NovelToon NovelToon

Story Ummul & Ludmil

KEMATIAN UMMUL

Mohon maaf, jika ada sebuah surah dalam agama islam. Agamaku baik untukku, dan Agamamu baik untukmu. Mari kita berdamai, dan jangan bertentangan ketika membaca novel ini, ambil yang paham dan di mengerti saja ya All.

Aku tidak pernah tahu, apakah tulisan Pena ku bergulir menjadi akhir dari sebuah kisah cerita atau akhir dari saksi sebuah permainan dunia, yang pada akhirnya kita hidup di dunia hanya ibadah, dan menunggu daun dengan nama kita yang jatuh, kasarnya menunggu antrian.

"Jangan pernah berharap pada yang tidak pasti, apalagi berhadapan dengan orang yang serakah." ujarnya, membuat simbol hidupku menepati janji untuk mengalah, ingat mengalah adalah sebuah kemenangan bagi hidup kita, untuk berjalan lurus yang tidak mudah.

Ummul, arti namaku yang cukup dikenal ibu, sementara suamiku bernama Bang Ludmil. Yang artinya sangat indah, aku menyadari jika akulah yang beruntung bisa dinikahi pria seperti bang Ludmil.

Sesuai namanya, bang Ludmil, sendiri mempunyai arti kemuliaan manusia, yang tidak mudah hidup dipasangkan dengannya. Banyak hidup yang bertentangan, yang pada akhirnya kita sepakat untuk satu jalan.

Braagh.

Praang.

Ummul, yang saat ini sedang membuat teh di dapur, akhir akhir ini sesak dirinya semakin memuncak. Rasanya sakitnya kali ini, tidak bisa ia tahan ketika Bang Ludmil sendiri, sedang ada tamu di teras rumahnya.

'Ya rabb! Apakah, ini akhir dari semuanya. Jika aku berdoa, memohon padamu. Izinkan aku membuatkan hidangan, untuk para tamu suamiku, yang dari jauh. Serta berwudhu dan memohon ampunan sebelum dipanggil.' batin Ummul, yang saat itu ia mengenakan celana panjang besar menutupi kaki, dan mukena dengan sebuah penutup mulutnya, seperti masker. Tidak aneh, karena setiap Ummul sesak, dan batuk ia akan mengenakannya sehingga tidak terpapar pada lawan bicaranya.

"Dek, apa sudah siap?" tanya bang Ludmil, ketika membuka tirai lusuh hijau bergaris hitam, melongok istrinya apakah ia kerepotan menyiapkan.

"Ah, sebentar lagi bang, abang di depan saja. Ga enak, kalau abang kelamaan di belakang. Lagian tugas ini kan, aku dah biasa."

"Abang takut kamu kerepotan dek, gimana apa ada yang perlu abang bawa?"

"Eeemh, tissue aja. Sama kue kering di nampan bang, yang ringan. Kopi, sama teh aku aduk dulu. Sisanya masih bisa aku bawa kok bang." senyum Ummul, menutupi sakit yang tertahan, mirip sebuat tarikan yang mentog di rongga nafasnya, seperti tarik ulur.

"Baiklah, abang duluan ya!" senyum bang Ludmil, entah kenapa akhir akhir ini istrinya seperti ada yang disembunyikan.

Ingin rasanya, Ludmil sendiri berbicara empat mata, tapi karena tamu masih berkunjung, sehingga Ludmil tunda sampai mereka istirahat berbicara banyak.

"Ah, semoga saja ini sebuah perasaan tidak benar, aku hanya khawatir. Istriku tidak mungkin menyembunyikan sesuatu yang bukan bukan." ucap Ludmil, secara gamblang.

Dan entah kenapa melanjutkan akan tamu yang datang, semua dari daerah cirebon, pamijahan, dan cibubur. Mereka adalah seorang habib, haji yang berkunjung pernah menjadi satu jemaah bang Ludmil, yang datang bertamu dan akan mengisi acara di sebuah mesjid, dekat rumah bang Ludmil tanpa sengaja, sekalian mampir bersilaturahmi.

Sementata Ummul, ia hanya ketakutan ketika tangannya bergetar, saat membawa minuman hangat dan teko beling ke atas meja.

"Dek, kamu ga apa apa?" ucap Ludmil, kala menatap tangan istrinya tak seperti biasanya.

"Assalamualaikum, silahkan di minum pak! Bang, aku ga apa apa. Aku masuk dulu ya, mau ashar, sekaligus hubungi Ludmila, anak itu kenapa susah dihubungi ya bang. Katanya les pulang jam 3, ini udah jam berapa."

"Dek, ashar juga masih sepuluh menit lagi. Mila juga biasanya pulang telat sepuluh menit, mungkin macet. Ya udah, ga usah khawatir ya!"

"Eh, iya deh. Kalau gitu aku pamit ya bang, assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam." Serentak membalas.

Entah kenapa Ludmil sendiri menatap salah satu jemaah, seperti menatap istrinya dan mengucap istighfar. Entah kenapa dia merasa aneh, ketakutan dan tak ingin ucapannya salah sangka jika mengatakan sesuatu.

"Maaf nih, Pak Ludmil. Apa istri bapak sehat, atau sedang sakit?" tanya pak Zenal.

"Alhamdulillah pak. Sehat, ada apa ya?" tanya Ludmil, langsung pucat.

"Ah, ga papa. Nanti kita ketemu di mesjid bada isya ya pak! banyak yang mau saya bicarakan. Tapi semoga saja saya salah dan maaf kalau nanti lancang." ucap pak Zenal, setelah mendapat sorot mata Ustad Ali Thalib, yang mengkode isyarat pada rekannya itu yang paham.

Ludmil mengangguk, dan entah kenapa hatinya saat ini sedikit goyah ketakutan. Mereka pun berbincang soal pembangunan masjid, Ludmil sendiri sedang bertanya pada orang yang tinggi ilmunya, ia berencana dengan sang istri me wakafkan sebuah tanah miliknya, untuk pembangunan musholla agar kampungnya sedikit ramai.

***

Ummul, yang saat ini telah bersuci, berwudhu. Ia segera shalat sunnah, dan menjelang ashar. Ia segera menunaikan, pada hari kamis, menjelang esok hari jumat. Ummul sendiri tidak tahan, rasanya sakit ketika sebuah batu melayang dengan cahaya merah, masuk meneliuk jendelanya.

Ummul, yang ikhtiar dan menguatkan iman, ia tetap melanjutkan rakaat sampai akhir, sehingga setelah mengucapkan salam. Barulah Ummul membaca surat, yang berisi di akhir.

 

Tawakkaltu Alallah!!

Hingga kalimat akhir, berhasil Ummul Khasiah lontarkan di sujud akhirnya.

Ummul mengucapkan kalimat yang menyesakan, ia bisa mengucapkan kata terakhir dan bersujud lama. Dahinya berkeringat, nafasnya berat sehingga bayangan bang Ludmil, dan kedua anak perempuannya yang bernama Ludmila, dan Fulmala ada dalam ingatan Ummul, ia tersenyum dan meminta maaf jika selama dirinya menjadi seorang ibu, dan istri masih kurang baik.

Akhirnya, Ummul sendiri menutup mata, dengan posisi sujud yang sudah berpuluh menit dengan kaku, yang sebagian akan terjatuh ketika disentuh.

"Masyallah."

Braaaagh!!

Pukulan, atau dentuman bagai sebuah batu besar. Membuat Ludmila yang disapa Mila, anak perempuan kedua Ummul dan Ludmil tersentak kaget, kala pintu kamar orangtuanya terbuka sedikit.

"Bu, ada apa bu?" teriak Mila, pulang les kaget akan suatu suara keras, seperti dari kamar ibunya sebelum ke kamarnya.

Mila sendiri akhirnya membuka kaos kaki, lalu melihat ibunya sedang shalat. Ia duduk di kursi menunggu ibunya, mengeliling kamar tak ada apapun yang jatuh. Hanya sebuah gorden yang terbuka dengan tersapu angin.

10 menit.

20 menit, Mila langsung menghampiri ibunya, dan menyentuh ibunya yang dari tadi masih sujud tak bersuara.

"Bu .. Aaaah!" syok Mila.

Ibuuuuuuuu ... teriak Ludmila, membuat matanya tak terbendung jatuh begitu saja.

Sementara bang Ludmil, dan tiga tamu yang akan beranjak pergi. Langsung masuk ke dalam rumah akan teriakan putrinya.

"Ada apa Mil?"

"Ibu, Ibuuu .. Ibuu Pak." Mila, bergetar dan tiga orang pria tadi di balik pintu, hanya istighfar. Dan mengucapkan innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ụn, setelah Ludmil mendekat dan menepuk pipi istrinya, dengan jatuh tangisan sesak berat.

"Dek, ada apa dek. Kenapa kamu tinggalin abang seperti ini.. ?" isak, Ludmil membuat semua mata banjir.

Salah satu tamu, segera menghubungi seseorang. Sebagian lagi, menghubungi jemaah masjid, dan tetangga untuk meminta bantuan.

TBC.

Hello, dukung tulisan author ya all.

PENYESALAN SUAMI

"Ibu kenapa pak?"

"Maafin ayah nak! ibu Mu sudah menghadap pangkuan ilahi. Kamu, bantu doa. Hubungi kakakmu Fumala cepat pulang, Mil!"

"Enggak. Ayah pasti bercanda kan? i-bu .. Ibu .... " teriakan Mila menggema seisi ruangan, kakinya pun gemetar kehilangan ibu tercinta.

"Ibu kenapa pergi ninggalin Mila begini sih, Mila sama siapa bu. Cuma ibu yang selalu ingetin Mila, perhatiin Mila. Mila ga sanggup ibu pergi secepat ini, ibu- Ibu bangun bu! Mila bawa hasil kelulusan apoteker, Mila mau buat ibu bangga. Ini baru dimulai, Mila mau buat seluruh toko apotek dengan penelitian hasil Mila dan Rekan dokter bu, biar bisa buat obat untuk ibu. Ibu bangun, Mila belum terlambat bu! Ibuuuuu ...bangun!" sesak Mila, menggoyangkan tubuh ibunya, berharap ini mimpi. Dan berharap sang ibu bisa membuka matanya.

Deeugh!

Mila, bicara mau buat obat dengan rekan dokternya. Apa sebenarnya Ummul sakit, tanpa aku tahu? Dek, kenapa kamu sakit ga bilang abang dek?! Ah! menyesal, rasanya juga sudah terlambat jika Ludmil sendiri bisa mencukupi materi. Tapi itu semua agar kesusahannya dahulu tidak pernah terulang.

Tapi menyesakan jiwa dan raganya, ketika hari ke enam Ludmil pulang ke indonesia, istri yang berjuang dari nol bersamanya harus pergi untuk selama lamanya. Rasa tangis dan sesak Ludmil sendiri berkecamuk, ketika mendengar ocehan putri bungsunya. Tapi para tetangga datang melayat dan ikut membantu, sungguh beberapa banyak jemaah dan ibu pengajian dari kampung lain sepertinya datang. Ludmil sendiri syok ketika ratusan tamu datang melayat, ia berusaha tegar meski rapuh dan kakinya kaku, lemas.

Dan kala itu berjalan semestinya, para tetangga, kerabat yang dihubungi datang turut membantu yang dibutuhkan. Meski Mila sendiri enggak beranjak, ia akhirnya mau memandikan jenazah sang ibu untuk terakhir kalinya.

"Ibu ..." teriak Fumala yang sering disapa Mala pulang, ia menjatuhkan tas ransel backpaker dan segera mungkin mencium ibunya, yang telah di kafani di ruang tamu dan menyisakan wajahnya dengan sebuah kapas di lubang hidung terlihat, dari kerudung transparan.

"Ayah! Ibu kenapa bisa meninggal, ibu kan tadi pagi baik baik aja. Huhuhu." serak tangisan putri sulungnya.

Ludmil sendiri tidak sanggup menjawab, akan tetapi masih berusaha menenangkan kedua putrinya yang masih menangis.

Fumala sendiri yang kala itu sedang kuliah, ia mengajukan izin pada sang dosen ketika mendapat telepon saat semester berlangsung, beruntungnya ia cukup pintar sehingga bisa cepat selesai, dan pulang dengan raut kesedihan, pikiran yang bercampur aduk.

Belum lama ini Fumala merasakan kebahagiaan, setelah ayahnya pulang bekerja, dan berjanji akan terus di indonesia, tidak lagi bekerja jauh. Tapi kenapa seolah takdir mempermainkan kisah seorang anak, yang ingin kedua orangtuanya utuh setelah sekian tahun, harus dipisah.

"Bu, Fumala pulang bu. Maafin Fumala terlambat pulang." lirihnya seolah anak tunggal itu tegar.

"Dek! istighfar nak. Sekarang ambil wudhu, dan mengaji. Ikhlas na! siapapun tidak ada yang rela jika ditinggalkan orang yang kita cintai, tapi semua ini sudah atas kehendaknya. Ibu Ummul disayang allah swt. Ayo nak! ajak adikmu untuk mengaji, agar ibumu nanti tidak bersedih dan berat melihat kalian dari sana." ujar Asiyah, tetangga persis sebelah rumah almarhum.

Asiyah adalah tetangga suka duka Ummul, dari kedua putri Ummul berusia Lima tahun dan sepuluh tahun, Asiyah sendiri belum lama ini kehilangan suaminya, dan Ummul lah yang paling berjasa nomor satu suport, sehingga Asiyah berusaha menolong layaknya tetangga dan kerabat baik di sebelah rumah, bak balas budi.

Karena Asiyah tahu, Ummul sendiri seorang ibu yang tegar, baik pada semua orang dan mungkin karena kebaikannya, sang pencipta lebih dulu memanggilnya.

'Kenapa mbak yang lebih dulu, padahal mbak orang baik. Suami mbak sendiri baru saja pulang.' batin Asiyah tahu bagaimana rasanya ditinggal pergi seorang yang di cintai, mungkin saat ini Asiyah tahu perasaan Ludmil suami Ummul begitu terpukul. Karena Asiyah benar benar pernah alami.

"Ayah! bilang sama Fumala, apa ibu kecapean? Apa ibu sakit, tapi ayah terus aja ga peka. Terus aja temui teman teman ayah yang berdatangan itu?" teriaknya.

"Jaga ucapanmu Fumala! Kamu ..?"

"Maaf jika saya lancang pak Ludmil. Sebaiknya almarhum segera dikebumikan, tidak baik bertengkar. Fumala, ayo sama ibuk! istighfra nak! Ibumu selalu ajarkan yang baik baik kan, dengan air wudhu insyallah kamu jauh lebih tenang." ujar Asiyah yang mendekat bersama ibu lainnya, menenangkan kedua putri Ummul yang larut dalam kesedihan.

"Makasih bu ibu, kalau gitu saya permisi." ucap Ludmil.

Ludmil sendiri dengan beberapa warga, ustad dan syok ketika pelayat berdatangan mencapai ratusan. Bahkan untuk nanti malam tahlilan saja ia belum siapkan, benar benar blank saat itu. Tapi dengan keajaiban, banyak tetangga dan warga, jemaah ibu pengajian istrinya membantu di tengah kesedihan Ludmil dan kedua putrinya itu disana. Sementara keluarga Ludmil dan Ummul masih berada dalam perjalanan, dan akan tiba esok dini hari karena waktu perjalanan yang mencapai enam jam. Tidak baik juga jika almarhum dimakamkan terlalu lama.

Beberapa saat dalam perjalanan menuju TPU Jeruk Purut. Lantunan tauhid, menggema mengantar jenazah terkahir. Hingga sampailah dimakamkan dan soerang ustad mewakili pengajian di tempat terkahir Ummul. Wangi kembang, dan parfum seolah menyeruak dari sebuah tanah. Yang warga rasa adalah ini berada tepat di atas makam Almarhum Ummul Khasiah.

Fumala dan Mila seolah mengering tangisannya, di depan papan makam sang ibu. Ia ikhlas ketika melihat ratusan banyak orang yang menyelawat, dan doa untuk ibunya saat itu. Apalagi sebuah wewangian tak biasa, membuat kedua putri Ummul ibunya insyallah ahli surga yang dinantikan sang pencipta.

Dan beberapa saat setelah orang orang pergi satu persatu, menyisakan Fumala dan Mila yang di dampingi satu tetangga, bernama ibu Asiyah mengajaknya pulang, meminta doa dari rumah untuk ikhlas, jangan berlarut dari kssedihan.

"Ibu ga tahu kan, rasanya ditinggal ibu kita. Jadi Mila tetap mau disini, ga mau pulang!"

"Mila cukup! benar kata bu Asiyah. Kamu tahu kan Mil, kalau bukan karena bu Asiyah. Kita ga tahu seperti apa, bukan cuma kamu yang kehilangan tapi semuanya. Lihat ayah kita diam bagai patung disana berjabat pada pak Haji, bagaimana mungkin bu Asiyah tidak sedih, bu Asiyah baru ditinggal pergi suaminya, jadi jaga sikap kamu sama yang lebih tua Mila!" ucap Fumala, yang seolah tegar.

"Bu, besok Fumala dan Mila datang lagi, kami juga akan terus doakan ibu setiap saat dari rumah. Ibu tunggu kita ya!" ujar Fumala, menahan tangisan.

Jelas bu Asiyah merasakan sesak, ketika kedua putri Ummul menahan tegar dan kesedihan yang mendalam. Bahkan bu Asiyah sendiri hanya sebatang kara, setelah ditinggal pergi ketiga anaknya dan suaminya dalam kecelakaan, sehingga ia bekerja di sebuah panti mengurus anak anak yang terlantar.

Ludmil menatap kedua putrinya berjalan, mengajaknya pulang. Sehingga sampai rumah, Ludmil masuk ke dalam kamar, ia menatap foto pernikahan yang cukup menyesakkan jiwa.

"Dek, abang belum sempat membahagiakanmu. Kamu tahu, abang ingin berbicara jujur tentang abang bekerja di sebuah perusahaan Apel. Abang ingin jujur, tapi kenapa kamu tinggalin abang dek. Apa abang harus menyusul, agar abang bisa menebus rasa bersalah abang." lirihnya, terlihat sebuah cutter diatas nakas.

Braaagh!!

Ludmil mengucap istighfar, melepas cutter ketika sebuah buku jatuh tepat di atas kakinya.

DIARY UMMUL, KISAH PENANTIANKU!

Ludmil begitu kaget, ketika sebuah buku tulisan sang istri, yang belum bisa ia baca karena gemetar ketakutan. Apakah Ummul meninggalkan sesuatu di sana.

TBC.

TERNYATA UMMUL TAHU

Kisah yang tertera nampak jelas buku merah Ludmil buka. Tangisannya begitu pecah ketika membuka lemari besar dua pintu, baju hitam dan putih untuk umroh, tiket di tanggal sepuluh hari sebelum keberangkatan, kini menjadi gagal dan musnah, Ludmil pun menjadi hampa, karena ia akan umroh sendirian saja tanpa Ummul nantinya.

Perlahan Ummul duduk di sofa besar, membuka buku itu perlahan demi perlahan hal itu membuat Ludmil menahan sesak ketika lembaran pertama, bertulis kebenaran kisah Ummul.

'Bang, di saat kita kesulitan terusir dari keluarga! hidup dijalan, bahkan sempat tidur di kolong jembatan bersama kedua putri kita yang masih amat kecil, hingga kita terlilit hutang mendapat pinjaman demi mengontrak di sebuah rumah petak, mencari pekerjaan yang sering kali di fitnah! hampir kita bertahan dan tak jadi bunuh diri demi kedua anak anak kita, dan ingat karena semua pasti ada jawabannya dari semua ujian ini.'

"Ya allah dek."

Ludmil pun semakin terisak ingatan beberapa tahun itu, dirinya benar benar belum bisa menjadi imam yang baik. Bahkan Ludmil belum jujur kisahnya, kisah cerita dirinya saat di jebak agensi. Saat dirinya benar benar hampir meregang nyawa, di saat dirinya hampir putus asa, pertolongan datang dari seorang wanita. Yang Ludmil tidak habis pikir, ia harus menduakan istri sebaik Ummul karena suatu paksaan, yang harus Ludmil lakukan selama berada di sana.

Ludmil baru membaca sebait saja ia sudah terisak, hatinya begitu membuncah tak sanggup melanjutkan lagi karena sesak, kala di ingatkan belasan tahun silam dirinya benar benar ada di titik terendah, sehingga Ludmil nekat meminta izin pada Ummul untuk menunggu kepulangannya, dan membuat orang yang pernah menyakiti bungkam.

Bahkan saat itu ia banyak sekali tertipu oleh tetangga yang sok baik, sehingga kelilitan hutang ratusan dengan nama Ludmil yang kala itu dibodohi, hingga suatu tawaran sebuah agensi saat Ludmil menjadi tukang sapu di rumahnya, tidak semudah itu juga Ludmil bisa mulus menjadi TKI di negri yang amat dingin dan jauh dari kata kesepian dan keinginan tekadnyalah, hidupnya perlahan berubah menjadi yang di inginkan.

"Dek! meski selama sebelas tahun terakhir abang tidak punya waktu banyak! percayalah abang ingin kita bersama sama, melanjutkan hari tua. Bahkan abang berjanji tidak akan kembali, karena masa kontrak abang sudah selesai! tapi hati abang pupus, seolah tanpa kamu dek! abang bisa apa? harusnya abang saja yang dipanggil, bukan kamu dek! maafin kesalahan abang selama ini dek!" lirih Ludmil.

Fumala yang ingin mengetuk pintu kamar sang ayah, yang sedikit terbuka! ia tahan menatap sesak ketika sang ayah begitu sedih. Fumala yakin jika ayahnya adalah sosok pria yang harus ia cari kelak ketika ia suatu saat menikah. Fumala yakin ayahnya itu berjuang dan amat mencintainya ibunya.

Beberapa tahun kelulusan ia sering melihat sang ibu menangis, tapi senyuman itu tak bisa dibohongi. Tapi jika melihat ayahnya begitu kehilangan sepertinya, Fumala yakin ayahnya benar benar bekerja demi kehidupan yang stabil ini. Bahkan Fumala ingat kata kata sang ibu, meski Fumala dan Mila tidak bersama sang ayah, kehilangan momen masa kecilnya.

'Percayalah nak! perjuangan ayahmu tidak mudah.' ingatan senyuman merekah sang ibu kala itu, di ingatan Fumala pesan sang ibu.

"Kak, kenapa ga jadi panggil ayah?" ujar Mila.

"Sssst ... Ayah di dalam sedang rapuh dek! kita bilang saja ayah ga bisa ditemui dulu."

"Ah! males rasanya, ke depan. Mbak di depan maksa Mila, suruh tetap panggil ayah. Masa tadi dia bilang, bang Ludmil nya ada neng? bete ga sih kak! Mila jadi curiga deh, kita kan tahu. Ibu ga punya saudara jauh, apa jangan jangan ..?"

"Mila, makam ibu masih basah! Jangan berfikir yang bukan bukan. Biar nanti kakak yang hampiri."

Fumala mendatangi tamu yang ada di depan, sementara Mila yang tidak tega melihat ayahnya dikamar, dibalik pintu seolah berdiri dan mengambil foto di meja depannya, bukan hanya dia yang kehilangan. Tapi lebih tepatnya Mila sendiri sibuk membantu kakaknya untuk acara tahlilan nanti malam, apalagi tetangga bernama bu Asiyah dan tetangga ibu ibu lainnya ikut kerepotan membantu Mila.

Esok Harinya :

Ludmil yang bergegas mendengar suara adzan Subuh. Ia segera mengambil wudhu hingga beberapa saat dzikirnya tak putus, masih duduk di sana menatap langit, mendoakan istrinya yang kemarin sore baru saja dikebumikan.

Hari berganti, sampailah hari ketujuh almarhum Ummul, dan tahlilan selesai di kediaman Ludmil. Ludmil rencananya akan berjalan ke pasar, ia ingin sekali membuka toko kelontong bahan bahan pangan sehari hari. Waktu masih terus berputar kedua anak anaknya tidak akan bisa berbuat apa apa jika sampai Ludmil bunuh diri, meski pernah beberapa kali ingin menyayat tangannya dengan sebuah cutter, tapi imam Ludmil masih terjaga.

"Ayah mau pergi ya?" tanya Fumala.

"Iy dek! ayah mau lihat ruko, buat usaha kita. Sekaligus mampir ke makam ibu. Kamu ga apa apa kan, kalau mau apa apa tolong bantu masakin buat Mila. Bentar lagi dia pulang sekolah kan?"

"Iy gpp Ayah! Fumala udah terbiasa kok, sebelumnya juga kalau ada di rumah Fumala yang bantu. Ayah hati hati ya!"

Seperginya Ludmil, Fumala mengejar sang ayah ketika ia sedang membuatkan telur mata sapi. Benar Fumala hanya bisa membuat yang praktis, karena setelah kuliah malam ia juga akan bekerja partime demi tidak merepotkan ayahnya.

"Ya ampun! apa ayah udah jauh, Fumala lupa lagi, ibu ibu kemarin datang mau ketemu Ayah. Kasian juga sih, sampe hari ketujuh dia ga bisa ketemu, lagi pula aku juga penasaran siapa dia?" gumamnya.

Ludmil yang kala itu bicara dengan seorang yang dikenal, ia tertarik pada sebuah ruko. Akan tetapi matanya tertuju pada seorang wanita yang masih amat ia kenali.

'Rahayu, ah tidak mungkin aku pasti salah lihat.' batin Ludmil kala melihat sekelebat dari jarak lima meter.

Ludmil pun bergegas ke makam sang istri, lalu ia tak lupa menaburkan bunga berwarna warni, air kembang dan melantunkan doa tepat di pusaranya.

"Dek! abang datang. Abang selalu mendoakan kita selalu bersama dek, abang janji akan terus menunggu waktunya tiba kita bertemu. Kamu tahu dek, abang akan buka toko kelontong demi kelangsungan hidup. Mila si bungsu ingin sekali menjadi dokter, bahkan jurusan keperawatannya abang akan berusaha untuk membuat Mila juga sukses." lirihnya.

Dengan tanpa alasan, benar saja ketika Ludmil ingin beranjak. Ia menatap seorang wanita tadi yang ia lihat di pasar, benar matanya tak lagi salah melihat semua itu.

"Rahayu! kamu bisa sampai sini?"

"Bang Ludmil, aku masih bersabar kamu tinggalin aku begitu aja ya. Aku sudah seminggu di indonesia, tapi putrimu bilang kamu sedang berduka. Jadi aku hargai istrimu yang mati itu!"

"Jaga mulut kamu Rahayu!" tajam Ludmil menatap wanita paruh baya itu.

TBC.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!