Sekelompok anggota kepolisian tampak sedang memadati sebuah rumah mewah. Sebagian dari mereka berjaga di halaman depan, lalu sebagian lagi ikut menemani atasannya di dalam.
Suasana di rumah itu tampak berkabut. Duka sedang menyelimuti kediaman super megah tersebut. Seolah semua kemewahan yang ada di dalamnya tak bisa menggantikan rasa kehilangan yang baru saja menimpa keluarga penghuninya.
Beberapa kerabat masih tampak berlalu lalang di sana. Semuanya tampak mengenakan pakaian serba hitam.
Di ruang tamu, seorang wanita berumur sekitar tiga puluh tahun, sedang duduk termenung di atas sofa. Di sampingnya terdapat sang suami yang tampak mendampingi. Tangan sang suami sedari tadi melingkari punggung sang istri.
"Kami akan menyelidiki kasus ini hingga kita bisa menemukan siapa pelakunya," ucap seorang anggota kepolisian.
Di dada sebelah kanannya tertulis nama TEGAR. Sementara di pundaknya terdapat simbol dua garis kuning. Seorang perwira polisi. Usianya masih sangat muda. Wajahnya tampak sangat tampan. Tubuhnya tinggi dan gagah.
Di sebelahnya juga duduk seorang perwira polisi dengan pangkat yang sama. Tertulis nama Prima di dada kanannya.
"Terima kasih, Komandan." Sang suami berterima kasih seraya berdiri mengikuti pergerakan pak polisi itu.
"Kalau begitu saya pamit dulu. Sekali lagi, kami turut berduka atas kehilangan Anda."
Mereka pun berjabat tangan, lalu polisi yang bernama Tegar itu mengangguk ke arah teman di sebelahnya dan memberi kode pada semua anggotanya untuk meninggalkan rumah tersebut, setelah melakukan beberapa pemeriksaan.
Sepeninggalan anggota kepolisian, sang suami kembali duduk di samping sang istri.
"Pihak kepolisian pasti akan menemukan pelakunya, kita berdo'a saja agar mereka lekas mendapatkan petunjuk," ucapnya pada sang istri seraya memberikan elusan berkali-kali di lengannya.
Sayangnya, sang istri tak merespon sama sekali. Pandangannya tampak kosong. Namun, air matanya terus bergulir membasahi kedua pipi. Jika dilihat dengan mata telanjang, semangat hidup wanita itu seakan sirna sudah ditelan duka yang mendalam.
Sepulang bekerja tadi sore, mereka berdua dibuat terkejut setengah mati setelah menemukan putri semata wayang mereka sudah tewas di dalam gudang yang terletak di samping dapur.
Tubuh anak itu berlumuran darah. Pelipisnya koyak dan lengannya tampak mengalami luka sobek. Ada beberapa luka tusuk di sekujur perutnya, yang pasti membuat ia kehilangan banyak darah.
Pelakunya benar-benar bia-dap! Siapa yang tega melakukan hal keji seperti itu kepada seorang anak kecil? Kemanakah hati nuraninya?
"Hiks ... hiks." Suara isakan sang istri mulai terdengar. Sedari tadi ia hanya menangis dalam diam. "Aku tidak bisa hidup seperti ini, Arun," erang wanita yang duduk di sofa itu ketika dirinya mengingat kembali jasad putri kecil mereka yang malang.
Lelaki yang disebut Arun itu kembali menenangkan istrinya, lalu membawanya masuk ke dalam kamar.
"Tidurlah, Sayang!" ucap sang suami ketika tubuh istrinya sudah tenggelam dalam selimut tebal. Arun duduk di tepian ranjang. Elusan lembut darinya mendarat berulang kali di kening sang istri.
Perlahan, wanita itu mulai memejamkan matanya, lalu terlelap karena mungkin terlalu lelah menangis.
Melihat kondisi hancur sang istri, membuat Arun menghela napas kasar. Ia berkata di dalam hati. Sampai ke liang lahat pun ia pasti akan mengejar pelakunya. Orang yang dengan tega melenyapkan putri semata wayang mereka. Terlebih dengan cara yang sangat tidak berperikemanusiaan.
Lelaki itu tampak mengepalkan kuat telapak tangannya. Urat-urat di lengan dan keningnya tampak bermunculan. Matanya memerah. Rahangnya sudah mengeras. Jika ia menemukan pelakunya sebelum pihak kepolisian, maka ia berniat akan mencin-cang tubuh pelakunya hingga halus seperti daging giling.
"Papa pasti akan membalas semua penderitaanmu, Nak." Arun bertekad dengan emosi yang meluap-luap. Tatapan nanarnya tertuju pada daun pintu kamar yang masih terbuka sebagian.
***
"Kenapa kau menghubungiku lagi?" tanya seorang wanita pada seseorang di seberang sambungan telepon. Wajahnya tampak sangat kesal bercampur panik. Seketika pandangan wanita itu mengekori sekitar, khawatir kalau-kalau ada yang mendengarkan pembicaraan mereka.
Orang yang di seberang telepon tampak tersenyum miring. "Aku butuh uang, beri aku seratus juta, maka urusan kita selesai," katanya.
Si wanita tampak terbelalak.
"Seratus juta?" koreksinya, khawatir telinganya sudah salah mendengar. "Apa kau bercanda? Kemarin saja baru kutransfer lima puluh juta, dan sekarang kau minta lagi seratus juta? Apa kau sedang memerasku?" tanya wanita itu dengan suara tertahan. Sebelah tangannya menutupi mulut agar suaranya tidak terdengar oleh siapa pun.
"Pokoknya aku tidak mau tahu, jika kau tidak mau memberikan uang itu, maka aku akan membuka mulut di depan pihak kepolisian," ancamnya seraya tersenyum sinis.
"Jangan!" Tentu saja, wanita itu tidak mau mendekam di penjara. "Kau akan mendapatkannya, tapi beri aku waktu." Ia mencoba bernegosiasi.
"Apa kau pikir aku bodoh?!" bentak orang itu. Suaranya terdengar menggelegar sehingga membuat wanita itu harus menjauhkan ponselnya dari telinga. Kemudian, ia menempelkannya lagi setelah beberapa jenak.
"Aku butuh waktu untuk meminta uang itu dari suamiku," ucapnya. "Dua hari, beri aku waktu dua hari." Wanita itu terus mencoba bernegosiasi. Ekspresi panik begitu kental terlukis di wajahnya.
Orang yang menelepon itu masih tertegun sesaat, kemudian kembali bersuara, "Baiklah, lusa aku akan menghubungimu lagi."
Akhirnya, wanita itu bisa bernapas lega. Cepat-cepat diputuskannya panggilan tersebut sebelum ada yang melihatnya.
***
Erianiza dan suaminya baru saja keluar dari sebuah ruangan. Ruangan yang di dalamnya terdapat seorang psikiater. Sejak Eri selalu mengatakan bahwa putrinya telah diculik, Argan langsung membawanya untuk menemui psikiater.
Keputusan itu diambil, karena Argan tak ingin sang istri terus-menerus dibayangi oleh hal-hal yang hanya akan membuatnya semakin tampak seperti orang yang lupa diri.
Pekan lalu, Eri pernah hampir tertabrak sebuah truk yang melintas di jalan depan rumah mereka, karena dia mengira seorang anak kecil yang sedang berdiri di seberang jalan itu adalah putrinya. Padahal, bukan seperti itu kenyataannya. Maka, sejak saat itu, Argan langsung membawanya untuk menemui psikiater. Khawatir akan kondisi kejiwaan istrinya akan semakin memburuk jika ia tidak bertindak cepat.
"Kau dengar apa kata Clemira tadi?" Argan bertanya seraya membukakan pintu mobil untuk istrinya.
Eri tak langsung menjawab, tatapannya menatap lurus--jauh ke depan.
"Apa kau berpikir bahwa aku ini sudah gila?" Pertanyaan Argan tidak dijawab dengan benar oleh Erianiza. Ia malah bertanya balik. Yang jawabannya pasti tidak akan diberikan oleh Argan.
"Masuklah Eri!" kata Argan pada sang istri. Sebelah tangannya terulur ke arah kursi mobil.
"Aku tidak gila, Argan!" tegas Eri pada sang suami dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Suaranya terdengar bergetar.
Argan tampak memutar tubuh dan memalingkan wajahnya. Sikap Eri kembali membuatnya naik darah.
"Eri, kita harus cepat pulang. Ayo masuklah." Argan mencoba menahan emosinya.
Namun, Eri tak juga memandang ke arah suaminya. Wanita itu bahkan tak mengindahkan ucapan lelaki tersebut.
"Aku tidak gila, Argan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau orang-orang itu membawa Fabia pergi!" ucap Eri semakin menjadi-jadi.
Kedua pipinya sudah dibanjiri oleh air duka. Bayangan akan wajah panik sang putri yang kala itu dibawa lari oleh orang-orang berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala kembali terlintas di benaknya.
Eri yang kala itu baru saja kembali setelah membeli minuman, lantas terkejut setelah melihat anaknya digendong oleh seorang lelaki tak dikenal. Ia sudah berusaha mengejar dan menghentikan peristiwa penculikan itu. Namun, dari sisi lain muncul seorang pria lagi dengan pakaian yang sama, menahan Eri dan memukul kepala wanita itu hingga membuatnya jatuh pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Be___Mei
Tegar ini macam mana polis polisi di Chanel ikan terbang ding 🤭🤭🤭
2023-02-01
0
Seul Ye
Petunjuk apaan nih?
Seul mulai paham tapi masih terlalu celet buat sotoy.
Lanjut makan kuaci dolo..
2023-01-30
0
Seul Ye
Om, tinggal pilih, mau itu pelaku dieksekusi sama Lexander Kingston, Yang Mulia Braheim apa Zaim Alfarezi 🤣
2023-01-30
1