Sayup-sayup Ku dengar perbincangan keluargaku, Mereka tengah melontarkan berbagai pertanyaan terkait tempat ditemukannya Ibu.
"A, ketemu dimana si Andini?" Tanya Paman Iyan, adik dari Nenekku pada Kakek.
"Di gunung daerah Bandung Barat," jawab Kakekku.
"Beneran di gunung? Ngapain Dia di sana? Dia tidur dimana coba?" Tanya lagi Paman Iyan dengan begitu penasaran.
"Aa juga gak ngerti, Kita nemuin Dia lagi duduk sendirian si sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Pas Aa tanya, Dia kayak orang linglung." Kakekku menjelaskan bagaimana Beliau pertama kali menemukan dan dan membujuk Ibuku untuk ikut pulang.
"Si Usman ada di sana juga?" Tanya Bi Amel.
Usman adalah laki-laki yang disinyalir sebagai selingkuhan Ibuku. Dia sudah beristri, bahkan memiliki anak seumuran denganku.
"Nah itu Dia, pas Aa kesana gak ada si Usman. Andini cuma sendirian di sana," ujar Kakekku.
Semua tampak kebingungan, bagaimana mungkin Ibuku berani berdiam diri sendirian di gubuk yang berada di tengah hutan belantara.
"Ah udah gak salah lagi ini mah, A. Si Andini mah kena pelet si Usman!" Seru Bi Amel.
"Mah. Kamu jangan asal ngomong dulu!" Seru Paman Iyan pada istrinya, Bi Amel.
"Asal ngomong gimana, Pah. Coba Papah pikirin, dulu kan si Andini itu gak suka banget sama si Usman. Bahkan dulu si Andini sering caci maki Dia, bilang si Usman itu hitamlah, gak sudilah kalau sampai si Usman suka sama si Andini. Bisa jadi si Usman itu sakit hati, terus Dia ke Dukun buat balas dendam dengan cara melet si Andini. Tuh lihat, sekarang aja si Andini masih kayak orang linglung gitu!" Seru Bi Amel sembari menunjuk ke arah Ibuku yang terduduk lemas di pojok sofa.
Semua memperhatikan mimik muka Ibuku, memang tampak begitu datar nyaris tanpa ekspresi.
"Mandiin kembang tujuh rupa aja, A. Sambil panggil lelembutannya, bisa jadi nyawanya belum kumpul." Bi Amel menuturkan.
Kakekku tampak terdiam, dan seperti tengah memikirkan saran dari adik iparnya itu.
"Iya, Pak. Udah Kita mandiin kembang aja si Andini," ujar Nenekku.
"Ya udah kalau gitu, Yan. Tolong beliin kembang tujuh rupa sama dupa," pinta Kakekku pada Paman Iyan.
"Iya, A." Paman Iyan berdiri, dan segera pergi mencari penjual kembang tujuh rupa dan segala pelengkap lainnya.
***
Menjelang siang, Aku tidak ingat itu hari apa. Yang pasti Aku tidak pergi ke sekolah, dan melihat apa yang di lakukan oleh keluargaku pada Ibu.
Waktu itu kamar mandi Kami masih berada di luar rumah, Kamar mandi yang sengaja Kakek buat lengkap dengan sumur agar bisa di pakai oleh semua keluargaku. Kamar mandi itu berukuran luas, bahkan nyaris di buat layaknya tempat pemandian umum.
Aku melihat Ibu di bawa ke kamar mandi, Nenek mendudukkan Ibu di sebuah kursi.
Aku mencoba untuk memberanikan diri, berjalan mendekati Ibuku.
Ibu tak menatapku, wajahnya tertunduk dan masih tanpa ekspresi.
"Andin, Kamu ingat ini siapa?" Tanya Kakek pad Ibuku. Kakek menghadapkan Aku tepat di depan Ibu, namun reaksi Ibu membuatku terkejut.
Ibu memalingkan wajahnya, Ia bahkan seperti enggan untuk melihatku. Saat itu, Aku hanya terdiam melihat sikap aneh Ibuku.
"Kenapa dengan Ibu? Apa Dia tidak mengingatku?" Hatiku bertanya-tanya.
Kakek memintaku untuk keluar dari kamar mandi, dan Aku pun menurut begitu saja.
Nenek mulai mengguyurkan air dengan berbagai warna bunga di kepala Ibu, Nenek juga membasahi tubuh Ibu dengan air yang sama.
"Air apa itu? Kenapa Ibu harus di mandikan seperti itu?"
Ya, berbagai pertanyaan dalam otak gadis kecil berusia tujuh tahun itu semakin menumpuk.
Selesai dengan ritual itu, Ibu kembali di bawa masuk ke dalam rumah.
Paman Iyan juga sudah memanggil seorang ustad untuk mengobati Ibu, sungguh Aku begitu bingung dengan semua yang di lakukan oleh keluargaku saat itu.
Untuk sebagian orang dunia perdukunan mungkin sebuah hal yang di anggap mitos, tapi melihat apa yang terjadi pada Ibuku dulu membuatku percaya bahwa ilmu hitam itu mungkin memang nyata adanya.
Seperti halnya santet, atau pelet seperti apa yang di bicarakan oleh Bi Amel.
Mungkinkan Ibu benar-benar di pelet oleh Usman? Jika iya, apa tujuannya?
Apa Usman ingin membuat rumah tangga Ibuku hancur, karena Dia merasa sakit hati telah di tolak mentah-mentah oleh Ibu?
Tapi dengan apa yang di lakukannya, apa Usman tak memikirkan juga perasaan istri dan anaknya?
Pihak keluarga Usman, sepenuhnya menyalahkan Ibuku atas kejadian ini. Mereka menyebut Ibuku adalah perebut suami orang, perempuan hina, bahkan Mereka menjuluki Ibuku dengan sebutan-sebutan yang amat sangat kasar.
Seminggu setelah proses pemandian Ibu, Ku lihat Ibu mulai kembali bersikap biasa. Ibu juga sudah menempati rumah yang dulu di tinggali bersama Ayah, Ibu mulai membersihkan barang-barang yang di hancurkan oleh Ayah.
Saat tengah membereskan rumah, terdengar suara riuh beberapa orang yang ada di rumah Nenek.
Aku mencoba untuk mencari tahu siapa yang datang, dan Ku lihat adalah keluarga dari Ayah datang beramai-ramai ke rumah Nenek.
"Kami ingin mengambil apa yang menjadi milik Koswara, Bu, Pak." Kakek dari Ayahku menuturkan.
"Kenapa di ambil? Kenapa gak di biarin di sini aja?" Tanya Nenekku.
"Dengan apa yang sudah di lakukan oleh Andini terhadap Koswara, Kami gak rela jika hasil kerja keras Koswara di luar kota jatuh ke tangan Andini dengan mudah. Kalian tenang aja, Kami akan menyimpan barang-barang itu dengan baik. Kami juga akan mengembalikannya lagi, ketika Nana sudah dewasa dan di rasa membutuhkan barang-barang itu."
Ya, keluarga dari Ayah datang untuk mengangkut barang-barang yang di beli oleh Ayahku. Barang-barang itu berupa sofa, lemari tv, meja makan, tempat tidur berukuran besar, dan ada beberapa barang yang tak ku ingat.
Mereka mengambil semua barang itu, beralaskan tak rela jika Ibuku yang telah berkhianat menikmati hasil jerih payah Ayah selama bekerja di luar kota.
Jika di ingat, mungkin ada wajarnya keluarga Ayah begitu marah pada Ibuku.
Bayangkan saja, ketika Ayah tengah banting tulang mencukupi kebutuhan Ibu juga Aku. Di sini, Ibu malah menjalin hubungan terlarang dengan laki-laki lain bahkan ada menyebut Ibuku telah berzinah dengan suami orang.
Aku sangat ingin tidak mempercayai perkataan orang-orang, namun melihat sikap Kakek, Nenek, juga Ibu, seakan perkataan orang-orang itu memang benar adanya.
Aku tak pernah menyangka, orang tuaku berpisah dengan cara yang sangat tidak baik.
Bahkan, keduanya juga sempat melupakan kehadiranku. Anak Mereka satu-satunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments