Butuh Bukti

◆◇◆◇◆◇◆◇

Tak seperti biasanya Adi yang pulang sore kali ini dia pulang lebih awal saat ini, namun dia terlihat sangat kesal karena sampai di rumah namun rumah dalam keadaan kosong.

Wajahnya terlihat kesal dia terus mondar-mandir di depan rumah karena dia tak membawa kunci cadangan. Rasa lelah semakin lelah rasanya, dia terus saja mengomel sendiri.

Seandainya Arsy ada pasti dialah yang akan menjadi pelampiasan amarahnya.

"Pergi kemana sih Arsy, ini sudah siang begini tapi dia belum juga pulang. Arghh!"

Seketika dia mengacak rambut dengan kasar, dia kembali ke pintu dan ingin membukanya tapi tetap saja tidak akan bisa karena pintu itu di kunci oleh Arsy.

"Arghh! Sialan nih Arsy. Awas saja kalau pulang." ancaman sudah dia berikan untuk Arsy meski istrinya itu tidak ada.

"Kenapa, Di. Kok wajahmu kucel banget gitu? Istrimu pergi?" tanya bu Kokom.

"Iya, Bu. Kira-kira bu Kokom tau nggak ya kemana perginya Arsy?"

"Mana tau, dia kan perginya nggak menentu, bisa ke sawah, bisa juga ngelayap cari teman ghibah. Perempuan pengangguran seperti dia emangnya akan pergi kemana lagi?" jawab bu Kokom dengan begitu sinis.

Sudah kesal di tambah lagi dengan ucapan bu Kokom yang sangat tak mengenakan. Tapi, bagaimana kalau Arsy benar-benar pergi ke tempat tetangga hanya untuk ghibah saja? Pikiran Adi sudah tercemar akan perkataan bu Kokom sekarang.

Adi sangat tau bagaimana sifat bu Kokom tapi dia masih saja percaya.

'Awas saja kalau kamu pergi hanya untuk ghibah.' batin Adi yang semakin kesal. Bukan hanya kesal saja tapi amarah sudah menyelimutinya.

"Kamu itu ya, Di Di. Cari istri kok yang nggak berpendidikan dan pengangguran seperti Arsy. Apakah kamu tidak sayang uang kamu di habiskan oleh istri macam Arsy?"

Ucapan bu Kokom seakan begitu menohok pada Adi. Dia sadar, tak pernah memberikan nafkah untuk Arsy bahwa sepersen pun dari uang gajinya. Adi hanya diam, jelas saja dia tak ingin orang tau apa yang dia lakukan pada istrinya. Dia telah mendzalimi Arsy dengan tak memberikan nafkah sama sekali.

"Seharusnya kamu tuh cari istri kayak Irfan tuh, istrinya berpendidikan dan sekarang bisa masuk ke pabrik. Gajinya tetap dan yang jelas tidak akan menghabiskan uang suaminya."

Bu Kokom begitu bangga dengan anaknya sendiri yang memiliki istri yang dia pandang begitu sempurna.

"Bahkan dia juga suka memberi uang jajan untuk mertuanya setiap gajian, baik kan dia." Imbuhnya lagi.

"Wah, hebat sekali ya menantu bu Kokom. Dia selalu memberi uang jajan sekali setiap bulan. Kalau saya mah tidak bisa memberi mertua saya uang jajan, saya bisanya hanya memenuhi semua kebutuhan setiap harinya."

Bukan hanya bu Kokom yang menoleh tapi juga Adi. Mereka berdua sama-sama melihat Arsy yang baru saja pulang dari sawah dengan menggendong Laili yang tertidur di punggungnya dan tangannya membawa sayur bayam yang dia petik dari sawah.

"Arsy! Jaga sopan santun mu! Tidak baik bicara seperti itu pada orang yang lebih tua." tegur Adi dengan kasar.

Sepenggal kalimat yang Arsy katakan langsung di tegur dengan kasar. Dia marah karena Arsy yang bicara kebenaran, tapi Adi hanya diam saja ketika orang lain menghina dirinya.

Siapa yang lebih berharga di mata Adi, istrinya atau orang lain?

"Oh iya, Bu. Terima kasih ya karena sudah mengingatkan saya yang selalu menghabiskan uang suami, suami saya kan memang yang terbaik bu, dia sangat perhatian pada istrinya sampai-sampai uang gajinya semua di berikan pada istrinya."

Mata Adi semakin melotot. Hatinya panas dengan perkataan Arsy yang sebenarnya berbanding terbalik dengan kenyataan. Bukan semuanya, bahkan tidak seribu pun uang Adi pernah sampai pada tangan Arsy.

"Arsy, masuk!" sentak Adi.

"Kamu terlalu baik, Di. Punya istri seperti itu kok di pelihara." Bu Kokom semakin nyinyir.

"Iya, Bu. Pastilah akan selalu di pelihara karena tidak ada wanita yang sama seperti saya, iya kan, Mas?" Arsy menoleh.

Ya, tak ada yang sama seperti Arsy yang bisa bertahan meski tak mendapatkan nafkah sama sekali. Tak mendapatkan nafkah tapi selalu di tuntut untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan juga selalu di tuntut untuk memberikan haknya untuk Adi. Sungguh, nasib Arsy sangatlah buruk.

"Arsy!" Semakin meledak amarah Adi. Seharusnya dia senang dan berterima kasih karena Arsy tidak membongkar keburukannya, tapi nyatanya dia malah marah.

Arsy tak lagi menjawab, dia langsung mengambil kunci yang ada di sakunya dan bergegas membuka pintu.

"Nasibmu, Di Di." Bu Kokom begitu nyinyir, dia langsung pergi setelah Arsy masuk. Dia sebenarnya sempat termangu, Arsy sudah mulai bicara.

Dengan cepat Adi masuk, mengejar Arsy yang kini sudah masuk ke kamar untuk menidurkan Laili.

Adi diam, menunggu Arsy dengan tak sabar. Dia juga terus mondar-mandir dengan amarah yang memuncak.

"Sini!" Setelah Arsy berhasil menidurkan Laili Adi langsung menarik lengan Arsy, menariknya untuk keluar dari kamar.

"Apa maksudmu bicara seperti itu, kamu ingin semua tau kalau suamimu ini tidak pernah memberi nafkah untukmu! Bukankah Aku sudah bilang, Arsy, uang itu aku tabung supaya kita bisa membeli rumah."

Entah benar atau hanya alasan saja, tapi hanya itu yang selalu dia jadikan alasan.

"Bukankah kamu ingin kita punya rumah sendiri kan?" tanya Adi. Kata-katanya selalu saja tidak bisa membuat Arsy percaya.

Selalu dia berusaha untuk percaya tapi rasanya sangat sulit. Hatinya selalu saja punya pikiran bahwa Adi selalu membohonginya, tapi Arsy selalu menutup pikiran itu.

"Iya, Mas. Arsy sangat menginginkannya, tapi sampai kapan! Sudah enam tahun, Mas. Mas selalu saja mengatakan itu dan Arsy tidak pernah tau akan sampai kapan."

"Semua orang mencaci maki Arsy, menghina dan juga selalu mengatakan kalau Arsy hanya menghabiskan uangmu juga uang ibu. Arsy tidak sanggup lagi, Mas."

"Tunggulah sebentar lagi, Arsy. Sebentar lagi impian kita akan terwujud." ucap Adi.

"Susah untuk Arsy percaya pada kamu, Mas. Arsy butuh bukti Mas, bukan janji." ucap Arsy begitu tegas.

Janji dan janji terus yang Adi ucapkan, tak pernah dia menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan membuktikannya.

Arsy berlalu pergi dari sana, dia juga lelah karena baru pulang dari sawah. Dia butuh minum dan juga istirahat.

"Apa yang membuat Arsy jadi seperti ini? Dia selalu saja diam tapi kenapa sekarang dia berani menjawab?" gumam Adi begitu bingung.

Seorang wanita akan selalu diam, tapi dia akan berani bicara kala kesabarannya mulai tergoyahkan.

Memang kesabaran tak ada batasnya, tapi jika terus di perlakuan seperti itu siapa yang akan mampu menjalaninya.

"Arsy!" Adi mengejar Arsy dia juga langsung duduk di kursi depan Arsy yang tengah menuang teh kedalam gelas.

"Minumnya, Mas." ucapnya. Meski sedang kesal tapi Arsy kasih bersedia menyiapkan kebutuhan Adi, dia sangat tau itu adalah kewajibannya.

"Terima kasih," jawab Adi.

◆◇◆◇◆◇◆◇

Bersambung...

Terpopuler

Comments

@♕🍾⃝𝙾ͩʟᷞıͧvᷠεͣ shaᴍ֟፝ᴀᵉᶜw⃠𓆊

@♕🍾⃝𝙾ͩʟᷞıͧvᷠεͣ shaᴍ֟፝ᴀᵉᶜw⃠𓆊

sini arsyi mau ku belikan racun atau gak suntik mati aja
kesel kalau ada laki model kaya gt gak bersyukur banget punya bini kaya arsyi tuh dah baik jaga aib suami lagi

2023-02-14

2

@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈

@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈

seharusnya kamu sadar diri Adi klu memang blm siap menikah ya ngk usah menikah dulu klu ujung" menyakiti pasangan mu

2023-02-14

3

𝕾𝖆𝖒𝖟𝖆𝖍𝖎𝖗

𝕾𝖆𝖒𝖟𝖆𝖍𝖎𝖗

Waduh 6 tahun Arsyi... aduh lama banget yg 6 pekan aja lom tentu betah hidup tanpa nafkah ini Arsyi terlalu baik ato bodoh

2023-02-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!