"Bagaimana Ceu? Apa Niram jadi ikut saya ke Jakarta?" tanya Halim kepada kakaknya.
Halimah yang sedang memayet kain kebaya, sontak mendongak menatap adiknya. Tak lama kemudian, dia mengalihkan pandangannya ke arah Niram yang sedang mengangkat jemuran.
"Eceu tidak tahu, Lim. Niram itu anak kami satu-satunya. Eceu enggak yakin kalau ayahnya Niram bakalan mengizinkan Niram kerja jauh. Lagi pula, Niram itu hanya tamatan SMA. Mana ada perusahaan yang mau menerima dia. Apalagi di kota besar seperti Jakarta," tutur Halimah.
"Jangan pesimis gitu atuh, Ceu. Dulu, Halim juga lulusan SMK, tapi Halim bisa mendapatkan pekerjaan di kota metropolitan itu. Pendidikan tinggi memang perlu untuk mendapatkan posisi yang bagus, Ceu. Namun, rezeki, 'kan tidak ada yang tahu. Mungkin saja Niram menjadi orang sukses saat keluar dari kampung ini. Memangnya, pekerjaan seperti apa yang bisa kita dapatkan di kampung kita, Ceu. Apa eceu tega, membiarkan Niram berbalur lumpur mengikuti jejak orang tuanya?" Sindir Halim.
Kedua orang tua Niram hanyalah buruh tani. Mereka akan bekerja di musim panen saja. Itu pun jika ada orang kaya yang mengizinkan para buruh tani untuk bekerja. Karena saat ini, para pemilik sawah di kampungnya memilih untuk mengontrakkan sawah mereka kepada yayasan daripada mengolahnya sendiri. Sedangkan pihak yayasan telah memiliki para pekerja khusus untuk memanen padi.
"Uhuk-uhuk-uhuk!"
Ketika suasana sedang hening. Terdengar suara batuk dari dalam kamar. Sumber suara itu berasal dari seorang lelaki paruh baya yang tengah terbaring lemah. Ya, Dia adalah Hanafi, suami dari Halimah yang tak lain adalah ayahnya Niram.
Sudah lama Hanafi terbaring tak berdaya. Sejak dokter memvonis dia memiliki penyakit tuberculosis, Hanafi pun sudah tidak mampu bekerja ke mana-mana lagi. Jangankan melakukan pekerjaan berat, untuk membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah pun, Hanafi sudah tidak mampu lagi.
"Kang Ana sedang sakit. Eceu butuh uang untuk membeli obat kang Ana, 'kan? Sedangkan penghasilan rumah ini hanya mengandalkan upah memayet kebaya yang tidak seberapa. Tak jarang juga Eceu tidak memberikan kang Ana obat karena tidak bisa membelinya. Memangnya, Eceu tega membiarkan kang Ana terbatuk-batuk seperti itu sepanjang hidupnya?"
Sepertinya, Halim tidak lelah untuk membujuk kakaknya. Halim lakukan semua ini bukan karena dia ingin mengatur kehidupan keluarga sang kakak. Namun, dia merasa kasihan jika kakaknya harus bekerja banting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Memangnya, apa yang bisa diharapkan dari upah pekerjaan di kampung. Rupiah yang didapat tidak pernah sepadan dengan keringat yang dikucurkan.
"Beri Eceu waktu, Lim. Eceu mau diskusikan terlebih dahulu dengan ayahnya Niram," sahut Halimah.
"Baiklah, lusa Halim berangkat. Kabari Halim jika Eceu dan Niram sudah punya keputusan. Soalnya, Halim harus cari pengganti jika Niram memang tidak bersedia menerima tawaran pekerjaan dari bosnya Halim," kata Halim.
Halimah hanya menganggukkan kepala. Setelah Halim pamit undur diri, Halimah membereskan kain kebaya dan payet-payet untuk dibawa masuk ke rumah. Sejenak, dia menatap Niram yang masih sibuk membolak-balikkan pakaian tetangga.
Ya, untuk menopang ekonomi keluarga, Niram membantu ibunya menjadi seorang buruh cuci pakaian. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi setidaknya, Niram tidak harus meminta uang kepada ibunya untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
"Mataharinya sudah mulai tinggi, Ram. Masuklah!" teriak Halimah.
"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawab Niram.
Bu Halimah tersenyum. Dia kemudian mengayunkan langkahnya memasuki rumah.
.
.
Detik demi detik terus berjalan. Hingga tanpa terasa, penguasa malam pun telah mengembangkan sayapnya. Kegelapan mulai menyelimuti alam. Niram menyalakan pelita. Penerangan di rumahnya sudah diputus setahun yang lalu. Sejak ayahnya sakit dan tidak bisa mencari rupiah lagi.
Niram menempelkan pelita di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Lepas itu, dia pergi ke dapur untuk mengambil arang. Niram membagi arang besar menjadi beberapa bagian kecil. Sejurus kemudian, dia membakarnya.
Bara api sudah mulai tampak. Setelah mematikan apinya, dengan menggunakan sendok kayu, Niram memindahkan arang panas tersebut ke dalam setrika zaman dulu. Setrika yang ujungnya terdapat patung ayam jago. Sebuah setrika yang Niram beli di pasar loak tak lama setelah penerangan di rumah mati. Niram sangat membutuhkan benda itu untuk pekerjaannya sebagai buruh cuci-setrika. Karenanya, dia rela membongkar celengan ayamnya untuk membeli benda tersebut.
Setelah selesai memasukkan arang, Niram kembali ke dalam. Dia menaruh setrika tersebut di atas piring seng. Satu per satu, Niram mulai mengeluarkan pakaian dari sebuah keranjang besar. Pakaian kering yang tadi dia angkat dari jemuran. Sesaat kemudian, Niram mulai menggosok pakaian tersebut dengan menggunakan setrika arang.
Di kamar belakang.
Halimah masih setia membuka beberapa butir obat dari bungkusnya. Udara malam di kampungnya terasa dingin. Ditambah lagi, Halimah dan suaminya hanya tidur di sebuah kasur yang digelar di lantai. Sama sekali tidak ada alas atau dipan yang menjadi penghalang hawa lembab menyesap ke dalam kasur.
"Diminum obatnya, Yah," ucap Halimah seraya menyerahkan empat butir obat yang harus rutin dikonsumsi suaminya setiap pagi dan menjelang tidur.
Hanafi mengambil obat-obatan itu. Sekaligus gelas air yang sedang dipegang istrinya. Satu per satu, Hanafi pun menelan obat tersebut. Lepas itu, dia kembali menyerahkan gelas yang sudah kosong kepada istrinya.
"Niram ke mana, Bu?" tanya Hanafi, "apa dia sedang mengaji?" lanjutnya.
"Tidak, Yah. Niram sedang menyetrika di ruang depan," sahut Halimah.
"Kenapa malam-malam begini harus menyetrika, Bu. Gelap. Dia, 'kan bisa menyetrika esok hari," timpal Hanafi.
"Kalau menyetrika besok, menerima upahnya juga besok sore, Yah. Sedangkan kita perlu uang untuk membeli beras dan lauk di pagi hari," jawab Halimah.
Terdengar helaan berat dari pria paruh baya yang kini tubuhnya mulai kurus. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Seketika, dia pun merutuki penyakitnya yang semakin hari semakin menggerogoti kehidupannya.
"Semua ini salah Ayah, Bu. Seandainya Ayah tidak sakit-sakitan seperti ini, tentu kalian tidak akan mengalami nasib buruk." Lirih Hanafi.
"Ish, sudah atuh Yah ... jangan selalu menyalahkan diri saja. Semua ini sudah takdir dari Gusti Allah, dan kita tidak bisa mengelaknya. Kita berdo'a saja, Yah. Semoga Ibu dan Niram diberikan kesehatan paripurna, supaya bisa menggantikan tugas Ayah demi kelangsungan hidup keluarga kita," tutur Halimah panjang lebar.
"Seandainya ada seorang pemuda yang mau meminang Niram, Ayah pasti akan segera merestui pernikahannya, Bu," ucap Hanafi.
"Huss! Tidak usah terburu-buru seperti itu, Yah. Usia Niram itu baru 19 tahun. Biarkan saja dia menikmati masa mudanya terlebih dahulu," sahut Halimah, tidak setuju dengan pemikiran suaminya.
"Tapi, kasihan Niram, Bu. Dia harus bekerja kasar demi memenuhi kebutuhan kita," tukas Hanafi.
"Kalau begitu, izinkan dia pergi ke kota, Yah," kata Halimah seolah mendapatkan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati bersama suaminya.
"Maksud Ibu?"
"Tadi Halim datang kemari, Yah. Dia kembali menanyakan jawaban kita atas pekerjaan yang dia tawarkan kepada Niram," jawab Halimah.
Hening.
Sungguh, Hanafi tidak tahu harus berkata apa. Tawaran kerja yang dibawa adik iparnya itu terlalu sulit untuk Hanafi setujui. Pasalnya, Niram akan bekerja di sebuah kota metropolitan. Sebuah kota yang menjadi jantung negara, di mana berbagai macam kegiatan terdapat di sana. Keramaiannya, kepadatan penduduknya, keanekaragaman pekerjaan, dan berbagai hiruk pikuk perkotaan yang tentunya berbanding terbalik dengan keadaan di sini.
Hanafi takut. Ya, dia sangat takut jika Niram terjerumus ke dalam suasana kota. Sudah banyak gadis di kampungnya yang lupa pulang setelah mengunjungi kota metropolitan tersebut.
"Yah," panggil Halimah yang segera membuyarkan lamunan Hanafi.
"Nanti kita tanya Niram dulu, Bu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
🎤Marisa🎧
kasihan banget kehidupan si niram ya
2023-02-24
0
Viani
gigih banget nih
2023-02-20
0
Bayangan Ilusi
Huaa.. itu jadi kenyataan, yah😭
2023-02-13
0