Bab 5. Tawaran Kembali

...<•••>...

Suasana desa selalunya seperti ini, suara anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran di halaman rumahnya selalu menyinari hari-hari Lilis dan selalu saja membuat Langkah Lilis tersenyum namun, kali ini senyum itu seakan jauh dari bibir Lilis. Ia hanya tetap terdiam dengan pandangannya yang terus menatap anak-anak yang sedang bermain di bawah sana.

Setelah kepergian Ibunya, kehidupannya seakan begitu sangat hampa. Tak ada lagi sosok wanita yang selalu ia rawat. Suara teriakan kambing meminta untuk diberikan rumput juga ikut memenuhi suasana rumahnya.

Tak pernah pun Lilis berniat untuk mengambil rumput-rumput untuk kambing-kambingnya itu. Rasanya kehidupan Lilis hampa setelah kepergian Ibunya walaupun ada paman Somar yang merupakan saudara dari Bapaknya tapi tetap saja ia tidak terlalu akrab dengan paman Somar.

Kepergian paman Somar ke kota Jakarta untuk merantau dan mencari pekerjaan di kota membuatnya tidak terlalu akrab dengan saudara dari Bapaknya itu.

Paman Somar yang sedang tersenyum bahagia di dalam kamarnya itu kini melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Baru saja ia hendak turun menuruni anakan tangga untuk berencana jalan-jalan mengelilingi desa sebelum ia berangkat ke kota nantinya membuat langkahnya tertahan setelah ia melihat sosok Lilis yang sedang menyandarkan kepalanya di bagian jendela dengan pandangannya terlihat kosong sambil menatap ke luar rumah.

"Cantik sekali," kagumnya saat ia bisa melihat wajah Lilis yang terlihat mendatar.

Di sana wajahnya terlihat tanpa ekspresi saja sudah sangat cantik lalu bagaimana jika ia tersenyum? Tentu saja sangat cantik dan juga orang kaya itu tidak akan kecewa dengan apa yang akan ia bawa nanti.

"Lilis!"

Suara panggilan terdengar dan sontak Lilis terperonjak kaget menatap paman Somar yang berdiri di bibir pintu.

"Ada apa?"

Lilis menggelengkan kepala.

Ia menarik kedua kakinya lalu memeluknya saat paman Somar duduk mendekatinya.

"Ada apa Lilis?"

Lilis kembali menggelengkan kepala berusaha memberikan senyum dan memberitahu paman Somar jika ia sedang baik-baik saja.

"Paman tau kamu sangat sedih setelah meninggalnya Ibu kamu itu, tapi tenang saja ada paman Somar di sini yang selalu ada untuk kamu."

Tak ada jawaban dari Lilis.

"Jadi bagaimana Lilis? Sekarang, kan Ibu kamu sudah meninggal dunia itu berarti kamu hanya tinggal sendiri di rumah ini lalu bagaimana dengan tawaran paman?"

"Tawaran apa Paman?"

"Tawaran Paman yang ingin mengajak kamu kota untuk mencari pekerjaan."

Seketika Lilis terdiam. Entah mengapa ia merasa curiga dengan paman Somar atas meninggalnya Maria, Ibunya itu tapi apakah mungkin alasan meninggalnya Maria ada hubungannya dengan paman Somar.

Lilis menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin, tidak mungkin paman Somar mau melakukan hal itu kepada Ibunya. Apalagi Lilis tau kalau paman Somar adalah saudara kandung dari Bapaknya jadi tidak mungkin jika paman Somar memiliki niat jahat.

"Paman Somar mau mengajak kamu ke kota. Kamu mau, kan?"

Lilis kini diam, tak tau harus mengatakan apa.

"Banyak pekerjaan yang ada di kota."

"Lalu bagaimana dengan kambing-kambing Lilis?"

"Titip saja kepada sahabat kamu itu."

"Siapa?"

"Pria yang tadi pagi itu."

"Kang Arul?" tebaknya membuat paman Somar mengangguk.

"Saya lihat pria itu juga sangat baik."

"Dia sahabat Lilis."

"Ya itu berarti semuanya sudah jelas, kan kalau kamu ikut ke kota dan kambing-kambing serta hewan-hewan lainnya akan diurus oleh si Arul. Bagaimana kamu mau, kan?"

Lilis tak menjawab. Ia masih terdiam lalu tertunduk namun, tak membuat senyum paman Somar hilang begitu saja. Ia bangkit lalu melangkahkan kakinya menuju keluar dari kamar. Akhirnya kebahagiaan di depan mata.

"Paman!"

Suara Lilis terdengar membuat langkah Paman Somar terhenti. Dengan pelan ia menoleh menatap ke arah sosok Lilis yang sedang tertunduk di sana.

Lilis yang masih tertunduk itu memainkan jemari tangannya lalu dengan perlahan menoleh ke arah paman Somar.

"Berapa jam perjalanan ke kota?"

Mendengar pertanyaan itu membuat kedua mata paman Somar berbinar.

"Ah, tidak lama hanya beberapa hari. Lagi pula semuanya biar paman yang atur dari biaya perjalanan dan uang makan. Kamu hanya perlu berberes-beres untuk menyiapkan perlengkapan apa yang akan kamu bawa ke kota."

"Kapan keberangkatan itu paman?"

"Besok."

"Be-be-sok?"

"Yah, kenapa?"

"Tapi Ibu, kan baru meninggal paman. Kenapa kita harus berangkat besok? Apakah tidak bisa ditunda perjalanannya satu minggu yang akan datang?"

"Lagi pula suasananya, kan masih dalam berduka. Apa yang akan dikatakan oleh tetangga-tetangga jika mengetahui Lilis pergi ke kota setelah Ibu baru saja meninggal?"

Mendengar hal itu paman Somar tersenyum lalu melangkah mendekati Lilis.

"Tidak usah memikirkan omongan-omongan warga desa! Kalau didengarkan mereka hanya akan menghalangi kesuksesan kamu saja. Nikmati kehidupan ini dan lakukan apa yang kamu inginkan!"

"Jangan mendengar omongan mereka! Tutup telinga rapat-rapat agar kamu tidak mendengar suara-suara mereka yang mengganggu pikirkan!"

"Pikirkan saja masa depan! Terkadang orang berusaha untuk menghancurkan orang lain karena tidak ingin melihat orang itu menjadi sukses. Pikirkan baik-baik dan sekarang kamu bisa mengemas barang-barang!"

"Besok pagi kita berangkat," jelasnya lalu melangkah keluar dari kamar Lilis.

Lilis sejujurnya ingin bicara lagi, tetapi paman Somar telah lenyap dari pandangannya. Wajah Lilis kembali sedih. Ia kembali merapatkan kepalanya itu di permukaan jendela dengan pandangannya yang kembali menatap ke arah anak-anak yang sedang bermain di bawah sana.

Dulu saat dia masih kecil kedua orang tuanya masih ada. Mereka masih lengkap. Lilis tugasnya hanya bermain lalu Ibu akan selalu mencari dan hal itu membuat Lilis sangat merindukan kenangan-kenangan indah bersama dengan keluarga yang lengkap, tetapi takdir berkata lain. Tuhan meraih satu persatu orang yang ia sayang dan kini menyisahkannya seorang diri.

"Lilis! Lilis!"

Suara teriakan pria terdengar di bawah sana membuat Lilis menatap sosok kang Arul yang terlihat sedang mendongak menatapnya.

"Kenapa, kang?"

"Saya dengar kambing-kambing kamu berteriak. Kamu belum kasih dia rumput?"

Kedua mata Lilis membulat. Ia lupa dengan kambing-kambingnya itu.

"Astaga, Lilis lupa. Tunggu biar Lilis carikan rumput untuk kambing-kambingnya!"

"Tidak usah dicari! Kang Arul punya rumput persediaan sapi tapi ambil saja."

"Yang benar, kang?"

"Iya, ayo kita sama-sama memberikan rumput untuk kambing!"

"Oh iya, tunggu dulu, ya! Lilis turun dulu."

"Iya, kepalaku juga sudah sakit mendongak seperti ini," candanya membuat Lilis tertawa kecil lalu berlari keluar kamar melewati paman Somar yang sedang asyik merokok di ruang tamu.

"Mau ke mana Lilis?" tanya paman Somar membuat langkah kecil Lilis terhenti.

"Mau kasih makan kambing," jawabnya membuat paman Somar menganggukkan kepala.

Lilis melangkah turun menuruni anakan tangga menghampiri kang Arul yang telah lebih dulu melangkah menuju kandang kambing.

"Lihat, ini rumputnya!"

"Wah, banyak juga, ya rumputnya."

"Iya, ini untuk kambing-kambing kamu. Takut mereka semua kelaparan."

"Mungkin mereka sudah kelaparan," jawab Lilis yang kemudian memberikan rumput-rumput disambut kambing-kambingnya yang makan dengan lahap.

"Lihat! Sepertinya kambing itu sedang hamil!" Tunjuknya.

"Yang mana?"

"Itu!" Tunjuknya ke arah kambing betina dengan perutnya terlihat buncit.

"Oh iya, ya."

"Wah, tidak lama lagi keluarga kambing-kambingnya akan bertambah," ujar kang Arul membuat Lilis tersenyum.

Rasanya ia sangat bahagia bisa mempunyai sahabat seperti kang Arul yang selalu ada di saat ia membutuhkannya. Sudah banyak hal-hal yang dibuat oleh pria itu dan sampai kapanpun Lilis tidak akan pernah melupakan sosok kang Arul walaupun ia nantinya akan pergi ke kota.

...<•••>...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!