NovelToon NovelToon

Tobatnya Primadona Malam

Ingin Pulang

"Ini bayaran kamu!" ucap pria bertubuh gempal, menyodorkan segepok uang berwarna merah.

Wanita yang masih berbalut selimut itu, mengulurkan tangannya. Dia mengambil gepokan uang seraya tersenyum manis. "Banyak sekali, Mas," ucapnya.

"Anggap saja itu THR untuk kamu," jawab pria itu. "Ayo, cepatlah pergi dari sini!" titahnya. "Sebentar lagi, aku harus menyusul istriku ke Jogja."

Wanita yang usianya tidak sebanding dengan pria tua itu, sontak mengerucutkan bibirnya. "Kamu tidak ingin mengantarkan aku pulang, Mas?" tanyanya.

"Sudah, jangan merajuk! Sebentar lagi pesawatku lepas landas. Kalau aku harus mengantar kamu terlebih dahulu, aku bisa ketinggalan pesawat," jawab pria itu.

"Huh, sudah kubilang, harusnya kita check in di hotel dekat bandara saja. Kalau begini, aku juga, 'kan yang repot," keluh wanita itu.

"Sudah, tidak usah banyak mengeluh. Memangnya kamu mau, kita digerebek pihak yang berwajib? Ini tuh malam takbir. Penjagaan pasti sangat ketat," papar laki-laki itu. "Ayo cepat pakai baju kamu!" perintahnya sambil melemparkan sebuah pakaian ke arah wanita yang kini sudah duduk tegak di atas ranjang berukuran king size.

"Hei, apa ini Mas?!" seru si wanita saat membentangkan pakaian yang dilempar si pria.

Sebuah busana muslim sederhana, berbahan kain rayon dengan motif bunga kecil bertebaran di mana-mana. Motif yang membuat wanita itu bergidik melihatnya. Kedua mata belo-nya menyusuri setiap sudut kamar untuk mencari dress mini, miliknya.

"Lupakan pakaian kurang bahanmu itu!" tegur pria bertubuh gempal itu. "Aku sudah membuangnya," imbuhnya.

"Tapi, Mas!"

"Sudah, enggak usah protes lagi. Pakai saja pakaian yang ada. Jangan lupa, kenakan juga kerudungnya. Jika di jalan kamu berpapasan dengan warga, dan mereka bertanya, bilang saja kamu ART sementara yang disewa untuk membereskan rumah oleh Tuan Subrata. Ngerti!" ujar Tuan Subrata, penuh ketegasan.

Subrata Kusuma. Pria berusia 56 tahun. Seorang pengusaha kayu dari daerah Kalimantan yang mendulang kesuksesan di kota Jakarta.

Bisnis yang awalnya hanya memproduksi kayu olahan sebagai bahan baku barang furniture, kini telah merambah menjadi sebuah bisnis furniture yang memiliki beberapa cabang di berbagai wilayah Indonesia.

"Huh, menyebalkan!" rengut wanita itu seraya beranjak dari tempat tidur.

"Sudahlah, Niram. Tidak usah merengut lagi. Aku janji, begitu pesawatku mendarat di bandara Adi Sucipto, aku akan mentransfer uang 10 juta sebagai bonus kamu," bujuk Tuan Subrata sambil mengecup bibir merekah berwarna merah milik Niram.

Adalah Niram Kirana. Wanita berusia 22 tahun yang bekerja sebagai wanita malam di sebuah rumah bordil yang berada di Jakarta.

"Janji?" rajuk Niram, seraya melingkarkan kedua tangannya di leher Tuan Subrata.

"Humph ... iya, janji Sayang," jawab Tuan Subrata, sesaat setelah melepaskan pagutannya.

"Baiklah, Tuan Subrata Kusuma yang terhormat. Anggap saja sekarang kita impas. Aku kenakan ini," kata Niram sambil menunjukkan pakaian gamis yang dia pegang, "dan kamu transfer aku sekarang!" lanjutnya, tegas.

"No!" tolak Tuan Subrata, "nanti Sayang, se–"

Niram menabrakkan bibirnya di bibir Tuan Subrata. Menyesapnya dalam, dan sesekali memainkan indera perasanya di bibir tebal Tuan Subrata.

"Humph!"

Tuan Subrata mendorong tubuh Niram hingga ciuman mereka terputus. "Kau memang paling bisa membakar gairahku, Nona!" lanjutnya, kembali mendorong Niram hingga terjerembab ke atas ranjang.

Melihat selimut tersingkap dan menampakkan kembali tubuh sintal milik Niram, Tuan Subrata pun tidak mampu membendung hasratnya. Untuk yang kedua kalinya, pertempuran dua insan berlainan jenis pun, terjadi.

.

.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Namun, itu tidak menyurutkan langkah Niram untuk pergi ke kamar mandi. Sejenak, dia menatap Baby G, yang sedang tertidur di dalam box-nya. Saat Niram tiba di rumah, bayi berusia 10 bulan itu sudah tertidur nyenyak.

Niram membangunkan pengasuh putranya. Dia hendak menyuruh pengasuh bayinya untuk pulang dan beristirahat. Sudah menjadi kebiasaan Niram, jika dia pulang, dialah yang akan mengasuh Baby G.

Aida mengucek kedua mata saat merasakan sentuhan di bahunya. Sedetik kemudian, Aida menegakkan tubuhnya.

"Eh, kamu sudah pulang, Ram?" tanya Aida.

"Iya, Mbak. Gimana Baby G, apakah dia rewel hari ini?" tanya Niram.

"Seperti biasa, Ram. Baby G sama sekali tidak rewel. Dia anak yang sangat soleh," jawab Aida.

"Hmm, mungkin dia tahu jika ibunya sedang bekerja," timpal Niram. "Ya sudah, Mbak. Sekarang Mbak Aida bisa pulang. Kasihan ibunya, Mbak. Beliau pasti sangat khawatir karena Mbak belum mudik," ucap Niram.

"Tenang saja, Ram. Rumahku hanya di Depok. Tidak butuh waktu setengah hari aku tiba di sana. Jadi, aku berniat mudik besok pagi saja. Setelah shalat Ied," tutur Aida.

Niram hanya tersenyum tipis mendengar penuturan Aida.

"Oh iya, Ram. Apa kamu tidak ingin mudik? Pulang ke rumah orang tua kamu? Mbak rasa, orang tua kamu pasti akan merasa senang dan bahagia melihat kamu, apalagi melihat baby G yang lucu," kata Aida.

Niram tersenyum kecut. "Aku mandi dulu, Mbak. Kalau Mbak mau pulang, kunci saja pintunya." Niram pun berlalu dari hadapan Aida.

Niram membuka kran shower. Dia membiarkan kucuran air dingin menyentuh tubuh kotornya. Bisa berjam-jam Niram berdiri di bawah derasnya air shower. Berharap, guyuran air shower bisa meluruhkan semua kotoran yang melekat di tubuhnya.

Niram memejamkan mata. Pertanyaan Aida kembali menggaung di telinga. "Apa kau tidak ingin pulang?"

Tentu saja aku ingin pulang. Sudah hampir dua tahun aku tidak pulang. Bukan hanya kedua orang tuaku yang akan senang dan bahagia. Aku pun akan merasa hal yang sama saat bertemu dengan mereka. Namun, akankah mereka juga bahagia setelah bertemu dengan cucunya? Seorang cucu yang terlahir tanpa pernikahan. Akankah mereka menerima keadaanku yang sekarang? Mampukah mereka menerima pekerjaanku? Tidak! Aku rasa mereka tidak akan mampu menerima kenyataan jika anaknya telah hancur. Begitu hancur hingga tak mampu lagi menghadapi kedua orang tuanya sendiri. Aku rasa mereka tidak akan menerimaku yang sudah melempar kotoran kepada mereka. Aku hanyalah sampah masyarakat. Tidak mungkin mereka akan menerima sampah masyarakat. Pulang ke rumah, hanya akan membuat keluargaku menanggung malu atas aibku. Maafkan aku Ayah, maafkan aku ibu!

Kedua mata Niram mulai menghangat. Seperti inilah dia setiap malam. Menangis di bawah kucuran air shower dan merutuki garis nasibnya.

"Oeeek ... oeeek ... oeeek ...."

Seperti biasa, tangisan Baby G mengakhiri ritual mandi wajib Niram. Wanita bertubuh semampai itu segera meraih jubah handuk yang tergantung. Dia kemudian keluar dari kamar mandi.

Tiba di kamar, dia melihat bayinya bergerak ke sana ke mari. Niram menghampiri meja kecil dan segera membuat susu hangat untuk bayinya. Setelah itu, Niram menghampiri Baby G dan mendekatkan botol susu ke mulut anaknya.

Dengan cepat, mulut mungil Baby G menyambar dan mengisap ujung botol tersebut. Beberapa detik kemudian, bayi mungil itu kembali memejamkan mata.

Niram menatap lembut putranya. Alunan suara takbir terus berkumandang. Tangan kanannya masih memegang botol susu Baby G supaya tidak terlepas. Dia mulai menyandarkan punggungnya. Menutup kedua matanya rapat. Hingga beberapa kenangan, mulai bergelayut di pikirannya.

Tawaran Kerja

"Bagaimana Ceu? Apa Niram jadi ikut saya ke Jakarta?" tanya Halim kepada kakaknya.

Halimah yang sedang memayet kain kebaya, sontak mendongak menatap adiknya. Tak lama kemudian, dia mengalihkan pandangannya ke arah Niram yang sedang mengangkat jemuran.

"Eceu tidak tahu, Lim. Niram itu anak kami satu-satunya. Eceu enggak yakin kalau ayahnya Niram bakalan mengizinkan Niram kerja jauh. Lagi pula, Niram itu hanya tamatan SMA. Mana ada perusahaan yang mau menerima dia. Apalagi di kota besar seperti Jakarta," tutur Halimah.

"Jangan pesimis gitu atuh, Ceu. Dulu, Halim juga lulusan SMK, tapi Halim bisa mendapatkan pekerjaan di kota metropolitan itu. Pendidikan tinggi memang perlu untuk mendapatkan posisi yang bagus, Ceu. Namun, rezeki, 'kan tidak ada yang tahu. Mungkin saja Niram menjadi orang sukses saat keluar dari kampung ini. Memangnya, pekerjaan seperti apa yang bisa kita dapatkan di kampung kita, Ceu. Apa eceu tega, membiarkan Niram berbalur lumpur mengikuti jejak orang tuanya?" Sindir Halim.

Kedua orang tua Niram hanyalah buruh tani. Mereka akan bekerja di musim panen saja. Itu pun jika ada orang kaya yang mengizinkan para buruh tani untuk bekerja. Karena saat ini, para pemilik sawah di kampungnya memilih untuk mengontrakkan sawah mereka kepada yayasan daripada mengolahnya sendiri. Sedangkan pihak yayasan telah memiliki para pekerja khusus untuk memanen padi.

"Uhuk-uhuk-uhuk!"

Ketika suasana sedang hening. Terdengar suara batuk dari dalam kamar. Sumber suara itu berasal dari seorang lelaki paruh baya yang tengah terbaring lemah. Ya, Dia adalah Hanafi, suami dari Halimah yang tak lain adalah ayahnya Niram.

Sudah lama Hanafi terbaring tak berdaya. Sejak dokter memvonis dia memiliki penyakit tuberculosis, Hanafi pun sudah tidak mampu bekerja ke mana-mana lagi. Jangankan melakukan pekerjaan berat, untuk membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah pun, Hanafi sudah tidak mampu lagi.

"Kang Ana sedang sakit. Eceu butuh uang untuk membeli obat kang Ana, 'kan? Sedangkan penghasilan rumah ini hanya mengandalkan upah memayet kebaya yang tidak seberapa. Tak jarang juga Eceu tidak memberikan kang Ana obat karena tidak bisa membelinya. Memangnya, Eceu tega membiarkan kang Ana terbatuk-batuk seperti itu sepanjang hidupnya?"

Sepertinya, Halim tidak lelah untuk membujuk kakaknya. Halim lakukan semua ini bukan karena dia ingin mengatur kehidupan keluarga sang kakak. Namun, dia merasa kasihan jika kakaknya harus bekerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Memangnya, apa yang bisa diharapkan dari upah pekerjaan di kampung. Rupiah yang didapat tidak pernah sepadan dengan keringat yang dikucurkan.

"Beri Eceu waktu, Lim. Eceu mau diskusikan terlebih dahulu dengan ayahnya Niram," sahut Halimah.

"Baiklah, lusa Halim berangkat. Kabari Halim jika Eceu dan Niram sudah punya keputusan. Soalnya, Halim harus cari pengganti jika Niram memang tidak bersedia menerima tawaran pekerjaan dari bosnya Halim," kata Halim.

Halimah hanya menganggukkan kepala. Setelah Halim pamit undur diri, Halimah membereskan kain kebaya dan payet-payet untuk dibawa masuk ke rumah. Sejenak, dia menatap Niram yang masih sibuk membolak-balikkan pakaian tetangga.

Ya, untuk menopang ekonomi keluarga, Niram membantu ibunya menjadi seorang buruh cuci pakaian. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi setidaknya, Niram tidak harus meminta uang kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan dirinya.

"Mataharinya sudah mulai tinggi, Ram. Masuklah!" teriak Halimah.

"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawab Niram.

Bu Halimah tersenyum. Dia kemudian mengayunkan langkahnya memasuki rumah.

.

.

Detik demi detik terus berjalan. Hingga tanpa terasa, penguasa malam pun telah mengembangkan sayapnya. Kegelapan mulai menyelimuti alam. Niram menyalakan pelita. Penerangan di rumahnya sudah diputus setahun yang lalu. Sejak ayahnya sakit dan tidak bisa mencari rupiah lagi.

Niram menempelkan pelita di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Lepas itu, dia pergi ke dapur untuk mengambil arang. Niram membagi arang besar menjadi beberapa bagian kecil. Sejurus kemudian, dia membakarnya.

Bara api sudah mulai tampak. Setelah mematikan apinya, dengan menggunakan sendok kayu, Niram memindahkan arang panas tersebut ke dalam setrika zaman dulu. Setrika yang ujungnya terdapat patung ayam jago. Sebuah setrika yang Niram beli di pasar loak tak lama setelah penerangan di rumah mati. Niram sangat membutuhkan benda itu untuk pekerjaannya sebagai buruh cuci-setrika. Karenanya, dia rela membongkar celengan ayamnya untuk membeli benda tersebut.

Setelah selesai memasukkan arang, Niram kembali ke dalam. Dia menaruh setrika tersebut di atas piring seng. Satu per satu, Niram mulai mengeluarkan pakaian dari sebuah keranjang besar. Pakaian kering yang tadi dia angkat dari jemuran. Sesaat kemudian, Niram mulai menggosok pakaian tersebut dengan menggunakan setrika arang.

Di kamar belakang.

Halimah masih setia membuka beberapa butir obat dari bungkusnya. Udara malam di kampungnya terasa dingin. Ditambah lagi, Halimah dan suaminya hanya tidur di sebuah kasur yang digelar di lantai. Sama sekali tidak ada alas atau dipan yang menjadi penghalang hawa lembab menyesap ke dalam kasur.

"Diminum obatnya, Yah," ucap Halimah seraya menyerahkan empat butir obat yang harus rutin dikonsumsi suaminya setiap pagi dan menjelang tidur.

Hanafi mengambil obat-obatan itu. Sekaligus gelas air yang sedang dipegang istrinya. Satu per satu, Hanafi pun menelan obat tersebut. Lepas itu, dia kembali menyerahkan gelas yang sudah kosong kepada istrinya.

"Niram ke mana, Bu?" tanya Hanafi, "apa dia sedang mengaji?" lanjutnya.

"Tidak, Yah. Niram sedang menyetrika di ruang depan," sahut Halimah.

"Kenapa malam-malam begini harus menyetrika, Bu. Gelap. Dia, 'kan bisa menyetrika esok hari," timpal Hanafi.

"Kalau menyetrika besok, menerima upahnya juga besok sore, Yah. Sedangkan kita perlu uang untuk membeli beras dan lauk di pagi hari," jawab Halimah.

Terdengar helaan berat dari pria paruh baya yang kini tubuhnya mulai kurus. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Seketika, dia pun merutuki penyakitnya yang semakin hari semakin menggerogoti kehidupannya.

"Semua ini salah Ayah, Bu. Seandainya Ayah tidak sakit-sakitan seperti ini, tentu kalian tidak akan mengalami nasib buruk." Lirih Hanafi.

"Ish, sudah atuh Yah ... jangan selalu menyalahkan diri saja. Semua ini sudah takdir dari Gusti Allah, dan kita tidak bisa mengelaknya. Kita berdo'a saja, Yah. Semoga Ibu dan Niram diberikan kesehatan paripurna, supaya bisa menggantikan tugas Ayah demi kelangsungan hidup keluarga kita," tutur Halimah panjang lebar.

"Seandainya ada seorang pemuda yang mau meminang Niram, Ayah pasti akan segera merestui pernikahannya, Bu," ucap Hanafi.

"Huss! Tidak usah terburu-buru seperti itu, Yah. Usia Niram itu baru 19 tahun. Biarkan saja dia menikmati masa mudanya terlebih dahulu," sahut Halimah, tidak setuju dengan pemikiran suaminya.

"Tapi, kasihan Niram, Bu. Dia harus bekerja kasar demi memenuhi kebutuhan kita," tukas Hanafi.

"Kalau begitu, izinkan dia pergi ke kota, Yah," kata Halimah seolah mendapatkan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati bersama suaminya.

"Maksud Ibu?"

"Tadi Halim datang kemari, Yah. Dia kembali menanyakan jawaban kita atas pekerjaan yang dia tawarkan kepada Niram," jawab Halimah.

Hening.

Sungguh, Hanafi tidak tahu harus berkata apa. Tawaran kerja yang dibawa adik iparnya itu terlalu sulit untuk Hanafi setujui. Pasalnya, Niram akan bekerja di sebuah kota metropolitan. Sebuah kota yang menjadi jantung negara, di mana berbagai macam kegiatan terdapat di sana. Keramaiannya, kepadatan penduduknya, keanekaragaman pekerjaan, dan berbagai hiruk pikuk perkotaan yang tentunya berbanding terbalik dengan keadaan di sini.

Hanafi takut. Ya, dia sangat takut jika Niram terjerumus ke dalam suasana kota. Sudah banyak gadis di kampungnya yang lupa pulang setelah mengunjungi kota metropolitan tersebut.

"Yah," panggil Halimah yang segera membuyarkan lamunan Hanafi.

"Nanti kita tanya Niram dulu, Bu."

Pamit

Mendengar jawaban suaminya, Halimah hanya bisa mengangguk. Dia tidak ingin memaksakan kehendak lagi. Mendapatkan jawaban seperti itu pun, Halimah sudah sangat bersyukur. Itu artinya, ada sedikit harapan bagi Niram untuk mendapatkan izin bekerja dari ayahnya.

"Ya sudah, sekarang Ayah beristirahatlah. Ibu mau membantu Niram melipat pakaian," ucap Halimah.

"Tolong bilang sama Niram, supaya dia tidak bekerja sampai larut malam, Bu," pesan Hanafi.

"Seberesnya saja, Yah. Karena itu Ibu ingin membantu Niram agar pekerjaannya cepat selesai," sahut Halimah.

.

.

Keesokan harinya. Seperti biasa, selepas subuh Niram berkeliling kampung untuk menawarkan jasa mencuci. Tak lupa, dia juga membawa pakaian milik tetangganya yang sudah disetrika rapi, semalam.

"Ini upah kamu!" kata seorang ibu paruh baya yang selalu berpenampilan modis.

"Terima kasih, Bu," jawab Niram.

"Pakaiannya aman, 'kan? Enggak ada yang kena noda luntur?" tanya ibu tersebut.

"Insya Allah enggak ada, Bu. Saya memisahkan pakaian putih dari pakaian berwarna yang lainnya," jawab Niram.

"Hmm, baguslah kalau begitu. Awas saja kalau pakaian saya terkena noda luntur. Akan saya laporkan kelalaian kamu ke polisi nanti!" ancam si ibu.

"Insya Allah, aman Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum!" pamit Niram.

Mendengar nama polisi dibawa-bawa, Niram mulai merasa tidak nyaman. Dia segera pamit untuk menghindari ocehan tetangganya.

"Hmm, wa'alaikumsalam."

.

.

Setelah berkeliling kampung dan mendapatkan beberapa buntel cucian, akhirnya Niram pulang ke rumah.

"Assalamu'alaikum!" Niram mengucapkan salam begitu tiba di depan pintu rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Halimah yang masih sibuk memasukkan benang ke dalam liang jarum.

"Biar Niram bantu, Bu." Niram menawarkan bantuan tatkala melihat ibunya kesusahan memasukkan benang. "Ini, Bu," kata Niram, menyerahkan jarum yang kini sudah terisi benang.

"Terima kasih, Nak," jawab Halimah.

"Sama-sama, Bu," balas Niram. "Kalau begitu, Niram ke belakang dulu ya, Bu. Mau mencuci pakaian-pakaian ini," izin Niram kepada ibunya.

"Tunggu, Ram!" cegah Hanafi yang sudah berdiri di belakang Niram.

"Ayah? Kenapa Ayah bangun dari tempat tidur?" tanya Niram seraya menghampiri Hanafi.

Sedetik kemudian, Niram menuntun Hanafi untuk duduk di kursi rotan yang sudah lapuk.

"Duduklah, Nak!" perintah Hanafi sesaat setelah dia duduk, "ada yang ingin Ayah sampaikan sama kamu," lanjutnya.

Tanpa berkata atau bertanya, Niram pun mematuhi perintah Hanafi. Dia duduk di kursi rotan yang berhadapan dengan sang ayah.

"Begini, Ram. Kamu tahu, 'kan tentang tawaran kerja dari paman kamu tempo hari?"

Niram mengangguk.

"Tempo hari Ayah menolak lamaran itu, karena Ayah pikir, di sini pun kamu masih bisa mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi, Ayah salah. Ayah merasa telah terlalu egois menolak mentah-mentah tanpa menawarkan terlebih dahulu kepada kamu. Rasanya, tidak adil jika menolak tanpa bertanya terlebih dahulu apakah kamu ingin bekerja di kota atau tidak?" tutur Hanafi.

Sesaat, pria tua itu menarik napas panjang untuk mengumpulkan kekuatan.

"Jadi, sekarang Ayah ingin bertanya kepadamu, Nak. Apakah kamu punya niat, atau keinginan untuk mencoba menerima penawaran paman kamu?" tanya Hanafi.

Niram hanya menundukkan kepala. Sungguh, ini sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dia jawab. Di satu sisi, Niram sangat ingin bekerja seperti orang lain. Memiliki uang cukup dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

Niram sadar, pekerjaan di kampungnya tidak terlalu mumpuni untuk mencukupi kebutuhan perekonomian keluarganya. Karena itu, Niram ingin lebih. Dan satu-satunya cara adalah dengan bekerja di kota.

Namun, di sisi lain Niram merasa tidak tega untuk meninggalkan kedua orang tuanya yang telah renta. Entah siapa yang akan membantu ibunya mencari nafkah setelah dia pergi. Entah siapa yang membantu ibunya merawat sang ayah setelah dia bekerja di kota.

Niram benar-benar tidak tega jika ibunya harus bekerja sendiri. Niram tidak tega jika ayahnya tinggal sendirian di rumah saat sang ibu tandur atau ikut panen di sawah orang. Entahlah, dia begitu dilema sehingga tidak mampu memberikan jawaban.

"Katakan saja keinginan kamu, Nak. Jangan pendam semuanya dari kami. Bagaimanapun, kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan kami juga. Lagi pula, kami sadar jika kami tidak pernah bisa memberikan kehidupan yang layak seperti anak-anak gadis seusiamu. Ibu tahu, kamu pasti memiliki impian yang tinggi, cita-cita yang mulia, dan harapan tanpa batas. Namun, maafkan kami ... kami tidak pernah bisa mendukung secara materi semua asa, mimpi dan cita-cita kamu itu," tutur Halimah yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Ibu ...."

Niram beranjak dari kursinya. Sejurus kemudian, dia mendekati Halimah dan memeluknya dengan erat. Untuk beberapa menit, kedua wanita berbeda generasi itu saling menumpahkan air mata.

"Jika kamu memang ingin bekerja di kota, Ayah ikhlas Nak. Jangan pernah beranggapan jika kami menjadi beban hingga kamu memutuskan untuk tetap tinggal dan mengurusi kami. Percayalah, Nak ... Ayah dan ibumu masih sanggup untuk mengurus diri. Pergilah! Raih cita-cita kamu setinggi mungkin. Hanya satu pesan Ayah, jangan pernah tinggalkan shalat, sesibuk apa pun pekerjaan kamu nantinya." Kembali Hanafi menuturkan isi hatinya kepada Niram.

Gadis berambut panjang itu mengurai pelukannya. Dia kembali menatap sang Ayah. Penglihatannya semakin samar karena air mata yang terus berderai. Namun, dadanya sedikit lega karena sang ayah telah mengizinkan dia untuk bekerja.

Niram kembali mendekati ayahnya.

"Maafkan Niram, Ayah. Namun, Niram sendiri tidak bisa mengingkari keinginan Niram. Maaf ... Niram ingin pergi ke kota bukan untuk bermain-main ataupun merasa penasaran dengan keadaan di sana. Niram pergi ke kota hanya berniat ingin memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kita. Niram ingin Ayah sembuh. Niram ingin Ibu hanya diam di rumah dan mengurus Ayah, tanpa dibebani oleh cucian orang-orang ataupun oleh kain kebaya yang harus Ibu payet di siang dan malam. Biar Niram saja yang bekerja, biar Niram saja yang mencari uang untuk kebutuhan kita, Yah, Bu," jawab Niram panjang lebar.

Hanafi hanya bisa berkaca-kaca mendengar niat anaknya bekerja. Sedangkan Halimah, air matanya semakin mengucur deras saat mengetahui kemuliaan hati putri semata wayangnya.

"Pergilah, Nak. Ayah ikhlas melepas kamu bekerja di kota."

.

.

Halim membereskan pakaiannya ke dalam ransel. Izin yang diberikan majikannya untuk mencari karyawan telah berakhir. Karena itu, Halim harus segera kembali bekerja.

Senyum lebar Halim tak henti-hentinya menghiasi wajah. Keputusan yang diberikan sang kakak kemarin sore, membuat Halim merasa bahagia. setidaknya, dengan keputusan yang dianggapnya tepat, perlahan keadaan perekonomian kakaknya akan menjadi lebih baik.

Selesai membereskan pakaiannya, Halim kemudian keluar rumah. Dia mengunci rumah peninggalan orang tuanya dengan rapat. Sesaat setelah itu, Halim pergi ke rumah kakaknya untuk menjemput Niram.

"Niram pergi dulu, Ayah. Jaga kondisi Ayah baik-baik. Jangan lupa, selalu minum air hangat di pagi dan malam hari, ya," pesan Niram saat berpamitan kepada ayahnya.

"Iya, Nak. Pergilah! Semoga, kelak kamu menjadi orang sukses." Doa Hanafi.

"Niram pergi dulu, Ibu. Jangan terlalu lelah mencuci. Nanti, setelah Niram gajian, akan Niram kirimkan untuk Ibu,"janji Niram kepada sang bunda.

"Iya, Nak. Berhati-hatilah di perantauan. Jaga sikap dan tutur katamu. Semoga kamu betah di sana, ya," jawab Halimah.

Niram kembali mengangguk. Mereka bertiga berpelukan untuk saling menguatkan satu sama lain. Ini adalah perpisahan pertama mereka, dan rasanya ... teramat berat.

"Ayo Niram! Nanti kita bisa ketinggalan Bus."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!