Kejanggalan

Argan sudah kembali ke perusahaan. Sebelumnya ia meluangkan waktu untuk mengantar Erianiza pulang terlebih dahulu. Sepadat apa pun jadwalnya, jika itu menyangkut tentang sang istri, maka pria itu akan selalu menyempatkan diri.

Kini ia duduk di kursi kebesarannya. Bersandar punggung seraya memainkan sebatang bolpoin di tangan. Pandangannya tampak kosong. Pikirannya melayang ke mana-mana.

Bayangan tentang interaksi sang istri dengan anggota polisi tadi kembali memenuhi kepalanya.

"Windri!" serunya pada sang asisten ketika kesadaran mulai menyergap diri.

"Ya, Tuan?" Secepat kilat, Windri sudah berdiri tegap di depan mejanya.

"Aku ingin informasi lengkap tentang lelaki yang tadi duduk bersama istriku di restoran!" titahnya tanpa memandang Windri.

Seketika kalimat sang atasan membuatnya berkerut dahi. Lelaki yang mana? Pasalnya Windri terlalu fokus dengan meeting tentang kesepakatan kerja mereka dengan klien baru tadi. Jadi, dia tidak memperhatikan hal lain yang ada di sekelilingnya.

"Maaf, Tuan--"

"Sekarang!"

Argan seketika memekik dan menggebrak meja. Matanya melebar dan tubuhnya refleks berdiri.

Hal itu membuat Windri tak memiliki keberanian lagi untuk melanjutkan dialognya.

"Baik, Tuan."

Kalimat singkat tapi mujarab itu membuat dirinya selamat dari amukan. Setelah ini, ia harus kembali ke restoran dan meminta rekaman cctv pada pihak yang bersangkutan, untuk memastikan siapa lelaki yang dimaksud oleh atasannya.

***

Eri tampak mondar-mandir di sepanjang rumah. Pasalnya rasa panik seketika menggelayuti hati. Wanita itu masih berlari dari kamar yang satu ke kamar yang lain. Namun, tetap saja, dirinya tidak menemukan kamar Fabia. Foto-foto Fabia. Mainan Fabia yang biasa menumpuk dalam satu kamar khusus juga tidak terlihat. Bahkan semua barang yang berkaitan dengan Fabia, kini tak lagi bisa ia jamah.

Rasa rindunya pada sang putri kembali merajai hati. Begitu sulit baginya untuk hidup berdamai dengan kenyataan. Kenyataan di mana harus menganggap bahwa Fabia tidak pernah ada.

Kini ... wanita itu tampak bersandar punggung di tembok ruang tengah. Menjatuhkan tubuhnya perlahan ke lantai dengan wajah bersimbah air pilu. Lara yang menggenggam erat hatinya, seolah tak mau mangkir dari peraduan. Mengapa sesakit itu? Mengapa sesakit itu rasanya ketika sang suami tidak mengakui keberadaan anaknya?

TING TONG

Dalam keterpurukan, Eri masih bisa mendengar suara bel itu. Lekas disekanya air mata yang membasahi pipi, lalu bergegas membuka pintu.

CEKLEK

"Tegar?" gumamnya seraya berkerut dahi.

Dari mana Tegar mengetahui alamat rumahnya?

"Hai," sapa Tegar dengan seulas senyuman. Kali ini pria itu tidak mengenakan pakaian dinas.

Erianiza tersenyum canggung. Ia merasa malu karena Tegar pasti bisa melihat jelas kedua matanya yang sembab.

"Silakan masuk!" Eri memberi ruang kepada Tegar untuk merangsek ke ruang tamu.

Pria itu tampak menggulir pandang ke semua sisi.

"Apa suamimu--"

"Dia masih di kantor," sambar Eri ketika memahami kemana arah perkataan pria itu.

"Duduklah, aku akan membuatkan minuman untukmu," ucap Eri, lalu berbalik badan hendak menuju dapur.

"Tidak usah!" cegah Tegar.

Erianiza kembali menoleh.

"Aku hanya mampir sebentar, kebetulan tadi ada pekerjaan di sekitar sini," ucap pria itu.

Eri menautkan kedua alisnya.

"Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan," katanya.

Membuat Eri berjalan mendekat lalu duduk pada sofa tunggal tepat di depan Tegar.

"Apa butuh foto anakmu." Tegar langsung pada inti pembicaraan.

Tentu saja. Bagaimana ia akan melakukan pencarian jika tidak memiliki gambar anak tersebut.

Mendengar hal itu, Eri mengangguk paham. Walaupun di seantero rumahnya tidak ada lagi jejak foto Fabia, seingatnya ia masih menyimpan beberapa foto di dalam ponselnya.

"Tunggulah sebentar, aku akan kembali," katanya seraya tersenyum pada Tegar. Wanita itu beranjak, lalu berjalan menuju kamar.

Tegar mengangguk, lalu kembali mengedar pandangan ke seluruh ruangan.

Awalnya sisa senyuman yang sempat dilemparkan pada Eri tadi masih terukir di wajah. Namun, sepersekian detik kemudian, lengkungan manis itu meredup tatkala pandangannya menangkap sebuah foto. Foto pernikahan Eri dan suaminya yang dikemas apik dalam sebuah bingkai mewah.

Seketika tatapan Tegar terpaku pada bingkai foto itu, yang bertengger di dinding utama ruangan. Kenapa dia baru menyadarinya?

Pria itu menyentuh dada kirinya. Denyutan nyeri itu ternyata masih saja terasa. Walaupun tekadnya selalu berusaha untuk ikhlas dan menerima kenyataan, namun hati? Tegar tidak bisa mengendalikannya.

Namun, ada sebuah kejanggalan yang ditangkap olehnya. Ia mencari sesuatu. Sesuatu yang seharusnya ada di ruangan itu. Foto putri Eri.

Mata kembali mengedar pandang, tetapi tetap saja yang dicari tidak didapati.

Tiba-tiba Eri muncul dengan wajah semringah.

"Kenapa?" Tegar berkerut kening.

"Untung saja, aku masih punya fotonya," ucap Eri seraya menunjukkan layar ponselnya pada Tegar.

Pria itu kembali berkerut kening. Oh, ia mulai memahami situasi.

Tegar langsung memerhatikan foto anak itu.

"Siapa namanya?"

"Fabia."

"Bisakah kau kirimkan foto ini ke ponselku?"

"Tentu."

Eri langsung meminta nomor ponsel Tegar. kemudian mengirim gambar itu melalui aplikasi hijau.

***

Drrrt ... Drrrt ....

"Kali ini aku tidak bisa mentransfer uangnya," ucap seorang wanita setelah menerima sebuah panggilan telepon.

"Kau ingin menggali lubang kuburmu sendiri?" ancam seseorang di seberang sana.

Wanita itu terdengar menghela napas kasar.

"Maksudnya, aku hanya bisa memberikan uangnya secara tunai."

Mendengar penuturan wanita itu, orang yang di seberang sambungan langsung mengatur sebuah pertemuan.

"Baik," ucap wanita itu, lalu memutus panggilan.

"Jika dia tetap hidup, maka aku tidak akan bisa hidup tenang," gumamnya dengan tatapan nyalang.

Setelah itu, wanita tersebut langsung bersiap-siap, lalu berangkat untuk bertemu seseorang yang baru saja berbicara dengannya.

Sesampainya di depan pintu, tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan sang suami.

"Arun!" gumamnya pelan. Tubuhnya terpukul mundur. Ekspresi panik seketika merajai durjanya.

"Hima, kau mau kemana?" tanya Arun pada sang istri, ia terpaksa putar balik, karena ada berkas yang tertinggal.

Hima tak bisa menjawab. Lidahnya mendadak kelu.

Karena tak juga mendapat jawaban dari sang istri, tatapan Arun langsung beralih pada tas jinjing berwarna biru yang ditenteng oleh Hima.

"Apa itu?" tanya Arun seraya berkerut dahi.

Hima tergagap.

"A-anu ...."

"Kenapa kau terlihat panik? Apa ada sesuatu yang sedang kau sembunyikan dariku?" cecar Arun yang mulai mencurigai sesuatu.

"Ti-tidak, Sayang." Hima berusaha mengelak. Sebelah tangannya mulai menggelayut manja di lengan sang suami. Jurus andalan.

"Aku ada janji bertemu Clemira, ini barang pesanannya." Hima berbohong. Tas itu berisi uang tunai yang akan diberikan pada orang yang tadi menelponnya.

"Oh, baguslah. Dengan begitu kau tidak akan terlalu larut dalam duka." Arun mengelus lembut pipi Hima.

Tentu Arun percaya begitu saja. Pasalnya, sang istri berprofesi sebagai seorang perancang busana. Namun, baru pemula. Jadi, jam terbangnya masih rendah.

Kecurigaannya sungguh tak berdasar. Arun sempat merutuki diri.

"Kenapa kau kembali, hm?" tanya Hima dengan nada manja. Seperti biasa.

"Ada berkas yang ketinggalan, aku harus mengambilnya ke atas. Apa kau mau kuantar?" Arun menawarkan.

"Ah, tidak usah, Sayang. Aku bawa mobil sendiri saja." Hima menolak dengan halus. Lalu, melepaskan tangannya dari lengan sang suami.

Arun mengangguk, lalu menuju lantai dua. Sementara Hima langsung pergi karena ia tak ingin terlambat. Jika ia terlambat sedikit saja, maka rencananya terancam gagal.

Terpopuler

Comments

Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт

Ꮇα꒒ҽϝ𝚒ƈêɳт

Genti nama, jangan Tegar🙄

2023-01-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!