Pamit

Mendengar jawaban suaminya, Halimah hanya bisa mengangguk. Dia tidak ingin memaksakan kehendak lagi. Mendapatkan jawaban seperti itu pun, Halimah sudah sangat bersyukur. Itu artinya, ada sedikit harapan bagi Niram untuk mendapatkan izin bekerja dari ayahnya.

"Ya sudah, sekarang Ayah beristirahatlah. Ibu mau membantu Niram melipat pakaian," ucap Halimah.

"Tolong bilang sama Niram, supaya dia tidak bekerja sampai larut malam, Bu," pesan Hanafi.

"Seberesnya saja, Yah. Karena itu Ibu ingin membantu Niram agar pekerjaannya cepat selesai," sahut Halimah.

.

.

Keesokan harinya. Seperti biasa, selepas subuh Niram berkeliling kampung untuk menawarkan jasa mencuci. Tak lupa, dia juga membawa pakaian milik tetangganya yang sudah disetrika rapi, semalam.

"Ini upah kamu!" kata seorang ibu paruh baya yang selalu berpenampilan modis.

"Terima kasih, Bu," jawab Niram.

"Pakaiannya aman, 'kan? Enggak ada yang kena noda luntur?" tanya ibu tersebut.

"Insya Allah enggak ada, Bu. Saya memisahkan pakaian putih dari pakaian berwarna yang lainnya," jawab Niram.

"Hmm, baguslah kalau begitu. Awas saja kalau pakaian saya terkena noda luntur. Akan saya laporkan kelalaian kamu ke polisi nanti!" ancam si ibu.

"Insya Allah, aman Bu. Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamu'alaikum!" pamit Niram.

Mendengar nama polisi dibawa-bawa, Niram mulai merasa tidak nyaman. Dia segera pamit untuk menghindari ocehan tetangganya.

"Hmm, wa'alaikumsalam."

.

.

Setelah berkeliling kampung dan mendapatkan beberapa buntel cucian, akhirnya Niram pulang ke rumah.

"Assalamu'alaikum!" Niram mengucapkan salam begitu tiba di depan pintu rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Halimah yang masih sibuk memasukkan benang ke dalam liang jarum.

"Biar Niram bantu, Bu." Niram menawarkan bantuan tatkala melihat ibunya kesusahan memasukkan benang. "Ini, Bu," kata Niram, menyerahkan jarum yang kini sudah terisi benang.

"Terima kasih, Nak," jawab Halimah.

"Sama-sama, Bu," balas Niram. "Kalau begitu, Niram ke belakang dulu ya, Bu. Mau mencuci pakaian-pakaian ini," izin Niram kepada ibunya.

"Tunggu, Ram!" cegah Hanafi yang sudah berdiri di belakang Niram.

"Ayah? Kenapa Ayah bangun dari tempat tidur?" tanya Niram seraya menghampiri Hanafi.

Sedetik kemudian, Niram menuntun Hanafi untuk duduk di kursi rotan yang sudah lapuk.

"Duduklah, Nak!" perintah Hanafi sesaat setelah dia duduk, "ada yang ingin Ayah sampaikan sama kamu," lanjutnya.

Tanpa berkata atau bertanya, Niram pun mematuhi perintah Hanafi. Dia duduk di kursi rotan yang berhadapan dengan sang ayah.

"Begini, Ram. Kamu tahu, 'kan tentang tawaran kerja dari paman kamu tempo hari?"

Niram mengangguk.

"Tempo hari Ayah menolak lamaran itu, karena Ayah pikir, di sini pun kamu masih bisa mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi, Ayah salah. Ayah merasa telah terlalu egois menolak mentah-mentah tanpa menawarkan terlebih dahulu kepada kamu. Rasanya, tidak adil jika menolak tanpa bertanya terlebih dahulu apakah kamu ingin bekerja di kota atau tidak?" tutur Hanafi.

Sesaat, pria tua itu menarik napas panjang untuk mengumpulkan kekuatan.

"Jadi, sekarang Ayah ingin bertanya kepadamu, Nak. Apakah kamu punya niat, atau keinginan untuk mencoba menerima penawaran paman kamu?" tanya Hanafi.

Niram hanya menundukkan kepala. Sungguh, ini sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk dia jawab. Di satu sisi, Niram sangat ingin bekerja seperti orang lain. Memiliki uang cukup dan bisa memenuhi kebutuhan keluarga.

Niram sadar, pekerjaan di kampungnya tidak terlalu mumpuni untuk mencukupi kebutuhan perekonomian keluarganya. Karena itu, Niram ingin lebih. Dan satu-satunya cara adalah dengan bekerja di kota.

Namun, di sisi lain Niram merasa tidak tega untuk meninggalkan kedua orang tuanya yang telah renta. Entah siapa yang akan membantu ibunya mencari nafkah setelah dia pergi. Entah siapa yang membantu ibunya merawat sang ayah setelah dia bekerja di kota.

Niram benar-benar tidak tega jika ibunya harus bekerja sendiri. Niram tidak tega jika ayahnya tinggal sendirian di rumah saat sang ibu tandur atau ikut panen di sawah orang. Entahlah, dia begitu dilema sehingga tidak mampu memberikan jawaban.

"Katakan saja keinginan kamu, Nak. Jangan pendam semuanya dari kami. Bagaimanapun, kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan kami juga. Lagi pula, kami sadar jika kami tidak pernah bisa memberikan kehidupan yang layak seperti anak-anak gadis seusiamu. Ibu tahu, kamu pasti memiliki impian yang tinggi, cita-cita yang mulia, dan harapan tanpa batas. Namun, maafkan kami ... kami tidak pernah bisa mendukung secara materi semua asa, mimpi dan cita-cita kamu itu," tutur Halimah yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Ibu ...."

Niram beranjak dari kursinya. Sejurus kemudian, dia mendekati Halimah dan memeluknya dengan erat. Untuk beberapa menit, kedua wanita berbeda generasi itu saling menumpahkan air mata.

"Jika kamu memang ingin bekerja di kota, Ayah ikhlas Nak. Jangan pernah beranggapan jika kami menjadi beban hingga kamu memutuskan untuk tetap tinggal dan mengurusi kami. Percayalah, Nak ... Ayah dan ibumu masih sanggup untuk mengurus diri. Pergilah! Raih cita-cita kamu setinggi mungkin. Hanya satu pesan Ayah, jangan pernah tinggalkan shalat, sesibuk apa pun pekerjaan kamu nantinya." Kembali Hanafi menuturkan isi hatinya kepada Niram.

Gadis berambut panjang itu mengurai pelukannya. Dia kembali menatap sang Ayah. Penglihatannya semakin samar karena air mata yang terus berderai. Namun, dadanya sedikit lega karena sang ayah telah mengizinkan dia untuk bekerja.

Niram kembali mendekati ayahnya.

"Maafkan Niram, Ayah. Namun, Niram sendiri tidak bisa mengingkari keinginan Niram. Maaf ... Niram ingin pergi ke kota bukan untuk bermain-main ataupun merasa penasaran dengan keadaan di sana. Niram pergi ke kota hanya berniat ingin memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kita. Niram ingin Ayah sembuh. Niram ingin Ibu hanya diam di rumah dan mengurus Ayah, tanpa dibebani oleh cucian orang-orang ataupun oleh kain kebaya yang harus Ibu payet di siang dan malam. Biar Niram saja yang bekerja, biar Niram saja yang mencari uang untuk kebutuhan kita, Yah, Bu," jawab Niram panjang lebar.

Hanafi hanya bisa berkaca-kaca mendengar niat anaknya bekerja. Sedangkan Halimah, air matanya semakin mengucur deras saat mengetahui kemuliaan hati putri semata wayangnya.

"Pergilah, Nak. Ayah ikhlas melepas kamu bekerja di kota."

.

.

Halim membereskan pakaiannya ke dalam ransel. Izin yang diberikan majikannya untuk mencari karyawan telah berakhir. Karena itu, Halim harus segera kembali bekerja.

Senyum lebar Halim tak henti-hentinya menghiasi wajah. Keputusan yang diberikan sang kakak kemarin sore, membuat Halim merasa bahagia. setidaknya, dengan keputusan yang dianggapnya tepat, perlahan keadaan perekonomian kakaknya akan menjadi lebih baik.

Selesai membereskan pakaiannya, Halim kemudian keluar rumah. Dia mengunci rumah peninggalan orang tuanya dengan rapat. Sesaat setelah itu, Halim pergi ke rumah kakaknya untuk menjemput Niram.

"Niram pergi dulu, Ayah. Jaga kondisi Ayah baik-baik. Jangan lupa, selalu minum air hangat di pagi dan malam hari, ya," pesan Niram saat berpamitan kepada ayahnya.

"Iya, Nak. Pergilah! Semoga, kelak kamu menjadi orang sukses." Doa Hanafi.

"Niram pergi dulu, Ibu. Jangan terlalu lelah mencuci. Nanti, setelah Niram gajian, akan Niram kirimkan untuk Ibu,"janji Niram kepada sang bunda.

"Iya, Nak. Berhati-hatilah di perantauan. Jaga sikap dan tutur katamu. Semoga kamu betah di sana, ya," jawab Halimah.

Niram kembali mengangguk. Mereka bertiga berpelukan untuk saling menguatkan satu sama lain. Ini adalah perpisahan pertama mereka, dan rasanya ... teramat berat.

"Ayo Niram! Nanti kita bisa ketinggalan Bus."

Terpopuler

Comments

🎤Marisa🎧

🎤Marisa🎧

titi dj Niram

2023-02-24

1

🎤Marisa🎧

🎤Marisa🎧

kalo enggak percaya, cuci sendiri bu

2023-02-24

1

Bayangan Ilusi

Bayangan Ilusi

🥺🥺🥺🥺🥺

2023-02-18

0

lihat semua
Episodes
1 Ingin Pulang
2 Tawaran Kerja
3 Pamit
4 Penerimaan Sang Bibi
5 Lebih Mirip Gudang
6 Tidak Betah
7 Seperti Benalu
8 Mencari Pekerjaan
9 Wawancara
10 Jangan Menyerah
11 Berdebat
12 Terlilit Utang
13 Kembali Mencari Pekerjaan
14 Mendapatkan Promosi
15 Yang Penting Halal
16 Berbagi Kebahagiaan
17 Merayakan Kebahagiaan
18 Terpaksa Berbohong
19 Kebahagiaan Hanafi dan Halimah
20 Kunjungan Karen
21 Pelatihan Kepemimpinan
22 Kedatangan Ahsan
23 Mulai Tertekan
24 Apakah Orang yang Sama?
25 Mencari Mangsa
26 Gadis atau Janda?
27 Siasat Jahat
28 Jebakan
29 Tangkapan Sempurna
30 Transaksi
31 Disekap
32 Merasa Dilecehkan
33 Pingsan
34 Tolong Aku!
35 Kegelisahan Halim
36 Kesadaran Ahsan
37 Kabur
38 Keluar Kandang Singa, Masuk Kandang Buaya
39 Rudapaksa
40 Keterlaluan!
41 Hancur
42 Yura Sang Primadona Malam
43 Kepulangan Halim
44 Keputusan Natasya
45 Kebohongan Imas
46 Jengah
47 Kupu-kupu Malam
48 Hidup Itu Maju, Bukan Mundur!
49 Menghilang
50 Keputusan Hina
51 Apa yang Kita Tanam, Itu yang Kita Tuai
52 Kelahiran Si Kembar
53 Berita Duka
54 Bertemu Mama Rossa
55 Tamu Pertama
56 Pertama, tapi bukan yang pertama
57 Kau, Wanitaku!
58 Menjadi Simpanan
59 Cemburu
60 Hamil
61 Pertemuan Tak Terduga
62 Merasa Nyaman
63 Tamu Tak Diundang
64 Dilabrak Istri Sah
65 Janji Karen
66 Kemarahan Tuan Alfaruk
67 Mengalah
68 Kembali ke Titik Nol
69 Kecemasan Yura
70 Insecure
71 Berusaha Melenyapkan
72 Pertemuan Halim dan Niram
73 Pertanyaan yang Sama
Episodes

Updated 73 Episodes

1
Ingin Pulang
2
Tawaran Kerja
3
Pamit
4
Penerimaan Sang Bibi
5
Lebih Mirip Gudang
6
Tidak Betah
7
Seperti Benalu
8
Mencari Pekerjaan
9
Wawancara
10
Jangan Menyerah
11
Berdebat
12
Terlilit Utang
13
Kembali Mencari Pekerjaan
14
Mendapatkan Promosi
15
Yang Penting Halal
16
Berbagi Kebahagiaan
17
Merayakan Kebahagiaan
18
Terpaksa Berbohong
19
Kebahagiaan Hanafi dan Halimah
20
Kunjungan Karen
21
Pelatihan Kepemimpinan
22
Kedatangan Ahsan
23
Mulai Tertekan
24
Apakah Orang yang Sama?
25
Mencari Mangsa
26
Gadis atau Janda?
27
Siasat Jahat
28
Jebakan
29
Tangkapan Sempurna
30
Transaksi
31
Disekap
32
Merasa Dilecehkan
33
Pingsan
34
Tolong Aku!
35
Kegelisahan Halim
36
Kesadaran Ahsan
37
Kabur
38
Keluar Kandang Singa, Masuk Kandang Buaya
39
Rudapaksa
40
Keterlaluan!
41
Hancur
42
Yura Sang Primadona Malam
43
Kepulangan Halim
44
Keputusan Natasya
45
Kebohongan Imas
46
Jengah
47
Kupu-kupu Malam
48
Hidup Itu Maju, Bukan Mundur!
49
Menghilang
50
Keputusan Hina
51
Apa yang Kita Tanam, Itu yang Kita Tuai
52
Kelahiran Si Kembar
53
Berita Duka
54
Bertemu Mama Rossa
55
Tamu Pertama
56
Pertama, tapi bukan yang pertama
57
Kau, Wanitaku!
58
Menjadi Simpanan
59
Cemburu
60
Hamil
61
Pertemuan Tak Terduga
62
Merasa Nyaman
63
Tamu Tak Diundang
64
Dilabrak Istri Sah
65
Janji Karen
66
Kemarahan Tuan Alfaruk
67
Mengalah
68
Kembali ke Titik Nol
69
Kecemasan Yura
70
Insecure
71
Berusaha Melenyapkan
72
Pertemuan Halim dan Niram
73
Pertanyaan yang Sama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!