Sempat terhanyut beberapa saat, hingga akhirnya Zoya membuka mata dan segera menjauhkan tubuh Dimas darinya. "Maaf Dim, mungkin kamu yakin tapi aku ... aku tidak siap untuk semua ini."
"Lalu bagaimana dengan aku, yang terlanjur mencintai kamu, Zoya." Dimas kembali hendak mendekat, namun Zoya menghindarinya.
Satu minggu berlalu dan nyatanya Dimas belum bisa meyakinkan Zoya sepenuhnya, dan dia yakin satu alasan yang tepat itu adalah karena Nisa. Terus mendesak dan memaksa hanya akan membuat wanita yang dia cintai semakin menjauh.
Perlahan Dimas kembali memundurkan tubuhnya seolah menjaga jarak agar Zoya bisa bersikap lebih santai dan tidak takut kepadanya. "Maafkan aku. Aku sudah terlalu lama memendam perasaanku, hingga tak bisa mengendalikannya."
Zoya kembali mencoba menenangkan dirinya kemudian berbalik menuang sup yang sudah dia beli, ke dalam mangkuk. setelah selesai dia mengangkat mangkuk itu dan diletakkan di meja makan kecil yang ada di dapur apartemen. "Makanlah selagi hangat."
Seolah tidak lagi memperdulikan semua ucapan Dimas, Zoya kembali melangkah mengambil tasnya dan mengeluarkan kantong plastik berisi obat yang dia beli di apotek. "Ini juga ada obat untuk kamu, kalau begitu aku pulang dulu." Dia memakai tasnya kembali, bersiap untuk pulang.
Sejenak Dimas nampak terpegun memandangi Zoya dari kejauhan. Sikap Zoya menjadi lebih dingin kepadanya dan dia pun sudah memprediksi semua sebelum mengungkapkan perasaannya. "Zoya, terima kasih."
Pandangan Zoya kembali beralih memandang kearah Dimas. "Hm, sama-sama. Aku pulang, jangan lupa makan obatnya."
Dimas hanya mengangguk pelan meski sebenarnya dia ingin mencegah Zoya untuk pulang. Setidaknya yang harus disyukuri, Zoya masih perhatian kepadanya meski sampai detik ini perasaan yang diungkapkan belum juga terbalaskan.
Pandangan Dimas terus mengikuti Zoya hingga menghilang dari balik pintu apartemen. Dia berbalik badan, kembali ke dapur untuk menikmati sup yang telah dibeli soya untuknya.
Tangannya mulai bergerak mengangkat sendok dan menyeruput kuah sop itu perlahan. Helaan nafas berat kembali terdengar dia tertunduk lemas memikirkan keputusannya yang tidak ditanggapi dengan baik. "Apa yang harus aku lakukan, agar kamu percaya kepadaku."
***
Sekitar pukul empat sore, Zoya sudah sampai di rumah, dia langsung disambut oleh sang ibu yang juga baru saja kembali dari sebuah acara yang dekat dari rumah.
Tumbuh dari keluarga broken home nyatanya tidak membuat Zoya kekurangan kasih sayang karena di rumah itu ada ibu dan juga nenek yang sangat mencintainya.
"Zoya, kamu juga baru pulang?"
"Iya Bu, tadi aku ke tempat teman sebentar."
"Oh iya, Zoya tadi Ibu ketemu sama Ibunya Nisa, dia nitip oleh-oleh untuk kamu, sepertinya Pak bram dan Bu Anis baru pulang dari luar kota. Kamu sudah jarang ketemu Nisa ya?"
Bukan hanya Ibu dan Nenek yang sangat menyayanginya, tapi juga kedua orang tua sahabatnya Nisa, sangat perhatian kepadanya. "Hm, Nisa sekarang sibuk dibutiknya, Bu." Dia mengambil alih paper bag itu dari tangan sang Ibu. "Kalau begitu, aku ke kamar dulu, mau mandi dan istirahat."
"Iya deh, kamu pasti lelah. Tapi nanti jangan lupa ke kamar Nenek, tadi dia nyari kamu," ujar Ibu.
"Iya, Bu." Zoya segera melanjutkan langkah, menuju kamarnya. Hari ini pasti sangat melelahkan baginya, bukan hanya lelah fisik tapi hati juga.
***
Bumi kembali dibasahi hujan rintik, saat Dimas mengendarai motor gedenya membelah jalanan Ibu kota yang nampak legang tak sepadat biasanya.
Setiap detik berganti, laju motor itu semakin cepat. Hingga akhirnya dia memutar setir kearah kanan, menepi di depan sebuah cafe, tempat dia berjanji temu dengan seseorang.
Dari balik dinding kaca, dia melambaikan tangannya kepada seseorang yang dia ajak bertemu. Langkahnya segera berlanjut masuk, dan menghampiri orang tersebut. "Hy, Nis. Kamu sudah lama?"
"Ah tidak, aku juga baru saja sampai. Tadi aku diantar Dion kesini. Duduklah." Ya, dialah Nisa. Mantan kekasih Dimas, mereka berpisah dengan cara yang baik, setelah satu tahun berlalu, nyatanya hubungan silaturahmi mereka masih sama.
"Maaf, mengganggu kamu malam-malam seperti ini. Tapi ada hal penting yang ingin aku sampaikan." Tak ada sedikitpun keraguan diwajah Dimas meski perasaan canggung itu pasti ada.
"Santai saja, kamu kenapa serius sekali. Memangnya ada apa sih?" tanya Nisa penasaran. Sudah cukup lama mereka tak bertegur sapa seperti sekarang, biasanya hanya melalui media sosial.
"Aku mau--"
"Permisi." Ucapan Dimas terhenti saat seorang pelayan cafe, mengantarkan minuman yang sudah di pesan Nisa sebelum dia datang.
"Terima kasih," ucap Nisa ramah. Setelah kepergian pelayan cafe itu, dia kembali beralih menatap Dimas. "Minum dulu deh, baru lanjut ngomong lagi."
"Ehm, ya terima kasih." Perlahan Dimas menyeruput coffe latte yang di pesan Nisa lah penasaran. "Apasih? Jangan buat aku makin penasaran deh."
Dimas kembali mencoba mengatur napas. "Apa menurut kamu, apa aku salah jika menyukai Zoya?"
Mata Nisa membulat sempurna. "Zo-zoya, kamu menyukai Zoya?"
Dimas mengangguk pelan. "Iya, sejak empat bulan yang lalu, aku menyadari bahwa aku mencintai dia, Nis. Aku tahu dia adalah sahabat kamu, kalian sudah seperti saudara, tapi apa aku salah jika mencintainya?"
Nisa tertegun sesaat sebelum akhirnya kembali menatap Dimas. "Tentu saja tidak. Hubungan kita sudah lama berakhir, kamu tahu betapa cintanya aku kepada Dion sekarang. Aku malah senang jika wanita itu adalah Zoya, kamu tidak salah pilih. Lalu apa masalahnya sekarang?"
Dimas kembali tertunduk. "Entahlah, dia selalu perhatian kepadaku, aku juga nyaman saat didekatnya tapi dia seolah membangun dinding pembatas diantara kami. Aku benar-benar bingung, karena itulah aku mengajak kamu bertemu sekarang."
"Oh jadi ceritanya kamu meminta aku untuk bicara kepadanya?" tanya Nisa seraya berusaha menahan tawa.
"Ya ... begitulah," jawab Dimas sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Haha, kamu ini tinggal bilang iya saja susah sekali. Tenang saja, aku akan bicara kepadanya.
***
Pukul sebelas malam, mata Zoya masih terjaga. Sejak tadi dia berguling-guling tidak jelas diatas ranjang sambil sesekali mengecek ponselnya, namun tidak ada pesan masuk apalagi telepon.
"Ayolah kamu harus tidur, Zoya. Apasih yang kamu tunggu, hah?" gumamnya sendiri.
Treett... treett.
Dalam hitungan detik Zoya sudah turun dari atas ranjang, meraih ponsel diatas nakas, karena ada telepon masuk. "Ehm, kenapa dia meneleponku jam segini." Dia menerima panggilan telepon itu tanpa pikir panjang.
"Hallo, kenapa? Ini jam saat orang sedang terlelap, bukan untuk menelpon."
[Buka jendela kamarmu, aku ingin melihat kamu sebentar.]
"A-apa!" Zoya segera berbalik, membuka jendela kamarnya. Dan benar saja, saat ini Dimas sedang berdiri sekitar 10 meter dari jendela kamarnya. Lampu teras yang menyala dengan terang membuat Zoya bisa melihat Dimas dengan jelas. "Ini sudah malam, kenapa kamu bediri di situ, nanti ada yang lewat, kamu di kira maling."
Dimas terkekeh kecil mendengar ucapan Zoya. [Benar juga, tapi aku rela menanggung resiko apapun demi bisa melihat kamu, meski hanya sebentar.]
"Ck, gombal."
[Zoya, kamu pasti kesal kepadaku ya? Percayalah, aku sudah berusaha menyembunyikan perasaanku, demi mempertahankan hubungan pertemanan kita, tapi aku tidak bisa. Sekarang jawab aku, apa kamu juga mencintaiku?]
Tiba-tiba dada Zoya terasa sesak. Mulutnya memang membisu, tanpa sepatah kata, namun air mata yang mengalir dari sudut mata, seolah mampu menjelaskan semuanya.
Bersambung 💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Novie Yanti
apa nama dimas emang se sweet itu/Drool/
2024-01-18
0
QQ
Semoga bukan hanya dibibir ya Mbak Nisa takutnya setelah mereka jadian kamu pengen nikung hubungan mereka lagi 😁😁😁✌️
2023-02-06
0
🍾⃝ᴘᴀͩᴛᷞɴͧᴏᷠᴢͣ Aja
iya Dim aq juga cinta sama kamu hehehe
2023-02-04
0