Ampun, Ma!
Sebuah mobil sedan melaju dengan kecepatan tinggi. Untung saja, kondisi jalan tampak lengang sehingga tidak terjadi kecelakaan.
Sepasang suami-istri di dalam mobil itu terus berdebat seiring deru mesin mobil yang membelah kesunyian malam.
"Aku tidak mau membahas hal itu lagi!" tegas sang suami dengan wajah berlumuran emosi tinggi.
"Kenapa? Berikan aku satu alasan tepat, kenapa kau terus saja menghindar jika aku mengajakmu untuk melaporkan kasus kehilangan Fabia pada pihak kepolisian?" pekik sang istri yang tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.
"Fabia ... Fabia ... Fabia ...! Siapa yang kau maksud dengan Fabia?!"
Kini ban mobil itu berdecit sepanjang jalan, karena sang suami mendadak menginjak pedal remnya.
Kepala sang istri langsung terpukul mundur, dan menempel di sandaran. Kedua matanya refleks terpejam karena khawatir akan terjadi sebuah hantaman.
Namun, hantaman yang ia bayangkan tidak terjadi. Mobil itu berhenti di pinggiran dengan posisi melintang.
Sang suami masih memegang kemudi dengan erat. Urat-urat di lengannya bermunculan karena masih menahan emosi. Pandangannya masih fokus ke depan dengan napas memburu.
"Sudah berapa kali kukatakan, Eri!" ucapnya pada sang istri. "Kita tidak pernah mempunyai anak yang bernama Fabia," lanjutnya dengan mata merah setengah berkaca-kaca.
Wanita yang dipanggil Eri itu membuka perlahan kelopak matanya yang sudah digenangi air mata.
"Kenapa kau selalu berkata begitu, Argan." Mutiara bening miliknya kini menumpahkan bulir kekecewaan.
"Putri kita diculik," lanjutnya dengan suara bergetar.
Sudah dua pekan putri mereka diculik, namun sang suami selalu mengatakan bahwa itu hanyalah halusinasinya semata. Sang suami selalu mengatakan bahwa mereka tidak pernah mempunyai anak yang bernama Fabia.
Terdengar helaan napas kasar dari mulut Argan. Sudah berkali-kali ia menjelaskan pada sang istri bahwa semua yang wanita itu pikirkan hanyalah sebuah khayalan belaka.
"Sudahlah Eri, aku bosan berdebat. Sebaiknya aku mengantarmu pulang!" ucapnya pada sang istri yang kembali memejamkan mata dalam-dalam.
Setiap mereka bertengkar masalah tersebut, maka Argan tidak pernah langsung pulang ke rumah. Dia selalu menghabiskan malam di luar.
Sementara Eri, kembali berpalung duka yang mendalam. Berselimut lara hingga menggulung tubuhnya dalam nestapa. Kerinduan pada sang putri kembali menyongsong perih tak tertandingi.
Mama!
Hahaha!
Satu, dua, tiga, tangkap, Ma!
Ayo, dorong lagi, Ma!
Bayang-bayang wajah ceria Fabia yang sedang bermain dengannya selalu terngiang di pelupuk mata. Andai saja, waktu bisa diputar kembali, Eri memilih untuk tidak mengajak Fabia ke taman bermain kala itu.
***
Di sebuah diskotek, Argan sedang menggenggam erat gelas kaca kecil seraya terus memandanginya. Seolah benda itu memiliki daya pikat luar biasa, hingga dirinya tidak bisa berpaling sedikit pun.
"Bagaimana aku bisa meyakinkanmu, Eri?" gumamnya seolah sedang berbicara pada sang istri. Senyuman khas orang mabuk terukir di kedua sudut bibirnya. "Kita belum mempunyai anak, tapi kau ...."
"Hai, tampan!" Seorang wanita penghibur tiba-tiba mendekati Argan dan mengalungkan lengannya pada leher pria itu.
Argan masih bergeming. Tak sedikit pun berselera untuk menoleh atau merespon.
"Sepertinya kau sudah banyak minum, Sayang. Mau bersenang-senang?" bisiknya di dekat telinga Argan.
Pria itu langsung menepis tubuh wanita tersebut, lalu berjalan menjauh dengan sempoyongan. Pandangannya mulai kabur. Kesadarannya mungkin hanya sisa beberapa persen saja. Namun, saat tubuhnya hampir ambruk, sebuah tangan kekar menahannya dengan sigap.
"Tuan," ucap lelaki itu. Dia adalah Windri. Asisten pribadi Argan.
Bagaimana lelaki itu bisa berada di sana? Karena ia sudah hapal seperti apa kebiasaan bosnya akhir-akhir ini.
"Erianiza, aku sangat mencintaimu, tidakkah kau mengerti, hah? Kenapa kau melakukan semua ini padaku?" racau Argan dengan nada mabuk.
Windri terus memapah tubuh tinggi Argan hingga keluar dari diskotek. Sesampainya di parkiran, ia mencari kontak mobil atasannya yang terdapat di dalam saku jas, lalu mendudukkan pria itu di kursi belakang. Perlahan ia memutari mobil, lalu duduk di kursi kemudi.
Helaan napas kasar terembus dari mulutnya. Sebelum melajukan mobil sang atasan, pandangannya melirik sejenak ke belakang dari kaca spion.
"Tuan yang Malang," komentarnya. Lalu membawa Argan meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di rumah, seperti biasa Eri selalu membuka pintu tepat waktu. Tanpa bertanya lagi pada Windri, ia hanya mengekori pergerakan lelaki itu yang terus memapah suaminya hingga ke kamar.
"Terima kasih, Win." Eri berucap tanpa mengalihkan perhatiannya dari Argan.
"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi dulu." Windri pamit undur diri setelah Eri menganggukkan kepala.
Seperti biasa pula, dengan telaten Eri akan melepaskan satu per satu perlengkapan suaminya. Mulai dari sepatu, dasi, jas, kemeja, sampai celana. Menutupi tubuh tak sadarkan diri Argan dengan selimut, lalu berbaring di sampingnya.
"Maafkan aku, Argan. Gara-gara aku, kau jadi seperti ini, hiks ... hiks."
Suara isakan Eri pun mulai memenuhi kamar mereka. Tentu saja, Argan tidak bisa mendengarnya karena ia sudah sampai ke negeri mimpi.
Lalu, Eri pun terlelap setelah sekian lama meratapi diri.
***
Di sebuah taman bermain, Eri tampak duduk di atas ayunan sambil memegangi rantai ayunan tersebut. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang berumur sekitar tujuh tahun, berjalan menghampiri.
Anak itu duduk di atas ayunan tepat di sebelah Eri. Wanita itu mengerjap, karena sebelumnya ia larut dalam lamunan akan Fabia yang selalu mengajaknya bermain di tempat yang sama.
"Kenapa Tante menangis?" tanya anak itu dengan suara imut dan wajah yang tak kalah imut pula.
Eri memaksakan diri untuk tersenyum, lalu menyeka air matanya yang tanpa disadari sudah membanjir di kedua pipinya.
"Ah, Tante tidak apa-apa, Sayang. Apa kau sering bermain di sini juga?" tanya Eri balik. Pasalnya, baru kali ini ia melihat anak tersebut.
Bocah perempuan itu mengangguk, lalu menunjuk sebuah rumah yang terletak tak jauh dari taman bermain itu. "Rumahku di dekat sini," jawabnya.
Eri mengikuti arah telunjuk anak itu.
"Kenapa kau hanya bermain sendirian?" tanya Eri lagi. Kini kesedihannya mulai teralihkan.
"Mama sedang bekerja, sementara papa ... dia selalu sibuk." Anak itu tampak mengembungkan kedua pipinya.
Membuat Eri begitu gemas melihatnya. Wanita itu tersenyum memahami. Pastinya, ada seorang pengasuh yang bekerja untuk menjaga anak tersebut. Tapi, dimana dia?
"Ini masih pagi, apa kau tidak sekolah?" Eri bertanya lagi. Berbicara dengan anak itu membuat rasa rindunya pada Fabia sedikit terobati.
"Aku ... sudah tidak bisa sekolah lagi." Bocah itu menunduk sambil menggoyangkan ayunannya perlahan.
"Kenapa?" Eri berkerut dahi.
"Karena aku sedang sakit, Tante. Aku tidak bisa kemana-mana," jawabnya dengan ekspresi sendu.
Eri kembali tersenyum. Ia kagum akan kemahiran bocah itu dalam berbicara. Rambutnya yang keriting kribo membuat wajah bulatnya tampak semakin menggemaskan. Kulitnya putih seputih susu. Manik matanya berwarna cokelat keemasan. Bibirnya mungil dan merah seperti tomat ceri.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt
Tiba-tiba ponsel Eri bergetar, menandakan sebuah pesan masuk dari Argan.
^^^Kau dimana? Aku akan menjemputmu.^^^
Eri membacanya dengan nada bergumam.
"Ada apa, Tante?" tanya anak itu yang melihat ekspresi terkejut di wajah lawan bicaranya.
Sebelum sempat menjawab, Eri sudah bangkit dan berlari menjauhi taman. Ia tidak ingin Argan tahu, jika dirinya kembali mengunjungi taman bermain, karena lelaki itu sudah melarangnya.
Anak kecil yang masih duduk di atas ayunan itu terus menatap kepergian Eri hingga tubuh wanita itu hilang ditelan jarak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
gan sabar gan... btw gw gasuka sm sekreraris lu 😪
2023-03-21
1
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
tadi bc sinopsisnya udh gakuat, pen mundur tp pnsrn gmn ya😂
2023-03-21
1
Lady Meilina (Ig:lady_meilina)
nah loh, mulai ganjil nih
2023-03-21
1