Suara gesekan pada wajan terdengar membuat paman Somar yang sedang berada di dalam kamar terdiam sejenak lalu melangkah keluar dari kamar. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan lalu mengintip menatap Lilis, keponakannya yang terlihat sedang sibuk di dapur.
"Lagi ngapain Lilis?"
Kalimat pertanyaan itu lantas membuat Lilis tersentak kaget. Ia menoleh lalu tersenyum menatap Pamannya yang menghampiri Lilis.
"Lagi buat kue gula merah Paman."
"Kue gula merah?"
"Iya, Lilis suka makan kue gula merah."
Paman Somar mengangguk lalu menatap hasil gorengan yang berada pada mangkuk tau jauh dari penggorengan.
"Banyak juga bikinnya."
"Iya, untuk kang Arul."
"Arul? Siapa itu?"
"Kang Arul itu sahabatnya Lilis."
"Sahabat?"
"Iya, Paman."
"Laki-laki?"
"Iya, masa perempuan. Orang namanya aja laki-laki," ujar Lilis lalu akhirnya ia melangkahkan kakinya pergi dengan sepiring kue gula merah yang ada di tangannya. Lilis melangkah turun dan menuruni anakan tangga lalu berjalan membuat Paman Somar mengikut di belakang.
Paman Somar berdiri di pintu menatap ke arah Lilis yang rupanya rumah pria yang merupakan sahabat dari keponakan itu tidak jauh dari rumahnya yang berada tepat di samping rumah saudaranya yang telah lama meninggal itu.
"Kang Arul! Assalamualaikum," ujarnya hingga sosok pria melangkah keluar dari rumah.
"Oh, rupanya itu pria yang bernama Arul. Saya lihat-lihat dia sepertinya menyimpan rasa kepada Lilis. Ini tidak bisa dibiarkan," batinnya sambil mengelus-ngelus rambut-rambut halus pada dagunya.
Ia tersenyum sinis lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
...<•••>...
Lilis meletakkan sepiring sayur tumisan kangkung ke atas meja membuat kedua mata paman Somar jadi berbinar.
"Wah, sudah mencium baunya saja sudah keroncongan. Pasti rasanya sangat enak."
Mendengar hal itu membuat Lilis tertawa.
"Dicoba dulu Paman baru bilang enak!"
"Ah, kalau Lilis yang masak pasti enak," ujarnya.
Kini semenit berlalu, semuanya sibuk makan malam dan yang terdengar hanyalah suara kunyahan dan dentingan sendok serta gelas.
"Oh iya rencananya Paman mau berangkat ke kota dua hari lagi. Sekali lagi Paman mau tanya baik-baik. Apakah kamu memang tidak ingin pergi ke kota?"
Lilis meneguk segelas air lalu meletakkannya di atas papan dan menjawab, "Tidak Paman. Lilis sudah pikir matang-matang. Lilis ingin tinggal saja di desa dan mengurus Ibu."
"Ah, cobalah pikir-pikir lagi! Di kota, kan kamu bisa bekerja terus bisa dapat uang lalu uangnya bisa kamu tabung dan membawa Maria ke rumah sakit."
"Dia kota pasti pelayanannya juga sangat canggih. Maria pasti akan cepat sembuh."
"Tapi kalau Lilis pergi siapa yang akan merawat Ibu?"
"Ya suruh saja tetangga yang mengurusnya. Kamu mau, kan?"
Lilis terdiam menatap Ibunya sejenak lalu kembali menoleh menatap Paman Somar yang masih menatapnya dengan pandangan yang begitu serius serta penuh harap.
"Sepertinya tidak bisa. Lilis mau di sini saja sama Ibu," tolaknya lagi.
Mendengar hal itu membuat paman Somar menghembuskan nafas panjang, sepertinya sangat sulit untuk bisa membujuk Lilis agar mau ke kota bersamanya.
Sedetik kemudian sorot mata paman Somar menjadi tajam. Semua halangannya hanya satu yaitu istri dari saudaranya itu dan sepertinya penghalang ini harus dihilangkan agar tidak mengganggu.
...<•••>...
Suara bunyi jangkrik terdengar menghiasi malam serta suara anjing yang terdengar bersahutan menghiasi keheningan malam. Bintang-bintang di desa ini terlihat begitu banyak menghiasi langit menemani sang bulan yang begitu terang di atas sana.
Lilis tertidur di atas kasur dengan begitu sangat lelap. Hari ini begitu banyak pekerjaan yang telah ia lakukan.
Langkah kaki berhasil membuat papan yang ia injak itu terdengar berdenyit sedikit. Langkah kakinya dibuat sangat pelan berusaha untuk tidak menghasilkan suara bahkan sedikit saja pun. Ya, dia adalah paman Somar, saudara dari bapak Lilis.
Ia berjalan mengendap-ngendap lalu ia mendekati sosok Maria yang nampak terbaring di sana. Dengan pelan dan penuh dengan hati-hati ia mengeluarkan botol berwarna hitam lalu menuangkan air berwarna hitam pekat itu ke dalam gelas berisi air yang selalu digunakan Maria untuk minum.
Paman Somar tersenyum begitu sangat jahat. Sudut bibirnya terangkat hingga sosok sifat aslinya terlihat.
"Maria, Maria. Saya tidak akan pernah membiarkan sosok penghalang hidup di dunia ini."
"Jika kamu menjadi penghalang itu berarti kamu harus dilenyapkan. Maafkan adik iparmu ini tapi semuanya harus saya lenyapkan karena saya butuh uang sekarang."
Paman Somar tertawa kecil dan begitu sangat licik lalu setelahnya ia dengan cepat bangkit lalu melangkahkan kakinya menuju masuk ke dalam kamar.
Paman Somar yang baru saja hendak membaringkan kepalanya di kasur tertahan saat ia mendengar suara panggilan dari luar membuat paman Somar melirikkan matanya dengan pelan.
"Lilis! Lilis! Lilis!" teriaknya.
Tak ada jawaban.
"Haus, Lilis! Ibu mau minum!" mintanya.
"Iya, Bu."
Suara sahutan terdengar hingga akhirnya Lilis bangun juga dari tidurnya. Lilis melangkah menuju Maria dan duduk di sampingnya dengan wajahnya yang terlihat masih mengantuk.
"Ada apa, Bu?"
"Haus," ujarnya.
Mendengar hal itu membuat paman Somar berlari kecil mendekati bibir pintu lalu mengintip secara diam-diam ke arah Maria dan Lilis. Rasanya ia sangat begitu bahagia. Apalagi disaat ia melihat sosok Lilis yang telah meminumkan segelas air ke Maria.
"Masih mau, Bu?" tanyanya membuat Maria menggelengkan kepala.
"Ya sudah kalau begitu, Lilis lanjut tidur lagi, ya Bu."
Maria mengangguk membuat Lilis bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.
"Rencana berhasil," bisik paman Somar begitu sangat bahagia.
Ia membaringkan tubuhnya ke atas kasur dengan senyum yang mengembang menghiasi wajahnya. Sekarang hanya satu yang ia tunggu yaitu, kematian kakak iparnya itu dan setelah kematian kakak iparnya maka ia akan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari pria kayak itu.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments