In My Wedding Day
Jika cinta itu bukan sebuah kesalahan, lantas kenapa ada arti kata perpisahan?
.
.
.
Senja yang menjingga di langit kota metropolitan menjadi saksi bisu, seorang wanita dan pria yang sedang duduk bersanding di kursi taman kota.
Riuh suara kendaraan yang berlalu lalang, terdengar bising hingga membuat keduanya harus mengeraskan suara saat sedang bicara.
Zoya Almaira, seorang karyawati di salah satu perusahaan swasta. Anak pertama yang selalu bersikap bodoh amat saat menghadapi masalah.
Meski begitu, dia adalah pendengar yang baik. Hingga semua orang yang mengenalnya menjadikan dia tempat untuk berkeluh kesah, curhat ini itu, seolah Zoya selalu punya solusi.
"Kenapa lagi? Dim, aku ini teman Nisa kalau kamu mengajak aku terus bertemu seperti ini, orang-orang akan berpikir macam-macam tentang kita."
Zoya menatap lekat pria yang sedang duduk disampingnya. Pria penuh karisma, cuek dan selalu dieluhkan para kaum wanita. Tak jarang Zoya di benci para wanita itu karena terlalu dekat dengan Dimas
Mereka baru kenal beberapa bulan, itu juga karena Dimas berpacaran dengan Nisa, sahabat Zoya, tapi itu dulu. Sekarang hubungan pasangan itu sudah berakhir.
Anehnya Dimas yang sudah melepaskan Nisa, malah terus menghubungi dan ingin berteman dengan Zoya. Membuat orang sekitar berasumsi mereka menjalin hubungan.
Dimas hanya tekekeh seraya mengacak-acak rambut Zoya. "Hubungan aku dan Nisa sudah lama berakhir, Kenapa kamu selalu menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menolak bertemu denganku, hah?"
Pandangan Zoya kembali beralih ke langit sore. "Aku merasa sedang berdiri di antara kamu dan Nisa. Kamu mungkin sudah melupakan dia, dan dia pun sudah melupakan kamu. Tapi sedekat ini denganmu membuat aku takut."
Mendengar hal itu, Dimas segera merangkul bahu Zoya. "Takut kenapa? Apa kamu mulai terpesona denganku, hem?" Dia mengangkat kedua alisnya lalu mengedipkan mata.
Sejenak Zoya terpaku, menatap mata pria yang dengan santai selalu memberikan pelukan, rangkulan dan perhatian yang menurutnya berlebihan.
Orang sekitar pun pasti akan berpikir jika mereka adalah pasangan kekasih, namun Zoya selalu berusaha membangun pembatas meski pada akhirnya selalu saja retak bahkan runtuh, ketika kedekatan mereka membuat dia sedikit terbawa perasaan.
"Mana mungkin aku merasa begitu." Zoya segera melepaskan rangkulan Dimas darinya. "Sudahlah, jangan banyak bicara hal sembarangan. Sekarang katakan, kena--"
"Aku jatuh cinta sama kamu, Zoy," sahut Dimas tiba-tiba, memotong ucapan Zoya. Matanya menatap dengan serius, seolah ingin keluar dari zona yang selama beberapa bulan ini mereka bangun diatas dasar pertemanan.
Sementara tubuh Zoya diam terpaku. Siapa yang tidak akan goyah saat seorang pria yang menjadi dambaan para wanita, menyatakan cinta kepadanya. "Ck, ayolah Dim. Ini terlalu sore untuk mengajakku bercanda."
"Aku tidak bercanda." Tangan dimas begerak perlahan, menggenggam tangan Zoya, erat. "Aku merasa nyaman saat didekat kamu, tapi aku selalu menahan diri untuk menyatakan perasaanku, karena kamu selalu saja membawa nama Nisa disetiap obrolan kita."
Satu tahun berlalu sejak putus cinta dengan Nisa, dimas merasa cukup sudah. Dia harus menyatakan cintanya kepada Zoya, menjadikan hubungan pertemanan mereka menjadi satu komitmen baru yang untuk saling melengkapi satu sama lain.
Apakah menjalani komitmen dengan mantan pacar sahabat sendiri adalah sebuah kesalahan? Tentu tidak, tapi Zoya selalu merasa itu adalah sebuah hal yang tidak mungkin dia jalani.
"Sudah satu tahun berlalu, Nisa sudah bahagia dengan pacar barunya. Lalu apa aku tidak boleh? Maaf, jika kamu merasa tidak nyaman dengan pernyataanku, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak akan memaksa, kamu boleh menolak jika memang selama ini, semua perhatian yang aku berikan tidak pernah menyetuh hatimu. Pikirkan saja dulu."
Dimas menepuk pundak Zoya pelan, lalu beranjak pergi dari tempat tersebut. Kini tinggallah Zoya di sana, merenung dengan segala kegelisahan yang berlebihan.
***
Satu minggu berlalu, selama itu pula Zoya tidak pernah bertemu dengan Dimas, padahal mereka di satu perusahaan yang sama. Kadang dia berpikir tidak perlu memberi jawaban, namun dia tahu pasti dimas pasti sedang menunggu.
Setelah diam melamun beberapa detik, tiba-tiba Zoya berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah menuju meja kepala departemen tempatnya bekerja. "Pak, saya izin keluar sebentar."
"Oh ya silakan, lagi pula pekerjaan kamu sudah selesai." Mendengar itu, Zoya segera bergegas keluar dari ruangan.
Dia melangkah cepat masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai 4 gedung perusahaan tersebut. Ya, mereka memang bekerja di satu perusahaan namun di departemen berbeda.
Selama ini Dimas selalu menghampirinya untuk mengajak makan dan sebagainya, tetapi sekarang selama satu minggu belakangan hal itu tidak pernah lagi terjadi, Dimas menghilang lenyap dari hidupnya.
Selama satu minggu pula Zoya mulai menyadari jika kehadiran Dimas amatlah berarti di dalam hidupnya. Kenapa dia harus mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi dan menuruti egonya untuk terus menjauh dan membatasi diri.
"Dimas cuti karena sakit, sudah dua hari dia tidak masuk," ungkap seorang wanita sesaat setelah Zoya datang dan mempertanyakan keberadaan Dimas.
"Sakit?" Raut wajah Zoya nampak semakin panik. Dia segera pamit undur diri lalu begegas kembali ke ruangannya.
***
Sepulang kerja, Zoya yang merasa khawatir memutuskan untuk pergi menemui Dimas di apartemennya, berbekal sekantong sop daging yang dia beli di warung langganan.
Sesampainya di depan unit, Zoya memencet bel dengan tidak sabar. Pikirannya mulai di penuhi hal negatif, dia takut terjadi hal burul kepada Dimas. "Dimas, buka pintunya!"
Klek.
Setelah kepanikan yang tak terkendali, akhirnya pintu itu terbuka. Melihat Dimas keluar dari balik pintu, membuat Zoya merasa lega. "Apa kamu mau membuatku jantungan, hah! Kenapa sakit, tidak bilang?"
Bukannya kaget, Dimas malah terkekeh. Dia tahu Zoya hanya khawatir kepadanya. "Masuklah, jangan berteriak disini."
Tanpa bicara apapun lagi, Zoya segera bergegas masuk kedalam. Dia melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk memanaskan sup daging yang tadi dia beli seraya terus mengoceh.
"Aku sampai naik ojek agar bisa sampai dengan cepat kesini. Kalau sakit seharusnya kamu bilang, kamu tidak punya siapapun di kota ini. Jangan sampai--"
Zoya tak bisa melanjutkan ucapannya saat dari belakang, Dimas memeluknya dengan erat. "Aku merindukan kamu. Aku mohon jangan ragu, tetaplah disisiku. Aku sangat mencintaimu."
Zoya merasa pertahanan dirinya yang sudah retak kini benar-benar hancur menjadi abu, dia tidak bisa membohongi dirinya bahwa dia juga mempunyai perasaan yang sama dengan Dimas. perlahan dia berbalik menatap pria itu dengan lekat. "Are you sure?"
"Ya aku sangat yakin. Jadilah kekasihku, Zoya."
Melihat Zoya lengah tanpa penolakan, Dimas mengerakkan tangannya, menelusup masuk ke belakang leher jenjang Zoya dan mulai menyatukan bibir mereka dengan lembut, menyapu pelan dan penuh kehangatan.
Bersambung 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ayi
sahabat mantan pacar bukan pacar mantan sahabat wlkwkwkwk
2023-04-15
0
🍾⃝ᴘᴀͩᴛᷞɴͧᴏᷠᴢͣ Aja
gimana ya.... Zoya nanti pasti dicap yg gak2 deh klo tahu hubungan mereka ber2, padahal slama ini merek bersahabat, n mereka sdh lama putusnya....
bodo amat aja ya.. yg pntg kalian gak main belakang selama dimas n zoya berhubungan
2023-02-04
0
QQ
Belum deal udah nyosor aja seperti soang 🤣🤣🤣🤣
2023-02-02
0