Restu yang Ditunggu

Kesempatan kedua hanya datang kepada mereka yang siap memperbaiki diri dan keadaan. Hal itu terus diyakini Dewanti Suroso. Ibu dua anak perempuan yang pernah terlempar pada titik terendah dalam hidupnya, merasa mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki nasib.

Bukan tanpa alasan jika dirinya menentang rencana pernikahan putri sulungnya, Liodra Audrey Suroso. Pil pahit sudah pernah ia telan puluhan tahun silam, dan hasilnya adalah penyesalan. Jangan sampai Liodra mengalami hal yang sama dengan dirinya, terperosok ke dalam ikatan pernikahan atas nama cinta. Nyatanya cinta saja tak cukup membuatnya bahagia. Dia lebih suka menyebutnya kebodohan masa lalu.

Semakin keras ditentang, Liodra semakin melawan, persis dirinya dulu sewaktu muda. Terkadang Dewanti seperti bercermin jika melihat putri pertamanya. Gadis keras kepala dan selalu ingin mendapatkan keinginannya, meski dengan berjuang, itulah gambaran dirinya.

Usia muda membuat Liodra masih mengedepankan emosi, menjadikan cinta sebagai tumpuan harapan untuk membangun  rumah tangga seperti dirinya dulu. Mendadak ingatan Dewanti berputar pada peristiwa berpuluh tahun yang lalu. Seperti Liodra,  Dewanti juga mencintai pria yang kemudian menjadi suaminya.

Hanya beberapa bulan berkenalan dengan pemuda bernama Baskoro, Dewanti telah mabuk kepayang. Dua puluh empat tahun silam, saat itu dirinya serupa gadis polos dan bodoh karena mengorbankan begitu banyak hal untuk mengejar cinta seorang laki-laki.

Pria berpenampilan biasa tetapi mampu melambungkan angannya. Pria sederhana dengan keyakinan kuat atau lebih tepatnya janji surga akan bisa membuatnya bahagia suatu hari nanti. Mahasiswa seni rupa sekaligus seniman jalanan yang di mata banyak orang tak akan bisa memiliki masa depan.

Seperti hukum alam, seniman kacangan kerap mendapat cibiran dan tak mendapatkan tempat di luaran, apalagi tempat di hati calon mertua. Ikatan cinta antara Dewanti dan Baskoro Sudrajat sama-sama tidak direstui oleh kedua orang tua mereka.

Namun, ketika embel-embel cinta buta sudah menjerat, persetan dengan omongan orang-orang. Dewanti dan Baskoro  menikah diam-diam.  Meskipun pada akhirnya orang tua Dewanti mengetahui pernikahan itu dan teramat murka atas ulah anaknya.

Dewanti menghela napas panjang,  lalu mengempaskannya bersama keresahan yang menghimpit dada.

"Mama kenapa melamun?" Hernowo tiba-tiba muncul dan mengelus pundak istrinya dari belakang.

"Papa kapan pulang?" Dewanti meraih tangan Hernowo dari pundaknya lalu mengusapkan tangan suaminya  di pipi kirinya.

"Sudah dari tadi, Ma. Kenapa Mama tidak naik ke kamar, malah melamun di sini. Mama mau berenang?" tanya Hernowo.

Pria jangkung itu duduk di dekat istrinya yang sedang duduk di kursi dekat kolam renang. Jika menyendiri seperti ini, berarti Dewanti sedang menghadapi masalah serius. Meski bukan anak kandungnya, Hernowo turut merasakan kegundahan Dewanti yang terus bersitegang dengan Liodra tentang pernikahan.

"Mama tidak bisa tenang. Apakah menurut papa, mama terlalu memaksakan kehendak?Semua ini demi Riva." Dewanti berusaha mencari jawaban pada tatap mata pria yang menikahinya dua puluh tahun silam.

"Papa rasa sebaiknya mama mengalah saja. Biarkan Liodra menentukan pilihannya sendiri. Mama sudah berusaha menasehati, tetapi dia belum mau mendengar. Mungkin dia perlu belajar dari kehidupan."

Dewanti kembali terdiam mendengar jawaban suaminya. Dia tidak ingin sejarah hidupnya kembali berulang. Jika dirinya tidak menyetujui pernikahan Liodra,  bisa saja gadis itu nekat melakukan kesalahan seperti dirinya dulu. Cukup dirinya yang melakukan kebodohan di masa lalu. Sungguh ini kenyataan dilematis baginya.

Sebenarnya  Dewanti sendiri tidak mengerti kenapa dia bersikukuh menentang hubungan Liodra dan Devano.  Dia hanya merasa ada sesuatu yang salah.  Dewanti tidak mengerti, tetapi bisa merasakan meski samar,  bahwa Devano bukan jodoh Liodra.

Entahlah, mungkin ini feeling seorang ibu. Hal yang paling masuk akal untuk disampaikan adalah tentang perbedaan mereka. Perbedaan status sosial, dan latar belakang keluarga. Menempatkan kenyamanan hidup Liodra sesuai tempatnya,  itulah alasan yang paling bisa dipahami banyak orang.

"Ma, Pa, Liodra mau bicara."

Hernowo dan Dewanti terkejut melihat Liodra mendekati mereka dengan wajah serius. Jantung Dewanti berdetak lebih kencang. Ia mengenal tatapan itu. Tatapan miliknya sebelum memutuskan satu kebodohan yang berujung pada penyesalan. Liodra duduk di kursi berhadapan dengan Dewanti dan Hernowo.

"Kalau Mama tetap tidak menyetujui pernikahan ini, mungkin ini terakhir Liodra berada di rumah. Mulai besok aku akan tinggal di apartemen."

Degh!

Ketakutan itu nyata. Dewanti menutup telinga, karena ia sangat hafal dengan kalimat itu. Begini rasanya menjadi orang tua. Apakah ini yang disebut hukum karma? Jika Dewanti selama ini merasa sudah mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup wajar dan membangun keluarga baru, mengapa sekarang harus berulang kisah yang sama.

"Jika kamu tetap mau menikah dengan Devano, lebih baik mama mati." Sungguh ingin sekali Dewanti mengucapkannya. Namun, dirinya sangat mengenal anak yang dibenci dan dicintainya dalam waktu dan tubuh yang sama. Semakin ditentang dia akan semakin melawan. Perlahan Dewanti menarik napas, menenangkan diri. Sekali lagi ia menatap suaminya. Hernowo mengangguk pelan.

"Baiklah,  Devano boleh datang untuk melamar kamu bersama kedua orang tuanya. Kabari mama jika mereka sudah siap untuk mengadakan pertemuan keluarga."

Akhirnya jawaban itu keluar dari mulut Dewanti. Hernowo meraih tangan istrinya, memberinya kekuatan. Dewanti bangkit dari duduknya dan nyaris terhuyung. Hernowo dengan sigap menangkap tubuh istrinya.

"Mama mau ke kamar, mau beristirahat." Dewanti meraih tas kerja yang tergeletak di atas meja di depannya.

"Mama tunggu!" Suara Liodra menghentikan langkah Dewanti. Liodra mendekati mamanya. Mereka berdiri berhadapan. Tak butuh waktu lama keduanya larut dalam pelukan dan isak tangis. Dewanti mengalah untuk Liodra, tetapi dia tak akan menyerah. Mengalah di awal tak jarang menjadi pintu untuk menang diakhir.

"Terima kasih, Ma. Aku janji tak akan merepotkan mama lagi setelah ini. Terima kasih banyak." Liodra meraih tangan Dewanti lalu menciumnya takzim. Dewanti hanya mengangguk perlahan dan segera bergegas masuk kamar. Di dalam kamar tangisnya pecah di pelukan Hernowo.

*

Keesokan paginya ketika burung-burung mulai keluar dari sarang, Liodra tak sabar segera mengabarkan berita bahagia itu kepada kekasihnya. Dia menelepon Devano.

"Sayang, aku punya kabar gembira untuk kita. Aku masih kayak enggak percaya gitu. Aku seneng banget, Sayang!"

Liodra menari-nari kegirangan. Senyum merekah tak pernah lepas dari bibirnya.

"Kabar apa, Love? Aku baru jalan ke rumah calon customer.  Sebentar lagi aku hampir sampai. Kabar apa yang membuatmu hampir meledak seperti itu?" tanya Devano dari ujung telepon. Dia sangat mengenal Liodra. Meski sekuat tenaga disembunyikan, Devano bisa merasakan getaran bahagia pada suara Liodra.

"Mama mengizinkan kamu datang ke rumah bersama orang tuamu, Sayang!"

Liodra nyaris menjerit mengatakan berita bahagia itu. Devano nyaris tak percaya mendengarnya. Baru dua minggu lalu Dewanti mengajaknya bertemu dan menawarkan sesuatu supaya dia mau menjauhi Liodra.

"Wow,  ini benar-benar kabar bahagia, Love. Oke, kita ketemu nanti malam di tempat biasa.  Aku sudah sampai di rumah calon customer.  Do'akan aku clossing hari ini, supaya segera terkumpul modal kita untuk menikah."

Seulas senyum mengiringi untaian kata Devano untuk kekasihnya, hatinya menghangat seketika. Meskipun sempat ada tanda tanya besar dalam kepalanya. Mengapa calon mertuanya begitu cepat berubah pikiran?

"Tentu saja, Sayang. Semoga deal, ya. Aku juga sedang bersiap untuk pergi ke butik. See you tonight. Love you." Liodra tak henti terus menyunggingkan senyum bahagia. Ah, Devano memang pekerja keras. Dia bahkan belum mandi, tetapi kekasihnya itu sudah sibuk dengan pekerjaannya. Lelaki itu memang pantas diperjuangkan.

"Love you,  more." Devano mengakhiri sambungan telepon.  Kabar baik yang membakar semangatnya  untuk segera menawarkan produknya supaya terjual. Sebuah mobil sedan keluaran terbaru merk ternama. Ini adalah calon customer kesekian yang ia kunjungi minggu ini. Semua orang yang ditemuinya hanya sekedar bertanya, belum ada tanda serius untuk membeli.

 "Bismillah," ucapnya perlahan sebelum memasuki rumah mewah bercat putih yang berdiri gagah di ujung komplek perumahan elite. Begitu bel rumah dipencet,  tak berapa lama muncul seorang gadis cantik tapi murung membuka pintu.

"Permisi, saya ada janji dengan Bapak Surya, apakah beliau ada di rumah?" tanya Devano kepada gadis berkaus merah dan celana pendek hitam yang tengah menatapnya dingin. Gadis itu mengernyitkan dahi. Matanya tajam mengawasi Devano. Sebuah teriakan terdengar dari dalam rumah.

"Zara, tolong bukakan pintunya. Itu tamu papa!" Wajah gadis itu mendadak pucat pasi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!