...◆◇◆◇◆◇◆◇...
Pintu sudah di kunci dan Arsy bergegas untuk pergi ke sawah, sawah yang seharusnya di tanami padi untuk saat ini di tanami berbagai macam sayuran. Siapa tau salah dari sayuran yang dia tanam sudah dapat di petik dan bisa di jual.
Perlahan Arsy berjongkok di hadapan Laili, berniat menggendongnya di belakang. Tak akan mungkin dia tega jika Laili berjalan kaki sendiri sampai sawah yang jaraknya tidaklah dekat.
"Ayo sayang, naik ke punggung ibu." ujarnya. Menoleh sebentar untuk melihat anaknya yang mengangguk dan juga tersenyum begitu antusias.
Sungguh senang Laili di gendong oleh Ibunya, dia bahkan terus tersenyum.
"Terima kasih ya, Bu." ucapnya. Anak sekecil Laili sudah bisa mengungkapkan rasa terima kasih meski pada Ibunya sendiri, tentu hal itu tidak lepas dari didikan ibunya.
Jelas saja didikan ibunya, mau siapa lagi. Ayahnya, atau mertuanya? Mana mungkin, mereka tidak pernah ada waktu sekedar meluangkan waktu saja untuk anaknya.
Dibentangkan kain batik panjang untuk menggendong Laili, perlahan Arsy berdiri dan benar-benar memasang kain batik itu sebelum dia berjalan.
"Mau ke sawah, Arsy?" tanya Bu Indah. Kebetulan Bu Indah juga sama ingin berangkat ke sawah juga.
Bu Indah terlihat begitu ramah pada Arsy. Meski begitu banyak tetangga yang julid padanya tapi tetap saja masih ada salah satu diantara mereka yang masih peduli dan mau berbicara ramah padanya.
"Iya, Budhe. Ini mau lihat-lihat tanaman sayuran saya, siapa tau sudah bisa di panen." jawab Arsy seraya melangkah dan berakhir berjalan berdampingan pada bu Indah.
"Gimana mertuamu, sehat kan? Dia tidak pernah macam-macam padamu kan?" tanyanya. Terlihat bu Indah begitu peduli dengan Arsy, entah benar atau hanya mau cari teman ngegosip saja seperti yang lain-lain.
"Alhamdulillah Budhe, ibu sehat. Dia juga tidak pernah macam-macam."
"Alhamdulillah, aku pikir ya, kamu tidak akan betah tinggal di sini mengingat kelakuannya. Ucapannya begitu kasar begitu juga dengan tabiatnya yang tidak baik sama sekali."
Dan ternyata benar, bu Indah cuma ingin mencari teman ngegosip saja di pagi hari. Untung saja Arsy tidak suka dengan gosip seperti apapun, jadi dia tidak akan menanggapi ucapan dari bu Indah.
Itulah kehidupan di desa. Setiap kali ada kesempatan pastilah akan menggunjing dan mengulik urusan orang lain.
"Maaf ya Budhe, Arsy duluan." pamit Arsy.
"Iya, hati-hati ya. Dan ya! Hati-hati ya sama ibu mertua mu itu." ucapan bu Indah terdengar sedikit berteriak.
Arsy hanya menoleh sebentar lalu cepat pergi begitu saja kalau saja Arsy menanggapinya maka urusannya tidak akan pernah selesai, justru akan semakin menambah masalah dalam kehidupannya.
Dia tidak tau mana yang benar-benar baik dan hanya yang berpura-pura sok baik tau sebenarnya hanya ingin tau kekurangan dalam hidupnya.
Arsy terus berjalan, mengabaikan semuanya yang ada. Dia hanya akan tersenyum dan menyapa orang yang berpapasan padanya.
Senyum Arsy semakin lebar kala sampai di tanah yang menjadi tempat dia mencari rezeki. Tanamannya tumbuh dengan subur tapi sayang, belum waktunya untuk di panen.
Sedikit kecewa, tapi mau bagaimana lagi? Itu sudah menjadi jalannya. Tak mungkin Arsy bisa mengubah tanaman itu hingga tumbuh dengan sangat cepat lebih dari yang lainnya.
"Ibu, apakah sudah bisa di panen?" tanya Laili dan berhasil mengejutkan Arsy.
Arsy menggeleng lemah, "belum," jawabnya.
"Terus bagaimana dengan sekolah Laili, Bu?" tanya Laili. Suaranya terdengar sangat lesu. Membuat hati Arsy seakan tersayat, sakit.
Arsy menoleh, melirik sebentar dan memiringkan tubuh Laili hingga mendekat padanya. Arsy mengelus pipinya dengan sangat pelan.
"Jangan sedih, jangan pikirkan bagaimana Laili bisa sekolah. Besok kalau waktunya masuk sekolah Laili pasti akan sekolah. Percaya sama ibu?" tanya Arsy.
"Hem," Lail mengangguk.
Arsy akan selalu tersenyum bertingkah biasa-biasa saja supaya anaknya tidak akan merasa sedih atau mungkin merasa terbebani. Biarkan semua menjadi tanggung jawabnya, jika suami dan mertuanya tidak membantunya tak masalah, dia punya Allah yang bisa di minta pertolongan.
"Kalau begitu biarkan Laili bantu ibu, Laili mau turun." Dengan bergerak Laili memaksa turun, tubuhnya meliuk-liuk hingga akhirnya Arsy menurunkannya, entah apa yang akan dia lakukan.
"Seperti ini di cabut kan, Bu?" tanyanya. Tangannya sudah memegang rumput liar yang ada di sebelah tanaman sawi.
"Iya, Laili pintar deh." Arsy mencubit gemas pipi Laili dan gadis kecil itu tersenyum karena merasa senang bisa membantu.
"Walah-walah, anak kecil kok sudah di ajak ke sawah. Apa nggak takut otaknya tumpul? Seharusnya anak kecil jangan di ajak ke sawah, dia akan bodoh nantinya."
Arsy seketika menoleh, melihat siapa yang telah mengatakan hal itu.
Kenapa begitu banyak orang yang tak suka pada dirinya, apapun yang dilakukan pasti dianggap salah. Di rumah terus salah, anaknya bermain dengan anak yang orang tuanya lebih berada salah, dan sekarang anaknya di ajak ke sawah juga salah. Terus apa yang benar dalam dirinya.
Apakah mengajak anak ke sawah adalah sebuah perbuatan dosa, tidak kan? Kenapa mereka-mereka begitu mudah berkomentar, menjadi netizen yang tak pernah lelah, apakah lidahnya tidak pernah kelu saat berbicara?
"Bodoh dan pintar itu sudah menjadi takdir anak, Bu. Kalau memang anaknya pintar meski diajak ke sawah setiap hari kelak kalau sekolah juga akan pintar. Tapi kalau asalnya memang bodoh, meski di rumah terus dan dijejali dengan makanan bergizi dan selalu di manjakan juga tetap tidak akan masuk apa yang di ajarkan di sekolah."
Begitu berani Arsy berbicara, mungkin kemarin-kemarin dia bisa terus diam saat dijulutin tapi tidak mulai sekarang. Dia harus bisa membela diri, tidak akan ada yang bisa di harapkan untuk membelanya jika bukan dirinya sendiri.
"Oalah, emaknya saja juga nggak berpendidikan pantes saja cara ngomongnya juga tidak pakai etika." Ibu itu langsung berlalu pergi begitu saja. Sepertinya dia kesal sendiri karena Arsy yang biasanya selalu diam kali ini dia berani berbicara.
Baru saja pergi yang satunya dan satunya lagi datang, belum sempat Arsy bekerja dan dia sudah kembali melihat ke arah yang sama, melihat orang tapi yang berbeda.
"Wah- wah, tanamannya subur banget ya. Oh tau, jum'at kemarin kan jum'at kliwon kok ya, pasti pakai acara pengasihan nih," ucap orang itu.
Astaghfirullah, Arsy ngelus dada di buatnya.
Tanamannya tidak subur di bilang nanam kok nggak di urus, sekarang setelah bagus di kira pakai pesugihan. Emang ya, mulut netizen itu sangat tajam. Tidak di kota saja, di desa lebih parah.
"Iya, Bu. Alhamdulillah, berkat jum'at kliwon. Coba saja ibu besok kalau jum'at kliwon puasa ngebleng sehari semalam, saya jamin Bu.."
"Jamin apa, tanamannya bagus dan subur ya?" Ibu itu terlihat begitu sumringah, dia begitu antusias. Apakah itu artinya dia yang akan melakukannya jika Arsy menjawab iya?
"Bukan, Bu. Tapi tak jamin asam lambung ibu langsung kumat." jawab Arsy.
Ingin terpingkal melihat bagaimana wajah dari ibu itu, sungguh lucu karena kekesalan yang diakibatkan oleh perkataan Arsy barusan.
"Dasar semprul." kesalnya. Dia langsung melenggang pergi dengan sangat tak percaya. Sejak kapan Arsy mulai berani menjawab seperti sekarang ini, biasanya dia akan diam saat di katai seperti apapun.
Apakah Arsy sehat? Tidak mungkin otaknya geser kan karena saking bingungnya menghadapi problema rumah tangganya.
...◆◇◆◇◆◇◆◇...
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
@♕🍾⃝𝙾ͩʟᷞıͧvᷠεͣ shaᴍ֟፝ᴀᵉᶜw⃠𓆊
semut kecil pun bisa gigit kalau dia di injak
begitu juga Arsy ...mana mungkinkah bisa terus bersabar menghadapi kejulid dan tetangga yang seenaknya
2023-02-14
2
@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Tika✰͜͡w⃠🦊⃫🥀⃞🦈
wah" ibu" ya ngurusin diri sendiri aja ngk bener malah ngurusin orang lain
2023-02-14
3
•§¢•✰͜͡v᭄𝕬𝒓𝒚𝒂 𝑲𝒂𝕬𝖗⃠
nah gitu dong,lawan mereka,jangan mau terus2an di injak2 sm mereka
2023-02-14
3