Terkadang hidup hanya untuk memperjuangkan mimpi yang hanya bisa dilihat oleh diri sendiri. Liodra menyadari mimpi terbesarnya adalah segera menghalalkan hubungan bersama Devano. Berdua mereka akan berjuang menaklukkan kehidupan. Tidak istimewa keinginan itu, hanya butuh kesungguhan meraihnya.
"Jadi kapan keluarga Devano akan datang ke rumah kita?" Suara denting sendok dan garpu beradu dengan piring porselen terdengar dari ruang makan di kediaman Dewanti. Liodra berusaha mempercepat kunyahan untuk segera menjawab, ketika suara itu bersambung lagi.
"Sebelum Mama berubah pikiran."
Liodra terhenyak. Matanya beradu pandangan dengan Hernowo. Lelaki itu menggeleng halus, seolah memberikan perintah kepada Liodra untuk tidak melawan mamanya.
"Minggu ini, Ma. Devano sedang mempersiapkan semuanya."
Liodra mengambil gelas berisi air putih lalu meminumnya hingga tandas. Tak ada gunanya berkonfrontasi dengan mamanya, setelah restu ia dapatkan. Yang harus dia lakukan sekarang adalah membuat mamanya tenang.
Mamanya tidak harus tahu, bahwa dia dan Marcela sudah mempersiapkan semua detil untuk acara lamaran yang akan datang, silaturahim dua keluarga atau apa pun namanya.
Semua oleh-oleh dan bingkisan sudah tertata rapi. Hotel sudah dipesan untuk calon mertuanya, beserta adik dari ibu Devano, Om Ridwan. Liodra sengaja menyiapkan semuanya, supaya Mama tidak bisa lagi mencari-cari kekurangan Devano, lalu menghinanya seperti yang sudah-sudah. Tidak, Liodra tak akan membiarkan itu terjadi lagi.
"Sabtu jam tujuh malam, Devano dan keluarganya akan datang," jawab Liodra tenang sambil memandang Dewanti yang tengah menikmati beef steak.
Terlihat piring di hadapan Dewanti yang sedikit bergoyang-goyang ketika perempuan itu menambah kekuatan untuk memotong tenderloin medium rare, saat mendengar jawaban Liodra.
Dewanti berusaha menahan diri. Setiap kalimat jawaban Liodra seperti senjata yang sengaja disiapkan untuk menyakitinya.
"Kakak yakin beneran mau nikah sama Kak Devano? Enggak mau dipikirin lagi? Kasihan Bang Ryo nungguin dari abad lampau. Cuma begini endingnya? Ih ... enggak seru!"
Sabrina turut bicara sambil memasukkan daging yang mampir ke piring saus sebelum masuk ke mulutnya. Adik perempuan satu-satunya ini memang suka bicara ceplas-ceplos.
"Kalau kamu kasihan sama Ryo kenapa kamu enggak nikah saja sama dia? Kamu juga anak gadis mama. Kenapa harus aku yang menuruti perintah mama. Gantian dong sekarang kamu yang nikah sama Ryo!" Liodra menyela perkataan adiknya dengan nada tinggi.
"Ih ... apaan, sih, Kak. Biasa aja kali! Enggak usah nyolot gitu! Mau nikah mah nikah aja! Udah dikasih restu pula sama Mama." Sabrina manyun mendengar jawaban cadas kakaknya.
"Kamu kalau enggak ngerti urusannya diem, jangan ikut-ikutan!" Liodra membanting sendok dan garpunya ke atas piring.
"Liodra! Jangan keterlaluan!" Dewanti melotot ke arah Liodra.
"Sudah ... sudah, Ma. Liodra lagi tegang menghadapi hari pentingnya. Sabrina, kamu jangan menggoda kakakmu lagi. Sekarang justru waktunya kamu bantu Kak Liodra. Nanti kalau kamu mau menikah, kamu juga pasti sama pusingnya seperti Kak Liodra."
Hernowo melerai ketegangan anak dan istrinya. Liodra dan Sabrina saling melempar pandangan sengit. Sabrina menjulurkan lidahnya yang disambut tatapan menantang dari Liodra yang mendongakkan wajah.
"Liodra, kalau kamu butuh bantuan papa, bilang. Ingat kami semua mendukungmu," imbuh Hernowo bijak. Dewanti bisa merasakan ketulusan hati Hernowo kepada Liodra. Itulah salah satu alasan Dewanti mantap menikah dengan Hernowo.
Setelah Liodra lahir, Dewanti harus melanjutkan kuliahnya. Pernikahannya dengan Baskoro dianggap batal karena tidak dihadiri dan direstui ayahnya.
Baskoro tidak diizinkan menemuinya lagi setelah mereka berdua ditemukan ayah Dewanti di daerah Garut. Sebelum Liodra mengancam untuk kawin lari, Dewanti sudah melakukannya dua puluh empat tahun silam.
Liodra kecil diasuh oleh neneknya, ibu Dewanti. Dewanti tidak diberi kesempatan untuk bertemu Liodra yang masih membutuhkan ASI. Pasca melahirkan, Dewanti segera diungsikan ke rumah adik ibunya, Mariam. Setelah berpisah dengan Baskoro atas paksaan keluarganya, Dewanti mengalami guncangan jiwa.
Melahirkan di usia muda, berpisah dengan orang yang dicintai, Dewanti sempat merasa tak ada gunanya hidup di dunia. Mariam yang terus menyemangati dan membisikkan bahwa semua yang dilakukan ibunya adalah untuk kebaikannya. Meski sempat mengalami trauma dan berkali menyakiti dirinya sendiri, Dewanti berangsur pulih.
Akhirnya Dewanti berhasil merampungkan kuliahnya dan bertemu dengan Hernowo. Pria inilah yang perlahan menyuntikkan rasa percaya diri, termasuk menerima Liodra dan mulai belajar menjadi seorang ibu. Hernowo yang menenangkan dirinya ketika hamil Sabrina dan harus menghadapi Liodra yang mulai hobi tantrum.
"Kamu istirahat saja, Sayang. Biar Liodra aku yang menidurkan." Hernowo bukan ayah kandungnya tetapi menyayangi Liodra seperti Sabrina.
"Pah, aku mau membuat akta kelahiran Liodra. Aku ingin nama papa yang menjadi ayah Liodra," pinta Dewanti pada suatu sore.
Hernowo hanya mengangguk pasrah. Setidaknya itu caranya meredam emosi Dewanti yang sering meledak-ledak.
"Papa tidak keberatan, tetapi dengan satu syarat. Ketika waktunya tiba, Liodra telah dewasa, mama harus mengatakan yang sebenarnya. Liodra berhak mengetahui ayah kandungnya." Sekarang Dewanti yang menganggukkan kepala meski berat.
Potongan kisah hidupnya bersama Baskoro adalah satu bagian kecil yang ia sesali hingga kini. Baskoro tak sekuat itu mencintainya, tak pernah berusaha menemuinya di kampus. Baskoro pria pengecut yang telanjur dicintainya sepenuh jiwa.
Dewanti bertekad menebus semua kebaikan suaminya dengan belajar mencintainya. Tak sulit karena Hernowo juga berusaha melakukan hal yang sama. Demi patuh kepada Hernowo, Dewanti menyetujui syarat dari pria kalem itu. Waktu terasa berjalan sangat cepat.
"Ma ... mama, Liodra bicara pada mama." Dewanti tergagap mendengar suara Hernowo. Rupanya dirinya sedang melamun.
"I-iya kenapa?"
"Mama mau mengundang keluarga besar atau tidak saat keluarga Devano ke sini nanti?" tanya Liodra mengulangi pertanyaannya.
"Tidak perlu keluarga besar. Cukup kita saja." Dewanti menjawab sembari menahan nyeri di dadanya. Entah kenapa sulit sekali menerima Devano menjadi menantunya. Semacam ada sekat tak terlihat yang menghalangi dirinya dan pemuda pilihan anaknya itu.
*
"Apakah calon mertuamu itu orang kaya, Devano?" Eva Purwandari menanyakan sekali lagi tentang keluarga Liodra dalam perjalanan menuju rumah calon menantunya. Sabtu malam dirinya dijemput Devano untuk melamar Liodra.
Menilik penampilan Liodra saat mengunjungi dirinya, terlihat gadis itu berasal dari keluarga kaya. Busana yang dikenakan elegan berbahan tebal. Sepatu dan tas bermerek seperti yang dipakai para artis yang kerap dilihatnya di acara infotainment televisi. Eva sempat menyangka Liodra adalah artis, karena memiliki wajah yang sangat cantik.
"Ya mereka keluarga kaya dan baik. Ibu pasti bisa akrab dengan Mama Dewanti jika sudah saling mengenal" ujar Devano membesarkan hati ibunya.
Meski dia tahu hal itu mustahil. Jangankan menerima ibunya, menerima dirinya sebagai menantu saja bagai sebuah keajaiban.
Mobil yang dikendarai Devano akhirnya sampai di depan rumah Liodra. Eva keluar dibantu Ridwan, adik bungsu Eva sebagai pengganti ayah Devano.
"Dev, ibu kok deg-degan." Eva berhenti sesaat setelah turun dari mobil. Seekor kelelawar terbang di atas kepalanya, lalu hilang ditelan kegelapan malam.
"Ibu, tidak ada yang perlu dikuatirkan. Kita hanya sebentar. Mungkin hanya dua sampai tiga jam saja. Om Ridwan yang nanti akan bicara, Ibu terima beres saja."
Devano menggamit lengan ibunya, sambil berjalan perlahan menuntun Eva memasuki pagar rumah berlantai dua nan megah.
Sepasang mata tajam mengawasi mereka dari lantai dua. Sementara itu, Dewanti dan Hernowo sudah bersiap menyambut calon besan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments