Diari Depresiku

Diari Depresiku

Awal Mula Kehancuran

"Aku tidak menyimpan dendam, namun hanya Tuhan yang tahu isi hati seorang manusia. Demi Tuhan, hatiku sangat sakit ketika mengingat kejadian di masa kecilku dulu."

***

Namaku Kirana, panggil saja Aku Nana.

Jujur Aku sangat bingung, harus memulai bercerita dari mana. Rasanya, belum selesai menulis saja dadaku sudah sangat terasa sesak.

Semua bermula, ketika usiaku tujuh tahun. Saat itu, Aku baru duduk di bangku sekolah dasar. Aku masih ingat, momen ketika Ibuku mengantar dan menungguku selama jam pelajaran.

Aku masih sempat merasakan bagaimana menjadi anak 'normal' saat itu, namun sayangnya momen itu tak berlangsung lama.

Untuk pertama kalinya, Aku melihat bagaimana Ayahku marah. Ya, Ayah tipikal pria yang jika marah Ia hanya akan diam. Namun hari itu, Aku melihat sisi lain dari Ayahku.

Aku melihat bagaimana Beliau bersikap keras, bagaimana Beliau berteriak dengan kata-kata kasar, Aku melihat bagaimana Ayah melempar dan menghancurkan barang-barang.

Ya, semua hal buruk itu Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Bapak begitu marah, ketika mendapati Ibuku pergi dari rumah tanpa seizinnya. Ayah marah, ketika tahu Ibuku, berselingkuh.

Beliau mencaci maki, Beliau berteriak, menangis, dan Beliau lakukan itu semua sendirian. Di sebuah ruangan yang sengaja dibuat gelap olehnya, Beliau meluapkan emosinya namun Beliau masih bisa menyembunyikannya dari semua orang. Namun ada satu hal yang tidak Beliau tahu, yaitu Aku melihat semua kepedihannya.

Sore itu, Aku berjalan menuju kamar. Ku tutup pintu rapat-rapat, tubuh kecilku naik ke atas tempat tidur. Aku duduk di sudut kasur, mendekap kedua lututku yang Ku tekuk dan semua pertanyaan di benakku mulai bermunculan.

"Ayah kenapa? Ibu kemana? Kenapa semua orang sibuk dengan dirinya, kenapa tidak ada yang menyadari kehadiranku di sini?" Air mataku berderai, Ku coba untuk mencari semua jawaban yang entah siapa yang akan memberikannya.

Malam itu, Ayah tak ada di rumah. Beliau tengah berada di rumah sebelah, tepatnya di rumah nenekku.

Ketika rumahku sepi, Aku berjalan perlahan menuju dapur. Ku lihat pecahan kaca berserakan, Ku tatap sebuah radio berbentuk mobil terbelah.

Mataku mulai berair, pasalnya radio berwarna ungu muda itu adalah benda kesukaanku.

Aku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.

Saat mataku masih memandangi seisi rumahku yang hancur berantakan, tiba-tiba saja suara seseorang membuatku terkejut.

"Na. Lagi apa di situ?" Tanya Kakekku yang muncul tanpa Aku sadari kedatangannya.

Ya, Kakek dan Nenekku sudah Ku anggap seperti orang tuaku sendiri. Lebih tepatnya, orang tua kandung. Kenapa? Karena menurut cerita Nenek, sedari Bayi Aku tidur bersama Mereka. Ibu menggendongku hanya saat Aku ingin menyusu saja, selebihnya Aku menghabiskan waktuku bersama Kakek dan Nenek. Saking merasa dekatnya, bahkan Aku memanggil Mereka dengan panggilan yang sama seperti Aku memanggil orang tuaku, Mama dan Bapak.

"Pak. Ayah kemana?" Tanyaku dengan lirih.

Ku lihat Kakekku tersenyum tipis, lalu Ia mengulurkan tangannya dan memintaku untuk mendekat.

"Sini, sama Bapak dulu, ya!" Pintanya.

Aku hanya diam, Ku berjalan dengan perlahan lalu berhambur memeluknya.

Entah mengapa, Aku tak bisa menahan lagi air mataku. Tangisku pecah dalam dekapan tubuh Kakekku, sesekali juga Aku dengar isakan kecil di balik punggungku.

"Ikut Bapak, yuk! Ayah ada di rumah Bapak sekarang," ucap Kakekku.

Aku mengangguk, tubuh kecilku di pangku oleh Kakek.

Saat tiba di rumah Nenek, Ku lihat semua orang tengah berkumpul. Ku lihat ada Ayah, Kakek dari Ayahku, dan kedua kakak dari Ayahku juga ada di sana.

"Na. Sini!" Ayah melambaikan tangannya.

Aku sempat terdiam sejenak, wajah Ayah kini sedikit berbeda. Tak kulihat raut wajah penuh kemarahan lagi, bahkan kini senyumnya begitu manis ketika memanggilku.

Aku berjalan, dan duduk di pangkuan Ayah.

Tak Ku pahami apa yang semua orang dewasa tengah bicarakan saat itu, yang Ku dengar hanya kalimat-kalimat yang mengarah pada perpisahan.

Aku pun tak ingat, apa saja yang di ucapkan oleh Ayah.

"Yang jelas, Nana akan ikut sama Saya, Pak." Hanya kalimat itu yang bisa Aku ingat.

Sejak malam itu, Aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Yang pasti, Aku tak melihat Ayah lagi di rumah.

Setiap hari, Nenek dan Kakekku mencari keberadaan Ibuku. Mereka bahkan mendatangi 'orang pintar' untuk meminta bantuan, selama itu Aku belum mengetahui mengapa Ibu harus meninggalkan rumah?

Hari demi hari, Nenek dan Kakek terus berusaha mencari Ibu. Selama nenek dan Kakek sibuk, Aku bersekolah di antar oleh adik tiri dari Nenekku yang kebetulan memiliki anak yang seumur juga satu sekolah bahkan satu kelas denganku.

Bibi Amel, Aku biasa memanggil adik nenekku dengan sebutan itu. Entah benar atau tidak panggilan itu, namun hal itu sepertinya tidak terlalu penting.

"Bi. Ibu sebenarnya kemana, sih? Sampai sekarang belum pulang juga?" Tanyaku Bi Amel.

"Ah Ibu Kamu mah udah kayak orang yang di pelet, kabur sama suami orang!"

Aku ingat sekali, seruan dari Bi Amel waktu itu. Dulu Aku tak mengerti dengan apa yang di ucapkannya, kini Aku mengerti semuanya.

Aku masih tak percaya, mengapa Ibu tega berbuat demikian pada Ayah. Apa kurangnya Ayah?

Ayah, itu orang yang sangat baik. Penyabar, pekerja keras. Menurut cerita keluarga, Ibu tak pernah kekurangan dalam hal ekonomi.

Ayah pulang setiap satu bulan sekali, Beliau bekerja di luar kota sebagai penjahit pakaian.

Menurut cerita lagi, Keduanya di jodohkan. Ibu di jodohkan oleh Nenek dan Kakekku, dan menurutku Ayah memanglah orang yang tak salah di pilih oleh Nenek juga Kakekku.

Mengingat apa yang sudah di lakukan oleh Ibu, kini pendapatku berubah. Ayah memang bukan orang yang tepat untuk Ibu, Ayah terlalu baik dan sempurna sebagai suami untuk Ibuku yang kenyataannya mengkhianati kesetiaan Ayah.

Saat itu, orang-orang sekitar sering kali melontarkan berbagai pertanyaan pada gadis kecil yang sebetulnya tak pantas mendapat pertanyaan sepeti itu.

"Na. Ibu Kamu udah pulang? Kok Ibu Kamu kayak gitu sih, dasar wanita gak tahu diri." Perkataan salah seorang yang sampai saat ini Aku ingat masih merahasiakannya dari Nenek juga Kakekku.

Seharusnya orang dewasa itu mengerti, Aku masih terlalu kecil untuk mendapat pertanyaan semacam itu. Apa Mereka tak memikirkan mentalku saat itu? Apa Mereka tak merasa iba pada gadis kecil yang di tinggal pergi oleh Ibu dan Ayahnya?

Hal yang tak pernah Aku duga pun kembali terjadi, di saat Nenek dan Kakek berhasil menemukan Ibu.

Satu minggu Mereka mencari, Ibu di temukan di tempat yang menurutku tak wajar.

Ya, tempat itu adalah sebuah gunung.

Terpopuler

Comments

Tri Purwanti

Tri Purwanti

semangat thor

2023-02-01

1

Heni_Rosma

Heni_Rosma

mampir....😍😍😍😍

2023-02-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!