Sebuah mobil sedan melaju dengan kecepatan tinggi. Untung saja, kondisi jalan tampak lengang sehingga tidak terjadi kecelakaan.
Sepasang suami-istri di dalam mobil itu terus berdebat seiring deru mesin mobil yang membelah kesunyian malam.
"Aku tidak mau membahas hal itu lagi!" tegas sang suami dengan wajah berlumuran emosi tinggi.
"Kenapa? Berikan aku satu alasan tepat, kenapa kau terus saja menghindar jika aku mengajakmu untuk melaporkan kasus kehilangan Fabia pada pihak kepolisian?" pekik sang istri yang tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya.
"Fabia ... Fabia ... Fabia ...! Siapa yang kau maksud dengan Fabia?!"
Kini ban mobil itu berdecit sepanjang jalan, karena sang suami mendadak menginjak pedal remnya.
Kepala sang istri langsung terpukul mundur, dan menempel di sandaran. Kedua matanya refleks terpejam karena khawatir akan terjadi sebuah hantaman.
Namun, hantaman yang ia bayangkan tidak terjadi. Mobil itu berhenti di pinggiran dengan posisi melintang.
Sang suami masih memegang kemudi dengan erat. Urat-urat di lengannya bermunculan karena masih menahan emosi. Pandangannya masih fokus ke depan dengan napas memburu.
"Sudah berapa kali kukatakan, Eri!" ucapnya pada sang istri. "Kita tidak pernah mempunyai anak yang bernama Fabia," lanjutnya dengan mata merah setengah berkaca-kaca.
Wanita yang dipanggil Eri itu membuka perlahan kelopak matanya yang sudah digenangi air mata.
"Kenapa kau selalu berkata begitu, Argan." Mutiara bening miliknya kini menumpahkan bulir kekecewaan.
"Putri kita diculik," lanjutnya dengan suara bergetar.
Sudah dua pekan putri mereka diculik, namun sang suami selalu mengatakan bahwa itu hanyalah halusinasinya semata. Sang suami selalu mengatakan bahwa mereka tidak pernah mempunyai anak yang bernama Fabia.
Terdengar helaan napas kasar dari mulut Argan. Sudah berkali-kali ia menjelaskan pada sang istri bahwa semua yang wanita itu pikirkan hanyalah sebuah khayalan belaka.
"Sudahlah Eri, aku bosan berdebat. Sebaiknya aku mengantarmu pulang!" ucapnya pada sang istri yang kembali memejamkan mata dalam-dalam.
Setiap mereka bertengkar masalah tersebut, maka Argan tidak pernah langsung pulang ke rumah. Dia selalu menghabiskan malam di luar.
Sementara Eri, kembali berpalung duka yang mendalam. Berselimut lara hingga menggulung tubuhnya dalam nestapa. Kerinduan pada sang putri kembali menyongsong perih tak tertandingi.
Mama!
Hahaha!
Satu, dua, tiga, tangkap, Ma!
Ayo, dorong lagi, Ma!
Bayang-bayang wajah ceria Fabia yang sedang bermain dengannya selalu terngiang di pelupuk mata. Andai saja, waktu bisa diputar kembali, Eri memilih untuk tidak mengajak Fabia ke taman bermain kala itu.
***
Di sebuah diskotek, Argan sedang menggenggam erat gelas kaca kecil seraya terus memandanginya. Seolah benda itu memiliki daya pikat luar biasa, hingga dirinya tidak bisa berpaling sedikit pun.
"Bagaimana aku bisa meyakinkanmu, Eri?" gumamnya seolah sedang berbicara pada sang istri. Senyuman khas orang mabuk terukir di kedua sudut bibirnya. "Kita belum mempunyai anak, tapi kau ...."
"Hai, tampan!" Seorang wanita penghibur tiba-tiba mendekati Argan dan mengalungkan lengannya pada leher pria itu.
Argan masih bergeming. Tak sedikit pun berselera untuk menoleh atau merespon.
"Sepertinya kau sudah banyak minum, Sayang. Mau bersenang-senang?" bisiknya di dekat telinga Argan.
Pria itu langsung menepis tubuh wanita tersebut, lalu berjalan menjauh dengan sempoyongan. Pandangannya mulai kabur. Kesadarannya mungkin hanya sisa beberapa persen saja. Namun, saat tubuhnya hampir ambruk, sebuah tangan kekar menahannya dengan sigap.
"Tuan," ucap lelaki itu. Dia adalah Windri. Asisten pribadi Argan.
Bagaimana lelaki itu bisa berada di sana? Karena ia sudah hapal seperti apa kebiasaan bosnya akhir-akhir ini.
"Erianiza, aku sangat mencintaimu, tidakkah kau mengerti, hah? Kenapa kau melakukan semua ini padaku?" racau Argan dengan nada mabuk.
Windri terus memapah tubuh tinggi Argan hingga keluar dari diskotek. Sesampainya di parkiran, ia mencari kontak mobil atasannya yang terdapat di dalam saku jas, lalu mendudukkan pria itu di kursi belakang. Perlahan ia memutari mobil, lalu duduk di kursi kemudi.
Helaan napas kasar terembus dari mulutnya. Sebelum melajukan mobil sang atasan, pandangannya melirik sejenak ke belakang dari kaca spion.
"Tuan yang Malang," komentarnya. Lalu membawa Argan meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di rumah, seperti biasa Eri selalu membuka pintu tepat waktu. Tanpa bertanya lagi pada Windri, ia hanya mengekori pergerakan lelaki itu yang terus memapah suaminya hingga ke kamar.
"Terima kasih, Win." Eri berucap tanpa mengalihkan perhatiannya dari Argan.
"Sama-sama, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi dulu." Windri pamit undur diri setelah Eri menganggukkan kepala.
Seperti biasa pula, dengan telaten Eri akan melepaskan satu per satu perlengkapan suaminya. Mulai dari sepatu, dasi, jas, kemeja, sampai celana. Menutupi tubuh tak sadarkan diri Argan dengan selimut, lalu berbaring di sampingnya.
"Maafkan aku, Argan. Gara-gara aku, kau jadi seperti ini, hiks ... hiks."
Suara isakan Eri pun mulai memenuhi kamar mereka. Tentu saja, Argan tidak bisa mendengarnya karena ia sudah sampai ke negeri mimpi.
Lalu, Eri pun terlelap setelah sekian lama meratapi diri.
***
Di sebuah taman bermain, Eri tampak duduk di atas ayunan sambil memegangi rantai ayunan tersebut. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang berumur sekitar tujuh tahun, berjalan menghampiri.
Anak itu duduk di atas ayunan tepat di sebelah Eri. Wanita itu mengerjap, karena sebelumnya ia larut dalam lamunan akan Fabia yang selalu mengajaknya bermain di tempat yang sama.
"Kenapa Tante menangis?" tanya anak itu dengan suara imut dan wajah yang tak kalah imut pula.
Eri memaksakan diri untuk tersenyum, lalu menyeka air matanya yang tanpa disadari sudah membanjir di kedua pipinya.
"Ah, Tante tidak apa-apa, Sayang. Apa kau sering bermain di sini juga?" tanya Eri balik. Pasalnya, baru kali ini ia melihat anak tersebut.
Bocah perempuan itu mengangguk, lalu menunjuk sebuah rumah yang terletak tak jauh dari taman bermain itu. "Rumahku di dekat sini," jawabnya.
Eri mengikuti arah telunjuk anak itu.
"Kenapa kau hanya bermain sendirian?" tanya Eri lagi. Kini kesedihannya mulai teralihkan.
"Mama sedang bekerja, sementara papa ... dia selalu sibuk." Anak itu tampak mengembungkan kedua pipinya.
Membuat Eri begitu gemas melihatnya. Wanita itu tersenyum memahami. Pastinya, ada seorang pengasuh yang bekerja untuk menjaga anak tersebut. Tapi, dimana dia?
"Ini masih pagi, apa kau tidak sekolah?" Eri bertanya lagi. Berbicara dengan anak itu membuat rasa rindunya pada Fabia sedikit terobati.
"Aku ... sudah tidak bisa sekolah lagi." Bocah itu menunduk sambil menggoyangkan ayunannya perlahan.
"Kenapa?" Eri berkerut dahi.
"Karena aku sedang sakit, Tante. Aku tidak bisa kemana-mana," jawabnya dengan ekspresi sendu.
Eri kembali tersenyum. Ia kagum akan kemahiran bocah itu dalam berbicara. Rambutnya yang keriting kribo membuat wajah bulatnya tampak semakin menggemaskan. Kulitnya putih seputih susu. Manik matanya berwarna cokelat keemasan. Bibirnya mungil dan merah seperti tomat ceri.
Drrrt ... Drrrt ... Drrrt
Tiba-tiba ponsel Eri bergetar, menandakan sebuah pesan masuk dari Argan.
^^^Kau dimana? Aku akan menjemputmu.^^^
Eri membacanya dengan nada bergumam.
"Ada apa, Tante?" tanya anak itu yang melihat ekspresi terkejut di wajah lawan bicaranya.
Sebelum sempat menjawab, Eri sudah bangkit dan berlari menjauhi taman. Ia tidak ingin Argan tahu, jika dirinya kembali mengunjungi taman bermain, karena lelaki itu sudah melarangnya.
Anak kecil yang masih duduk di atas ayunan itu terus menatap kepergian Eri hingga tubuh wanita itu hilang ditelan jarak.
Sekelompok anggota kepolisian tampak sedang memadati sebuah rumah mewah. Sebagian dari mereka berjaga di halaman depan, lalu sebagian lagi ikut menemani atasannya di dalam.
Suasana di rumah itu tampak berkabut. Duka sedang menyelimuti kediaman super megah tersebut. Seolah semua kemewahan yang ada di dalamnya tak bisa menggantikan rasa kehilangan yang baru saja menimpa keluarga penghuninya.
Beberapa kerabat masih tampak berlalu lalang di sana. Semuanya tampak mengenakan pakaian serba hitam.
Di ruang tamu, seorang wanita berumur sekitar tiga puluh tahun, sedang duduk termenung di atas sofa. Di sampingnya terdapat sang suami yang tampak mendampingi. Tangan sang suami sedari tadi melingkari punggung sang istri.
"Kami akan menyelidiki kasus ini hingga kita bisa menemukan siapa pelakunya," ucap seorang anggota kepolisian.
Di dada sebelah kanannya tertulis nama TEGAR. Sementara di pundaknya terdapat simbol dua garis kuning. Seorang perwira polisi. Usianya masih sangat muda. Wajahnya tampak sangat tampan. Tubuhnya tinggi dan gagah.
Di sebelahnya juga duduk seorang perwira polisi dengan pangkat yang sama. Tertulis nama Prima di dada kanannya.
"Terima kasih, Komandan." Sang suami berterima kasih seraya berdiri mengikuti pergerakan pak polisi itu.
"Kalau begitu saya pamit dulu. Sekali lagi, kami turut berduka atas kehilangan Anda."
Mereka pun berjabat tangan, lalu polisi yang bernama Tegar itu mengangguk ke arah teman di sebelahnya dan memberi kode pada semua anggotanya untuk meninggalkan rumah tersebut, setelah melakukan beberapa pemeriksaan.
Sepeninggalan anggota kepolisian, sang suami kembali duduk di samping sang istri.
"Pihak kepolisian pasti akan menemukan pelakunya, kita berdo'a saja agar mereka lekas mendapatkan petunjuk," ucapnya pada sang istri seraya memberikan elusan berkali-kali di lengannya.
Sayangnya, sang istri tak merespon sama sekali. Pandangannya tampak kosong. Namun, air matanya terus bergulir membasahi kedua pipi. Jika dilihat dengan mata telanjang, semangat hidup wanita itu seakan sirna sudah ditelan duka yang mendalam.
Sepulang bekerja tadi sore, mereka berdua dibuat terkejut setengah mati setelah menemukan putri semata wayang mereka sudah tewas di dalam gudang yang terletak di samping dapur.
Tubuh anak itu berlumuran darah. Pelipisnya koyak dan lengannya tampak mengalami luka sobek. Ada beberapa luka tusuk di sekujur perutnya, yang pasti membuat ia kehilangan banyak darah.
Pelakunya benar-benar bia-dap! Siapa yang tega melakukan hal keji seperti itu kepada seorang anak kecil? Kemanakah hati nuraninya?
"Hiks ... hiks." Suara isakan sang istri mulai terdengar. Sedari tadi ia hanya menangis dalam diam. "Aku tidak bisa hidup seperti ini, Arun," erang wanita yang duduk di sofa itu ketika dirinya mengingat kembali jasad putri kecil mereka yang malang.
Lelaki yang disebut Arun itu kembali menenangkan istrinya, lalu membawanya masuk ke dalam kamar.
"Tidurlah, Sayang!" ucap sang suami ketika tubuh istrinya sudah tenggelam dalam selimut tebal. Arun duduk di tepian ranjang. Elusan lembut darinya mendarat berulang kali di kening sang istri.
Perlahan, wanita itu mulai memejamkan matanya, lalu terlelap karena mungkin terlalu lelah menangis.
Melihat kondisi hancur sang istri, membuat Arun menghela napas kasar. Ia berkata di dalam hati. Sampai ke liang lahat pun ia pasti akan mengejar pelakunya. Orang yang dengan tega melenyapkan putri semata wayang mereka. Terlebih dengan cara yang sangat tidak berperikemanusiaan.
Lelaki itu tampak mengepalkan kuat telapak tangannya. Urat-urat di lengan dan keningnya tampak bermunculan. Matanya memerah. Rahangnya sudah mengeras. Jika ia menemukan pelakunya sebelum pihak kepolisian, maka ia berniat akan mencin-cang tubuh pelakunya hingga halus seperti daging giling.
"Papa pasti akan membalas semua penderitaanmu, Nak." Arun bertekad dengan emosi yang meluap-luap. Tatapan nanarnya tertuju pada daun pintu kamar yang masih terbuka sebagian.
***
"Kenapa kau menghubungiku lagi?" tanya seorang wanita pada seseorang di seberang sambungan telepon. Wajahnya tampak sangat kesal bercampur panik. Seketika pandangan wanita itu mengekori sekitar, khawatir kalau-kalau ada yang mendengarkan pembicaraan mereka.
Orang yang di seberang telepon tampak tersenyum miring. "Aku butuh uang, beri aku seratus juta, maka urusan kita selesai," katanya.
Si wanita tampak terbelalak.
"Seratus juta?" koreksinya, khawatir telinganya sudah salah mendengar. "Apa kau bercanda? Kemarin saja baru kutransfer lima puluh juta, dan sekarang kau minta lagi seratus juta? Apa kau sedang memerasku?" tanya wanita itu dengan suara tertahan. Sebelah tangannya menutupi mulut agar suaranya tidak terdengar oleh siapa pun.
"Pokoknya aku tidak mau tahu, jika kau tidak mau memberikan uang itu, maka aku akan membuka mulut di depan pihak kepolisian," ancamnya seraya tersenyum sinis.
"Jangan!" Tentu saja, wanita itu tidak mau mendekam di penjara. "Kau akan mendapatkannya, tapi beri aku waktu." Ia mencoba bernegosiasi.
"Apa kau pikir aku bodoh?!" bentak orang itu. Suaranya terdengar menggelegar sehingga membuat wanita itu harus menjauhkan ponselnya dari telinga. Kemudian, ia menempelkannya lagi setelah beberapa jenak.
"Aku butuh waktu untuk meminta uang itu dari suamiku," ucapnya. "Dua hari, beri aku waktu dua hari." Wanita itu terus mencoba bernegosiasi. Ekspresi panik begitu kental terlukis di wajahnya.
Orang yang menelepon itu masih tertegun sesaat, kemudian kembali bersuara, "Baiklah, lusa aku akan menghubungimu lagi."
Akhirnya, wanita itu bisa bernapas lega. Cepat-cepat diputuskannya panggilan tersebut sebelum ada yang melihatnya.
***
Erianiza dan suaminya baru saja keluar dari sebuah ruangan. Ruangan yang di dalamnya terdapat seorang psikiater. Sejak Eri selalu mengatakan bahwa putrinya telah diculik, Argan langsung membawanya untuk menemui psikiater.
Keputusan itu diambil, karena Argan tak ingin sang istri terus-menerus dibayangi oleh hal-hal yang hanya akan membuatnya semakin tampak seperti orang yang lupa diri.
Pekan lalu, Eri pernah hampir tertabrak sebuah truk yang melintas di jalan depan rumah mereka, karena dia mengira seorang anak kecil yang sedang berdiri di seberang jalan itu adalah putrinya. Padahal, bukan seperti itu kenyataannya. Maka, sejak saat itu, Argan langsung membawanya untuk menemui psikiater. Khawatir akan kondisi kejiwaan istrinya akan semakin memburuk jika ia tidak bertindak cepat.
"Kau dengar apa kata Clemira tadi?" Argan bertanya seraya membukakan pintu mobil untuk istrinya.
Eri tak langsung menjawab, tatapannya menatap lurus--jauh ke depan.
"Apa kau berpikir bahwa aku ini sudah gila?" Pertanyaan Argan tidak dijawab dengan benar oleh Erianiza. Ia malah bertanya balik. Yang jawabannya pasti tidak akan diberikan oleh Argan.
"Masuklah Eri!" kata Argan pada sang istri. Sebelah tangannya terulur ke arah kursi mobil.
"Aku tidak gila, Argan!" tegas Eri pada sang suami dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Suaranya terdengar bergetar.
Argan tampak memutar tubuh dan memalingkan wajahnya. Sikap Eri kembali membuatnya naik darah.
"Eri, kita harus cepat pulang. Ayo masuklah." Argan mencoba menahan emosinya.
Namun, Eri tak juga memandang ke arah suaminya. Wanita itu bahkan tak mengindahkan ucapan lelaki tersebut.
"Aku tidak gila, Argan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau orang-orang itu membawa Fabia pergi!" ucap Eri semakin menjadi-jadi.
Kedua pipinya sudah dibanjiri oleh air duka. Bayangan akan wajah panik sang putri yang kala itu dibawa lari oleh orang-orang berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala kembali terlintas di benaknya.
Eri yang kala itu baru saja kembali setelah membeli minuman, lantas terkejut setelah melihat anaknya digendong oleh seorang lelaki tak dikenal. Ia sudah berusaha mengejar dan menghentikan peristiwa penculikan itu. Namun, dari sisi lain muncul seorang pria lagi dengan pakaian yang sama, menahan Eri dan memukul kepala wanita itu hingga membuatnya jatuh pingsan.
"Aku tidak gila, Argan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau orang-orang itu membawa Fabia pergi!" ucap Eri semakin menjadi-jadi.
Kedua pipinya sudah dibanjiri oleh air duka. Bayangan akan wajah panik sang putri yang kala itu dibawa lari oleh orang-orang berpakaian serba hitam lengkap dengan penutup kepala kembali terlintas di benaknya.
Mama!
Tolong aku!
Eri yang kala itu baru saja kembali setelah membeli minuman, lantas terkejut saat melihat anaknya digendong oleh seorang lelaki tak dikenal. Ia sudah berusaha mengejar dan menghentikan aksi penculikan itu. Namun, dari sisi lain muncul seorang pria lagi dengan pakaian yang sama, menahan Eri dan memukul kepala wanita itu hingga membuatnya jatuh pingsan.
"Eri, dengarkan aku!" Argan menarik kedua bahu istrinya, lalu menghadapkan wanita itu padanya.
"Kita belum mempunyai anak." Napasnya terdengar memburu. "Sekali lagi kutekankan! Kita belum mempunyai anak, jadi berhentilah berbicara omong kosong!" Argan sudah tidak tahan lagi.
Bentakan sang suami sukses membuat Eri tersadar. Ia langsung memilih bungkam, lalu masuk ke dalam mobil.
Dalam perjalanan keduanya tak sedikit pun terlibat dalam percakapan. Baik Argan maupun Eri, mereka sama-sama menyelami pikiran masing-masing.
Entah, siapa yang berbohong di sini. Belum ada yang tahu. Apakah benar Erianiza hanya berhalusinasi? Ataukah Argan yang sedang berusaha menutup-nutupi?
Mobil Argan berhenti tepat di pelataran sebuah restoran. Sebelumnya Windri sudah menghubungi agar pria itu langsung menyusul ke TKP ketika selesai mengantar sang istri ke psikiater.
Hari ini mereka ada meeting bersama klien sekaligus makan siang. Argan yang tak mempunyai banyak waktu--jika harus mengantar Eri pulang terlebih dahulu--jadi dia memutuskan untuk membawa sang istri turut serta.
"Kenapa berhenti di sini?" Eri tidak tahan untuk tak bertanya.
Argan melepaskan sabuk pengamannya, lalu menatap Eri dengan lekat. "Aku ada meeting dengan klien sebentar, kuharap kau tidak keberatan jika menungguku di dalam sambil makan siang." Ucapan sang suami tentu saja tak sedikit pun melukai hati Eri.
Dari bahasanya saja, bisa dilihat bahwa Argan tampak sangat menyayangi sang istri. Namun, terkadang emosinya suka meluap tatkala Eri kembali berulah dengan menyebut nama Fabia, Fabia, Fabia. Dan, Argan tidak menyukai itu.
Erianiza tersenyum lembut, lalu berkata, "Aku akan menunggumu."
Argan balas tersenyum, lalu mengelus pipi istrinya dengan lembut. "Maafkan atas sikapku tadi," sesalnya dengan wajah memohon. Tatapannya terlihat sendu.
Eri hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia bisa memahami bahwa emosi sang suami sering tersulut hanya karena dirinya.
Setelah itu, mereka keluar dari mobil secara bersamaan lalu berjalan memasuki restoran sambil bergandengan tangan.
Sesampainya di dalam, Argan langsung menemui kliennya yang suka menunggu bersama Windri. Sementara Eri mencari meja lain yang terletak tak jauh dari kolam ikan yang ada di restoran itu.
Sambil menikmati makan siangnya, sesekali ia melengak ke arah kolam. Koloni ikan hias berenang ke sana kemari, tampak sangat menggemaskan dalam pandangan Eri.
Tak berapa lama, terdengar suara seseorang berdeham di samping mejanya.
Eri mengerjap, lalu menoleh ke arah sumber suara.
"Tegar?" Eri tersenyum semringah ketika menyadari bahwa orang yang berdiri di sampingnya adalah orang yang sangat dia kenali.
Pria yang bernama Tegar itu balas tersenyum, lalu bertanya, "Boleh aku duduk di sini?" Ia meminta izin terlebih dahulu.
"Silakan!" Erianiza dengan senang hati mengizinkan.
Sementara dari kejauhan, Argan tampak mengamati keduanya dengan tatapan tajam.
Tegar berterima kasih, lalu duduk di kursi tepat di hadapan Eri.
"Tak kusangka, cita-citamu akhirnya tercapai juga. Apa kau sudah lama bertugas di sini?" tanya Eri. Matanya tak lepas dari Tegar yang dengan gagah mengenakan seragam polisi. Sampai-sampai ia tak sadar bahwa sang suami sedari tadi mencuri pandang ke arahnya.
Tegar tersenyum tipis. Jarinya bergerak memberi kode pada salah satu pelayan restoran untuk menghampirinya. Lalu, memesan menu makan siang untuknya.
"Semua berkat dirimu," ucap Tegar setelah pelayan itu pergi dari sisi mereka.
DEG
Erianiza langsung terlihat seperti salah tingkah. Pasalnya, dulu sewaktu SMA keduanya pernah menjalin hubungan asmara hingga Eri melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sementara Tegar lanjut pendidikan di Akademi Kepolisian. Namun, kisah kasih mereka harus berhenti di pertengahan jalan karena Eri harus menjalani perjodohan yang sudah disepakati oleh ayahnya. Mau tidak mau, perasaan keduanya harus dikorbankan karena tak ingin menentang perintah orang tua.
"Maafkan aku," tutur Eri seraya menunduk.
Ia sadar bahwa dirinyalah yang membuat Tegar mengambil keputusan untuk menjadi seorang aparat negara. Eri pernah mengatakan bahwa ia ingin mempunyai suami yang berprofesi sebagai seorang polisi. Terlepas hal itu memang menjadi impian hidup Tegar, namun ucapan Eri semakin menambah semangat juangnya untuk terus meraih cita-cita.
"Sudahlah, kau tidak perlu merasa bersalah." Tegar tersenyum hambar. Sebenarnya ada rasa perih yang mengalir di dalam aku dadanya ketika mengingat masa-masa di mana mereka masih menjalin kasih. Namun, apa mau dikata? Sekarang Erianiza sudah menjadi milik pria lain.
Eri mengerjap, lalu berusaha untuk tersenyum, walaupun sedikit kikuk. Ia langsung menegakkan posisi duduknya, lalu kembali menatap Tegar.
"Apa kau bisa menolongku?" tanyanya pada Tegar.
Pria itu berkerut dahi karena melihat ekspresi Eri yang tiba-tiba berubah mendung.
"Ada apa?" Tegar bertanya seraya mengaitkan kedua tangannya di atas meja.
"Kau tahu, dua pekan lalu putriku diculik, namun suami dan orang-orang di sekitarku tidak ada satu pun yang peduli," ucap Eri dengan kedua mata berkaca-kaca.
Sebenarnya ia tidak mengerti kenapa suami dan orang-orang di sekitarnya selalu mengatakan bahwa mereka tidak pernah mempunyai seorang anak. Sementara, Eri bisa mengingat dengan jelas memori-memori dirinya bersama sang putri yang selalu berkelebat di dalam benak. Apalagi, peristiwa penculikan terhadap Fabia waktu itu, sangat terekam jelas dalam ingatannya.
"Mereka tidak mau membantu menemukan putriku," ungkapnya semakin sedih. Jemarinya tampak mere-mas satu sama lain.
Tegar masih mendengarkan dengan saksama tanpa ingin menginterupsi.
"Hanya kau yang bisa membantuku, Tegar. Kau adalah harapanku satu-satunya." Eri tampak memohon dengan sangat.
Bisa Tegar lihat, betapa terluka wanita di depannya ini. Wanita yang hingga saat ini masih bertahta di hatinya.
"Penculikan anak, dua minggu yang lalu?" Dahi Tegar semakin berkerut dalam. Pasalnya, ia tidak pernah mendapat laporan atas kejadian tersebut. Namun, setelah mendengar penuturan Eri tadi, ia mulai memahami situasi.
"Bisa kau ceritakan bagaimana kronologi penculikannya?" Tegar bertanya, lalu menyalakan alat perekam suara yang ada di ponselnya.
Eri langsung menceritakan peristiwa menyedihkan itu tanpa mengurangi atau menambahkan informasi. Air matanya semakin deras tatkala bercerita. Perasaannya benar-benar kalut.
Argan yang sedari tadi tidak fokus dengan meeting-nya, kini mulai gelisah di tempat duduknya. Tentu saja, hatinya panas melihat sang istri duduk berduaan dengan pria lain.
"Tuan!"
Suara Windri sukses membuyarkan konsentrasi atasannya yang kini tampak bermuka tegang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!