Gadis Desa Dan Pangeran Rubah
Pria tambun tampak mondar-mandir, raut wajahnya menahan kesal. Sesekali ia menendang angin, mengacak-acak rambut dan mengusap wajahnya dengan kasar. Melihat ke arah seorang gadis yang menghadapnya saat ini, semakin rasa kesalnya bertambah.
“Kau dipecat!”
Sebuah pernyataan tegas tersebut dilayangkan pada seorang gadis muda berperawakan mungil dengan penampilan acak-acakan. Rambut oranye bergelombangnya dibiarkan tergerai, wajahnya sedikit lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah.
Beberapa saat yang lalu, kekacauan terjadi di sebuah tempat kedai minuman keras. Dan kekacauan tersebut menyangkut si gadis. Beberapa pria sempat menyerangnya tanpa ampun.
“Aku yang menjadi korban, kenapa aku yang harus disingkirkan? Bahkan belum satu minggu aku bekerja di sini. Dan sekarang, Tuan ingin memecatku begitu saja?” Gadis itu mencoba mencari pembelaan untuk dirinya sendiri.
Pria pemilik kedai itu berkacak pinggang seraya menajamkan kedua matanya. “Begitu saja katamu?”
Tangannya menoyor kepala gadis itu, membuat tubuhnya hampir terhuyung. “Sebelum memutuskan untuk bekerja di sini, seharusnya kau sudah tahu ini tempat apa, 'kan? Ini kedai minuman keras. Sudah jelas kalau pelanggan lebih didominasi oleh pria.”
“Jangan bilang kau juga tidak tahu kalau para pria yang datang ke sini seringkali berbuat usil pada pelayan? Mereka bukan hanya tertarik untuk minum, tapi pada tubuhmu juga. Kalau kau tidak mau tubuhmu dijamah oleh mereka, maka jangan bekerja di sini lagi!” sambungnya tegas.
Jika memang begitu keadaannya, sepertinya gadis itu memilih ikhlas kehilangan pekerjaan. Karena dirinya tak mau membiarkan pria bertubuh buncit yang pastinya sudah memiliki istri dan anak itu meraba-raba tubuhnya dengan tampang tak bersalah.
Sungguh, sampai mati pun dia tidak akan menginjakkan kaki ke tempat itu lagi.
“Baik. Kalau begitu aku akan pergi. Terima kasih sudah pernah mau menerimaku bekerja di sini. Semoga harimu menyenangkan, Tuan,” ucap si gadis sambil membungkuk sopan.
Setelah melepas celemek di tubuhnya, ia segera mengambil jubah berbahan kulit miliknya. Buru-buru meninggalkan kedai karena sudah tak tahan menjadi pusat sorotan mata pria-pria nakal yang haus akan nafsu.
Gadis muda yang malang. Hidupnya berantakan setelah ibunya meninggal dan ayahnya kabur begitu saja entah kemana. Parahnya lagi, ia harus menanggung semua hutang milik ayahnya yang terkenal sebagai penjudi dan pemabuk berat.
Ia hidup sebatang kara di sebuah desa yang dipenuhi oleh orang-orang kasar dan kejam. Sulit baginya untuk tetap bertahan hidup. Tapi ia tidak punya pilihan untuk tetap melangkah. Setidaknya ia bisa bekerja dan mendapat upah untuk menyambung hidup.
Namun setelah dirinya dipecat dari kedai tadi, ia harus mencari pekerjaan kemana lagi? Berbagai macam pekerjaan ia lakukan, tapi tak selang beberapa lama ia terpaksa harus berhenti karena satu dan lain hal.
“Hei, kau yang memakai jubah coklat lusuh.”
Bariton berat yang tiba-tiba menyapa cukup membuatnya terkejut.
“Berhenti!”
Perintah tersebut membuat bulu kuduknya merinding. Bukan apa-apa, tapi ia merasakan firasat buruk jika dirinya menoleh ke belakang dan menghadap pria itu. Sehingga ia memilih untuk mempercepat langkah kakinya saja.
“Kubilang berhenti, Hazel!”
Kali ini suara seseorang itu lebih keras terdengar dan langsung bisa menghentikan langkah gadis di depan sana. Terlebih lagi, pria itu tahu nama si gadis. Itu tandanya mereka pasti saling mengenal, bukan?
Bukan karena sihir atau apa, tapi Hazel memang sulit melarikan diri dalam posisi ini. Kedua kakinya mematung di tempat, sulit untuk digerakkan. Alhasil ia hanya bisa mendengar langkah kaki di belakangnya yang kian datang mendekat.
Perlahan namun pasti, pria itu sekarang sudah ada tepat di samping Hazel. Tangannya menurunkan tudung jubah yang dikenakan Hazel, wajahnya mencondong lebih dekat padanya untuk memastikan bahwa dugaannya benar.
“Aku tahu, aku memang tidak pernah salah dalam mengenalimu. Hazel Loreana, putri dari si bajingan tua yang hobinya menghutang untuk berjudi dan bermain perempuan. Sekarang kau mau kabur kemana lagi?”
Glup.
Hazel menelan salivanya susah setengah mati. Ia tidak berani menggerakkan ekor matanya untuk melirik pria di sampingnya. Sebab ia tahu kalau pria tersebut adalah orang yang selama ini dirinya hindari.
“A-aku tidak kabur!” Hazel mencoba berdalih.
“Berpindah-pindah rumah, bahkan kau sudah ada di desa ini, padahal bulan kemarin aku hampir gila mencarimu di desa seberang. Apa itu yang kau sebut tidak kabur, hah?”
Baik, jika sudah seperti ini Hazel tidak punya pilihan untuk menyangkal dengan cara apa pun. Ia tahu dirinya salah karena sudah menghindar dari masalah. Tapi Hazel masih tidak bisa menerima bahwa dirinya dijadikan bahan jaminan hutang ayahnya.
Grep.
Tangan besar pria itu sudah menyentuh belakang kepala Hazel. “Dasar gadis nakal. Padahal jika kau tak mampu membayar semua hutang ayahmu, kau hanya perlu bersedia menjadi mainan istimewaku. Kau bisa bekerja untukku, menghasilkan banyak uang dengan mudah ... Menggunakan tubuhmu.”
PLAK!
“Sampai mati pun aku tidak akan pernah sudi menerima tawaran gilamu itu, Tuan!” tepis Hazel murka setelah memberi tamparan keras.
Pria itu menyentuh pipinya yang berdenyut perih, lalu tersenyum menyeringai. “Sudah miskin, kau masih mau bertingkah?!”
Dalam hitungan detik, tangan si pria sudah menjambak rambut Hazel. Terus menariknya ke belakang sampai tubuh Hazel melengkung sambil meringis menahan tangis dan sakit.
“Karena aku masih punya hati, jadi aku akan memberimu waktu sedikit lagi. Bulan depan, kau harus membayar semua hutang ayahmu termasuk bunganya. Kalau sampai kau tidak membayar dan berani kabur lagi, aku tak akan segan langsung menyeretmu untuk ikut bersamaku,” ancamnya kemudian.
Hazel hanya mengangguk-angguk saja.
Cup.
Sebuah ciuman di bibir berhasil pria bertubuh tinggi kurus itu lakukan. Tak sampai di situ, tangannya yang sejak tadi menjambak rambut Hazel, kini sudah turun untuk menepuk bokong gadis itu dengan kuat.
“Ingat, bulan depan.” Pria itu mengerling sebelum akhirnya memutuskan menghilang dari pandangan.
Hazel kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia terduduk lesu di tanah sembari menangis sesenggukan. Punggung tangannya ia gosok-gosokan pada bibirnya, merasa jijik telah dicium oleh pria tadi.
“Sialan! Aku tidak akan pernah memaafkanmu!”
Percuma memaki sampai mulut berbusa pun, karena faktanya Hazel tak punya daya untuk membuat keadaan berbalik. Seolah-olah Tuhan memintanya untuk terus menjalani kehidupan memuakkan sekaligus menyedihkan ini.
Hazel memaksakan diri untuk kembali berjalan. Malam sudah semakin larut, tidak mungkin dirinya terus berkutat di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu. Karena bukannya menghadirkan simpati orang lain, bisa saja dirinya mengundang perhatian nafsu dari pria hidung belang.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Hazel terus merenung. Air mata sudah mengering, tapi kedua matanya jadi terlihat sembab. Raganya sudah lelah dan terus menggebukan rasa sakit dari luka yang tertanam, pun dengan jiwanya yang sudah serupa dengan kayu yang lapuk.
Tapi samar-samar dirinya mendengar suara sesuatu. Bukan suara manusia yang selalu berisik karena terus mengoceh. Suara yang didengarnya ini seperti seekor hewan yang merintih kesakitan. Meraung lirih seolah meminta pertolongan.
Hazel menghentikan langkah kaki untuk menajamkan pendengaran. Perlahan ia menggerakan kembali kedua kakinya ke sumber suara. Tepat ke sebuah semak-semak belukar yang gelap dan terlihat menakutkan.
Namun setelah didekati dan dibuka semak-semak tersebut, Hazel cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan seekor anjing, bukan juga kucing. Tubuhnya tidak terlalu besar, tapi Hazel tahu itu termasuk hewan yang berbahaya.
“Seekor rubah yang terluka?” Hazel bergumam sedikit merasa takut.
Ia menduga kalau rubah itu peliharaan seseorang, sebab sebuah kalung melingkar pada leher rubah tersebut, selain itu pancaran mata rubah tersebut tampak memelas dan menyedihkan, Hazel berpikir sepertinya ia harus menolongnya.
Tubuh Hazel sudah berjongkok, mengulurkan tangan pada rubah yang terluka di dalam semak sana. Tepat didekat leher dan di kaki kanan depan rubah itu terluka cukup parah. Ia tidak yakin bisa mengobatinya, tapi yang jelas rubah itu harus segera diberi pertolongan.
Setelah berhasil dibawa ke dalam gendongannya, rubah itu tampak tenang. Suara rintihannya sudah melemah, jadi Hazel pun tidak terlalu takut. Untuk menenangkannya, tangan Hazel bergerak untuk mengelusi bulu punggung rubah tersebut.
“Aku tidak janji bisa membuatmu sembuh, tapi tolong bertahanlah sedikit lagi,” bisik Hazel.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Nhi E
halo thor , aku mampir . salam dari SAHABAT RASA PELAKOR
2023-04-28
0
Al Fatih
hmmm penasaran,, lanjut kak
2023-04-16
1
nesaric
aaaaaa suka bangetttt
semangat kakkkkk
2023-02-20
0