TERNYATA UMMUL TAHU

Kisah yang tertera nampak jelas buku merah Ludmil buka. Tangisannya begitu pecah ketika membuka lemari besar dua pintu, baju hitam dan putih untuk umroh, tiket di tanggal sepuluh hari sebelum keberangkatan, kini menjadi gagal dan musnah, Ludmil pun menjadi hampa, karena ia akan umroh sendirian saja tanpa Ummul nantinya.

Perlahan Ummul duduk di sofa besar, membuka buku itu perlahan demi perlahan hal itu membuat Ludmil menahan sesak ketika lembaran pertama, bertulis kebenaran kisah Ummul.

'Bang, di saat kita kesulitan terusir dari keluarga! hidup dijalan, bahkan sempat tidur di kolong jembatan bersama kedua putri kita yang masih amat kecil, hingga kita terlilit hutang mendapat pinjaman demi mengontrak di sebuah rumah petak, mencari pekerjaan yang sering kali di fitnah! hampir kita bertahan dan tak jadi bunuh diri demi kedua anak anak kita, dan ingat karena semua pasti ada jawabannya dari semua ujian ini.'

"Ya allah dek."

Ludmil pun semakin terisak ingatan beberapa tahun itu, dirinya benar benar belum bisa menjadi imam yang baik. Bahkan Ludmil belum jujur kisahnya, kisah cerita dirinya saat di jebak agensi. Saat dirinya benar benar hampir meregang nyawa, di saat dirinya hampir putus asa, pertolongan datang dari seorang wanita. Yang Ludmil tidak habis pikir, ia harus menduakan istri sebaik Ummul karena suatu paksaan, yang harus Ludmil lakukan selama berada di sana.

Ludmil baru membaca sebait saja ia sudah terisak, hatinya begitu membuncah tak sanggup melanjutkan lagi karena sesak, kala di ingatkan belasan tahun silam dirinya benar benar ada di titik terendah, sehingga Ludmil nekat meminta izin pada Ummul untuk menunggu kepulangannya, dan membuat orang yang pernah menyakiti bungkam.

Bahkan saat itu ia banyak sekali tertipu oleh tetangga yang sok baik, sehingga kelilitan hutang ratusan dengan nama Ludmil yang kala itu dibodohi, hingga suatu tawaran sebuah agensi saat Ludmil menjadi tukang sapu di rumahnya, tidak semudah itu juga Ludmil bisa mulus menjadi TKI di negri yang amat dingin dan jauh dari kata kesepian dan keinginan tekadnyalah, hidupnya perlahan berubah menjadi yang di inginkan.

"Dek! meski selama sebelas tahun terakhir abang tidak punya waktu banyak! percayalah abang ingin kita bersama sama, melanjutkan hari tua. Bahkan abang berjanji tidak akan kembali, karena masa kontrak abang sudah selesai! tapi hati abang pupus, seolah tanpa kamu dek! abang bisa apa? harusnya abang saja yang dipanggil, bukan kamu dek! maafin kesalahan abang selama ini dek!" lirih Ludmil.

Fumala yang ingin mengetuk pintu kamar sang ayah, yang sedikit terbuka! ia tahan menatap sesak ketika sang ayah begitu sedih. Fumala yakin jika ayahnya adalah sosok pria yang harus ia cari kelak ketika ia suatu saat menikah. Fumala yakin ayahnya itu berjuang dan amat mencintainya ibunya.

Beberapa tahun kelulusan ia sering melihat sang ibu menangis, tapi senyuman itu tak bisa dibohongi. Tapi jika melihat ayahnya begitu kehilangan sepertinya, Fumala yakin ayahnya benar benar bekerja demi kehidupan yang stabil ini. Bahkan Fumala ingat kata kata sang ibu, meski Fumala dan Mila tidak bersama sang ayah, kehilangan momen masa kecilnya.

'Percayalah nak! perjuangan ayahmu tidak mudah.' ingatan senyuman merekah sang ibu kala itu, di ingatan Fumala pesan sang ibu.

"Kak, kenapa ga jadi panggil ayah?" ujar Mila.

"Sssst ... Ayah di dalam sedang rapuh dek! kita bilang saja ayah ga bisa ditemui dulu."

"Ah! males rasanya, ke depan. Mbak di depan maksa Mila, suruh tetap panggil ayah. Masa tadi dia bilang, bang Ludmil nya ada neng? bete ga sih kak! Mila jadi curiga deh, kita kan tahu. Ibu ga punya saudara jauh, apa jangan jangan ..?"

"Mila, makam ibu masih basah! Jangan berfikir yang bukan bukan. Biar nanti kakak yang hampiri."

Fumala mendatangi tamu yang ada di depan, sementara Mila yang tidak tega melihat ayahnya dikamar, dibalik pintu seolah berdiri dan mengambil foto di meja depannya, bukan hanya dia yang kehilangan. Tapi lebih tepatnya Mila sendiri sibuk membantu kakaknya untuk acara tahlilan nanti malam, apalagi tetangga bernama bu Asiyah dan tetangga ibu ibu lainnya ikut kerepotan membantu Mila.

Esok Harinya :

Ludmil yang bergegas mendengar suara adzan Subuh. Ia segera mengambil wudhu hingga beberapa saat dzikirnya tak putus, masih duduk di sana menatap langit, mendoakan istrinya yang kemarin sore baru saja dikebumikan.

Hari berganti, sampailah hari ketujuh almarhum Ummul, dan tahlilan selesai di kediaman Ludmil. Ludmil rencananya akan berjalan ke pasar, ia ingin sekali membuka toko kelontong bahan bahan pangan sehari hari. Waktu masih terus berputar kedua anak anaknya tidak akan bisa berbuat apa apa jika sampai Ludmil bunuh diri, meski pernah beberapa kali ingin menyayat tangannya dengan sebuah cutter, tapi imam Ludmil masih terjaga.

"Ayah mau pergi ya?" tanya Fumala.

"Iy dek! ayah mau lihat ruko, buat usaha kita. Sekaligus mampir ke makam ibu. Kamu ga apa apa kan, kalau mau apa apa tolong bantu masakin buat Mila. Bentar lagi dia pulang sekolah kan?"

"Iy gpp Ayah! Fumala udah terbiasa kok, sebelumnya juga kalau ada di rumah Fumala yang bantu. Ayah hati hati ya!"

Seperginya Ludmil, Fumala mengejar sang ayah ketika ia sedang membuatkan telur mata sapi. Benar Fumala hanya bisa membuat yang praktis, karena setelah kuliah malam ia juga akan bekerja partime demi tidak merepotkan ayahnya.

"Ya ampun! apa ayah udah jauh, Fumala lupa lagi, ibu ibu kemarin datang mau ketemu Ayah. Kasian juga sih, sampe hari ketujuh dia ga bisa ketemu, lagi pula aku juga penasaran siapa dia?" gumamnya.

Ludmil yang kala itu bicara dengan seorang yang dikenal, ia tertarik pada sebuah ruko. Akan tetapi matanya tertuju pada seorang wanita yang masih amat ia kenali.

'Rahayu, ah tidak mungkin aku pasti salah lihat.' batin Ludmil kala melihat sekelebat dari jarak lima meter.

Ludmil pun bergegas ke makam sang istri, lalu ia tak lupa menaburkan bunga berwarna warni, air kembang dan melantunkan doa tepat di pusaranya.

"Dek! abang datang. Abang selalu mendoakan kita selalu bersama dek, abang janji akan terus menunggu waktunya tiba kita bertemu. Kamu tahu dek, abang akan buka toko kelontong demi kelangsungan hidup. Mila si bungsu ingin sekali menjadi dokter, bahkan jurusan keperawatannya abang akan berusaha untuk membuat Mila juga sukses." lirihnya.

Dengan tanpa alasan, benar saja ketika Ludmil ingin beranjak. Ia menatap seorang wanita tadi yang ia lihat di pasar, benar matanya tak lagi salah melihat semua itu.

"Rahayu! kamu bisa sampai sini?"

"Bang Ludmil, aku masih bersabar kamu tinggalin aku begitu aja ya. Aku sudah seminggu di indonesia, tapi putrimu bilang kamu sedang berduka. Jadi aku hargai istrimu yang mati itu!"

"Jaga mulut kamu Rahayu!" tajam Ludmil menatap wanita paruh baya itu.

TBC.

Terpopuler

Comments

Ramadhani Kania

Ramadhani Kania

mulut pelakor...

2023-08-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!