Langkah kaki seorang gadis yang nampak mengenakan sendal jepit bermotif bunga-bunga mawar bergantian menyentuh permukaan rerumputan dengan langkah kakinya yang begitu pelan. Keranjang berisi pakaian yang telah ia cuci di sungai kini sedang berada di pinggangnya.
Senyumnya mengembang menyapa setiap orang yang berlalu melewatinya, tak satupun orang lolos dari sapaannya pagi ini. Dia memang terkenal ramah.
Rambut yang terlihat dicacing persis seperti anak kecil yang baru berusia 5 tahun. Kulit putih, paras yang cantik dan bahkan ia dijuluki sebagai gadis kembang desa, di desa Bawangi.
Desa Bawangi yang dikelilingi dengan hamparan perkebunan daun teh cukup jauh dari pusat kota. Butuh waktu berhari-hari untuk bisa sampai ke pusat kota.
"Selamat pagi, neng geulis!" sapa seorang pria yang sedang mengayuh sepedanya dibalas senyuman dan anggukan oleh gadis berparas cantik itu.
Namanya Lilis, gadis desa ini biasa dipanggil dengan sebutan Lis, si geulis, Is dan masih banyak lagi panggilan nama yang diberikan oleh warga di desa ini. Dia baru berusia 22 tahun. Setelah tamat SMA ia tidak lagi melanjutkan pendidikannya karena masalah biaya dan juga ia memilih untuk mengurus Ibunya yang terbaring sakit.
Ayah dari Lilis telah lama meninggal dunia. Saat itu Lilis masih kelas 1 SMP dan disaat itu pula Ibunya yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga membiayai Lilis yang merupakan anak satu-satunya.
Suara kicauan-kicauan burung menunjukkan betapa indah dan damainya desa ini walaupun saat ini telah menunjukkan pukul sepuluh siang, tetapi suhu di desanya masih tetap dingin karena di desa Bawanginya ini dihampit oleh indahnya gunung dan juga bebukitan. Saat malam hari Hawa dingin akan semakin bertambah.
Lilis meletakkan keranjang berisi cuciannya itu ke atas sebuah bangku kecil agar keranjang yang berisi cucian itu tidak langsung menyentuh tanah. Sesampainya Lilis tidak langsung beristirahat melainkan ia harus cepat-cepat menjemur semua cuciannya itu karena masih banyak pekerjaan yang menanti dirinya.
"Lilis!"
"Oh, Lilis!"
Suara teriakan seorang wanita sedikit merintih terdengar membuat Lilis yang sedang menjemur beberapa cucian itu menoleh menatap ke arah rumah yang terbuat dari kayu. Itu suara Ibunya, Maria yang telah dua tahun ini terbaring sakit. Kata dokter yang ada di Puskesmas terdekat jika Ibunya menderita stroke.
"Lilis! Hau-hau-us, Lilis!!!" teriaknya lagi.
"Tunggu, Bu! Tunggu!" ujarnya cepat.
Lilis kemudian berlari sembari mengusap jemari tangannya yang sedikit basah. Ia menaiki anakan tangga lalu menghampiri Ibunya yang berada di sebuah kasur tua. Lilis duduk di pinggiran kasur lalu menatap air yang berada di papan yang tanpa sengaja telah Lilis injak sehingga membasahi kakinya serta gelas yang tergeletak di sana.
"Kenapa Bu?"
"Haus."
"Haus? Ibu mau minum? Tunggu dulu, ya! Lilis ambilkan air," ujarnya lalu ia bangkit dan melangkah ke dapur.
Seperti ini yang Lilis lakukan setiap hari. Mengurus Ibunya seorang diri seperti memandikannya, menyuapinya makanan dan mengurus semua keperluannya. Harus bagaimana lagi, Ibunya itu sudah lumpuh. Kedua kakinya tidak bisa lagi digerakkan dan sebelah tangannya juga tidak bisa bergerak sehingga apa-apa selalu Lilis yang melakukannya.
Gadis cantik, rajin, baik dan ramah, pria mana yang tidak tergila-gila dengan Lilis? Bahkan sudah banyak pria yang datang melamar namun, Lilis tak pernah menerimanya. Alasannya hanya satu, dia ingin mengurus Ibunya. Lilis takut jika setelah menikah nanti suaminya itu melarang untuk tinggal di rumah lalu jika ia tidak tinggal di rumah maka siapa yang akan merawat Ibunya sementara Lilis adalah anak satu-satunya di rumah ini.
Begitu banyak alasan dan pembelaan yang dilontarkan dari beberapa pria yang sempat melamar setelah mendengar alasan dari Lilis yang menolak lamaran mereka tapi tetap saja Lilis tetap pada pendiriannya. Lilis tidak ingin menikah dan hanya ingin merawat Ibunya saja.
Setelah menjemur cucian di depan rumah, memberikan makan dan minum untuk Ibunya serta memandikan ibunya kini Lilis pun beranjak dari rumah menuju di bawah kolom. Ia meraih sabit serta karung untuk mencari rumput yang tumbuh liar di kebun milik tetangga.
Tetangganya pun tidak masalah jika Lilis mengambil rumput di kebunnya melainkan mereka juga merasa terbantu karena berkat Lilis ia tidak perlu repot-repot lagi untuk memotong rumput di kebunnya itu. Bukan hanya ibunya saja yang Lilis harus urus melainkan beberapa ekor kambing yang sejak tadi berteriak meminta untuk diberikan rumput.
Kambing-kambing ini adalah peninggalan Bapaknya yang dulunya hanya ada dua ekor dan kini bertambah banyak setelah beranak-pinak.
"Nih, pelan-pelan makannya! Jangan cepet-cepet!" ujarnya.
Kebiasaan anehnya itu adalah berbicara dengan binatang. Entah mengapa semua jenis binatang ia menyukainya dan bahkan ia sering mengajaknya bicara.
"Iya pelan-pelan makanya kalau cepat-cepat nanti keselek," sahut seseorang yang langsung berdiri di samping Lilis membuat Lilis menoleh lalu tersenyum kecil.
"Loh, kang Arul? Sejak kapan ada di sini?"
"Sejak neng Lilis bicara sama kambing."
Lilis tertawa kecil akhirnya sahabat dari kecilnya ini kembali mendengarnya berbicara dengan kambing-kambing miliknya.
"Hust! Jangan kasih tau siapa-siapa, ya!"
"Enak aja. Saya bakalan kasih tau warga-warga desa kalau neng Lilis ngomong sama kambing."
"Idih, biasanya selalu nurut kalau Lilis bilang jangan kasih tau. Kang Arul selalu bilangnya iya kang Arul nggak bakalan kasih tau siapa-siapa."
"Ini, kok tumben mau kasih tau warga desa, sih?" sambungnya.
"Yah, lagian yang neng Lilis, sih ndak pernah buatin kue gula merah lagi."
Mendengar hal itu Lilis kembali tertawa.
"Oh, jadi maksudnya kang Arul ini mau dibuatkan kue gula merah?" tebaknya.
"Endak! Saya ndak bilang gitu, loh ya!"
"Walah, bilang aja kalau mau! Nanti Lilis bikinin kue gula merah," ujarnya lalu melangkah membuat Arul tersenyum lebar.
"Yang benar?" tanyanya sambil mengikuti langkah Lilis.
"Yang benar, nanti Lilis bawakan ke rumah."
Langkah Arul terhenti. Ia mendongak menatap Lilis yang melangkahkan kakinya menaiki rumah. Sebenarnya Arul telah lama mencintai gadis itu, tetapi bagi Lilis ia hanyalah Sahabat biasa. Sahabat masa kecil yang bertahan sampai sekarang.
Kini usia Arul, si pria berkulit sawo matang, tubuh tinggi dan sedikit berisi itu telah berusia 25 tahun. Alasan ia tidak menikah adalah menanti Lilis untuk membuka hati. Jika Lilis telah membuka hati untuk seorang pria maka disaat itu juga Arul akan menawarkan diri untuk menjadi calon suami yang baik untuk Lilis.
Bermodalkan kata sahabat atau bahkan teman dekat dengan cara itu Arul bisa mendekati Lilis dan andai saja Lilis tau bagaimana perasaan Arul kepadanya mungkin Lilis akan menjauhinya sehingga itu pula sampai sekarang ia tidak ingin Lilis mengetahui bagaimana perasaannya selama ini kalau sebenarnya ia benar-benar sangat mencintai gadis yang paling cantik di desa ini.
Lilis mengaduk bubur yang ada pada mangkuk. Seperti biasanya Lilis akan menyuapi sang Ibu ketika menjelang sore hari. Sesekali Lilis membersihkan bagian bawah bibir Ibunya yang sedikit belepotan
"Ibu masih mau?"
"Tidak," jawabnya dengan pelan membuat Lilis mengangguk lalu meletakkan semangkok bubur itu ke atas meja yang tidak jauh dari ia duduk.
"Setelah makan nanti Ibu tidur, ya!"
"Assalamualaikum."
Suara salam dari luar terdengar membuat Lilis sontak saling berpandangan mata dengan sang Ibu.
"Siapa, ya Bu yang datang?"
"Mungkin Arul?"
"Ya ndak mungkin kalau kang Arul yang datang soalnya suaranya beda."
"Coba lihat!" pintanya membuat Lilis mengangguk lalu bangkit dan melangkahkan kakinya ke arah pintu utama.
"Paman Somar?" ujarnya sedikit tidak menyangka saat melihat paman Somarnya yang nampak melepas sepatu sambil menenteng sebuah tas yang terlihat sedikit agak besar.
"Sudah balik dari kota?" tanyanya.
"Sudah pulang, dong tapi tidak lama. Paman punya bisnis di kota," jelasnya sambil melangkahkan kakinya menaiki anakan tangga dan setibanya ia langsung memeluk tubuh Lilis yang sedikit tidak menyukai pelukan dari Pamanya itu.
Lilis tau Pamannya itu adalah saudara dari Bapaknya tapi tetap saja ia tak suka jika dipeluk seperti ini. Dia dulu telah menikah tapi sayangnya istrinya itu telah meninggal dunia dan begitu pula juga dengan putrinya yang masih berusia 4 bulan pada saat itu. Kata orang arwah sang Ibu memanggil putri kecilnya tapi entahlah Lilis juga tidak mengetahuinya lebih jauh.
"Dimana Ibumu?"
"Ada di dalam Paman."
"Sudah sembuh?"
"Belum."
"Oh, tahan juga kamu merawatnya."
Lilis tersenyum kecil lalu ia membantu paman Somar untuk membawakan tasnya yang lumayan besar itu. Ia mengikuti langkah paman Somar, pria bertubuh tinggi dengan perut yang sedikit agak buncit serta perawakannya yang bisa dikatakan seperti preman. Lihat saja dengan rambutnya yang nampak panjang namun, sengaja diikat ke belakang sehingga tidak terlalu berkesan menyeramkan.
"Oh, sudah makan, ya?" tanya paman Somar saat ia telah duduk di samping Maria.
"Sudah paman."
"Buatkan paman teh!" pintahnya membuat Laras menganggu lalu berjalan menuju ke dapur.
"Rupanya kamu masih sakit-sakitan saja, ya. Cepatlah sembuh. Apa kamu tidak kasihan melihat Lilis yang harus mengurus kamu."
"Harus bagaimana lagi? Sepertinya susah untuk disembuhkan," jawab Maria dengan suaranya yang sedikit tidak jelas.
"Berarti kamu ini termasuk orang yang menyusahkan juga, ya."
Maria tersenyum kecil lalu menunduk. Saudara dari suaminya itu tidak pernah berubah. Setiap ujarannya penuh dengan kepedasan yang bisa saja menyakitkan hati seseorang tapi Maria tidak apa-apa memang yang dikatakan oleh saudara suaminya itu benar.
"Ini tehnya," ujar Lilis yang meletakkan secangkir teh itu di atas papan.
"Jadi sekarang apa kegiatan kamu, Lis?"
"Yah merawat Ibu, mengurus rumah dan memelihara kambing."
"Itu saja?"
Lilis mengangguk.
"Sayang sekali gadis cantik seperti kamu harus mengurus semuanya. Kenapa tidak menikah saja?"
"Belum mau Paman."
"Kenapa? Paman dengar-dengar banyak yang datang melamar. Kenapa tidak diterima saja?" ujarnya sambil menyalakan sebatang rokok yang telah ada di mulutnya.
"Lilis belum mau."
"Kenapa?"
"Lilis mau rawat Ibu dulu dengan baik."
Paman Somar tersenyum kecil membuat sudut bibirnya terangkat.
"Tuh, dengar itu Maria! Kalau dengar seperti itu harusnya kamu harus semangat untuk sembuh jadikan anakmu itu tidak perlu bersusah payah untuk merawat kamu yang sakit seperti ini."
"Tidak apa-apa paman, ini kan sudah kewajiban Lilis untuk menjaga Ibu lagi pula kalau bukan Lilis yang menjaga terus siapa lagi."
"Daripada kamu kerja mengurus kambing lebih baik pergi ke kota saja bersama dengan Paman."
"Ke kota?"
"Iya ke kota. Di sana paman punya bisnis."
"Bisnis apa itu?"
Lilis terdiam menanti Paman somar yang terlihat menghembuskan asap dari rongga mulutnya.
"Seperti restoran. Kamu bisa jadi pelayan di sana."
"Pelayan?"
"Iya, mau?"
"Bagaimana itu?"
"Hanya mengantar-antar makanan saja kemeja pembeli setelah itu sudah selesai. Gajinya juga banyak sekitar 3 juta."
Lilis berbisik menyebutkan angka 3 juta, itu lumayan banyak bagi Lilis. Tiga juta baru bisa Lilis dapatkan jika ia menjual sekitar dua ekor kambing.
"Banyak juga."
"Iya banyak. Kamu mau Lilis?"
Lilis terdiam sejenak lalu ia menatap Ibunya yang terlihat ikut terdiam dengan kedua matanya yang masih menatap putrinya itu.
"Lain kali saja."
"Loh, Kenapa?"
"Kalau Lilis kerja siapa yang akan jaga Ibu di rumah."
"Jadi kamu tidak ingin pergi?" tanya Paman somar seakan tidak yakin dengan jawaban Lilis.
Lilis menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Nanti Lilis pergi kalau Ibu sudah sembuh."
"Yah, terserahlah semua keputusan, kan ada sama kamu. Oh iya coba ambil tas itu!" tunjuknya membuat Lilis menoleh menatap ke arah tas yang tadi ia bawa.
"Yang itu Paman?"
"Iya cepetan ambil!" suruhnya membuat Lilis dengan cepat-cepat bangkit dari papan dan mengambil tas hitam yang dibawa oleh Pamannya itu.
Sedetik kemudian paman Somar mengeluarkan beberapa bungkus roti dan oleh-oleh lainnya dari kota membuat Lilis tersenyum bahagia.
"Ini roti rasa coklat, enak sekali. Makan ini Lilis!"
Lilis menganggu diiringi senyum yang mengembang di bibirnya, begitu lugu sekali. Kedua matanya berbinar menatap roti yang dijulurkan oleh Pamannya itu.
"Coba makan! Rasanya enak sekali," suruhnya membuat Lilis menurut.
"Wah, enak, ya Paman."
"Paman, kan sudah bilang."
"Lilis suka."
"Suka?"
Lilis mengangguk.
"Bagus kalau suka makan yang banyak-banyak!" pintahnya.
Dari sini paman Somar tersenyum sambil menatap raut wajah keponakannya yang sangat cantik. Rupanya ia tidak menyangka saudaranya itu punya anak yang cantik seperti Lilis. Pantas saja banyak pria yang menginginkan Lilis sebagai istrinya.
Bibir Paman Somar sedikit terbuka saat melihat bibir Lilis yang terlihat sangat indah menggigit roti yang ia beli di kota, sungguh sangat cantik sekali.
Suara gesekan pada wajan terdengar membuat paman Somar yang sedang berada di dalam kamar terdiam sejenak lalu melangkah keluar dari kamar. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan lalu mengintip menatap Lilis, keponakannya yang terlihat sedang sibuk di dapur.
"Lagi ngapain Lilis?"
Kalimat pertanyaan itu lantas membuat Lilis tersentak kaget. Ia menoleh lalu tersenyum menatap Pamannya yang menghampiri Lilis.
"Lagi buat kue gula merah Paman."
"Kue gula merah?"
"Iya, Lilis suka makan kue gula merah."
Paman Somar mengangguk lalu menatap hasil gorengan yang berada pada mangkuk tau jauh dari penggorengan.
"Banyak juga bikinnya."
"Iya, untuk kang Arul."
"Arul? Siapa itu?"
"Kang Arul itu sahabatnya Lilis."
"Sahabat?"
"Iya, Paman."
"Laki-laki?"
"Iya, masa perempuan. Orang namanya aja laki-laki," ujar Lilis lalu akhirnya ia melangkahkan kakinya pergi dengan sepiring kue gula merah yang ada di tangannya. Lilis melangkah turun dan menuruni anakan tangga lalu berjalan membuat Paman Somar mengikut di belakang.
Paman Somar berdiri di pintu menatap ke arah Lilis yang rupanya rumah pria yang merupakan sahabat dari keponakan itu tidak jauh dari rumahnya yang berada tepat di samping rumah saudaranya yang telah lama meninggal itu.
"Kang Arul! Assalamualaikum," ujarnya hingga sosok pria melangkah keluar dari rumah.
"Oh, rupanya itu pria yang bernama Arul. Saya lihat-lihat dia sepertinya menyimpan rasa kepada Lilis. Ini tidak bisa dibiarkan," batinnya sambil mengelus-ngelus rambut-rambut halus pada dagunya.
Ia tersenyum sinis lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
...<•••>...
Lilis meletakkan sepiring sayur tumisan kangkung ke atas meja membuat kedua mata paman Somar jadi berbinar.
"Wah, sudah mencium baunya saja sudah keroncongan. Pasti rasanya sangat enak."
Mendengar hal itu membuat Lilis tertawa.
"Dicoba dulu Paman baru bilang enak!"
"Ah, kalau Lilis yang masak pasti enak," ujarnya.
Kini semenit berlalu, semuanya sibuk makan malam dan yang terdengar hanyalah suara kunyahan dan dentingan sendok serta gelas.
"Oh iya rencananya Paman mau berangkat ke kota dua hari lagi. Sekali lagi Paman mau tanya baik-baik. Apakah kamu memang tidak ingin pergi ke kota?"
Lilis meneguk segelas air lalu meletakkannya di atas papan dan menjawab, "Tidak Paman. Lilis sudah pikir matang-matang. Lilis ingin tinggal saja di desa dan mengurus Ibu."
"Ah, cobalah pikir-pikir lagi! Di kota, kan kamu bisa bekerja terus bisa dapat uang lalu uangnya bisa kamu tabung dan membawa Maria ke rumah sakit."
"Dia kota pasti pelayanannya juga sangat canggih. Maria pasti akan cepat sembuh."
"Tapi kalau Lilis pergi siapa yang akan merawat Ibu?"
"Ya suruh saja tetangga yang mengurusnya. Kamu mau, kan?"
Lilis terdiam menatap Ibunya sejenak lalu kembali menoleh menatap Paman Somar yang masih menatapnya dengan pandangan yang begitu serius serta penuh harap.
"Sepertinya tidak bisa. Lilis mau di sini saja sama Ibu," tolaknya lagi.
Mendengar hal itu membuat paman Somar menghembuskan nafas panjang, sepertinya sangat sulit untuk bisa membujuk Lilis agar mau ke kota bersamanya.
Sedetik kemudian sorot mata paman Somar menjadi tajam. Semua halangannya hanya satu yaitu istri dari saudaranya itu dan sepertinya penghalang ini harus dihilangkan agar tidak mengganggu.
...<•••>...
Suara bunyi jangkrik terdengar menghiasi malam serta suara anjing yang terdengar bersahutan menghiasi keheningan malam. Bintang-bintang di desa ini terlihat begitu banyak menghiasi langit menemani sang bulan yang begitu terang di atas sana.
Lilis tertidur di atas kasur dengan begitu sangat lelap. Hari ini begitu banyak pekerjaan yang telah ia lakukan.
Langkah kaki berhasil membuat papan yang ia injak itu terdengar berdenyit sedikit. Langkah kakinya dibuat sangat pelan berusaha untuk tidak menghasilkan suara bahkan sedikit saja pun. Ya, dia adalah paman Somar, saudara dari bapak Lilis.
Ia berjalan mengendap-ngendap lalu ia mendekati sosok Maria yang nampak terbaring di sana. Dengan pelan dan penuh dengan hati-hati ia mengeluarkan botol berwarna hitam lalu menuangkan air berwarna hitam pekat itu ke dalam gelas berisi air yang selalu digunakan Maria untuk minum.
Paman Somar tersenyum begitu sangat jahat. Sudut bibirnya terangkat hingga sosok sifat aslinya terlihat.
"Maria, Maria. Saya tidak akan pernah membiarkan sosok penghalang hidup di dunia ini."
"Jika kamu menjadi penghalang itu berarti kamu harus dilenyapkan. Maafkan adik iparmu ini tapi semuanya harus saya lenyapkan karena saya butuh uang sekarang."
Paman Somar tertawa kecil dan begitu sangat licik lalu setelahnya ia dengan cepat bangkit lalu melangkahkan kakinya menuju masuk ke dalam kamar.
Paman Somar yang baru saja hendak membaringkan kepalanya di kasur tertahan saat ia mendengar suara panggilan dari luar membuat paman Somar melirikkan matanya dengan pelan.
"Lilis! Lilis! Lilis!" teriaknya.
Tak ada jawaban.
"Haus, Lilis! Ibu mau minum!" mintanya.
"Iya, Bu."
Suara sahutan terdengar hingga akhirnya Lilis bangun juga dari tidurnya. Lilis melangkah menuju Maria dan duduk di sampingnya dengan wajahnya yang terlihat masih mengantuk.
"Ada apa, Bu?"
"Haus," ujarnya.
Mendengar hal itu membuat paman Somar berlari kecil mendekati bibir pintu lalu mengintip secara diam-diam ke arah Maria dan Lilis. Rasanya ia sangat begitu bahagia. Apalagi disaat ia melihat sosok Lilis yang telah meminumkan segelas air ke Maria.
"Masih mau, Bu?" tanyanya membuat Maria menggelengkan kepala.
"Ya sudah kalau begitu, Lilis lanjut tidur lagi, ya Bu."
Maria mengangguk membuat Lilis bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.
"Rencana berhasil," bisik paman Somar begitu sangat bahagia.
Ia membaringkan tubuhnya ke atas kasur dengan senyum yang mengembang menghiasi wajahnya. Sekarang hanya satu yang ia tunggu yaitu, kematian kakak iparnya itu dan setelah kematian kakak iparnya maka ia akan mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dari pria kayak itu.
Bersambung~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!