Hima melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak boleh terlambat. Jika terlambat sedikit saja, maka rencananya terancam gagal.
Setelah lima belas menit berkendara, mobil Hima tampak memasuki pelataran sebuah kafe. Di parkiran, ia bertemu seorang lelaki. Berpakaian serba hitam. Mengenakan topi dan berjaket kulit.
"Setelah ia menerima uangnya, kau buntuti dia, lalu lenyapkan!" titahnya pada lelaki itu."
"Baik, Nyonya." Lelaki itu menerima tas jinjing berwarna biru dari tangan Hima, lalu meninggalkan pelataran kafe untuk menjalankan tugasnya.
Sepeninggalan lelaki itu, Hima langsung menelpon Clemira.
"Aku sudah di kafe, Cle." Hima berucap seraya berjalan memasuki kafe.
"Aku juga sudah di sini." Clemira melambaikan tangan ketika pandangannya menangkap sosok yang sedang berbicara dengannya via sambungan telepon.
Hima balas melambai, lalu memutus panggilan. Ia berjalan cepat ke arah meja di mana Clemira berada.
Mereka berpeluk manja dan saling sapa dengan heboh.
"Him, aku turut berduka, ya." Clemira berucap dengan tatapan sendu. Sebelah tangannya mendarat di pundak Hima setelah keduanya sama-sama sudah duduk. "Maaf, aku tidak bisa hadir ke pemakaman waktu itu, janjiku dengan pasien benar-benar tidak bisa dibatalkan," ucapnya sangat menyesal.
Hima tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Cle. Aku paham kok. Oya, ini pesananmu waktu itu, semoga sesuai ekspektasi, ya." Hima menarik paper bag yang memang sudah dibawa, lalu menyerahkannya pada Clemira.
***
Lelaki suruhan Hima sudah tiba di sebuah terminal kota. Pemeras itu setuju untuk bertemu di sekitar tempat itu.
Lelaki bernama Joki itu mengedar pandang, lalu berjalan mendekati kursi besi yang berjejer di sekitar terminal. Ia meletakkan tas biru itu pada kursi besi di sampingnya.
Dari kejauhan, seorang lelaki diam-diam memperhatikan Joki. Setelah memastikan bahwa lelaki yang duduk di kursi besi itu adalah suruhan Hima, dia lantas bergerak mendekat.
Hima sudah mengatakan padanya bahwa ia tidak bisa mengantar uang itu sendiri, karena ada janji dengan pelanggan. Wanita itu juga memberitahu bahwa ia memasukkan uang seratus juta itu ke dalam sebuah tas jinjing berwarna biru.
Tanpa permisi, lelaki pemeras itu duduk di samping Joki. Ia berpura-pura seolah sedang menunggu giliran keberangkatan.
"Ehem." Ia berdeham, membuat Joki menoleh.
"Jangan menoleh!" katanya pada Joki.
Setelah mendengar itu, Joki lantas bisa meyakini bahwa lelaki yang duduk di sampingnya itu adalah tersangka pemerasan.
"Tetap menatap ke depan!" lanjut lelaki itu.
Joki menurut.
"Jadi, kau orang suruhan Bu Hima?" tanyanya pada Joki.
"Ya." Menjawab singkat, Joki sambil mengedar pandang seolah sedang menunggu kedatangan bus. Sebelah tangannya mengetuk-ngetuk kursi besi sehingga menciptakan bunyi bernada.
"Apa itu tasnya?" Lelaki itu melirik ke arah tas jinjing yang terletak di atas kursi.
Joki kembali mengedar pandang.
"Ya."
Lagi-lagi jawabannya singkat.
"Bus-ku sudah datang," ucap lelaki itu, lalu menyambar tas jinjing berwarna biru. Langkahnya tergopoh menuju pintu bus, lalu masuk ke dalam dengan kondisi jantung berdegup kencang.
Bus pun langsung berjalan meninggalkan terminal.
Joki tersenyum miring, lalu beranjak dari duduknya. Kedua tangan diselipkan ke dalam saku jaket, lalu berlari mengekori bus tadi. Dengan kelihaiannya, Joki naik dari pintu belakang bus, tanpa sepengetahuan lelaki itu. Dia duduk di kursi pada deretan terakhir sambil sesekali melirik ke depan.
Lelaki yang tengah memeluk tas berwarna biru itu tampak pucat pasi. Sesekali melirik ke arah belakang dan samping. Perasaan dibuntuti seketika merayap di pikiran.
Setelah lima belas menit bus berhenti di halte depan stasiun kereta api. Lelaki tadi turun dari bus diikuti oleh Joki.
Dari kejauhan Joki memerhatikan pergerakan lelaki tersebut. Setelah langkahnya memasuki stasiun, barulah Joki merangsek ke dalam.
Di dalam gerbong, terdengar bunyi bising suara kereta api yang bergerak hilir-mudik.
Lelaki yang bertemu Joki tadi menghampiri seorang bocah remaja berjenis kelamin laki-laki yang sedang duduk di sebuah kursi besi.
"Cepatlah naik ke keretamu, Nak." Tanpa melihat ke arah bocah itu, lelaki tadi langsung menukar tas yang ia bawa, dengan tas sejenis yang diletakkan di samping kursi.
Sebelumnya, ia lebih dulu memastikan bahwa Joki tidak melihat adegan tersebut.
Sebenarnya semua ini sudah mereka rencanakan. Lelaki itu sudah mengira bahwa dirinya pasti akan diikuti. Dan dalam rencana ini, pastilah resiko besar yang akan ia hadapi.
Namun, kondisi ekonomi keluarganya benar-benar sedang di ujung tanduk. Istrinya sakit parah, sementara anak-anaknya perlu biaya untuk sekolah. Sampai sekarang dia juga tidak bisa menemukan pekerjaan yang layak. Jadi, inilah jalan satu-satunya, walaupun harus mengorbankan nyawa.
Bocah itu tampak membekap mulut. Sepeninggalan ayahnya, ia bergerak memasuki kereta, lalu menangis dalam diam.
Jika ayah tidak kembali hingga kereta berangkat, maka gunakanlah uang ini sebaik-baiknya.
Bocah itu menangis tergugu tatkala mengingat ucapan sang ayah ketika mereka masih dalam perjalanan menuju stasiun.
Sementara di tempat lain.
Lelaki tadi terus berlari menjauhi stasiun. Niatnya ingin mengecoh Joki dan lepas dari incarannya. Namun, ia sudah salah memprediksi. Joki sudah menemukan jejaknya.
Dengan napas tersengal-sengal, lelaki itu terus berlari tunggang-langgang. Menjauhi stasiun, lalu masuk ke kawasan pasar tradisional.
Banyak tumpukan sayur-mayur yang dijadikan korban injakan. Tak sedikit pula pedagang yang meneriakinya karena sudah membuat mereka rugi besar.
"Woooi!"
Para pedagang nampak berang, namun tak sampai mengeroyok lelaki itu.
Joki terus mengejar, hingga beberapa menit kemudian langkahnya mencapai lelaki itu ketika keduanya sudah berada di kawasan gedung tinggi tak berpenghuni.
Bangunan itu tampak terbengkalai, hingga terbuka di semua sisi.
BUGH
"Aaaarrrggh!"
Tendangan Joki mengenai punggung lelaki itu sehingga membuatnya tersungkur. Tas biru yang sedari tadi digondolnya, kini terpelanting jauh.
Joki langsung melewati tubuh lelaki yang usianya hampir mendekati separuh abad itu. Lalu, meraih tas jinjing yang persis seperti tas yang ia terima dari Hima.
Tanpa banyak berkata, pria itu membuka resleting tas, lalu memeriksa isinya.
GLEK
Lelaki yang tersungkur tadi menelan ludah dengan susah payah.
"Kemana uangnya?" Joki bertanya seraya membalik tas yang terbuka, sehingga membuat seluruh isinya berhamburan di tanah. Tatapan tajamnya terhunus ke depan.
Sampah-sampah dari plastik dan kertas tampak berserakan di hadapan lelaki itu.
"Kau kemanakan uangnya?" tanya Joki lagi dengan volume suara semakin meninggi.
Lelaki itu tetap tak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala seraya beringsut ke belakang.
Joki mengeluarkan sebuah pistol dari saku jaket bagian dalam, lalu berjongkok di depan lelaki itu.
Lelaki tersebut kembali menelan saliva. Keringat dingin sudah membanjiri wajahnya.
"Ternyata kau memilih untuk bungkam? Baiklah." Joki mengarahkan moncong pistol itu ke kening lelaki itu.
GLEK
Dia kembali menelan saliva. Mulutnya tampak tergagap. Seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tidak bisa.
"Aku akan membuatmu tidak bisa bicara untuk selamanya."
DOR
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Akbar Saputra
brutal si hima. jgn2 dia yg bunuh anaknya sendiri.
2023-01-25
1