terjatuh ke samping, kepalanya terbentur pinggiran kolam. Sedetik kemudian, dia sudah berada di dalam air.

Mengetahui dirinya sedang berada di dalam air, Gisel secara refleks mencoba menahan napasnya. Tapi, dia merasakan air telah masuk melalui hidung dan mulutnya. Di saat dia akan kehilangan kesadarannya, tubuhnya kembali ditarik dengan sangat keras.

Gisel merasakan tubuhnya dihempaskan kembali ke bawah. Tapi, hempasan kali ini membuatnya terbangun dari tidurnya dan langsung terduduk di atas tempat tidurnya. Dia memandangi sekelilingnya. "Masih di rumah sakit," ucapnya lirih.

Gisel merasakan sesuatu yang hangat membasahi wajahnya. Matanya seketika tidak dapat melihat dengan jelas karena terlalu banyak air. Gisel akhirnya menyadari bahwa dia sedang menangis saat ini.

"Menangis? Aku menangis? Untuk apa aku menangis?," ucap Gisel lirih setelah dia mengusap wajahnya dari air matanya itu. Sepanjang yang dia ingat, sudah lama dia tidak menangis. Jadi mengapa dia menangis saat ini? Dia tidak sedang merasakan kesedihan, untuk apa dia menangis?

BAB 3 : Mencari Fakta tentang Gisel

"Ayyaaaaa ...."

Pintu kamar Gisel tiba-tiba dibuka oleh seorang gadis muda. Secara refleks Gisel segera menghapus air matanya. Sebelum Gisel sempat mengidentifikasi siapa gadis yang baru saja membuat jantungnya melompat keluar karena teriakannya yang terlalu dramatis itu, gadis itu sudah memeluknya dengan erat dan menangis.

"Ayyyaaaaaa .... kamu kenapa jadi beginniii? Kenapa bisa jatuh ke kolam renang? Waktu papa cerita kamu jatuh, aku langsung histeris. Aku kira kamu tenggelam," tangis gadis itu.

Gisel berusaha sekuat tenaganya untuk melepaskan diri dari pelukan gadis itu. Dia paling benci dipeluk oleh orang yang tidak dia kenali.

"Kamu ... siapa?," kata Gisel melepaskan kaitan tangan gadis itu yang sedang membelit lehernya.

Gisel berhasil membuat gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuhnya. Tapi sekarang gadis itu menatap dirinya dengan tatapan yang tidak dipahami Gisel. Air mata gadis itu masih penuh membasahi kedua matanya itu.

"Aaayyyaaaaa ...." Kembali gadis itu memeluk Gisel. Kali ini jauh lebih erat dari yang tadi. Usaha Gisel melepaskan dirinya dari gadis itu harus dimulai lagi dari nol.

"... kamu kok bisa lupa sama aku? Aku sahabatmu yang paling baik, cantik, dan juga menggemaskan. Bisa-bisanya kamu melupakan aku, Ayyyaaa ...."

"Tika, lepaskan Aya dulu. Dia jadi susah bernapas kalau seperti itu."

Bagas ternyata baru saja masuk dengan sebuah termos makanan di tangannya. Ternyata, gadis yang ada di depannya ini adalah Tika, anaknya Bagas, yang dia ceritakan kemarin malam.

"Tapi, pa ...," isak Tika. Gisel akhirnya bisa bernapas lega karena Tika akhirnya melepaskan pelukannya yang mematikan itu.

"Jangan terburu-buru, sayang. Aya butuh waktu untuk bisa pulih. Dokter bilang mungkin ini efek traumatis karena kepalanya terbentur," jelas Bagas dengan lembut. Jelas sekali terlihat perbedaan antara ayah dan anak ini. Yang satu terlihat tenang, sedangkan yang satu terlihat seperti ratunya drama. Gisel yakin dia tidak akan bisa tahan dengan yang ratu drama.

Tak lama kemudian, datang lagi seorang pria muda yang sepertinya baru saja berlari. "Aya ...," panggilnya dengan napas yang sudah terengah-engah.

"Kamu ... nggak apa-apa ... kan? Aku dengar ... kamu tenggelam," kata pria itu lagi.

"Kejadiannya kemarin. Dia sudah tidak apa-apa sekarang. Hanya saja ..." Bagas lalu menarik pria muda itu keluar dari kamar Gisel. Sepertinya dia akan menjelaskan banyak hal padanya.

"Adit hebat! Aku mengatakannya 30 menit yang lalu. Dan sekarang dia sudah ada disini," kata Tika memandangi papanya membawa pria muda yang dipanggilnya Adit itu.

Lalu, dengan gerakan tiba-tiba, Tika menolehkan kepalanya ke arah Gisel. Dipeganginya wajah Gisel dengan kedua telapak tangannya. Dengan tatapannya yang terlihat sangat serius itu, Tika berkata, "Dengar, Aya. Aku nggak peduli kalau kamu nggak ingat yang lain. Tapi aku? Aku nggak akan biarkan kamu melupakan aku. Karena aku Tika, sahabat terbaikmu. Aku sudah bersama denganmu bahkan sebelum kamu lahir. Jadi, bersiaplah, aku akan buat kamu ingat aku lagi."

Gisel tidak memahami semua perkataan Tika. Tapi, apapun itu bentuknya, dia merasa dia harus menjalani hari buruk setelah ini. Dengan keras, Gisel menelan ludahnya membayangkan dirinya terjebak bersama manusia yang ada di depannya saat ini.

"Jangan begitu, Tika," kata Adit sambil melepaskan tangan Tika dari wajah Gisel. "Aku juga ... orang terdekatnya. Dia pasti akan mengingat kita."

Dengan lembut, tangan Adit membelai rambut Gisel. "Pelan-pelan saja, ya. Yang terpenting sekarang kamu baik-baik saja. Aku hampir ketakutan saat dia bilang kamu tenggelam. Aku kira kamu ..."

"Hehe ... maaf," kata Tika dengan tampangnya yang tidak berdosa. "Aku dengernya dari papa juga begitu. Ternyata salah waktu."

"Sudah, sudah. Om akan pulang dulu. Kalian disini saja temani Aya. Nanti kalau kamu pulang, om titip Tika ya, Dit," kata Bagas menyela pembicaraan Adit dan juga Tika.

"Papa mau kemana?," tanya Tika.

"Papa mau mengecek rekaman CCTV rumah Aya. Mungkin bisa ada petunjuk. Setahu papa di dekat sana ada satu CCTV."

"Nanti begitu kamu sudah keluar dari rumah sakit, akan om tunjukkan ke kamu. Sekarang kamu fokus sama kesehatan kamu saja. Jangan pikirkan apapun," kata Bagas yang sekarang bicara dengan Gisel.

"Oh iya ... hampir lupa. Tadi Tante Maya minta om bawakan bubur untukmu. Nanti berikan ke Aya, ya Tika."

"Siap, Bapak Komandan," seru Tika dengan semangat 45 nya.

Seperginya Bagas, Gisel ditemani oleh dua orang yang terlihat sangat muda bagi Gisel. Entah berapa umur mereka. Gisel memperkirakan umur mereka sekitar belasan tahun.

"Jika dua orang ini adalah sahabat Kanaya, itu artinya ... aku adalah seorang anak remaja," pikir Gisel.

Gisel kembali memikirkan mimpi yang tadi dia lihat sebelum mereka datang. Dia tidak berani mengatakan jika itu adalah mimpi. Karena semuanya terlihat begitu nyata.

"Apakah mimpi bisa terlihat begitu jelas? Tapi mengapa aku bisa melihatnya? Jelas-jelas aku tidak pernah mengalami itu. Atau jangan-jangan ... itu ingatan Kanaya."

"Jika itu ingatan Kanaya, itu artinya ... kejadian di kolam renang itu ... benar. Anak ini jatuh ke dalam kolam renang."

Gisel masih berusaha menata kembali kepingan puzzle yang berantakan di dalam kepalanya.

"Oke ... sekarang aku tahu kalau sekarang aku sedang menjadi Kanaya. Tapi siapa Gisel? Mengapa aku terus mengingat aku adalah Gisel?"

"Tunggu ... apakah aku pindah ke dimensi lain seperti yang di film-film itu? Namaku Kanaya di dimensi ini."

Tiba-tiba, Gisel melihat Tika sedang memegangi ponselnya. Dia seperti mendapatkan sesuatu di kepalanya. "Pinjam HP mu," kata Gisel.

Tika terlihat tidak memahami maksud sahabatnya itu meminjam ponselnya miliknya. Tapi tetap saja gadis itu memberikan ponsel miliknya.

Segera Gisel membuka aplikasi pencari, lalu mengetikkan namanya disana. Dan dalam hitungan detik, semua pencarian mengenai namanya muncul di layar ponsel itu.

"Ada! Ternyata masih satu dimensi!," kata Gisel dalam hatinya yang terasa lega sekarang. Setidaknya masih ada orang yang bisa dikenali di dimensi ini, begitu pikirnya.

"Kamu cari apa?," tanya Tika yang heran dengan apa yang sedang dilakukan sahabatnya itu dengan ponsel miliknya.

"Gisella Mathilda Hadiwijaya? Oh, pengusaha yang baru kecelakaan itu?," seru Tika.

"Kecelakaan?," tanya Gisel.

"Iya. Semua berita ngomongin dia terus. Aku sampai bosan. Sebegitunya sampai diberitain terus menerus," kata Tika kesal.

"Tentu saja akan jadi perhatian. Skylar Corp adalah satu-satunya perusahaan nasional yang berhasil menandatangani kontrak kerjasama pembangunan kota baru di sebuah pulau milik Inggris. Gisella adalah CEO nya, dan kecelakaan ini dikhawatirkan akan menghambat pembangunannya."

Gisel merasa senang sekali hingga menganggukkan kepalanya berulang-ulang, tidak disangka ada yang mengenali dirinya.

"Darimana kamu tahu?," tanya Tika.

Adit mendadak menjadi malu. "Yang mendesain kota B-2 adalah ayahku."

"B-2? Kamu ... anaknya Pak Rendi??," kata Gisel yang hampir terdengar seperti teriakan.

"Kamu ingat ayahku? Kamu pernah bertemu dengannya."

Gisel tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dia hanya ingat Rendi sebagai kepala divisi untuk pembangunan area B-2. Bagaimana dia bisa menjelaskannya? Jadi Gisel memilih untuk diam saja.

"Oke, oke. Pelan-pelan. Mungkin kamu masih kaget. Jangan dipaksa," kata Adit berusaha menenangkan Gisel yang terlihat olehnya agak gugup.

Gisel kembali mencari berita kecelakaan dirinya. Dia berharap bisa menemukan tempat dirinya dirawat. Tapi, tidak ada satupun media yang menulis nama rumah sakitnya.

"Apa ayahmu ada menyebutkan tempat Gisella dirawat?," tanya Gisel. Menurut Gisel, Rendi seharusnya tahu dimana dirinya dirawat, karena dia adalah salah satu kepala divisi.

"Papa pasti sudah memanggilnya untuk membahas masalah kelanjutan pembangunan," pikir Gisel.

"Di rumah sakit ini. Tadi aku kesini berangkat sama ayahku," jawab Adit.

"Di rumah sakit ini?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!