BARA MASA LALU

BARA MASA LALU

Rencana Kawin Lari

"Menikah itu bukan sekadar hidup bersama dalam satu rumah, bilang cinta lalu kau sebut bahagia. Bahagia itu butuh modal, perlu biaya! Bahagia selalu berdampingan dengan masalah.  Mama tidak rela kamu menghabiskan waktu untuk ribut dengan suamimu kelak karena masalah ekonomi!"

Kalimat dengan nada tinggi itu masih terngiang di telinga Liodra. Perempuan berkulit putih itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir suara-suara yang hinggap di telinganya. Sudah berminggu-minggu gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bergelut dengan perasaannya sendiri. Tubuh rampingnya berdiri di tepi jendela ruang kerja yang berada di lantai dua. Matanya menatap jalanan yang sibuk.

Ada yang mengganggu pikirannya. Dia termenung sambil sesekali tangannya merapikan rambut yang jatuh di atas pelipis.  Sepertinya Liodra harus memilih jalan yang selama ini ia hindari. Keinginannya untuk segera menikah dengan Devano Pramudya, sang kekasih hati sudah bulat. Jika tidak bisa menikah dengan cara baik-baik, sepertinya hanya cara ini yang bisa meluluhkan hati mamanya. Jika dia beruntung mungkin mamanya akan menyerah. Jika tidak, Liodra sudah siap dengan segala resikonya.

Segera menikah dengan Devano adalah hal yang paling dia impikan. Dua tahun sudah cukup untuk saling menjajaki perasaan. Tak butuh waktu lebih lama untuk menyadari bahwa Devano adalah pria yang ia butuhkan dalam hidupnya. Pria pekerja keras yang paham tanggung jawab sebagai laki-laki. Hanya Devano yang mampu membuatnya mengerti hidup bukan melulu tentang menerima tetapi juga siap memberi.

"Hai Princess, sorry aku ketuk pintu tapi  kamu enggak dengar. Ini aku bikinin laporan budget untuk sponsorhip acara di hotel Bangrilla." Liodra terperanjat begitu menyadari Ela, sahabat sekaligus partner kerjanya sudah berdiri di belakangnya. Ela selalu memanggilnya dengan sebutan 'princess'.

"Ela, maaf aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu. Akhir-akhir ini aku terlalu banyak pikiran. Makasih sudah membuat RAB untuk sponsorhip kita." Liodra mengusap wajahnya yang masih tersaput resah.

"Apa yang kau risaukan, Princess?" Ela menatap mata sahabatnya. Sudah dua bulan Liodra seperti tidak fokus dengan pekerjaannya. Tubuhnya memang berada di butik, tetapi pikirannya seperti di awang-awang.

"Aku harus mengambil langkah terakhir jika Mama tetap tidak setuju dengan pernikahanku."

Liodra menarik kursi putarnya lalu segera mendudukinya. Ela mengikuti dengan duduk di hadapan Liodra. Tubuh mereka hanya terhalang meja kerja.

"Kawin lari."

Liodra mengatakan keinginannya dengan tegas. Mata Ela terbelalak mendengar rencana sahabatnya. Ini rencana paling gila yang dia dengar dari sahabat sekaligus bosnya di butik  'Liodra Moda'. Ela selalu mendukung semua keputusan Liodra. Apakah termasuk rencana gila ini?

Awalnya Ela mengira Liodra hanya akan menghabiskan malam minggu  bersama Devano. Pemuda tanggung berwajah ' baik-baik' yang ternyata memang pria baik-baik. Sejauh Ela mengenal Devano, pemuda itu bisa masuk kategori calon suami idaman.

Setahu Ela, Devano seorang pekerja keras, mirip dirinya. Lelaki berwajah mirip oppa korea itu berjuang menjadi tulang punggung keluarga.  Mamanya sedang sakit, dan Devano anak tunggal. Lagi-lagi kisah hidup Devano mirip dirinya. Pekerja keras sering tidak mendapat tempat di hati para orang kaya. Begitupun Devano di mata Mama Dewanti, ibu Liodra.

"Devano bukan laki-laki yang tepat buat kamu!" Selalu saja kalimat itu yang keluar dari mulut Dewanti setiap bertengkar dengan Liodra. Tidak di rumah, tidak di butik, Dewanti dan Liodra sering meributkan masalah yang sama. Perbedaan kasta. Sedikit banyak, Ela paham tekanan yang dirasakan Liodra.

"Kamu masih mau mendukung aku?" Suara Liodra memecah kesunyian yang membentang sesaat di antara mereka.

"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu." Liodra tersenyum mendengar dukungan sahabat rasa saudara.

"Aku ke bawah dulu, ada bahan datang dari pabrik hari ini, dan semua masuk katalog baru. Nanti kita ngobrol lagi." Liodra mengangguk, pikirannya kembali sibuk dengan rencana-rencana yang tersusun di kepala.

Ela keluar dari ruangan Liodra. Sejenak dia memandang Liodra sebelum menutup pintu kaca. Terkadang muncul perasaan ingin bertukar tempat dengan Liodra yang selalu didampingi keberuntungan. Terlahir dari keluarga kaya, hidup berkecukupan, mempunyai kekasih yang mencintai sepenuh hati. Semua keinginan Liodra selalu terhidang di depan mata. Sedangkan dirinya? Ah sudahlah. Ela segera menepis rasa tak nyaman yang datang menyergapnya.

*

Sore hari sesampainya di rumah, kata-kata mama masih terngiang di telinga Liodra. Sebetulnya, jika dipikir-pikir memang betul apa yang disampaikan oleh mama. Devano berusia dua tahun lebih tua darinya, pekerjaannya sebagai sales mobil juga bisa dibilang bukan pekerjaan yang menjanjikan.

Perlahan Liodra membuka sepatu stilleto yang membungkus kakinya. Lalu tangannya meraih resleting di punggung, menariknya ke bawah. Gaun biru dongker selutut meluncur jatuh di atas karpet yang empuk. Liodra memutar kran air panas, lalu mengatur suhu yang diinginkan. Setelah dirasa pas, dirinya masuk ke dalam bath up.  Pikirannya kembali berkelana, meraba satu nama yang membuat hidupnya berwarna. Devano.

Pria dengan senyum memikat itu berasal dari kota lain. Di kota ini, dia kost di sebuah rumah kost khusus karyawan pria. Tentu saja, mana ada orang tua yang mau anaknya hidup susah.  Liodra sangat paham mamanya menginginkan yang terbaik untuknya. Akan tetapi, bukankah ini hidupnya? Liodra berhak mengatur semua hal, merancang masa depan, membangun rumah tangga seperti yang dia impikan, bukan?

Liodra memejamkan mata sambil berbaring merasakan air hangat yang mulai merambat naik ke perutnya.

Gadis itu bak mawar yang sedang mekar,  tentu saja menjadi perhatian  banyak  kumbang. Tidak hanya  satu dua pria  yang  menginginkannya. Di antara sekian banyak pria itu, ada satu nama terselip dalam harapan mama.  Kandidat terkuat adalah Rio Gibran. Pria muda putera raja minyak,  pemilik SPBU yang tersebar hampir di seluruh provinsi.

Selain SPBU milik keluarga besarnya, Rio juga mempunyai usaha rumah makan yang sedang berkembang pesat.  Usia Rio mendekati tiga puluh tahun.  Wajahnya tampan, meskipun masih kalah tampan dibandingkan Devano.  Berkali-kali Mama mengajak Liodra menghadiri undangan makan malam dari kantor tempat mamanya bekerja, tetapi gadis itu menolak. Mama adalah salah satu staf di kantor pusat SPBU kepunyaan papa Rio.

Liodra bergeming.  Hatinya sudah terpaut pada Devano. Liodra tahu Mama peduli pada masa depannya. Mama tidak mau Liodra nantinya hidup susah. Liodra sudah bulat bertekad akan berjuang bersama Revano melewati segala macam kesusahan yang ditakutkan mamanya.

"Mama, tolong, ini hidup Liodra. Seumur hidup, Liodra hanya mau bersama dengan orang yang aku cintai. Liodra ingin membangun rumah tangga atas dasar cinta, bukan atas dasar harta. Kalau mama ingin Riva bahagia, restui pernikahan kami, Ma. Liodra tidak akan minta apa-apa lagi."  Gadis itu masih berdiri pada pendapatnya yang kukuh.

Malam ini Liodra akan menentukan sikap, sekali lagi meminta izin baik-baik untuk menikah dengan Devano. Jika mamanya tetap bersikeras pada pendiriannya, rencana berikutnya sudah siap dilaksanakan. Ketimbang tak bisa hidup bersama Devano lebih baik dia pergi dari rumah, melangkah pergi mengejar impian bersama belahan hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!