"Aku tidak menyimpan dendam, namun hanya Tuhan yang tahu isi hati seorang manusia. Demi Tuhan, hatiku sangat sakit ketika mengingat kejadian di masa kecilku dulu."
***
Namaku Kirana, panggil saja Aku Nana.
Jujur Aku sangat bingung, harus memulai bercerita dari mana. Rasanya, belum selesai menulis saja dadaku sudah sangat terasa sesak.
Semua bermula, ketika usiaku tujuh tahun. Saat itu, Aku baru duduk di bangku sekolah dasar. Aku masih ingat, momen ketika Ibuku mengantar dan menungguku selama jam pelajaran.
Aku masih sempat merasakan bagaimana menjadi anak 'normal' saat itu, namun sayangnya momen itu tak berlangsung lama.
Untuk pertama kalinya, Aku melihat bagaimana Ayahku marah. Ya, Ayah tipikal pria yang jika marah Ia hanya akan diam. Namun hari itu, Aku melihat sisi lain dari Ayahku.
Aku melihat bagaimana Beliau bersikap keras, bagaimana Beliau berteriak dengan kata-kata kasar, Aku melihat bagaimana Ayah melempar dan menghancurkan barang-barang.
Ya, semua hal buruk itu Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Bapak begitu marah, ketika mendapati Ibuku pergi dari rumah tanpa seizinnya. Ayah marah, ketika tahu Ibuku, berselingkuh.
Beliau mencaci maki, Beliau berteriak, menangis, dan Beliau lakukan itu semua sendirian. Di sebuah ruangan yang sengaja dibuat gelap olehnya, Beliau meluapkan emosinya namun Beliau masih bisa menyembunyikannya dari semua orang. Namun ada satu hal yang tidak Beliau tahu, yaitu Aku melihat semua kepedihannya.
Sore itu, Aku berjalan menuju kamar. Ku tutup pintu rapat-rapat, tubuh kecilku naik ke atas tempat tidur. Aku duduk di sudut kasur, mendekap kedua lututku yang Ku tekuk dan semua pertanyaan di benakku mulai bermunculan.
"Ayah kenapa? Ibu kemana? Kenapa semua orang sibuk dengan dirinya, kenapa tidak ada yang menyadari kehadiranku di sini?" Air mataku berderai, Ku coba untuk mencari semua jawaban yang entah siapa yang akan memberikannya.
Malam itu, Ayah tak ada di rumah. Beliau tengah berada di rumah sebelah, tepatnya di rumah nenekku.
Ketika rumahku sepi, Aku berjalan perlahan menuju dapur. Ku lihat pecahan kaca berserakan, Ku tatap sebuah radio berbentuk mobil terbelah.
Mataku mulai berair, pasalnya radio berwarna ungu muda itu adalah benda kesukaanku.
Aku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi.
Saat mataku masih memandangi seisi rumahku yang hancur berantakan, tiba-tiba saja suara seseorang membuatku terkejut.
"Na. Lagi apa di situ?" Tanya Kakekku yang muncul tanpa Aku sadari kedatangannya.
Ya, Kakek dan Nenekku sudah Ku anggap seperti orang tuaku sendiri. Lebih tepatnya, orang tua kandung. Kenapa? Karena menurut cerita Nenek, sedari Bayi Aku tidur bersama Mereka. Ibu menggendongku hanya saat Aku ingin menyusu saja, selebihnya Aku menghabiskan waktuku bersama Kakek dan Nenek. Saking merasa dekatnya, bahkan Aku memanggil Mereka dengan panggilan yang sama seperti Aku memanggil orang tuaku, Mama dan Bapak.
"Pak. Ayah kemana?" Tanyaku dengan lirih.
Ku lihat Kakekku tersenyum tipis, lalu Ia mengulurkan tangannya dan memintaku untuk mendekat.
"Sini, sama Bapak dulu, ya!" Pintanya.
Aku hanya diam, Ku berjalan dengan perlahan lalu berhambur memeluknya.
Entah mengapa, Aku tak bisa menahan lagi air mataku. Tangisku pecah dalam dekapan tubuh Kakekku, sesekali juga Aku dengar isakan kecil di balik punggungku.
"Ikut Bapak, yuk! Ayah ada di rumah Bapak sekarang," ucap Kakekku.
Aku mengangguk, tubuh kecilku di pangku oleh Kakek.
Saat tiba di rumah Nenek, Ku lihat semua orang tengah berkumpul. Ku lihat ada Ayah, Kakek dari Ayahku, dan kedua kakak dari Ayahku juga ada di sana.
"Na. Sini!" Ayah melambaikan tangannya.
Aku sempat terdiam sejenak, wajah Ayah kini sedikit berbeda. Tak kulihat raut wajah penuh kemarahan lagi, bahkan kini senyumnya begitu manis ketika memanggilku.
Aku berjalan, dan duduk di pangkuan Ayah.
Tak Ku pahami apa yang semua orang dewasa tengah bicarakan saat itu, yang Ku dengar hanya kalimat-kalimat yang mengarah pada perpisahan.
Aku pun tak ingat, apa saja yang di ucapkan oleh Ayah.
"Yang jelas, Nana akan ikut sama Saya, Pak." Hanya kalimat itu yang bisa Aku ingat.
Sejak malam itu, Aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Yang pasti, Aku tak melihat Ayah lagi di rumah.
Setiap hari, Nenek dan Kakekku mencari keberadaan Ibuku. Mereka bahkan mendatangi 'orang pintar' untuk meminta bantuan, selama itu Aku belum mengetahui mengapa Ibu harus meninggalkan rumah?
Hari demi hari, Nenek dan Kakek terus berusaha mencari Ibu. Selama nenek dan Kakek sibuk, Aku bersekolah di antar oleh adik tiri dari Nenekku yang kebetulan memiliki anak yang seumur juga satu sekolah bahkan satu kelas denganku.
Bibi Amel, Aku biasa memanggil adik nenekku dengan sebutan itu. Entah benar atau tidak panggilan itu, namun hal itu sepertinya tidak terlalu penting.
"Bi. Ibu sebenarnya kemana, sih? Sampai sekarang belum pulang juga?" Tanyaku Bi Amel.
"Ah Ibu Kamu mah udah kayak orang yang di pelet, kabur sama suami orang!"
Aku ingat sekali, seruan dari Bi Amel waktu itu. Dulu Aku tak mengerti dengan apa yang di ucapkannya, kini Aku mengerti semuanya.
Aku masih tak percaya, mengapa Ibu tega berbuat demikian pada Ayah. Apa kurangnya Ayah?
Ayah, itu orang yang sangat baik. Penyabar, pekerja keras. Menurut cerita keluarga, Ibu tak pernah kekurangan dalam hal ekonomi.
Ayah pulang setiap satu bulan sekali, Beliau bekerja di luar kota sebagai penjahit pakaian.
Menurut cerita lagi, Keduanya di jodohkan. Ibu di jodohkan oleh Nenek dan Kakekku, dan menurutku Ayah memanglah orang yang tak salah di pilih oleh Nenek juga Kakekku.
Mengingat apa yang sudah di lakukan oleh Ibu, kini pendapatku berubah. Ayah memang bukan orang yang tepat untuk Ibu, Ayah terlalu baik dan sempurna sebagai suami untuk Ibuku yang kenyataannya mengkhianati kesetiaan Ayah.
Saat itu, orang-orang sekitar sering kali melontarkan berbagai pertanyaan pada gadis kecil yang sebetulnya tak pantas mendapat pertanyaan sepeti itu.
"Na. Ibu Kamu udah pulang? Kok Ibu Kamu kayak gitu sih, dasar wanita gak tahu diri." Perkataan salah seorang yang sampai saat ini Aku ingat masih merahasiakannya dari Nenek juga Kakekku.
Seharusnya orang dewasa itu mengerti, Aku masih terlalu kecil untuk mendapat pertanyaan semacam itu. Apa Mereka tak memikirkan mentalku saat itu? Apa Mereka tak merasa iba pada gadis kecil yang di tinggal pergi oleh Ibu dan Ayahnya?
Hal yang tak pernah Aku duga pun kembali terjadi, di saat Nenek dan Kakek berhasil menemukan Ibu.
Satu minggu Mereka mencari, Ibu di temukan di tempat yang menurutku tak wajar.
Ya, tempat itu adalah sebuah gunung.
Sayup-sayup Ku dengar perbincangan keluargaku, Mereka tengah melontarkan berbagai pertanyaan terkait tempat ditemukannya Ibu.
"A, ketemu dimana si Andini?" Tanya Paman Iyan, adik dari Nenekku pada Kakek.
"Di gunung daerah Bandung Barat," jawab Kakekku.
"Beneran di gunung? Ngapain Dia di sana? Dia tidur dimana coba?" Tanya lagi Paman Iyan dengan begitu penasaran.
"Aa juga gak ngerti, Kita nemuin Dia lagi duduk sendirian si sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Pas Aa tanya, Dia kayak orang linglung." Kakekku menjelaskan bagaimana Beliau pertama kali menemukan dan dan membujuk Ibuku untuk ikut pulang.
"Si Usman ada di sana juga?" Tanya Bi Amel.
Usman adalah laki-laki yang disinyalir sebagai selingkuhan Ibuku. Dia sudah beristri, bahkan memiliki anak seumuran denganku.
"Nah itu Dia, pas Aa kesana gak ada si Usman. Andini cuma sendirian di sana," ujar Kakekku.
Semua tampak kebingungan, bagaimana mungkin Ibuku berani berdiam diri sendirian di gubuk yang berada di tengah hutan belantara.
"Ah udah gak salah lagi ini mah, A. Si Andini mah kena pelet si Usman!" Seru Bi Amel.
"Mah. Kamu jangan asal ngomong dulu!" Seru Paman Iyan pada istrinya, Bi Amel.
"Asal ngomong gimana, Pah. Coba Papah pikirin, dulu kan si Andini itu gak suka banget sama si Usman. Bahkan dulu si Andini sering caci maki Dia, bilang si Usman itu hitamlah, gak sudilah kalau sampai si Usman suka sama si Andini. Bisa jadi si Usman itu sakit hati, terus Dia ke Dukun buat balas dendam dengan cara melet si Andini. Tuh lihat, sekarang aja si Andini masih kayak orang linglung gitu!" Seru Bi Amel sembari menunjuk ke arah Ibuku yang terduduk lemas di pojok sofa.
Semua memperhatikan mimik muka Ibuku, memang tampak begitu datar nyaris tanpa ekspresi.
"Mandiin kembang tujuh rupa aja, A. Sambil panggil lelembutannya, bisa jadi nyawanya belum kumpul." Bi Amel menuturkan.
Kakekku tampak terdiam, dan seperti tengah memikirkan saran dari adik iparnya itu.
"Iya, Pak. Udah Kita mandiin kembang aja si Andini," ujar Nenekku.
"Ya udah kalau gitu, Yan. Tolong beliin kembang tujuh rupa sama dupa," pinta Kakekku pada Paman Iyan.
"Iya, A." Paman Iyan berdiri, dan segera pergi mencari penjual kembang tujuh rupa dan segala pelengkap lainnya.
***
Menjelang siang, Aku tidak ingat itu hari apa. Yang pasti Aku tidak pergi ke sekolah, dan melihat apa yang di lakukan oleh keluargaku pada Ibu.
Waktu itu kamar mandi Kami masih berada di luar rumah, Kamar mandi yang sengaja Kakek buat lengkap dengan sumur agar bisa di pakai oleh semua keluargaku. Kamar mandi itu berukuran luas, bahkan nyaris di buat layaknya tempat pemandian umum.
Aku melihat Ibu di bawa ke kamar mandi, Nenek mendudukkan Ibu di sebuah kursi.
Aku mencoba untuk memberanikan diri, berjalan mendekati Ibuku.
Ibu tak menatapku, wajahnya tertunduk dan masih tanpa ekspresi.
"Andin, Kamu ingat ini siapa?" Tanya Kakek pad Ibuku. Kakek menghadapkan Aku tepat di depan Ibu, namun reaksi Ibu membuatku terkejut.
Ibu memalingkan wajahnya, Ia bahkan seperti enggan untuk melihatku. Saat itu, Aku hanya terdiam melihat sikap aneh Ibuku.
"Kenapa dengan Ibu? Apa Dia tidak mengingatku?" Hatiku bertanya-tanya.
Kakek memintaku untuk keluar dari kamar mandi, dan Aku pun menurut begitu saja.
Nenek mulai mengguyurkan air dengan berbagai warna bunga di kepala Ibu, Nenek juga membasahi tubuh Ibu dengan air yang sama.
"Air apa itu? Kenapa Ibu harus di mandikan seperti itu?"
Ya, berbagai pertanyaan dalam otak gadis kecil berusia tujuh tahun itu semakin menumpuk.
Selesai dengan ritual itu, Ibu kembali di bawa masuk ke dalam rumah.
Paman Iyan juga sudah memanggil seorang ustad untuk mengobati Ibu, sungguh Aku begitu bingung dengan semua yang di lakukan oleh keluargaku saat itu.
Untuk sebagian orang dunia perdukunan mungkin sebuah hal yang di anggap mitos, tapi melihat apa yang terjadi pada Ibuku dulu membuatku percaya bahwa ilmu hitam itu mungkin memang nyata adanya.
Seperti halnya santet, atau pelet seperti apa yang di bicarakan oleh Bi Amel.
Mungkinkan Ibu benar-benar di pelet oleh Usman? Jika iya, apa tujuannya?
Apa Usman ingin membuat rumah tangga Ibuku hancur, karena Dia merasa sakit hati telah di tolak mentah-mentah oleh Ibu?
Tapi dengan apa yang di lakukannya, apa Usman tak memikirkan juga perasaan istri dan anaknya?
Pihak keluarga Usman, sepenuhnya menyalahkan Ibuku atas kejadian ini. Mereka menyebut Ibuku adalah perebut suami orang, perempuan hina, bahkan Mereka menjuluki Ibuku dengan sebutan-sebutan yang amat sangat kasar.
Seminggu setelah proses pemandian Ibu, Ku lihat Ibu mulai kembali bersikap biasa. Ibu juga sudah menempati rumah yang dulu di tinggali bersama Ayah, Ibu mulai membersihkan barang-barang yang di hancurkan oleh Ayah.
Saat tengah membereskan rumah, terdengar suara riuh beberapa orang yang ada di rumah Nenek.
Aku mencoba untuk mencari tahu siapa yang datang, dan Ku lihat adalah keluarga dari Ayah datang beramai-ramai ke rumah Nenek.
"Kami ingin mengambil apa yang menjadi milik Koswara, Bu, Pak." Kakek dari Ayahku menuturkan.
"Kenapa di ambil? Kenapa gak di biarin di sini aja?" Tanya Nenekku.
"Dengan apa yang sudah di lakukan oleh Andini terhadap Koswara, Kami gak rela jika hasil kerja keras Koswara di luar kota jatuh ke tangan Andini dengan mudah. Kalian tenang aja, Kami akan menyimpan barang-barang itu dengan baik. Kami juga akan mengembalikannya lagi, ketika Nana sudah dewasa dan di rasa membutuhkan barang-barang itu."
Ya, keluarga dari Ayah datang untuk mengangkut barang-barang yang di beli oleh Ayahku. Barang-barang itu berupa sofa, lemari tv, meja makan, tempat tidur berukuran besar, dan ada beberapa barang yang tak ku ingat.
Mereka mengambil semua barang itu, beralaskan tak rela jika Ibuku yang telah berkhianat menikmati hasil jerih payah Ayah selama bekerja di luar kota.
Jika di ingat, mungkin ada wajarnya keluarga Ayah begitu marah pada Ibuku.
Bayangkan saja, ketika Ayah tengah banting tulang mencukupi kebutuhan Ibu juga Aku. Di sini, Ibu malah menjalin hubungan terlarang dengan laki-laki lain bahkan ada menyebut Ibuku telah berzinah dengan suami orang.
Aku sangat ingin tidak mempercayai perkataan orang-orang, namun melihat sikap Kakek, Nenek, juga Ibu, seakan perkataan orang-orang itu memang benar adanya.
Aku tak pernah menyangka, orang tuaku berpisah dengan cara yang sangat tidak baik.
Bahkan, keduanya juga sempat melupakan kehadiranku. Anak Mereka satu-satunya.
Aku melihat satu persatu barang-barang di rumahku di angkut, Ku lihat Ibu hanya berdiam diri di dalam kamar. Namun yang menjadi pertanyaanku, kemana Ayah? Semenjak kejadian perginya Ibu dari rumah dan kedatangan Ayah bersama keluarga besar untuk menjatuhkan talak, Aku belum bertemu lagi dengan Ayah. Apa Ayah tidak merindukanku?
Sepanjang hari itu, Ku lihat Kakak kedua dari Ayahku tak hentinya menangis. Beberapa kali Beliau juga menghardik Ibuku, Aku biasa memanggilnya Uwa Popon.
"Keterlaluan. Bisa-bisanya nyakitin hati adik Saya!" seru Wa Popon.
Setelah semua barang selesai di angkut, Ku lihat Wa Popon berjalan menghampiriku.
"Na. Ikut sama Uwa, yuk!" ajak Wa Popon padaku.
Aku hanya diam, tak menolak ataupun mengiyakan ajakan Uwaku.
Namun saat tangannya meraihku, Aku tak berkutik sama sekali.
Ketika Uwa berniat menaikkan Aku ke dalam mobil, tiba-tiba Aku lihat Nenek berlari cepat ke arahku.
"Pon. Tunggu!" Teriak Nenekku.
Uwa tampak tak suka melihat kedatangan Nenek, Ia menutup pintu mobil dan membiarkan Aku tetap berada di dalam.
"Nana mau di bawa kemana?" Tanya Nenekku dengan nafas tersengal.
"Mau Aku ajak nginep di rumah, gak akan lama, kok. Besok juga di anterin lagi," dalih Uwaku.
Nenek menggelengkan kepalanya, Beliau membuka pintu mobil dan langsung menggendongku.
"Nggak boleh. Nanti lagi aja nginepnya," tolak Nenek dengan tegas.
"Kenapa gak boleh? Kan Aku juga bukan orang lain," ujar Uwa yang merasa tak suka dengan sikap Nenek yang tidak membolehkan Aku ikut bersamanya.
"Koswara kan belum pulang, nanti aja nginepnya kalau Koswara udah pulang dari Sukabumi!" Seru Nenekku.
Ayah bekerja di kota Sukabumi, Beliau pulang satu bulan sekali.
Melihat sikap Nenek, Aku paham dengan perasaan Nenek waktu itu.
Ibu adalah anak pertama Nenek dan Kakek, Aku adalah cucu pertama Mereka. Sikap Nenek mungkin di sebabkan karena Ia takut, takut cucu satu-satunya tak di kembalikan lagi oleh keluarga Ayahku.
Semenjak kejadian itu, Nenek yang selalu mengantar jemputku ke sekolah. Ia tak mau kejadian serupa terulang lagi, Nenek tahu bahwa kemungkinan Uwa akan mengambilku suatu waktu tanpa sepengetahuan Nenek juga Kakek.
Seperti yang pernah Aku alami, suatu hal yang membuat marah Nenek juga Kakekku.
Waktu itu Nenek tak bisa mengantarkan Aku ke sekolah, dan Aku berusaha membujuk Ibu agar mau mengantarkanku ke sekolah.
Ku coba memberanikan diri untuk menemui Ibu di dalam kamarnya, Aku sudah mengenakan pakaian seragamku pagi itu.
"Bu. Ibu lagi apa?" Tanyaku dengan hati-hati.
"Kamu gak lihat Ibu lagi apa?" Tanya balik Ibu.
Ku tatap apa yang di lakukan oleh Ibuku, Dia tengah bersolek di depan cermin sembari mendengarkan musik dangdut.
"Bu, Mamah gak bisa anter Nana ke sekolah. Ibu mau kan anterin Nana," ucapku.
"Emangnya si Mamah mau kemana?" Tanya Ibu, sembari menghentikan sejenak aktifitasnya yang tengah mengukir alis.
"Katanya mau ada urusan sama Bapak," jawabku. Hari itu Nenek ingin membawa Kakekku ke dokter, karena Kakek tengah merasa tak enak badan.
"Ish. Si Sandi mau sekolah gak?" Tanya Ibu.
Sandi adalah anak dari Bi Amel dan Paman Iyan, Ia satu kelas denganku.
"Mau," jawabku.
"Ya udah si Sandi kan sekolah, pasti di anterin Bi Amel. Kamu pergi sama Bi Amel aja, kan sama aja. Kenapa harus di tungguin sama Ibu juga," ujar Ibuku.
Aku hanya diam, rasanya hatiku sakit mendengar penolakan Ibu saat itu.
Aku mengangguk kecil, dan keluar dari kamar Ibu.
Aku melihat Bi Amel yang sudah siap untuk berangkat, dan Dia melihatku keluar dari rumah tanpa di temani Nenek ataupun Ibu.
"Na. Si Mamah gak nganterin?" Tanya Bi Amel.
"Nggak, Bi. Mamah mau nganterin Bapak ke Dokter," jawabku.
"Oh, kalau si Ibu?" Tanya Bi Amel lagi.
Aku menghela nafasku, "Ibu nyuruh Nana berangkat sama Bi Amel." Aku menjawab dengan kecewa.
"Ih si Andin keterlaluan!" Seru Bi Amel.
"Ya udah hayu sama Bi Amel aja!" Ajak Bi Amel.
Akupun mengangguk, Aku dan Bi Amel juga sandi berjalan menyusuri gang rumah. Setelah sampai di jalan besar, Kami harus menunggu dulu delman sebagai salah satu alat transportasi waktu itu.
Untuk pertama kalinya, Aku sekolah tanpa di temani oleh Ibu dan Nenek. Padahal dulu Ibu sering mengantarkanku sekolah, bahkan menunggu hingga jam pelajaran selesai.
Tapi sekarang, Aku harus mulai terbiasa dengan kehidupan baruku yang Aku sendiri belum memahami semua kejadian yang menimpa keluargaku saat itu.
Saat tiba di sekolah, Aku dan Sandi langsung masuk ke dalam kelas. Bi Amel menunggu di kantin sekolah seperti biasanya, dan akan menunggu di depan kelas ketika jam istirahat juga ketika jam pelajaran terakhir saja.
Saat itu Aku tengah duduk di bangku, melihat teman-temanku yang tengah bermain. Entah mengapa, Aku tak bergairah seperti dulu. Rasanya hidupku berubah begitu saja, tanpa Aku sadari hal itu membuatku menjadi anak yang pendiam.
Ketika Aku tengah termenung, tiba-tiba saja Aku melihat Ayah masuk ke dalam kelas.
Aku sempat tak percaya, dan menyangka bahwa Aku tengah bermimpi.
Namun, semua terasa nyata ketika Ayah berhambur memelukku.
"Nana!" Seru Ayah, sembari menggendongku dan berkali-kali mencium pipiku.
"Ayah," ucapku lirih. Air mataku jatuh begitu saja.
"Ayah kangen sama Nana," ucap Ayah sembari menangis.
Aku membalas pelukan Ayah, rasanya sesak di dadaku selama ini hilang saat itu juga.
"Ayah kemana aja? Kenapa Ayah baru nemuin Nana," ucapku.
Ayah menghapus air matanya, namun Ia tak menjelaskan apapun padaku.
"Nana ikut Ayah sekarang, yah. Mau?" Tanya Ayah.
Dengan cepat Aku menganggukkan kepalaku, dan mengiyakan ajakan Ayah. Sebelum pergi dari sekolah, Ayah membawaku ke ruang kepala sekolah terlebih dulu. Aku sedikit mendengar percakapan antara Ayah dengan Kepala sekolah, Ku dengar Ayah berniat untuk memindahkan Aku ke sekolah yang lain.
Aku sempat terkejut, rasa takut seketika menyeruak.
"Sekolah baru?" Aku terdiam, tanganku langsung berkeringat.
Selesai berbicara dengan kepala sekolah Ayah langsung membawaku pergi.
Ayah mengajakku untuk mampir ke sebuah supermarket terlebih dulu, dan Ayah memintaku untuk membeli apa saja di sana.
"Nana mau apa? Ayah lagi ada rezeki, Nana beli apa saja apa yang Nana mau!" pinta Ayah.
Saat itu Aku sangat bahagia, Aku berhambur mengambil keranjang belanjaan dan mengambil apa yang Ku mau.
Pertanyaan-pertanyaan dalam benakku seakan hilang begitu saja, Aku sangat mengharapkan kehadiran Ayah setelah kejadian beberapa hari belakangan ini.
Namun ketika Aku tengah mengambil cemilan, tiba-tiba Aku teringat pada Bi Amel.
Aku menghampiri Ayah, dan memberikan keranjang belanjaanku pada Ayah.
"Yah. Bi Amel gimana? Nanti Aku di cariin," ujarku.
Ayah berjongkok, dan memegang bahuku.
"Gak apa-apa, nanti Ayah bilang sama Nenek sama Bi Amel."
Mendengar perkataan Ayah, Aku merasa lega. Aku percaya dengan semua perkataan Ayahku, dan saat itu Aku lupa dengan Nenek dan Kakek yang mungkin menungguku di rumah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!