"Menikah itu bukan sekadar hidup bersama dalam satu rumah, bilang cinta lalu kau sebut bahagia. Bahagia itu butuh modal, perlu biaya! Bahagia selalu berdampingan dengan masalah. Mama tidak rela kamu menghabiskan waktu untuk ribut dengan suamimu kelak karena masalah ekonomi!"
Kalimat dengan nada tinggi itu masih terngiang di telinga Liodra. Perempuan berkulit putih itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mengusir suara-suara yang hinggap di telinganya. Sudah berminggu-minggu gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bergelut dengan perasaannya sendiri. Tubuh rampingnya berdiri di tepi jendela ruang kerja yang berada di lantai dua. Matanya menatap jalanan yang sibuk.
Ada yang mengganggu pikirannya. Dia termenung sambil sesekali tangannya merapikan rambut yang jatuh di atas pelipis. Sepertinya Liodra harus memilih jalan yang selama ini ia hindari. Keinginannya untuk segera menikah dengan Devano Pramudya, sang kekasih hati sudah bulat. Jika tidak bisa menikah dengan cara baik-baik, sepertinya hanya cara ini yang bisa meluluhkan hati mamanya. Jika dia beruntung mungkin mamanya akan menyerah. Jika tidak, Liodra sudah siap dengan segala resikonya.
Segera menikah dengan Devano adalah hal yang paling dia impikan. Dua tahun sudah cukup untuk saling menjajaki perasaan. Tak butuh waktu lebih lama untuk menyadari bahwa Devano adalah pria yang ia butuhkan dalam hidupnya. Pria pekerja keras yang paham tanggung jawab sebagai laki-laki. Hanya Devano yang mampu membuatnya mengerti hidup bukan melulu tentang menerima tetapi juga siap memberi.
"Hai Princess, sorry aku ketuk pintu tapi kamu enggak dengar. Ini aku bikinin laporan budget untuk sponsorhip acara di hotel Bangrilla." Liodra terperanjat begitu menyadari Ela, sahabat sekaligus partner kerjanya sudah berdiri di belakangnya. Ela selalu memanggilnya dengan sebutan 'princess'.
"Ela, maaf aku tidak mendengar kamu mengetuk pintu. Akhir-akhir ini aku terlalu banyak pikiran. Makasih sudah membuat RAB untuk sponsorhip kita." Liodra mengusap wajahnya yang masih tersaput resah.
"Apa yang kau risaukan, Princess?" Ela menatap mata sahabatnya. Sudah dua bulan Liodra seperti tidak fokus dengan pekerjaannya. Tubuhnya memang berada di butik, tetapi pikirannya seperti di awang-awang.
"Aku harus mengambil langkah terakhir jika Mama tetap tidak setuju dengan pernikahanku."
Liodra menarik kursi putarnya lalu segera mendudukinya. Ela mengikuti dengan duduk di hadapan Liodra. Tubuh mereka hanya terhalang meja kerja.
"Kawin lari."
Liodra mengatakan keinginannya dengan tegas. Mata Ela terbelalak mendengar rencana sahabatnya. Ini rencana paling gila yang dia dengar dari sahabat sekaligus bosnya di butik 'Liodra Moda'. Ela selalu mendukung semua keputusan Liodra. Apakah termasuk rencana gila ini?
Awalnya Ela mengira Liodra hanya akan menghabiskan malam minggu bersama Devano. Pemuda tanggung berwajah ' baik-baik' yang ternyata memang pria baik-baik. Sejauh Ela mengenal Devano, pemuda itu bisa masuk kategori calon suami idaman.
Setahu Ela, Devano seorang pekerja keras, mirip dirinya. Lelaki berwajah mirip oppa korea itu berjuang menjadi tulang punggung keluarga. Mamanya sedang sakit, dan Devano anak tunggal. Lagi-lagi kisah hidup Devano mirip dirinya. Pekerja keras sering tidak mendapat tempat di hati para orang kaya. Begitupun Devano di mata Mama Dewanti, ibu Liodra.
"Devano bukan laki-laki yang tepat buat kamu!" Selalu saja kalimat itu yang keluar dari mulut Dewanti setiap bertengkar dengan Liodra. Tidak di rumah, tidak di butik, Dewanti dan Liodra sering meributkan masalah yang sama. Perbedaan kasta. Sedikit banyak, Ela paham tekanan yang dirasakan Liodra.
"Kamu masih mau mendukung aku?" Suara Liodra memecah kesunyian yang membentang sesaat di antara mereka.
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu." Liodra tersenyum mendengar dukungan sahabat rasa saudara.
"Aku ke bawah dulu, ada bahan datang dari pabrik hari ini, dan semua masuk katalog baru. Nanti kita ngobrol lagi." Liodra mengangguk, pikirannya kembali sibuk dengan rencana-rencana yang tersusun di kepala.
Ela keluar dari ruangan Liodra. Sejenak dia memandang Liodra sebelum menutup pintu kaca. Terkadang muncul perasaan ingin bertukar tempat dengan Liodra yang selalu didampingi keberuntungan. Terlahir dari keluarga kaya, hidup berkecukupan, mempunyai kekasih yang mencintai sepenuh hati. Semua keinginan Liodra selalu terhidang di depan mata. Sedangkan dirinya? Ah sudahlah. Ela segera menepis rasa tak nyaman yang datang menyergapnya.
*
Sore hari sesampainya di rumah, kata-kata mama masih terngiang di telinga Liodra. Sebetulnya, jika dipikir-pikir memang betul apa yang disampaikan oleh mama. Devano berusia dua tahun lebih tua darinya, pekerjaannya sebagai sales mobil juga bisa dibilang bukan pekerjaan yang menjanjikan.
Perlahan Liodra membuka sepatu stilleto yang membungkus kakinya. Lalu tangannya meraih resleting di punggung, menariknya ke bawah. Gaun biru dongker selutut meluncur jatuh di atas karpet yang empuk. Liodra memutar kran air panas, lalu mengatur suhu yang diinginkan. Setelah dirasa pas, dirinya masuk ke dalam bath up. Pikirannya kembali berkelana, meraba satu nama yang membuat hidupnya berwarna. Devano.
Pria dengan senyum memikat itu berasal dari kota lain. Di kota ini, dia kost di sebuah rumah kost khusus karyawan pria. Tentu saja, mana ada orang tua yang mau anaknya hidup susah. Liodra sangat paham mamanya menginginkan yang terbaik untuknya. Akan tetapi, bukankah ini hidupnya? Liodra berhak mengatur semua hal, merancang masa depan, membangun rumah tangga seperti yang dia impikan, bukan?
Liodra memejamkan mata sambil berbaring merasakan air hangat yang mulai merambat naik ke perutnya.
Gadis itu bak mawar yang sedang mekar, tentu saja menjadi perhatian banyak kumbang. Tidak hanya satu dua pria yang menginginkannya. Di antara sekian banyak pria itu, ada satu nama terselip dalam harapan mama. Kandidat terkuat adalah Rio Gibran. Pria muda putera raja minyak, pemilik SPBU yang tersebar hampir di seluruh provinsi.
Selain SPBU milik keluarga besarnya, Rio juga mempunyai usaha rumah makan yang sedang berkembang pesat. Usia Rio mendekati tiga puluh tahun. Wajahnya tampan, meskipun masih kalah tampan dibandingkan Devano. Berkali-kali Mama mengajak Liodra menghadiri undangan makan malam dari kantor tempat mamanya bekerja, tetapi gadis itu menolak. Mama adalah salah satu staf di kantor pusat SPBU kepunyaan papa Rio.
Liodra bergeming. Hatinya sudah terpaut pada Devano. Liodra tahu Mama peduli pada masa depannya. Mama tidak mau Liodra nantinya hidup susah. Liodra sudah bulat bertekad akan berjuang bersama Revano melewati segala macam kesusahan yang ditakutkan mamanya.
"Mama, tolong, ini hidup Liodra. Seumur hidup, Liodra hanya mau bersama dengan orang yang aku cintai. Liodra ingin membangun rumah tangga atas dasar cinta, bukan atas dasar harta. Kalau mama ingin Riva bahagia, restui pernikahan kami, Ma. Liodra tidak akan minta apa-apa lagi." Gadis itu masih berdiri pada pendapatnya yang kukuh.
Malam ini Liodra akan menentukan sikap, sekali lagi meminta izin baik-baik untuk menikah dengan Devano. Jika mamanya tetap bersikeras pada pendiriannya, rencana berikutnya sudah siap dilaksanakan. Ketimbang tak bisa hidup bersama Devano lebih baik dia pergi dari rumah, melangkah pergi mengejar impian bersama belahan hati.
Kesempatan kedua hanya datang kepada mereka yang siap memperbaiki diri dan keadaan. Hal itu terus diyakini Dewanti Suroso. Ibu dua anak perempuan yang pernah terlempar pada titik terendah dalam hidupnya, merasa mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki nasib.
Bukan tanpa alasan jika dirinya menentang rencana pernikahan putri sulungnya, Liodra Audrey Suroso. Pil pahit sudah pernah ia telan puluhan tahun silam, dan hasilnya adalah penyesalan. Jangan sampai Liodra mengalami hal yang sama dengan dirinya, terperosok ke dalam ikatan pernikahan atas nama cinta. Nyatanya cinta saja tak cukup membuatnya bahagia. Dia lebih suka menyebutnya kebodohan masa lalu.
Semakin keras ditentang, Liodra semakin melawan, persis dirinya dulu sewaktu muda. Terkadang Dewanti seperti bercermin jika melihat putri pertamanya. Gadis keras kepala dan selalu ingin mendapatkan keinginannya, meski dengan berjuang, itulah gambaran dirinya.
Usia muda membuat Liodra masih mengedepankan emosi, menjadikan cinta sebagai tumpuan harapan untuk membangun rumah tangga seperti dirinya dulu. Mendadak ingatan Dewanti berputar pada peristiwa berpuluh tahun yang lalu. Seperti Liodra, Dewanti juga mencintai pria yang kemudian menjadi suaminya.
Hanya beberapa bulan berkenalan dengan pemuda bernama Baskoro, Dewanti telah mabuk kepayang. Dua puluh empat tahun silam, saat itu dirinya serupa gadis polos dan bodoh karena mengorbankan begitu banyak hal untuk mengejar cinta seorang laki-laki.
Pria berpenampilan biasa tetapi mampu melambungkan angannya. Pria sederhana dengan keyakinan kuat atau lebih tepatnya janji surga akan bisa membuatnya bahagia suatu hari nanti. Mahasiswa seni rupa sekaligus seniman jalanan yang di mata banyak orang tak akan bisa memiliki masa depan.
Seperti hukum alam, seniman kacangan kerap mendapat cibiran dan tak mendapatkan tempat di luaran, apalagi tempat di hati calon mertua. Ikatan cinta antara Dewanti dan Baskoro Sudrajat sama-sama tidak direstui oleh kedua orang tua mereka.
Namun, ketika embel-embel cinta buta sudah menjerat, persetan dengan omongan orang-orang. Dewanti dan Baskoro menikah diam-diam. Meskipun pada akhirnya orang tua Dewanti mengetahui pernikahan itu dan teramat murka atas ulah anaknya.
Dewanti menghela napas panjang, lalu mengempaskannya bersama keresahan yang menghimpit dada.
"Mama kenapa melamun?" Hernowo tiba-tiba muncul dan mengelus pundak istrinya dari belakang.
"Papa kapan pulang?" Dewanti meraih tangan Hernowo dari pundaknya lalu mengusapkan tangan suaminya di pipi kirinya.
"Sudah dari tadi, Ma. Kenapa Mama tidak naik ke kamar, malah melamun di sini. Mama mau berenang?" tanya Hernowo.
Pria jangkung itu duduk di dekat istrinya yang sedang duduk di kursi dekat kolam renang. Jika menyendiri seperti ini, berarti Dewanti sedang menghadapi masalah serius. Meski bukan anak kandungnya, Hernowo turut merasakan kegundahan Dewanti yang terus bersitegang dengan Liodra tentang pernikahan.
"Mama tidak bisa tenang. Apakah menurut papa, mama terlalu memaksakan kehendak?Semua ini demi Riva." Dewanti berusaha mencari jawaban pada tatap mata pria yang menikahinya dua puluh tahun silam.
"Papa rasa sebaiknya mama mengalah saja. Biarkan Liodra menentukan pilihannya sendiri. Mama sudah berusaha menasehati, tetapi dia belum mau mendengar. Mungkin dia perlu belajar dari kehidupan."
Dewanti kembali terdiam mendengar jawaban suaminya. Dia tidak ingin sejarah hidupnya kembali berulang. Jika dirinya tidak menyetujui pernikahan Liodra, bisa saja gadis itu nekat melakukan kesalahan seperti dirinya dulu. Cukup dirinya yang melakukan kebodohan di masa lalu. Sungguh ini kenyataan dilematis baginya.
Sebenarnya Dewanti sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikukuh menentang hubungan Liodra dan Devano. Dia hanya merasa ada sesuatu yang salah. Dewanti tidak mengerti, tetapi bisa merasakan meski samar, bahwa Devano bukan jodoh Liodra.
Entahlah, mungkin ini feeling seorang ibu. Hal yang paling masuk akal untuk disampaikan adalah tentang perbedaan mereka. Perbedaan status sosial, dan latar belakang keluarga. Menempatkan kenyamanan hidup Liodra sesuai tempatnya, itulah alasan yang paling bisa dipahami banyak orang.
"Ma, Pa, Liodra mau bicara."
Hernowo dan Dewanti terkejut melihat Liodra mendekati mereka dengan wajah serius. Jantung Dewanti berdetak lebih kencang. Ia mengenal tatapan itu. Tatapan miliknya sebelum memutuskan satu kebodohan yang berujung pada penyesalan. Liodra duduk di kursi berhadapan dengan Dewanti dan Hernowo.
"Kalau Mama tetap tidak menyetujui pernikahan ini, mungkin ini terakhir Liodra berada di rumah. Mulai besok aku akan tinggal di apartemen."
Degh!
Ketakutan itu nyata. Dewanti menutup telinga, karena ia sangat hafal dengan kalimat itu. Begini rasanya menjadi orang tua. Apakah ini yang disebut hukum karma? Jika Dewanti selama ini merasa sudah mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup wajar dan membangun keluarga baru, mengapa sekarang harus berulang kisah yang sama.
"Jika kamu tetap mau menikah dengan Devano, lebih baik mama mati." Sungguh ingin sekali Dewanti mengucapkannya. Namun, dirinya sangat mengenal anak yang dibenci dan dicintainya dalam waktu dan tubuh yang sama. Semakin ditentang dia akan semakin melawan. Perlahan Dewanti menarik napas, menenangkan diri. Sekali lagi ia menatap suaminya. Hernowo mengangguk pelan.
"Baiklah, Devano boleh datang untuk melamar kamu bersama kedua orang tuanya. Kabari mama jika mereka sudah siap untuk mengadakan pertemuan keluarga."
Akhirnya jawaban itu keluar dari mulut Dewanti. Hernowo meraih tangan istrinya, memberinya kekuatan. Dewanti bangkit dari duduknya dan nyaris terhuyung. Hernowo dengan sigap menangkap tubuh istrinya.
"Mama mau ke kamar, mau beristirahat." Dewanti meraih tas kerja yang tergeletak di atas meja di depannya.
"Mama tunggu!" Suara Liodra menghentikan langkah Dewanti. Liodra mendekati mamanya. Mereka berdiri berhadapan. Tak butuh waktu lama keduanya larut dalam pelukan dan isak tangis. Dewanti mengalah untuk Liodra, tetapi dia tak akan menyerah. Mengalah di awal tak jarang menjadi pintu untuk menang diakhir.
"Terima kasih, Ma. Aku janji tak akan merepotkan mama lagi setelah ini. Terima kasih banyak." Liodra meraih tangan Dewanti lalu menciumnya takzim. Dewanti hanya mengangguk perlahan dan segera bergegas masuk kamar. Di dalam kamar tangisnya pecah di pelukan Hernowo.
*
Keesokan paginya ketika burung-burung mulai keluar dari sarang, Liodra tak sabar segera mengabarkan berita bahagia itu kepada kekasihnya. Dia menelepon Devano.
"Sayang, aku punya kabar gembira untuk kita. Aku masih kayak enggak percaya gitu. Aku seneng banget, Sayang!"
Liodra menari-nari kegirangan. Senyum merekah tak pernah lepas dari bibirnya.
"Kabar apa, Love? Aku baru jalan ke rumah calon customer. Sebentar lagi aku hampir sampai. Kabar apa yang membuatmu hampir meledak seperti itu?" tanya Devano dari ujung telepon. Dia sangat mengenal Liodra. Meski sekuat tenaga disembunyikan, Devano bisa merasakan getaran bahagia pada suara Liodra.
"Mama mengizinkan kamu datang ke rumah bersama orang tuamu, Sayang!"
Liodra nyaris menjerit mengatakan berita bahagia itu. Devano nyaris tak percaya mendengarnya. Baru dua minggu lalu Dewanti mengajaknya bertemu dan menawarkan sesuatu supaya dia mau menjauhi Liodra.
"Wow, ini benar-benar kabar bahagia, Love. Oke, kita ketemu nanti malam di tempat biasa. Aku sudah sampai di rumah calon customer. Do'akan aku clossing hari ini, supaya segera terkumpul modal kita untuk menikah."
Seulas senyum mengiringi untaian kata Devano untuk kekasihnya, hatinya menghangat seketika. Meskipun sempat ada tanda tanya besar dalam kepalanya. Mengapa calon mertuanya begitu cepat berubah pikiran?
"Tentu saja, Sayang. Semoga deal, ya. Aku juga sedang bersiap untuk pergi ke butik. See you tonight. Love you." Liodra tak henti terus menyunggingkan senyum bahagia. Ah, Devano memang pekerja keras. Dia bahkan belum mandi, tetapi kekasihnya itu sudah sibuk dengan pekerjaannya. Lelaki itu memang pantas diperjuangkan.
"Love you, more." Devano mengakhiri sambungan telepon. Kabar baik yang membakar semangatnya untuk segera menawarkan produknya supaya terjual. Sebuah mobil sedan keluaran terbaru merk ternama. Ini adalah calon customer kesekian yang ia kunjungi minggu ini. Semua orang yang ditemuinya hanya sekedar bertanya, belum ada tanda serius untuk membeli.
"Bismillah," ucapnya perlahan sebelum memasuki rumah mewah bercat putih yang berdiri gagah di ujung komplek perumahan elite. Begitu bel rumah dipencet, tak berapa lama muncul seorang gadis cantik tapi murung membuka pintu.
"Permisi, saya ada janji dengan Bapak Surya, apakah beliau ada di rumah?" tanya Devano kepada gadis berkaus merah dan celana pendek hitam yang tengah menatapnya dingin. Gadis itu mengernyitkan dahi. Matanya tajam mengawasi Devano. Sebuah teriakan terdengar dari dalam rumah.
"Zara, tolong bukakan pintunya. Itu tamu papa!" Wajah gadis itu mendadak pucat pasi.
Mencintai berarti memiliki. Bohong bagi mereka yang bilang cinta tak harus memiliki. Cinta itu menjaga, mendukung, dan membersamai. Bagi Devano Pramudya, hal itu keniscayaan. Sejak mengenal Liodra Audrey Suroso, Devano tahu gadis itu istimewa dan memang diciptakan untuknya. Liodra yang rapuh dan manja, menggenapi dirinya yang kuat, pendiam dan kesepian.
Tuhan tak pernah main-main menganugerahkan rasa. Devano memutuskan untuk mendapatkan Liodra, merengkuhnya dalam ikatan halal, membersamainya hingga ajal memisahkan mereka. Satu niat yang berulang-ulang membakar usahanya meraih hati gadis yang kata sebagian teman, berwajah mirip dengannya. Itu petunjuk pertama, pasangan yang berjodoh biasanya memang mirip.
Petunjuk berikutnya adalah sifat yang bertolak belakang tetapi saling menggenapkan. Devano yang sangat teliti dan perhitungan sangat berbeda dengan Liodra yang ceroboh dan serampangan. Semakin lama mereka saling mengenal, perasaan saling terkait dan tak bisa lepas satu sama lain semakin merantai. Tak terpisahkan.
Berawal dari perkenalan mereka di Kafe Biru, Liodra mampu membangkitkan sisi hangat dalam diri Devano yang selama ini bahkan dia sendiri tak menyadari. Devano hanya paham hidupnya adalah berjuang untuk membahagiakan ibunda sepeninggal ayahnya.
Satu-satunya perempuan yang harus dibahagiakan adalah Eva Purwandari, ibu kandung yang mengukir jiwa raganya. Kebahagiaan ibunya adalah tanggung jawabnya, itu tidak bisa ditawar. Demi ibu, Devano rela bekerja keras sejak di bangku SMP.
Berawal dari selebaran yang tiba-tiba melayang terbawa angin menerpa mukanya saat dia sedang mengayuh sepeda ke sekolah. Selebaran sobek berisi lowongan bekerja di laundry.
Mungkin itu kesempatan yang sengaja dikirim Tuhan. Devano memberanikan diri melamar. Entah apa yang merasuki pikiran Ibu Mundira, pemilik laundry akhirnya menerima karyawan paruh waktu untuk bekerja di laundry selepas sekolah.
Pekerjaan itu ditekuninya hingga Devano lulus SMA. Mencuci baju kotor pelanggan, menjemur, menyetrika, terkadang juga menjadi kurir untuk mengantarkan cucian yang sudah rapi dan wangi. Bukan pekerjaan berat jika sudah terbiasa, hanya saja Devano harus pintar membagi waktu untuk sekolah dan bekerja.
Ibunya mempunyai kios sembako di Pasar Gede. Hidup Devano sangat sederhana, tetapi bukan berarti dia menyerah setelah lulus SMA. Ibunya selalu menasehati agar Devano melanjutkan sekolah. Orang berpendidikan jauh lebih dihargai ketimbang mereka yang hanya lulusan SMA. Itu pendapat ibu seperti pengalamannya selama ini. Akhirnya, satu-satunya sawah, harta peninggalan ayah dijual untuk biaya kuliah. Sekali lagi Devano dihajar oleh nasib yang kian menempanya menjadi pria kuat.
Suatu pagi, saat ibunya terjatuh di kamar mandi akibat gejala stroke yang mengharuskan ibunya diam di rumah, Devano kembali menyadari tanggung jawabnya semakin bertambah. Sebelumnya, ibu sudah menderita sesak napas dan terindikasi mengidap penyakit TBC. Berat memang, tetapi Tuhan tak pernah salah mendidik seseorang dan memberikan ujian.
Kios ibu di Pasar Gede terpaksa dijual untuk biaya pengobatan. Sisanya dibelikan beberapa mesin cuci. Devano belajar menjadi bos untuk dirinya sendiri. Waktu terus berlalu seakan mencambuki tanpa henti punggung seorang bocah SMP yang tumbuh menjadi remaja, yang segera beranjak dewasa.
Selepas kuliah, beberapa cabang laundry kecil-kecilan berdiri di berbagai tempat strategis. Penghasilannya cukup untuk menghidupi ibunya. Akhirnya memang ibu yang berangsur pulih mengambil alih usaha laundry, karena Devano memutuskan untuk menerima tawaran seorang teman yang telah mendapatkan pekerjaan.
"Kalau kamu mau penghasilan tanpa batas, jadilah marketing, Bro," ucap Faizal kawan satu kampusnya.
"Bonus marketing sangat menjanjikan. Kalau kamu giat, bisa clossing lima unit mobil saja dalam sebulan, bonusmu bisa setara keuntungan bersih semua cabang laundrymu, selama satu tahun," lanjutnya. Devano melongo. Sungguh pekerjaan yang sangat menggiurkan!
Di sinilah Devano sekarang. Menerima sekaligus menikmati tantangan berjualan mobil yang memberinya bonus besar. Terbiasa ulet dan gigih sejak remaja, setiap bulan Devano selalu berhasil menjual mobil meskipun satu atau dua unit. Lama kelamaan peringkatnya sebagai marketing terus naik. Terakhir dia menempati posisi Bronze Marketing.
Semua pencapaiannya dimulai pada pagi sebelum teman-temannya bekerja. Devano lebih awal melakukan pekerjaan melayani orang, para calon pembeli. Kebiasaan bertahun-tahun sejak pertama kali dia menjadi pekerja laundry adalah melayani.
Bukan hal yang sulit mempelajari kebiasaan dan tabiat manusia. Apalagi para orang kaya, orang hampir kaya, atau orang berpura-pura kaya yang memerlukan mobil baru. Entah karena butuh untuk menunjang pekerjaan, sebagai alat mendapatkan penghasilan, atau hanya sekadar menunjukkan kasta, meskipun membeli dengan cara cicilan. Bagi Devano semua customer adalah istimewa.
Pagi ini Devano mengunjungi rumah Pak Surya Winardi, calon customer tajir yang sudah mempunyai tiga mobil mewah tapi masih tertarik pada satu mobil citycar khusus untuk perempuan.
Pintu rumah bercat putih dibuka lebar. Gadis berwajah pucat menatapnya tajam. Ketika terdengar suara pria dari dalam rumah yang memintanya membuka pintu, gadis berwajah pucat itu terlihat semakin pucat.
"Mas Devano silakan masuk. Wah ... Anda on time sekali." Pria berusia sekitar enam puluh tahun menyambutnya dengan wajah semringah. Gadis berwajah pucat terlihat ketakutan kemudian membalikkan badan dengan ekspresi panik, meninggalkan Devano dan Pak Surya yang segera mempersilakannya masuk.
"Mobil itu untuk anak saya, Zara. Dia sudah mau belajar nyetir. Beberapa kali dia memakai mobil mamanya. Untuk ulang tahunnya minggu depan, kami sepakat menghadiahinya mobil." Surya Winardi meminta penjelasan beberapa fitur mobil yang kemudian dijawab Devano dengan sabar.
"Wah, Bapak benar-benar luar biasa. Tidak salah pilihan bapak jatuh kepada produk kami ...." Devano mulai melayani Surya Winardi. Jika sudah memutuskan membeli berarti customer sudah paham produknya. Tinggal menambah dengan pelayanan excellent maka clossing akan segera berada dalam genggaman.
Kabar restu yang sudah turun dari Dewanti yang disampaikan Liodra tadi, sengaja ia tempatkan sebagai mood booster untuk mengundang keberuntungan. Saat itu Devano berpikir tidak ada lagi hambatan, rintangan ataupun kesulitan yang akan menghadangnya untuk memiliki Liodra. Hatinya mekar seketika.
"Baik Pak Surya, unit akan siap pada waktu yang kita sepakati dan akan langsung kami antar ke hotel tempat Zara berulang tahun. Terima kasih atas kepercayaannya."
Devano menjabat erat tangan Pak Surya.
"Senang bekerjasama dengan Anda, Mas Devano. Semoga ini menjadi kado terindah untuk Zara. Jangan lupa perjanjian kita."
Pria yang sebagian rambutnya memutih itu menepuk pundak Devano. Pak Surya mengantarkannya hingga ke pintu rumah.
"Dasar laki-laki tak tahu diri! Berani sekali kamu datang ke sini!" Zara, gadis berwajah muram tiba-tiba berlari menuruni tangga dan menghambur ke arah Devano.
Pak Surya sigap menangkap tubuh putrinya yang mengamuk hendak memukul Devano. Tubuhnya meronta-ronta minta dilepaskan. Seorang perempuan menyusul dari belakang Zara, membantu Pak Surya menenangkan gadis yang sedang emosi tinggi.
"Mas Devano pulang saja, Zara baik-baik saja. Mbok Warni tutup pintunya sekarang!" perintah Surya Winardi kepada Mbok Warni.
"Baik, Tuan." Perempuan yang dipanggil Mbok Warni tergopoh-gopoh menutup pintu setelah mengangguk hormat kepada Devano.
Devano mundur beberapa langkah, sekali lagi matanya menatap pintu rumah mewah berpagar putih.
Tak selamanya kemewahan menjamin kebahagiaan. Zara adalah salah satu orang yang terlihat tidak berbahagia dengan kemewahan yang terhampar di depan mata.
Entahlah, Devano merasa tatapan mata Zara yang dingin menghunjam jantungnya. Tatapan lemah minta tolong. Wajah dingin itu hingga detik ini mungkin belum tahu bakal ada perayaan khusus yang telah disiapkan untuknya, dan Devano akan terlibat di dalamnya. Ada getaran aneh yang dirasakan Devano. Pemuda yang sedang berada dalam puncak rasa itu tidak menyadari, pagi itu, satu takdir atasnya sedang dirajut malaikat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!