Jika cinta itu bukan sebuah kesalahan, lantas kenapa ada arti kata perpisahan?
.
.
.
Senja yang menjingga di langit kota metropolitan menjadi saksi bisu, seorang wanita dan pria yang sedang duduk bersanding di kursi taman kota.
Riuh suara kendaraan yang berlalu lalang, terdengar bising hingga membuat keduanya harus mengeraskan suara saat sedang bicara.
Zoya Almaira, seorang karyawati di salah satu perusahaan swasta. Anak pertama yang selalu bersikap bodoh amat saat menghadapi masalah.
Meski begitu, dia adalah pendengar yang baik. Hingga semua orang yang mengenalnya menjadikan dia tempat untuk berkeluh kesah, curhat ini itu, seolah Zoya selalu punya solusi.
"Kenapa lagi? Dim, aku ini teman Nisa kalau kamu mengajak aku terus bertemu seperti ini, orang-orang akan berpikir macam-macam tentang kita."
Zoya menatap lekat pria yang sedang duduk disampingnya. Pria penuh karisma, cuek dan selalu dieluhkan para kaum wanita. Tak jarang Zoya di benci para wanita itu karena terlalu dekat dengan Dimas
Mereka baru kenal beberapa bulan, itu juga karena Dimas berpacaran dengan Nisa, sahabat Zoya, tapi itu dulu. Sekarang hubungan pasangan itu sudah berakhir.
Anehnya Dimas yang sudah melepaskan Nisa, malah terus menghubungi dan ingin berteman dengan Zoya. Membuat orang sekitar berasumsi mereka menjalin hubungan.
Dimas hanya tekekeh seraya mengacak-acak rambut Zoya. "Hubungan aku dan Nisa sudah lama berakhir, Kenapa kamu selalu menjadikan hal itu sebagai alasan untuk menolak bertemu denganku, hah?"
Pandangan Zoya kembali beralih ke langit sore. "Aku merasa sedang berdiri di antara kamu dan Nisa. Kamu mungkin sudah melupakan dia, dan dia pun sudah melupakan kamu. Tapi sedekat ini denganmu membuat aku takut."
Mendengar hal itu, Dimas segera merangkul bahu Zoya. "Takut kenapa? Apa kamu mulai terpesona denganku, hem?" Dia mengangkat kedua alisnya lalu mengedipkan mata.
Sejenak Zoya terpaku, menatap mata pria yang dengan santai selalu memberikan pelukan, rangkulan dan perhatian yang menurutnya berlebihan.
Orang sekitar pun pasti akan berpikir jika mereka adalah pasangan kekasih, namun Zoya selalu berusaha membangun pembatas meski pada akhirnya selalu saja retak bahkan runtuh, ketika kedekatan mereka membuat dia sedikit terbawa perasaan.
"Mana mungkin aku merasa begitu." Zoya segera melepaskan rangkulan Dimas darinya. "Sudahlah, jangan banyak bicara hal sembarangan. Sekarang katakan, kena--"
"Aku jatuh cinta sama kamu, Zoy," sahut Dimas tiba-tiba, memotong ucapan Zoya. Matanya menatap dengan serius, seolah ingin keluar dari zona yang selama beberapa bulan ini mereka bangun diatas dasar pertemanan.
Sementara tubuh Zoya diam terpaku. Siapa yang tidak akan goyah saat seorang pria yang menjadi dambaan para wanita, menyatakan cinta kepadanya. "Ck, ayolah Dim. Ini terlalu sore untuk mengajakku bercanda."
"Aku tidak bercanda." Tangan dimas begerak perlahan, menggenggam tangan Zoya, erat. "Aku merasa nyaman saat didekat kamu, tapi aku selalu menahan diri untuk menyatakan perasaanku, karena kamu selalu saja membawa nama Nisa disetiap obrolan kita."
Satu tahun berlalu sejak putus cinta dengan Nisa, dimas merasa cukup sudah. Dia harus menyatakan cintanya kepada Zoya, menjadikan hubungan pertemanan mereka menjadi satu komitmen baru yang untuk saling melengkapi satu sama lain.
Apakah menjalani komitmen dengan mantan pacar sahabat sendiri adalah sebuah kesalahan? Tentu tidak, tapi Zoya selalu merasa itu adalah sebuah hal yang tidak mungkin dia jalani.
"Sudah satu tahun berlalu, Nisa sudah bahagia dengan pacar barunya. Lalu apa aku tidak boleh? Maaf, jika kamu merasa tidak nyaman dengan pernyataanku, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak akan memaksa, kamu boleh menolak jika memang selama ini, semua perhatian yang aku berikan tidak pernah menyetuh hatimu. Pikirkan saja dulu."
Dimas menepuk pundak Zoya pelan, lalu beranjak pergi dari tempat tersebut. Kini tinggallah Zoya di sana, merenung dengan segala kegelisahan yang berlebihan.
***
Satu minggu berlalu, selama itu pula Zoya tidak pernah bertemu dengan Dimas, padahal mereka di satu perusahaan yang sama. Kadang dia berpikir tidak perlu memberi jawaban, namun dia tahu pasti dimas pasti sedang menunggu.
Setelah diam melamun beberapa detik, tiba-tiba Zoya berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah menuju meja kepala departemen tempatnya bekerja. "Pak, saya izin keluar sebentar."
"Oh ya silakan, lagi pula pekerjaan kamu sudah selesai." Mendengar itu, Zoya segera bergegas keluar dari ruangan.
Dia melangkah cepat masuk ke dalam lift untuk turun ke lantai 4 gedung perusahaan tersebut. Ya, mereka memang bekerja di satu perusahaan namun di departemen berbeda.
Selama ini Dimas selalu menghampirinya untuk mengajak makan dan sebagainya, tetapi sekarang selama satu minggu belakangan hal itu tidak pernah lagi terjadi, Dimas menghilang lenyap dari hidupnya.
Selama satu minggu pula Zoya mulai menyadari jika kehadiran Dimas amatlah berarti di dalam hidupnya. Kenapa dia harus mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi dan menuruti egonya untuk terus menjauh dan membatasi diri.
"Dimas cuti karena sakit, sudah dua hari dia tidak masuk," ungkap seorang wanita sesaat setelah Zoya datang dan mempertanyakan keberadaan Dimas.
"Sakit?" Raut wajah Zoya nampak semakin panik. Dia segera pamit undur diri lalu begegas kembali ke ruangannya.
***
Sepulang kerja, Zoya yang merasa khawatir memutuskan untuk pergi menemui Dimas di apartemennya, berbekal sekantong sop daging yang dia beli di warung langganan.
Sesampainya di depan unit, Zoya memencet bel dengan tidak sabar. Pikirannya mulai di penuhi hal negatif, dia takut terjadi hal burul kepada Dimas. "Dimas, buka pintunya!"
Klek.
Setelah kepanikan yang tak terkendali, akhirnya pintu itu terbuka. Melihat Dimas keluar dari balik pintu, membuat Zoya merasa lega. "Apa kamu mau membuatku jantungan, hah! Kenapa sakit, tidak bilang?"
Bukannya kaget, Dimas malah terkekeh. Dia tahu Zoya hanya khawatir kepadanya. "Masuklah, jangan berteriak disini."
Tanpa bicara apapun lagi, Zoya segera bergegas masuk kedalam. Dia melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk memanaskan sup daging yang tadi dia beli seraya terus mengoceh.
"Aku sampai naik ojek agar bisa sampai dengan cepat kesini. Kalau sakit seharusnya kamu bilang, kamu tidak punya siapapun di kota ini. Jangan sampai--"
Zoya tak bisa melanjutkan ucapannya saat dari belakang, Dimas memeluknya dengan erat. "Aku merindukan kamu. Aku mohon jangan ragu, tetaplah disisiku. Aku sangat mencintaimu."
Zoya merasa pertahanan dirinya yang sudah retak kini benar-benar hancur menjadi abu, dia tidak bisa membohongi dirinya bahwa dia juga mempunyai perasaan yang sama dengan Dimas. perlahan dia berbalik menatap pria itu dengan lekat. "Are you sure?"
"Ya aku sangat yakin. Jadilah kekasihku, Zoya."
Melihat Zoya lengah tanpa penolakan, Dimas mengerakkan tangannya, menelusup masuk ke belakang leher jenjang Zoya dan mulai menyatukan bibir mereka dengan lembut, menyapu pelan dan penuh kehangatan.
Bersambung 💕
Sempat terhanyut beberapa saat, hingga akhirnya Zoya membuka mata dan segera menjauhkan tubuh Dimas darinya. "Maaf Dim, mungkin kamu yakin tapi aku ... aku tidak siap untuk semua ini."
"Lalu bagaimana dengan aku, yang terlanjur mencintai kamu, Zoya." Dimas kembali hendak mendekat, namun Zoya menghindarinya.
Satu minggu berlalu dan nyatanya Dimas belum bisa meyakinkan Zoya sepenuhnya, dan dia yakin satu alasan yang tepat itu adalah karena Nisa. Terus mendesak dan memaksa hanya akan membuat wanita yang dia cintai semakin menjauh.
Perlahan Dimas kembali memundurkan tubuhnya seolah menjaga jarak agar Zoya bisa bersikap lebih santai dan tidak takut kepadanya. "Maafkan aku. Aku sudah terlalu lama memendam perasaanku, hingga tak bisa mengendalikannya."
Zoya kembali mencoba menenangkan dirinya kemudian berbalik menuang sup yang sudah dia beli, ke dalam mangkuk. setelah selesai dia mengangkat mangkuk itu dan diletakkan di meja makan kecil yang ada di dapur apartemen. "Makanlah selagi hangat."
Seolah tidak lagi memperdulikan semua ucapan Dimas, Zoya kembali melangkah mengambil tasnya dan mengeluarkan kantong plastik berisi obat yang dia beli di apotek. "Ini juga ada obat untuk kamu, kalau begitu aku pulang dulu." Dia memakai tasnya kembali, bersiap untuk pulang.
Sejenak Dimas nampak terpegun memandangi Zoya dari kejauhan. Sikap Zoya menjadi lebih dingin kepadanya dan dia pun sudah memprediksi semua sebelum mengungkapkan perasaannya. "Zoya, terima kasih."
Pandangan Zoya kembali beralih memandang kearah Dimas. "Hm, sama-sama. Aku pulang, jangan lupa makan obatnya."
Dimas hanya mengangguk pelan meski sebenarnya dia ingin mencegah Zoya untuk pulang. Setidaknya yang harus disyukuri, Zoya masih perhatian kepadanya meski sampai detik ini perasaan yang diungkapkan belum juga terbalaskan.
Pandangan Dimas terus mengikuti Zoya hingga menghilang dari balik pintu apartemen. Dia berbalik badan, kembali ke dapur untuk menikmati sup yang telah dibeli soya untuknya.
Tangannya mulai bergerak mengangkat sendok dan menyeruput kuah sop itu perlahan. Helaan nafas berat kembali terdengar dia tertunduk lemas memikirkan keputusannya yang tidak ditanggapi dengan baik. "Apa yang harus aku lakukan, agar kamu percaya kepadaku."
***
Sekitar pukul empat sore, Zoya sudah sampai di rumah, dia langsung disambut oleh sang ibu yang juga baru saja kembali dari sebuah acara yang dekat dari rumah.
Tumbuh dari keluarga broken home nyatanya tidak membuat Zoya kekurangan kasih sayang karena di rumah itu ada ibu dan juga nenek yang sangat mencintainya.
"Zoya, kamu juga baru pulang?"
"Iya Bu, tadi aku ke tempat teman sebentar."
"Oh iya, Zoya tadi Ibu ketemu sama Ibunya Nisa, dia nitip oleh-oleh untuk kamu, sepertinya Pak bram dan Bu Anis baru pulang dari luar kota. Kamu sudah jarang ketemu Nisa ya?"
Bukan hanya Ibu dan Nenek yang sangat menyayanginya, tapi juga kedua orang tua sahabatnya Nisa, sangat perhatian kepadanya. "Hm, Nisa sekarang sibuk dibutiknya, Bu." Dia mengambil alih paper bag itu dari tangan sang Ibu. "Kalau begitu, aku ke kamar dulu, mau mandi dan istirahat."
"Iya deh, kamu pasti lelah. Tapi nanti jangan lupa ke kamar Nenek, tadi dia nyari kamu," ujar Ibu.
"Iya, Bu." Zoya segera melanjutkan langkah, menuju kamarnya. Hari ini pasti sangat melelahkan baginya, bukan hanya lelah fisik tapi hati juga.
***
Bumi kembali dibasahi hujan rintik, saat Dimas mengendarai motor gedenya membelah jalanan Ibu kota yang nampak legang tak sepadat biasanya.
Setiap detik berganti, laju motor itu semakin cepat. Hingga akhirnya dia memutar setir kearah kanan, menepi di depan sebuah cafe, tempat dia berjanji temu dengan seseorang.
Dari balik dinding kaca, dia melambaikan tangannya kepada seseorang yang dia ajak bertemu. Langkahnya segera berlanjut masuk, dan menghampiri orang tersebut. "Hy, Nis. Kamu sudah lama?"
"Ah tidak, aku juga baru saja sampai. Tadi aku diantar Dion kesini. Duduklah." Ya, dialah Nisa. Mantan kekasih Dimas, mereka berpisah dengan cara yang baik, setelah satu tahun berlalu, nyatanya hubungan silaturahmi mereka masih sama.
"Maaf, mengganggu kamu malam-malam seperti ini. Tapi ada hal penting yang ingin aku sampaikan." Tak ada sedikitpun keraguan diwajah Dimas meski perasaan canggung itu pasti ada.
"Santai saja, kamu kenapa serius sekali. Memangnya ada apa sih?" tanya Nisa penasaran. Sudah cukup lama mereka tak bertegur sapa seperti sekarang, biasanya hanya melalui media sosial.
"Aku mau--"
"Permisi." Ucapan Dimas terhenti saat seorang pelayan cafe, mengantarkan minuman yang sudah di pesan Nisa sebelum dia datang.
"Terima kasih," ucap Nisa ramah. Setelah kepergian pelayan cafe itu, dia kembali beralih menatap Dimas. "Minum dulu deh, baru lanjut ngomong lagi."
"Ehm, ya terima kasih." Perlahan Dimas menyeruput coffe latte yang di pesan Nisa lah penasaran. "Apasih? Jangan buat aku makin penasaran deh."
Dimas kembali mencoba mengatur napas. "Apa menurut kamu, apa aku salah jika menyukai Zoya?"
Mata Nisa membulat sempurna. "Zo-zoya, kamu menyukai Zoya?"
Dimas mengangguk pelan. "Iya, sejak empat bulan yang lalu, aku menyadari bahwa aku mencintai dia, Nis. Aku tahu dia adalah sahabat kamu, kalian sudah seperti saudara, tapi apa aku salah jika mencintainya?"
Nisa tertegun sesaat sebelum akhirnya kembali menatap Dimas. "Tentu saja tidak. Hubungan kita sudah lama berakhir, kamu tahu betapa cintanya aku kepada Dion sekarang. Aku malah senang jika wanita itu adalah Zoya, kamu tidak salah pilih. Lalu apa masalahnya sekarang?"
Dimas kembali tertunduk. "Entahlah, dia selalu perhatian kepadaku, aku juga nyaman saat didekatnya tapi dia seolah membangun dinding pembatas diantara kami. Aku benar-benar bingung, karena itulah aku mengajak kamu bertemu sekarang."
"Oh jadi ceritanya kamu meminta aku untuk bicara kepadanya?" tanya Nisa seraya berusaha menahan tawa.
"Ya ... begitulah," jawab Dimas sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Haha, kamu ini tinggal bilang iya saja susah sekali. Tenang saja, aku akan bicara kepadanya.
***
Pukul sebelas malam, mata Zoya masih terjaga. Sejak tadi dia berguling-guling tidak jelas diatas ranjang sambil sesekali mengecek ponselnya, namun tidak ada pesan masuk apalagi telepon.
"Ayolah kamu harus tidur, Zoya. Apasih yang kamu tunggu, hah?" gumamnya sendiri.
Treett... treett.
Dalam hitungan detik Zoya sudah turun dari atas ranjang, meraih ponsel diatas nakas, karena ada telepon masuk. "Ehm, kenapa dia meneleponku jam segini." Dia menerima panggilan telepon itu tanpa pikir panjang.
"Hallo, kenapa? Ini jam saat orang sedang terlelap, bukan untuk menelpon."
[Buka jendela kamarmu, aku ingin melihat kamu sebentar.]
"A-apa!" Zoya segera berbalik, membuka jendela kamarnya. Dan benar saja, saat ini Dimas sedang berdiri sekitar 10 meter dari jendela kamarnya. Lampu teras yang menyala dengan terang membuat Zoya bisa melihat Dimas dengan jelas. "Ini sudah malam, kenapa kamu bediri di situ, nanti ada yang lewat, kamu di kira maling."
Dimas terkekeh kecil mendengar ucapan Zoya. [Benar juga, tapi aku rela menanggung resiko apapun demi bisa melihat kamu, meski hanya sebentar.]
"Ck, gombal."
[Zoya, kamu pasti kesal kepadaku ya? Percayalah, aku sudah berusaha menyembunyikan perasaanku, demi mempertahankan hubungan pertemanan kita, tapi aku tidak bisa. Sekarang jawab aku, apa kamu juga mencintaiku?]
Tiba-tiba dada Zoya terasa sesak. Mulutnya memang membisu, tanpa sepatah kata, namun air mata yang mengalir dari sudut mata, seolah mampu menjelaskan semuanya.
Bersambung 💕
Pagi ini, Zoya yang baru saja sampai di lobby kantor, mendadak menghentikan langkahnya saat tanpa sengaja berpapasan dengan Dimas. Sejenak mereka saling beradu pandang.
Entah mengapa semakin hari situasi antara keduanya semakin canggung. Semenjak pernyataan cinta yang disampaikan Dimas, Zoya terus mencoba menghindar. tetapi tatapannya saat ini, seolah mengisyaratkan jika dia merindukan Dimas.
Merindukan masa-masa dimana mereka menghabiskan waktu bersama, tanpa rasa canggung layaknya sahabat dekat. Ternyata benar kata orang, cinta itu tidak salah, namun saat yang kamu cintai adalah temanmu sendiri, ceritanya akan berbeda lagi.
"Zoya, kamu baru datang?"
"Hm, yah. Kalau begitu aku naik dulu."
Zoya segera bergegas pergi. Sementara Dimas tak mencegatnya seperti biasa. Sepertinya dia sudah pasti dengan keadaan, bukan lelah berjuang, namun Dimas hanya tidak ingin Zoya merasa tidak nyaman dan tertekan.
Suatu saat, kamu pasti akan menyadarinya, Zoy. Aku tahu kamu pasti juga memiliki perasaan yang sama denganku, batin Dimas.
***
Malam ini, Dimas yang bosan dirumah, memilih keluar , untuk menemui teman-teman tongkrongannya di salah satu lapangan bulutangkis. Dia biasa berolahraga malam, selain untuk kebugaran, juga untuk menghilangkan stres.
Dimas mengangkat tangannya menyapa temannya bernama Reza yang sudah mulai bermain mendahuluinya bersama beberapa orang yang ada disana juga. "Kamu sudah melupakan aku ya? Aku jarang datang, bukan berarti aku tidak mau main lagi."
Reza, mendekat dan langsung merangsek Dimas. "Aku pikir kamu sibuk dengan cewek baru. Biasanya kalau punya pacar kamu pasti jarang berolahraga."
"Ck, pacar apaan. Jomblo nih, akhir-akhir ini aku hanya sedang sibuk di kantor karena awal tahun banyak pekerjaan," ungkap Dimas seraya mengeluarkan raketnya dari dalam tas.
"Oh ya, Dim. Zoya apa kabar? Beberapa hari lalu aku ngechat dia, tapi tidak dibalas. Apa dia sudah punya pacar kali ya, biasanya juga responnya cepat," ujar Reza.
Entah kenapa pertanyaan itu membuat Dimas menjadi kesal. Padahal dia tahu pasti jika Reza dan Zoya memang sering berbalas pesan. "Dia sibuk. Aku juga sekarang jarang jalan sama dia."
"Ck, tadinya aku pikir. Kamu dan Zoya sedang menjalin hubungan, makanya kamu jarang kesini. Aku lihat kalian semakin dekat. Tapi aku yakin, kamu tidak mungkin menyukai sahabat mantan pacar kamu sendiri 'kan?"
Andai Reza tahu, jika Dimas sudah mengungkapkan perasaannya, mungkin dia tidak akan berangkat bicara seperti itu. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, membuat Dimas bungkam. Dia segera berdiri dari posisi duduknya. "Ayo main, jangan banyak ghibah."
"Ya elah, biasanya juga. Ya udah deh, ayo."
Dimas melangkah menuju lapangan, beriringan dengan Reza. Tubuhnya mungkin ada disini, tetapi hati dan pikirannya sedang bersama seorang wanita yang terus membuatnya menggila, karena di tolak.
Ternyata benar, wajar jika Zoya ragu, Reza saja berpikiran jika aku tidak mungkin menyukai Zoya, batin Dimas.
***
Sementara ditempat berbeda, motor yang dikendarai Zoya baru saja sampai di depan kediaman mewah milik keluarga sahabatnya. Sambil menenteng sebuah paper bag berisi kue buatan sang Ibu, dia melanjutkan menuju teras.
"Eh, Zoya sudah datang. Dari tadi Nisa sudah menunggu kamu. Ayo masuk," sapa Ibu Nisa dengan ramah.
"Iya nih, Tante. Oh iya, ini ada kue dari Ibu dan terima kasih untuk oleh-oleh namun kemarin," ungkap Zoya.
"Sama-sama, aduh bau kue bolunya enak banget. Ya sudah, kamu langsung ke kamar Nisa ya, tante mau nyicil kuenya dulu," ucap Ibu Nisa lalu melangkah dengan Zoya beriringan masuk kedalam.
Saat ibu berbelok ke arah dapur, Zoya segera menaiki tangga menuju lantai 2 di mana kamar Nisa berada. Sudah dua minggu mereka tidak bertemu dan Zoya tidak merasa curiga sedikitpun Kenapa tiba-tiba saja Nisa memintanya untuk datang.
"Hy Nis, ngapain kamu," sapa Zoya saat membuka pintu kamar dan melihat Nisa sedang berdiri di depan lemari pakaian.
"Eh kamu sudah datang." Nisa segera mendekat dan memeluk sehabis itu. "Aku rindu lah, kamu sibuk dan aku juga. Kita udah jarang ngobrol bareng. Malam ini kamu jadi nginap 'kan?"
"He'em, kalau sama kamu sih, Ibu ku selalu percaya," Zoya merebahkan tubuhnya di ranjang empuk milik Nisa. "Ah enaknya, hari ini lelah sekali ka--"
Zoya tidak bisa melanjutkan ucapannya, saat tiba-tiba Nisa meletakkan sebuah kotak besar di sampingnya. "Apaan ini?" tanya Zoya.
"Kado ulang tahun kamu lah," ucap Nisa dengan raut wajah penuh penyesalan.
Zoya pun kembali terlihat antusias. "Kok kamu ingat sih, tapi ulang tahun aku kan besok, tanggal 13," ungkap Zoya seraya membuka hadiah dari sahabatnya itu.
"Kamu tahu kan sekarang aku sedang sibuk karena launching brand baru, pokoknya malam ini kita rayakan ulang tahun kamu, berdua saja," ucap Nisa.
"Setuju, hehe. Kamu pesan makanan deh, nanti aku yang bayar," ujar Zoya yang nampak antusias.
Meski hanya memiliki satu sahabat, namun Zoya merasa sangat bahagia. Nisa mengajarkan dia banyak hal tentang arti persahabatan yang sesungguhnya dan juga tentang makna kerja keras.
***
Pukul sepuluh malam, setelah selesai makan malam dan karaokean di kamar itu. Kini Zoya dan Nisa duduk di balkon kamar seraya mendogakkan kepala memandangi bintang-bintang.
"Gimana hubungan kamu sama Dion, lancar?" tanya Zoya setelah sempat hening.
"Lancar jaya, hehe. Dia ngajak aku nikah terus tapi aku belajar siap, masih mau bangun karir, masih mau eksplor banyak hal." Nisa menoleh menatap Zoya. "Kamu sendiri gimana sama Dimas, lancar?"
"Hah?" Zoya mendadak blank, Kenapa tiba-tiba saja Nisa membahas tentang Dimas. Padahal dia belum menceritakan apapun tentang Dimas yang menyatakan perasaan kepadanya beberapa hari yang lalu.
Zoya mendadak salah tingkah sendiri. "Kok tiba-tiba kamu bahas dia sih."
Nisa terkekeh kecil lalu menyenggol bahu Zoya. "Zoya, sudahlah. Kamu jangan berusaha menyembunyikan apapun lagi dari ku. Kamu tahu, saking seriusnya, dimas sampai menemui aku. Dia sudah menceritakan semuanya. Zoy, kamu ragu menerima dia karena aku ya?"
Zoya diam tertegun sesaat. Bagaimana dia harus mengutamakan semua yang dia rasakan sekarang. Jujur saja, dia pun telah jatuh cinta. Namun sampai detik ini, dia masih merasa jika mencintai mantan pacar sahabat sendiri adalah kesalahan.
Mindset toxic itu terus terbangun meski Zoya tidak bisa membohongi hati.
"Zoya, jangan membatasi hati kamu, jika kamu mempunyai perasaan yang sama, terima dia. Kamu tahu, aku dan Dimas itu hanya pacaran dua bulan saja, ingat? Itu juga hanya karena saling penasaran, eh nyatanya gak cocok. Sekarang aku sudah menemukan orang yang tepat. Kamu juga harus mencoba, jangan dipendam, nanti kalau dia menjauh kamu bisa nyesel loh."
"Nisa kamu ...." Zoya menutup wajahnya dengan kedua tangan karena merasa terharu. Sekarang waktunya dia untuk jujur pada hati sendiri, karena mencintai bukanlah sebuah kesalahan selama yang dicintai bukan milik orang lain.
Bersambung 💕
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!