Panggilan Halim, sontak membuat keluarga inti itu saling menguraikan pelukan. Setelah mencium punggung tangan kedua orang tuanya, Niram pun menghampiri Halim.
"Kita berangkat sekarang, Ram," kata Halim.
Niram mengangguk.
Halim kemudian berpamitan kepada kakak dan kakak iparnya. Setelah itu, mereka melangkah keluar dari pekarangan rumah Niram yang cukup luas.
"Berapa jam perjalanan kita, Paman?" tanya Niram saat mereka berjalan kaki menuju jalan raya.
"Kalau tidak macet, sih, mungkin sekitar 6 jam," jawab Halim. "Apa kamu suka mabuk kendaraan?" imbuh Halim.
"Entahlah, Paman. Niram belum pernah bepergian jauh, hehehe,..." jawab Niram, terkekeh.
"Ah, Ya. Benar juga," timpal Halim. "Tidak usah khawatir, kamu anak yang kuat. Paman yakin kamu bisa melewati perjalanan ini dengan aman. Lagi pula, Paman sudah bawa obat anti mabuk untuk jaga-jaga," lanjutnya.
Kedua sudut bibir Niram tertarik ke atas. Sungguh, dia sangat beruntung memiliki paman yang selalu perhatian. Sejak kecil, Niram memang dekat dengan pamannya. Mungkin karena kedua orang tuanya sibuk bertani, Niram pun diasuh oleh pamannya yang kala itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas.
"Iya, aamiin. Semoga saja Niram kuat dan enggak mabuk kendaraan," pungkas Niram.
Keheningan terjadi begitu mereka tiba di jalan provinsi. Niram sibuk memperhatikan jalanan yang dipadati berbagai jenis kendaraan. Sedangkan Halim, pria berusia 40 tahun itu masih sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah kepada siapa dia berkirim pesan. Namun, raut wajahnya terlihat cukup serius.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya angkot berwarna jingga melintas di hadapan mereka. Halim menghentikannya. Lepas itu, dia mengajak Niram menaiki angkot tersebut.
"Rancabango dua, Bang," kata Halim saat sang kondektur menagih ongkos transportasinya.
Tanpa banyak berbasa-basi, kondektur itu menerima selembar uang pecahan 50 ribu dari Halim. Sesaat kemudian, kondektur itu menyerahkan uang kembalian ongkos kepada Halim.
Setelah melewati perjalanan selama 45 menit, Halim dan Niram sampai di Rancabango. Mereka pun duduk di halte untuk menunggu bus yang akan membawanya pergi ke kota metropolitan.
"Kenapa kita tidak pergi ke pool bus saja, Paman?" tanya Niram.
"Di sini juga enggak pa-pa, Ram. Busnya juga nanti lewat sini, kok," jawab Halim.
Dan benar saja, setelah 15 menit menunggu, bus Prima pun lewat. Halim segera menghentikannya. Dia menarik tangan Niram untuk menaiki bus.
"Duduklah, Nir!"
Halim mempersilakan Niram duduk di dekat jendela. Setelah itu, dia duduk di samping Niram.
Bus kembali melaju. Halim mengusap pucuk kepala Niram.
"Tidurlah supaya kamu tidak pusing dan mengalami mabuk kendaraan," perintah Halim.
Niram mengangguk. Sesaat kemudian, dia pun memejamkan mata.
.
.
Entah berapa lama Niram tertidur. Namun, guncangan pelan di tubuhnya, membuat dia mengerjapkan mata.
"Apa kita sudah sampai, Paman?" tanya Niram.
"Belum, Ram," jawab Halim.
"Lalu kenapa busnya berhenti?" Niram kembali bertanya.
"Kita istirahat sebentar, sebelum memasuki tol Cileunyi." Halim kembali menjawab. "Apa kamu mau ke kamar mandi dulu, Ram? Soalnya setelah masuk tol, bus tidak akan berhenti sampai tiba di tempat tujuan," lanjut Halim.
"Iya, Paman. Niram mau ke kamar mandi dulu," sahut Niram.
"Ya sudah, yuk turun!" ajak Halim.
Niram mengikuti Halim dari belakang. Setelah mereka turun dari bus, Niram mengedarkan pandangannya untuk mencari petunjuk di mana toilet berada.
"Toiletnya ada di sana, Ram. Kamu berjalan lurus, setelah itu belok kiri. Nah, di situlah toiletnya." Halim menunjuk tanda panah dari kayu yang bertuliskan WC umum.
Niram berjalan mengikuti petunjuk dari Halim. Panggilan alam memaksa Niram untuk bertapa sejenak. Setelah selesai, Niram membasuh kedua tangan dan wajahnya agar merasa lebih segar.
Keluar dari kamar mandi, Niram mengisi kotak amal. Setelah itu, dia pun berjalan menuju tempat bus terparkir. Niram sedikit kebingungan, karena ternyata begitu banyak bus Prima yang sedang beristirahat di tempat ini.
"Ish, mana busnya?" guman Niram seraya menghentikan langkahnya.
Namun, saat Niram sedang mengamati bus satu per satu, tiba-tiba seseorang menabraknya dari arah belakang hingga dia terjerembab ke tanah.
"Astaghfirullahaladzim! Maaf, Mbak ... saya tidak sengaja," ucap seorang pemuda yang menabrak Niram.
"Ah, ya ... tidak apa-apa," sahut Niram, seraya menepuk-nepuk roknya yang kotor.
"Perkenalkan nama saya Ah–"
"Niram, ayo! Busnya segera berangkat!" teriak Halim.
"Maaf, saya permisi!" pamit Niram yang langsung berlari ke arah Halim yang sudah menunggunya di depan bus.
Pemuda itu hanya tersenyum melihat raut cemas di wajah Niram. Sejenak dia menatap punggung Niram yang mulai semakin menjauh. Tak lama kemudian, deru kendaraan menyadarkan dia.
"Astaghfirullah!" seru pemuda itu seraya hendak berlari menuju bus.
Namun, tiba-tiba dia melihat sesuatu berkilauan di atas tanah. Pemuda itu berjongkok dan mengambil sebuah gelang rantai berwarna perak.
Ya Tuhan ... ini pasti milik gadis itu, batinnya seraya menatap bus Niram yang sudah melaju keluar dari tempat parkir.
Karena tidak tahu harus berbuat apa, pemuda itu pun menyimpan gelang rantai tersebut.
.
.
Menjelang asar, bus yang dinaiki Halim dan Niram tiba di terminal Kampung Rambutan. Setelah beristirahat sejenak, Halim mengajak Niram untuk menaiki angkot yang akan membawanya ke rumah kontrakannya.
"Apa masih jauh, Paman?" tanya Niram.
"Lumayan, Ram. Sekitar setengah jam lagi," jawab Halim. "Kenapa, kamu lelah ya?" tanyanya.
"Enggak, Paman. Cuma kepala Niram agak pusing saja," jawab Niram, jujur.
"Kalau kamu mau, kamu bisa bersandar di bahu Paman, Nak," tawar Halim.
"Tidak perlu, Paman. Insya Allah, Niram masih kuat menahannya," jawab Halim.
"Ya sudah, sabar ya ... sebentar lagi kita sampai," lanjut Halim.
Niram menyandarkan punggung. Dia pun mulai memejamkan mata. Berharap hal itu bisa meredakan rasa pusing di kepalanya.
"Stop, Bang!" teriak Halim.
Sontak Niram mengerjapkan mata ketika mendengar teriakkan Halim di sampingnya. Sesaat, dia menatap pamannya yang sudah bersiap-siap untuk turun. Niram pun segera mengambil tas jinjingnya.
"Turun, Ram!" ajak Halim.
Niram mengangguk. Dia kemudian mengikuti Halim untuk turun dari mobil angkot.
Halim membantu Niram untuk membawa tas jinjingnya. Setelah itu, dia mengajak Niram menyeberangi jalan. Tiba di seberang, Halim memasuki sebuah gang sempit yang di kiri kanannya berjajar rumah petak yang saling berdempetan.
Setelah berjalan sejauh 100 meter, akhirnya mereka tiba di sebuah rumah bercat hijau.
"Assalamu'alaikum!" sapa Halim.
Niram hanya berdiri terpaku di belakang Halim. Setelah beberapa kali mengucapkan salam, akhirnya pintu terbuka. Seorang wanita yang tengah hamil tua, tampak berdiri di ambang pintu. Wajahnya yang semula terlihat gembira, seketika berubah kecut saat melihat Niram yang berdiri di belakang Halim.
"Huh, akhirnya kamu jadi juga ngajak ponakan kamu kemari, Mas," ucap si wanita itu.
"Ayo salam sama bibi kamu, Ram!"
Halim tidak menanggapi perkataan ketus istrinya. Dia malah memerintah Niram untuk menyapa sang istri.
"Assalamu'alaikum, Tante! Perkenalkan, nama saya Ni–"
"Sudah-sudah-sudah! Enggak usah banyak basa-basi. Buruan masuk!" tukas wanita itu, memotong kalimat Niram.
"Mas," tegur Halim, cukup lembut.
"Iya, Bang ... Iya. Ayo buruan masuk ah!" ajak wanita itu, ketus.
Niram sedikit tertegun melihat sambutan sang bibi akan kedatangannya. Tak ada senyuman, tak ada binar kerinduan. Yang ada hanya ucapan ketus dan pandangan sinis dari bibinya. Padahal, ini untuk pertama kalinya dia bertemu dengan istri pamannya. Sungguh di luar dugaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Bayangan Ilusi
inikah pemuda saleh itu?
2023-02-18
1
Adam
sampai sini dulu ya, kak
2023-02-16
0
Emak Femes
beuh ini mah si tante garang namanya
2023-02-09
0