Tobatnya Primadona Malam
"Ini bayaran kamu!" ucap pria bertubuh gempal, menyodorkan segepok uang berwarna merah.
Wanita yang masih berbalut selimut itu, mengulurkan tangannya. Dia mengambil gepokan uang seraya tersenyum manis. "Banyak sekali, Mas," ucapnya.
"Anggap saja itu THR untuk kamu," jawab pria itu. "Ayo, cepatlah pergi dari sini!" titahnya. "Sebentar lagi, aku harus menyusul istriku ke Jogja."
Wanita yang usianya tidak sebanding dengan pria tua itu, sontak mengerucutkan bibirnya. "Kamu tidak ingin mengantarkan aku pulang, Mas?" tanyanya.
"Sudah, jangan merajuk! Sebentar lagi pesawatku lepas landas. Kalau aku harus mengantar kamu terlebih dahulu, aku bisa ketinggalan pesawat," jawab pria itu.
"Huh, sudah kubilang, harusnya kita check in di hotel dekat bandara saja. Kalau begini, aku juga, 'kan yang repot," keluh wanita itu.
"Sudah, tidak usah banyak mengeluh. Memangnya kamu mau, kita digerebek pihak yang berwajib? Ini tuh malam takbir. Penjagaan pasti sangat ketat," papar laki-laki itu. "Ayo cepat pakai baju kamu!" perintahnya sambil melemparkan sebuah pakaian ke arah wanita yang kini sudah duduk tegak di atas ranjang berukuran king size.
"Hei, apa ini Mas?!" seru si wanita saat membentangkan pakaian yang dilempar si pria.
Sebuah busana muslim sederhana, berbahan kain rayon dengan motif bunga kecil bertebaran di mana-mana. Motif yang membuat wanita itu bergidik melihatnya. Kedua mata belo-nya menyusuri setiap sudut kamar untuk mencari dress mini, miliknya.
"Lupakan pakaian kurang bahanmu itu!" tegur pria bertubuh gempal itu. "Aku sudah membuangnya," imbuhnya.
"Tapi, Mas!"
"Sudah, enggak usah protes lagi. Pakai saja pakaian yang ada. Jangan lupa, kenakan juga kerudungnya. Jika di jalan kamu berpapasan dengan warga, dan mereka bertanya, bilang saja kamu ART sementara yang disewa untuk membereskan rumah oleh Tuan Subrata. Ngerti!" ujar Tuan Subrata, penuh ketegasan.
Subrata Kusuma. Pria berusia 56 tahun. Seorang pengusaha kayu dari daerah Kalimantan yang mendulang kesuksesan di kota Jakarta.
Bisnis yang awalnya hanya memproduksi kayu olahan sebagai bahan baku barang furniture, kini telah merambah menjadi sebuah bisnis furniture yang memiliki beberapa cabang di berbagai wilayah Indonesia.
"Huh, menyebalkan!" rengut wanita itu seraya beranjak dari tempat tidur.
"Sudahlah, Niram. Tidak usah merengut lagi. Aku janji, begitu pesawatku mendarat di bandara Adi Sucipto, aku akan mentransfer uang 10 juta sebagai bonus kamu," bujuk Tuan Subrata sambil mengecup bibir merekah berwarna merah milik Niram.
Adalah Niram Kirana. Wanita berusia 22 tahun yang bekerja sebagai wanita malam di sebuah rumah bordil yang berada di Jakarta.
"Janji?" rajuk Niram, seraya melingkarkan kedua tangannya di leher Tuan Subrata.
"Humph ... iya, janji Sayang," jawab Tuan Subrata, sesaat setelah melepaskan pagutannya.
"Baiklah, Tuan Subrata Kusuma yang terhormat. Anggap saja sekarang kita impas. Aku kenakan ini," kata Niram sambil menunjukkan pakaian gamis yang dia pegang, "dan kamu transfer aku sekarang!" lanjutnya, tegas.
"No!" tolak Tuan Subrata, "nanti Sayang, se–"
Niram menabrakkan bibirnya di bibir Tuan Subrata. Menyesapnya dalam, dan sesekali memainkan indera perasanya di bibir tebal Tuan Subrata.
"Humph!"
Tuan Subrata mendorong tubuh Niram hingga ciuman mereka terputus. "Kau memang paling bisa membakar gairahku, Nona!" lanjutnya, kembali mendorong Niram hingga terjerembab ke atas ranjang.
Melihat selimut tersingkap dan menampakkan kembali tubuh sintal milik Niram, Tuan Subrata pun tidak mampu membendung hasratnya. Untuk yang kedua kalinya, pertempuran dua insan berlainan jenis pun, terjadi.
.
.
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Namun, itu tidak menyurutkan langkah Niram untuk pergi ke kamar mandi. Sejenak, dia menatap Baby G, yang sedang tertidur di dalam box-nya. Saat Niram tiba di rumah, bayi berusia 10 bulan itu sudah tertidur nyenyak.
Niram membangunkan pengasuh putranya. Dia hendak menyuruh pengasuh bayinya untuk pulang dan beristirahat. Sudah menjadi kebiasaan Niram, jika dia pulang, dialah yang akan mengasuh Baby G.
Aida mengucek kedua mata saat merasakan sentuhan di bahunya. Sedetik kemudian, Aida menegakkan tubuhnya.
"Eh, kamu sudah pulang, Ram?" tanya Aida.
"Iya, Mbak. Gimana Baby G, apakah dia rewel hari ini?" tanya Niram.
"Seperti biasa, Ram. Baby G sama sekali tidak rewel. Dia anak yang sangat soleh," jawab Aida.
"Hmm, mungkin dia tahu jika ibunya sedang bekerja," timpal Niram. "Ya sudah, Mbak. Sekarang Mbak Aida bisa pulang. Kasihan ibunya, Mbak. Beliau pasti sangat khawatir karena Mbak belum mudik," ucap Niram.
"Tenang saja, Ram. Rumahku hanya di Depok. Tidak butuh waktu setengah hari aku tiba di sana. Jadi, aku berniat mudik besok pagi saja. Setelah shalat Ied," tutur Aida.
Niram hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Aida.
"Oh iya, Ram. Apa kamu tidak ingin mudik? Pulang ke rumah orang tua kamu? Mbak rasa, orang tua kamu pasti akan merasa senang dan bahagia melihat kamu, apalagi melihat baby G yang lucu," kata Aida.
Niram tersenyum kecut. "Aku mandi dulu, Mbak. Kalau Mbak mau pulang, kunci saja pintunya." Niram pun berlalu dari hadapan Aida.
Niram membuka kran shower. Dia membiarkan kucuran air dingin menyentuh tubuh kotornya. Bisa berjam-jam Niram berdiri di bawah derasnya air shower. Berharap, guyuran air shower bisa meluruhkan semua kotoran yang melekat di tubuhnya.
Niram memejamkan mata. Pertanyaan Aida kembali menggaung di telinga. "Apa kau tidak ingin pulang?"
Tentu saja aku ingin pulang. Sudah hampir dua tahun aku tidak pulang. Bukan hanya kedua orang tuaku yang akan senang dan bahagia. Aku pun akan merasa hal yang sama saat bertemu dengan mereka. Namun, akankah mereka juga bahagia setelah bertemu dengan cucunya? Seorang cucu yang terlahir tanpa pernikahan. Akankah mereka menerima keadaanku yang sekarang? Mampukah mereka menerima pekerjaanku? Tidak! Aku rasa mereka tidak akan mampu menerima kenyataan jika anaknya telah hancur. Begitu hancur hingga tak mampu lagi menghadapi kedua orang tuanya sendiri. Aku rasa mereka tidak akan menerimaku yang sudah melempar kotoran kepada mereka. Aku hanyalah sampah masyarakat. Tidak mungkin mereka akan menerima sampah masyarakat. Pulang ke rumah, hanya akan membuat keluargaku menanggung malu atas aibku. Maafkan aku Ayah, maafkan aku ibu!
Kedua mata Niram mulai menghangat. Seperti inilah dia setiap malam. Menangis di bawah kucuran air shower dan merutuki garis nasibnya.
"Oeeek ... oeeek ... oeeek ...."
Seperti biasa, tangisan Baby G mengakhiri ritual mandi wajib Niram. Wanita bertubuh semampai itu segera meraih jubah handuk yang tergantung. Dia kemudian keluar dari kamar mandi.
Tiba di kamar, dia melihat bayinya bergerak ke sana ke mari. Niram menghampiri meja kecil dan segera membuat susu hangat untuk bayinya. Setelah itu, Niram menghampiri Baby G dan mendekatkan botol susu ke mulut anaknya.
Dengan cepat, mulut mungil Baby G menyambar dan mengisap ujung botol tersebut. Beberapa detik kemudian, bayi mungil itu kembali memejamkan mata.
Niram menatap lembut putranya. Alunan suara takbir terus berkumandang. Tangan kanannya masih memegang botol susu Baby G supaya tidak terlepas. Dia mulai menyandarkan punggungnya. Menutup kedua matanya rapat. Hingga beberapa kenangan, mulai bergelayut di pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
🎤Marisa🎧
bab awal sudah begonoh Thor
2023-02-24
1
Viani
astogeh, bab pertama sudah dibuka dengan sesuatu yang ....hmmm
2023-02-18
0
Adam
masih nyimak thor
2023-02-16
0