Danudara

Danudara

Bab 1. Desa Bawangi

Langkah kaki seorang gadis yang nampak mengenakan sendal jepit bermotif bunga-bunga mawar bergantian menyentuh permukaan rerumputan dengan langkah kakinya yang begitu pelan. Keranjang berisi pakaian yang telah ia cuci di sungai kini sedang berada di pinggangnya.

Senyumnya mengembang menyapa setiap orang yang berlalu melewatinya, tak satupun orang lolos dari sapaannya pagi ini. Dia memang terkenal ramah.

Rambut yang terlihat dicacing persis seperti anak kecil yang baru berusia 5 tahun. Kulit putih, paras yang cantik dan bahkan ia dijuluki sebagai gadis kembang desa, di desa Bawangi.

Desa Bawangi yang dikelilingi dengan hamparan perkebunan daun teh cukup jauh dari pusat kota. Butuh waktu berhari-hari untuk bisa sampai ke pusat kota.

"Selamat pagi, neng geulis!" sapa seorang pria yang sedang mengayuh sepedanya dibalas senyuman dan anggukan oleh gadis berparas cantik itu.

Namanya Lilis, gadis desa ini biasa dipanggil dengan sebutan Lis, si geulis, Is dan masih banyak lagi panggilan nama yang diberikan oleh warga di desa ini. Dia baru berusia 22 tahun. Setelah tamat SMA ia tidak lagi melanjutkan pendidikannya karena masalah biaya dan juga ia memilih untuk mengurus Ibunya yang terbaring sakit.

Ayah dari Lilis telah lama meninggal dunia. Saat itu Lilis masih kelas 1 SMP dan disaat itu pula Ibunya yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga membiayai Lilis yang merupakan anak satu-satunya.

Suara kicauan-kicauan burung menunjukkan betapa indah dan damainya desa ini walaupun saat ini telah menunjukkan pukul sepuluh siang, tetapi suhu di desanya masih tetap dingin karena di desa Bawanginya ini dihampit oleh indahnya gunung dan juga bebukitan. Saat malam hari Hawa dingin akan semakin bertambah.

Lilis meletakkan keranjang berisi cuciannya itu ke atas sebuah bangku kecil agar keranjang yang berisi cucian itu tidak langsung menyentuh tanah. Sesampainya Lilis tidak langsung beristirahat melainkan ia harus cepat-cepat menjemur semua cuciannya itu karena masih banyak pekerjaan yang menanti dirinya.

"Lilis!"

"Oh, Lilis!"

Suara teriakan seorang wanita sedikit merintih terdengar membuat Lilis yang sedang menjemur beberapa cucian itu menoleh menatap ke arah rumah yang terbuat dari kayu. Itu suara Ibunya, Maria yang telah dua tahun ini terbaring sakit. Kata dokter yang ada di Puskesmas terdekat jika Ibunya menderita stroke.

"Lilis! Hau-hau-us, Lilis!!!" teriaknya lagi.

"Tunggu, Bu! Tunggu!" ujarnya cepat.

Lilis kemudian berlari sembari mengusap jemari tangannya yang sedikit basah. Ia menaiki anakan tangga lalu menghampiri Ibunya yang berada di sebuah kasur tua. Lilis duduk di pinggiran kasur lalu menatap air yang berada di papan yang tanpa sengaja telah Lilis injak sehingga membasahi kakinya serta gelas yang tergeletak di sana.

"Kenapa Bu?"

"Haus."

"Haus? Ibu mau minum? Tunggu dulu, ya! Lilis ambilkan air," ujarnya lalu ia bangkit dan melangkah ke dapur.

Seperti ini yang Lilis lakukan setiap hari. Mengurus Ibunya seorang diri seperti memandikannya, menyuapinya makanan dan mengurus semua keperluannya. Harus bagaimana lagi, Ibunya itu sudah lumpuh. Kedua kakinya tidak bisa lagi digerakkan dan sebelah tangannya juga tidak bisa bergerak sehingga apa-apa selalu Lilis yang melakukannya.

Gadis cantik, rajin, baik dan ramah, pria mana yang tidak tergila-gila dengan Lilis? Bahkan sudah banyak pria yang datang melamar namun, Lilis tak pernah menerimanya. Alasannya hanya satu, dia ingin mengurus Ibunya. Lilis takut jika setelah menikah nanti suaminya itu melarang untuk tinggal di rumah lalu jika ia tidak tinggal di rumah maka siapa yang akan merawat Ibunya sementara Lilis adalah anak satu-satunya di rumah ini.

Begitu banyak alasan dan pembelaan yang dilontarkan dari beberapa pria yang sempat melamar setelah mendengar alasan dari Lilis yang menolak lamaran mereka tapi tetap saja Lilis tetap pada pendiriannya. Lilis tidak ingin menikah dan hanya ingin merawat Ibunya saja.

Setelah menjemur cucian di depan rumah, memberikan makan dan minum untuk Ibunya serta memandikan ibunya kini Lilis pun beranjak dari rumah menuju di bawah kolom. Ia meraih sabit serta karung untuk mencari rumput yang tumbuh liar di kebun milik tetangga.

Tetangganya pun tidak masalah jika Lilis mengambil rumput di kebunnya melainkan mereka juga merasa terbantu karena berkat Lilis ia tidak perlu repot-repot lagi untuk memotong rumput di kebunnya itu. Bukan hanya ibunya saja yang Lilis harus urus melainkan beberapa ekor kambing yang sejak tadi berteriak meminta untuk diberikan rumput.

Kambing-kambing ini adalah peninggalan Bapaknya yang dulunya hanya ada dua ekor dan kini bertambah banyak setelah beranak-pinak.

"Nih, pelan-pelan makannya! Jangan cepet-cepet!" ujarnya.

Kebiasaan anehnya itu adalah berbicara dengan binatang. Entah mengapa semua jenis binatang ia menyukainya dan bahkan ia sering mengajaknya bicara.

"Iya pelan-pelan makanya kalau cepat-cepat nanti keselek," sahut seseorang yang langsung berdiri di samping Lilis membuat Lilis menoleh lalu tersenyum kecil.

"Loh, kang Arul? Sejak kapan ada di sini?"

"Sejak neng Lilis bicara sama kambing."

Lilis tertawa kecil akhirnya sahabat dari kecilnya ini kembali mendengarnya berbicara dengan kambing-kambing miliknya.

"Hust! Jangan kasih tau siapa-siapa, ya!"

"Enak aja. Saya bakalan kasih tau warga-warga desa kalau neng Lilis ngomong sama kambing."

"Idih, biasanya selalu nurut kalau Lilis bilang jangan kasih tau. Kang Arul selalu bilangnya iya kang Arul nggak bakalan kasih tau siapa-siapa."

"Ini, kok tumben mau kasih tau warga desa, sih?" sambungnya.

"Yah, lagian yang neng Lilis, sih ndak pernah buatin kue gula merah lagi."

Mendengar hal itu Lilis kembali tertawa.

"Oh, jadi maksudnya kang Arul ini mau dibuatkan kue gula merah?" tebaknya.

"Endak! Saya ndak bilang gitu, loh ya!"

"Walah, bilang aja kalau mau! Nanti Lilis bikinin kue gula merah," ujarnya lalu melangkah membuat Arul tersenyum lebar.

"Yang benar?" tanyanya sambil mengikuti langkah Lilis.

"Yang benar, nanti Lilis bawakan ke rumah."

Langkah Arul terhenti. Ia mendongak menatap Lilis yang melangkahkan kakinya menaiki rumah. Sebenarnya Arul telah lama mencintai gadis itu, tetapi bagi Lilis ia hanyalah Sahabat biasa. Sahabat masa kecil yang bertahan sampai sekarang.

Kini usia Arul, si pria berkulit sawo matang, tubuh tinggi dan sedikit berisi itu telah berusia 25 tahun. Alasan ia tidak menikah adalah menanti Lilis untuk membuka hati. Jika Lilis telah membuka hati untuk seorang pria maka disaat itu juga Arul akan menawarkan diri untuk menjadi calon suami yang baik untuk Lilis.

Bermodalkan kata sahabat atau bahkan teman dekat dengan cara itu Arul bisa mendekati Lilis dan andai saja Lilis tau bagaimana perasaan Arul kepadanya mungkin Lilis akan menjauhinya sehingga itu pula sampai sekarang ia tidak ingin Lilis mengetahui bagaimana perasaannya selama ini kalau sebenarnya ia benar-benar sangat mencintai gadis yang paling cantik di desa ini.

Terpopuler

Comments

Crystal

Crystal

Entah kenapa Gw suka suka sekali dengan cerita gadis desa apalagi keindahan alamnya😊

2023-08-05

2

Devi Handayani

Devi Handayani

sebenar klo dah cinta ama lilis mah.... nyatain aja cintamu klo emg jodoh pasti nikah😌😌😌

2023-05-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!