"Ayo masuk, Ram!" ajak Halim kepada keponakannya.
Niram mengangguk. Dia kemudian mengikuti langkah Halim memasuki rumah kontrakan. Untuk sejenak, Niram mengedarkan pandangannya. Keningnya mengernyit saat melihat keadaan rumah pamannya.
Sebenarnya, rumah kontrakan Halim tidak terlalu kecil, tapi tidak terlalu besar juga. Hanya saja, penataan barang-barang yang tidak tersusun rapi, membuat ruangan di rumah itu terlihat lebih sempit.
"Duduklah, Nak. Paman ke belakang dulu," lanjut Halim.
Niram kembali mengangguk. Tiba-tiba, seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun, mendekati Niram.
"Hai, Kakak," sapa anak tersebut.
Niram tersenyum. Ah, ini pasti sepupu aku yang pernah diceritakan paman kemarin, batin Niram.
"Hai juga," balas Niram.
"Oh iya, Kak. Nama saya Rayyan. Kakak siapa?"
"Nama Kakak, Niram. Kakak ini adalah kakaknya kamu," jawab Niram.
"Hore...! Ray punya kakak ..." sorak Rayyan, kegirangan.
Sementara itu, di dalam kamar
"Apa kamar untuk Niram sudah disiapkan, Ma?" tanya Halim kepada istrinya.
"Hmm." Hanya dehaman yang keluar dari bibir istrinya Halim.
Halim pun kembali keluar kamar. Dia mengayunkan langkahnya untuk menemui Niram lagi.
"Eh, ada Bang Ray!" kata Halim begitu melihat anaknya sedang duduk di samping Niram. "Bang Ray sudah kenalan sama Kak Niram?" tanya Halim kepada anaknya.
"Sudah, Pa," jawab Rayyan.
"Hmm, baguslah kalau begitu," jawab Halim.
"Rayyan lucu ya, Paman. Menggemaskan," kata Niram.
"Hehehe, Kakak bisa saja. Kakak juga cantik," puji Rayyan.
Niram dan Halim hanya bisa membelalakkan mata mendengar kalimat pujian keluar dari seorang bocah berumur tujuh tahun.
"Ya sudah, biarkan kakak kamu istirahat, Bang!" perintah Halim kepada putranya. "Ayo, Ram. Paman antar ke kamar kamu. Maaf, kamarnya memang kecil, tapi Paman yakin kalau kamu bakalan kerasan tinggal di sini," janji Halim.
Niram hanya tersenyum mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh pamannya. Sesaat kemudian, Niram beranjak dari kursi. Dia kemudian melangkahkan kaki mengikuti Halim yang sudah berjalan terlebih dahulu.
Setelah melewati dapur, Niram dan Halim tiba di ruang belakang.
"Nah, ini kamar kamu, Ram," kata Halim begitu mereka sampai di depan sebuah kamar.
Halim menekan gagang pintu. Sepersekian detik kemudian, dia mendorong daun pintu cukup lebar untuk memperlihatkan isi kamar yang akan ditempati keponakannya.
Kedua bola mata Halim membulat sempurna melihat pemandangan di hadapannya. Seketika, wajah Halim memerah karena menahan amarah.
"Ish, apa-apaan ini? Kenapa kamarnya berantakan seperti ini?" gumam Halim yang masih didengar oleh Niram.
Tanpa berkata apa pun kepada keponakannya. Halim mengayunkan langkah lebarnya melewati dapur lagi. Rasanya, dia ingin berlari untuk menemui sang istri.
Brak!
Halim membuka pintu kamar dengan sangat kasar. Membuat sang istri yang tengah membaca buku, terperanjat dan sontak melihat suaminya.
"Ish, apa-apaan sih, Pa?" gerutu Imas terlihat kesal.
"Kamu yang apa-apaan? Kenapa kamu belum membereskan kamar belakang, hah?" tanya Halim dengan nada yang cukup tinggi.
Niram yang mendengar nada bicara pamannya setinggi itu, seketika bergidik ngeri.
Huft, belum apa-apa, tapi aku sudah harus menyaksikan keributan antara paman dan bibin. Dan kemungkinan ... semua itu terjadi karena keberadaanku, batin Niram.
"Apa kamu enggak lihat keadaan aku saat ini, Bang?" tanya Imas mulai membela dirinya. "Perutku sudah membesar, dan aku merasa kesulitan untuk bergerak. Apa kamu tidak menyadari hal itu, hah?!" jawab Imas, ketus.
"Astaghfirullah, Mas ... kenapa kamu enggak panggil tukang aja buat bantuin kamu," tukas Halim.
"Enak aja! Panggil tukang itu kudu dibayar, Bang. Hari gini tuh enggak ada yang gratisan. Semuanya membutuhkan uang. Enggak kayak keponakan kamu yang bisanya cuma numpang doang!" Sindir Imas kepada keponakan suaminya.
Imas sengaja meninggikan suaranya agar bisa didengar oleh Niram.
"Cukup, Imas!" bentak Halim, "Cukup!" lanjutnya seraya mengangkat tangan.
Di luar kamar. Rayyan berdiri mematung di depan pintu kamar orang tuanya. Teriakan sang Ayah membuat Rayyan ketakutan. Tubuhnya terlihat bergetar tatkala mendengar teriakan yang saling bersahutan dari dalam kamar.
Niram yang sudah datang terlebih dahulu saat mendengar teriakkan sang paham, akhirnya segera mendekati sepupu kecilnya. Dia merasa iba melihat raut wajah Rayyan yang sudah pucat pasi.
"Ayo Ray, kamu ikut Kakak!" ajak Niram, memapah adik sepupunya menuju ruang depan.
Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Rayyan menurut. Dia berjalan mengikuti Niram yang sedang memapahnya
"Duduklah di sini!" titah Niram. "Kakak ke dapur dulu untuk mengambil minum buat kamu," izin Niram seraya beranjak pergi dari hadapan Rayyan.
Setelah mengambil air minum, Niram berpapasan dengan pamannya. Untuk sejenak, mereka beradu pandang. Niram begitu iba melihat keadaan Halim yang sepertinya begitu tertekan.
"Di mana Rayyan, Ram?" tanya Halim memecah kesunyian.
"Dia sedang berada di ruang tamu, Paman. Sepertinya, dia merasa terkejut. Karena itu Niram membawanya menjauhi kamar Paman," tutur Niram.
Halim hanya bisa menarik napas panjang mendengar jawaban keponakannya.
"Apa itu untuk Rayyan?" tanya Halim, menunjuk gelas yang sedang dibawa Niram.
"Iya, Paman," jawab Halim.
"Biar paman yang bawakan untuknya. Sekarang, kamu pergi ke kamar itu. Nanti, kita bereskan bersama barang-barang bekas yang ada di sana."
.
.
Sementara itu, di sebuah perkampungan.
"Masuklah, Yah! Udaranya sudah cukup dingin. Tidak baik untuk kesehatan kamu" perintah Halimah yang melihat suaminya masih setia duduk di teras rumah.
"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawab Hanafi.
Halimah mendekati suaminya. "Mau sampai kapan Ayah menatap pintu gerbang itu?" tanyanya. "Toh dengan menatapnya, Niram tidak akan kembali," imbuh Halimah.
Hanafi tersenyum tipis seraya berkata, "Iya, Bu. Ayah tahu."
"Kalau begitu, ayo kita masuk! Sebentar lagi magrib," kata Halimah.
Hanafi mengangguk. Dia meraih kaki ketiganya yang dia gunakan untuk membantunya menopang tubuh saat berjalan.
Tiba di rumah. Hanafi duduk di kursi untuk melepaskan lelah karena berjalan. Sejenak, dia mengatur napasnya.
"Belum ada sehari Niram pergi, tapi rumah ini sudah sangat sepi," gumam Hanafi yang masih bisa didengar oleh istrinya.
"Sudahlah, Yah. Kita do'akan saja supaya Niram sehat dan betah bekerja di sana," timpal Halimah.
"Iya, Bu," pungkas Hanafi.
Tak lama kemudian, kumandang azan magrib mulai terdengar.
.
.
Niram kembali ke kamarnya. Dia benar-benar merasa lelah. Namun, dia tidak bisa merebahkan tubuhnya. Terlalu banyak barang yang tidak terpakai berserakan di kamar itu. Sejenak, dia menatap pemandangan di kamarnya.
Hmm, ini mah bukan kamar namanya, tapi sudah mirip gudang saja, batin Niram, menggerutu kesal.
Sejenak, Niram melirik jam tangannya. Sebentar lagi memasuki waktu azan magrib. Niram pun mulai membereskan sebagian barang yang berserakan di tengah ruangan. Untuk sementara waktu, dia menyimpan barang-barang tersebut di sudut ruangan.
"Hmm, sepertinya cukup untuk hari ini. Yang terpenting, aku punya tempat untuk shalat dan rebahan terlebih dahulu. Selebihnya, biar aku bereskan esok hari saja," gumam Daniar.
Azan magrib mulai terdengar. Niram buru-buru pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Namun, saat dia hendak membuka daun pintu, seseorang berteriak untuk mencegah tindakannya.
"Hei, tunggu!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Bayangan Ilusi
ya Allah.. nginep juga blm itu, udah dikata numpang ih
2023-02-18
0
Emak Femes
siapa ini? apakah bibinya?
2023-02-09
0
Emak Femes
Duh paman sm bibinya kagak akur
bisa bahaya nih buat niram
2023-02-09
0