Story Ummul & Ludmil
Mohon maaf, jika ada sebuah surah dalam agama islam. Agamaku baik untukku, dan Agamamu baik untukmu. Mari kita berdamai, dan jangan bertentangan ketika membaca novel ini, ambil yang paham dan di mengerti saja ya All.
Aku tidak pernah tahu, apakah tulisan Pena ku bergulir menjadi akhir dari sebuah kisah cerita atau akhir dari saksi sebuah permainan dunia, yang pada akhirnya kita hidup di dunia hanya ibadah, dan menunggu daun dengan nama kita yang jatuh, kasarnya menunggu antrian.
"Jangan pernah berharap pada yang tidak pasti, apalagi berhadapan dengan orang yang serakah." ujarnya, membuat simbol hidupku menepati janji untuk mengalah, ingat mengalah adalah sebuah kemenangan bagi hidup kita, untuk berjalan lurus yang tidak mudah.
Ummul, arti namaku yang cukup dikenal ibu, sementara suamiku bernama Bang Ludmil. Yang artinya sangat indah, aku menyadari jika akulah yang beruntung bisa dinikahi pria seperti bang Ludmil.
Sesuai namanya, bang Ludmil, sendiri mempunyai arti kemuliaan manusia, yang tidak mudah hidup dipasangkan dengannya. Banyak hidup yang bertentangan, yang pada akhirnya kita sepakat untuk satu jalan.
Braagh.
Praang.
Ummul, yang saat ini sedang membuat teh di dapur, akhir akhir ini sesak dirinya semakin memuncak. Rasanya sakitnya kali ini, tidak bisa ia tahan ketika Bang Ludmil sendiri, sedang ada tamu di teras rumahnya.
'Ya rabb! Apakah, ini akhir dari semuanya. Jika aku berdoa, memohon padamu. Izinkan aku membuatkan hidangan, untuk para tamu suamiku, yang dari jauh. Serta berwudhu dan memohon ampunan sebelum dipanggil.' batin Ummul, yang saat itu ia mengenakan celana panjang besar menutupi kaki, dan mukena dengan sebuah penutup mulutnya, seperti masker. Tidak aneh, karena setiap Ummul sesak, dan batuk ia akan mengenakannya sehingga tidak terpapar pada lawan bicaranya.
"Dek, apa sudah siap?" tanya bang Ludmil, ketika membuka tirai lusuh hijau bergaris hitam, melongok istrinya apakah ia kerepotan menyiapkan.
"Ah, sebentar lagi bang, abang di depan saja. Ga enak, kalau abang kelamaan di belakang. Lagian tugas ini kan, aku dah biasa."
"Abang takut kamu kerepotan dek, gimana apa ada yang perlu abang bawa?"
"Eeemh, tissue aja. Sama kue kering di nampan bang, yang ringan. Kopi, sama teh aku aduk dulu. Sisanya masih bisa aku bawa kok bang." senyum Ummul, menutupi sakit yang tertahan, mirip sebuat tarikan yang mentog di rongga nafasnya, seperti tarik ulur.
"Baiklah, abang duluan ya!" senyum bang Ludmil, entah kenapa akhir akhir ini istrinya seperti ada yang disembunyikan.
Ingin rasanya, Ludmil sendiri berbicara empat mata, tapi karena tamu masih berkunjung, sehingga Ludmil tunda sampai mereka istirahat berbicara banyak.
"Ah, semoga saja ini sebuah perasaan tidak benar, aku hanya khawatir. Istriku tidak mungkin menyembunyikan sesuatu yang bukan bukan." ucap Ludmil, secara gamblang.
Dan entah kenapa melanjutkan akan tamu yang datang, semua dari daerah cirebon, pamijahan, dan cibubur. Mereka adalah seorang habib, haji yang berkunjung pernah menjadi satu jemaah bang Ludmil, yang datang bertamu dan akan mengisi acara di sebuah mesjid, dekat rumah bang Ludmil tanpa sengaja, sekalian mampir bersilaturahmi.
Sementata Ummul, ia hanya ketakutan ketika tangannya bergetar, saat membawa minuman hangat dan teko beling ke atas meja.
"Dek, kamu ga apa apa?" ucap Ludmil, kala menatap tangan istrinya tak seperti biasanya.
"Assalamualaikum, silahkan di minum pak! Bang, aku ga apa apa. Aku masuk dulu ya, mau ashar, sekaligus hubungi Ludmila, anak itu kenapa susah dihubungi ya bang. Katanya les pulang jam 3, ini udah jam berapa."
"Dek, ashar juga masih sepuluh menit lagi. Mila juga biasanya pulang telat sepuluh menit, mungkin macet. Ya udah, ga usah khawatir ya!"
"Eh, iya deh. Kalau gitu aku pamit ya bang, assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Serentak membalas.
Entah kenapa Ludmil sendiri menatap salah satu jemaah, seperti menatap istrinya dan mengucap istighfar. Entah kenapa dia merasa aneh, ketakutan dan tak ingin ucapannya salah sangka jika mengatakan sesuatu.
"Maaf nih, Pak Ludmil. Apa istri bapak sehat, atau sedang sakit?" tanya pak Zenal.
"Alhamdulillah pak. Sehat, ada apa ya?" tanya Ludmil, langsung pucat.
"Ah, ga papa. Nanti kita ketemu di mesjid bada isya ya pak! banyak yang mau saya bicarakan. Tapi semoga saja saya salah dan maaf kalau nanti lancang." ucap pak Zenal, setelah mendapat sorot mata Ustad Ali Thalib, yang mengkode isyarat pada rekannya itu yang paham.
Ludmil mengangguk, dan entah kenapa hatinya saat ini sedikit goyah ketakutan. Mereka pun berbincang soal pembangunan masjid, Ludmil sendiri sedang bertanya pada orang yang tinggi ilmunya, ia berencana dengan sang istri me wakafkan sebuah tanah miliknya, untuk pembangunan musholla agar kampungnya sedikit ramai.
***
Ummul, yang saat ini telah bersuci, berwudhu. Ia segera shalat sunnah, dan menjelang ashar. Ia segera menunaikan, pada hari kamis, menjelang esok hari jumat. Ummul sendiri tidak tahan, rasanya sakit ketika sebuah batu melayang dengan cahaya merah, masuk meneliuk jendelanya.
Ummul, yang ikhtiar dan menguatkan iman, ia tetap melanjutkan rakaat sampai akhir, sehingga setelah mengucapkan salam. Barulah Ummul membaca surat, yang berisi di akhir.
Tawakkaltu Alallah!!
Hingga kalimat akhir, berhasil Ummul Khasiah lontarkan di sujud akhirnya.
Ummul mengucapkan kalimat yang menyesakan, ia bisa mengucapkan kata terakhir dan bersujud lama. Dahinya berkeringat, nafasnya berat sehingga bayangan bang Ludmil, dan kedua anak perempuannya yang bernama Ludmila, dan Fulmala ada dalam ingatan Ummul, ia tersenyum dan meminta maaf jika selama dirinya menjadi seorang ibu, dan istri masih kurang baik.
Akhirnya, Ummul sendiri menutup mata, dengan posisi sujud yang sudah berpuluh menit dengan kaku, yang sebagian akan terjatuh ketika disentuh.
"Masyallah."
Braaaagh!!
Pukulan, atau dentuman bagai sebuah batu besar. Membuat Ludmila yang disapa Mila, anak perempuan kedua Ummul dan Ludmil tersentak kaget, kala pintu kamar orangtuanya terbuka sedikit.
"Bu, ada apa bu?" teriak Mila, pulang les kaget akan suatu suara keras, seperti dari kamar ibunya sebelum ke kamarnya.
Mila sendiri akhirnya membuka kaos kaki, lalu melihat ibunya sedang shalat. Ia duduk di kursi menunggu ibunya, mengeliling kamar tak ada apapun yang jatuh. Hanya sebuah gorden yang terbuka dengan tersapu angin.
10 menit.
20 menit, Mila langsung menghampiri ibunya, dan menyentuh ibunya yang dari tadi masih sujud tak bersuara.
"Bu .. Aaaah!" syok Mila.
Ibuuuuuuuu ... teriak Ludmila, membuat matanya tak terbendung jatuh begitu saja.
Sementara bang Ludmil, dan tiga tamu yang akan beranjak pergi. Langsung masuk ke dalam rumah akan teriakan putrinya.
"Ada apa Mil?"
"Ibu, Ibuuu .. Ibuu Pak." Mila, bergetar dan tiga orang pria tadi di balik pintu, hanya istighfar. Dan mengucapkan innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ụn, setelah Ludmil mendekat dan menepuk pipi istrinya, dengan jatuh tangisan sesak berat.
"Dek, ada apa dek. Kenapa kamu tinggalin abang seperti ini.. ?" isak, Ludmil membuat semua mata banjir.
Salah satu tamu, segera menghubungi seseorang. Sebagian lagi, menghubungi jemaah masjid, dan tetangga untuk meminta bantuan.
TBC.
Hello, dukung tulisan author ya all.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments