“Hazel.”
“Panggil itu saja,” jelasnya.
Pria berambut gondrong itu melebarkan senyum, kedua mata tajamnya tenggelam dalam lekuk senyumannya yang indah. “Aku Lynx.” Tangannya mengulur ke depan, tapi percuma sebab Hazel enggan menoleh padanya.
Karena tak ada respon apa pun, Lynx menurunkan lengannya. Menyembunyikannya di belakang punggung.
“Eum, ngomong-ngomong, namamu cukup unik. Apa mungkin karena warna matamu, jadi orang tuamu memberimu nama Hazel?” Entahlah, Lynx hanya mencoba untuk membahas hal lain agar suasananya tidak canggung.
Kedua bahu Hazel lungsur perlahan saat mengembuskan nafas berat. Tak suka jika ada orang asing yang mencoba mengorek kehidupannya.
“Tutup mulutmu. Aku tidak menerima pertanyaan apa pun. Cepat bereskan rumah ini. Aku akan keluar untuk membeli sarapan,” titahnya sedikit ketus.
Senyuman di wajah pria itu seketika luntur, memudar namun berusaha untuk mengerti keadaannya. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”
Kedua lengan Lynx melambai-lambai meski Hazel tak melihatnya, terus mengawasi punggung gadis itu hingga menghilang dari balik pintu.
“Aku tidak tahu apa dan bagaimana cara dia hidup selama ini. Tapi sebisa mungkin, untuk membalas budi karena telah menyelamatkanku, aku akan melindunginya dengan caraku sendiri,” bisik Lynx, penuh keyakinan dalam hati.
Menyudahi pikirannya yang terus bergumul dalam isi kepala, Lynx mencoba fokus pada apa yang akan dilakukannya sekarang. Kepalanya celinguk-celinguk, menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
Pria itu tidak tahu dimana letak ember dan lap yang diminta Hazel sebelumnya. Jika tidak ada benda tersebut, Lynx tidak bisa membereskan lantai basah di ruang tengah karena genangan hujan dengan mudah.
“Pertama-tama aku harus mencarinya di ruang belakang.” Lynx dengan gesit menggerakkan kedua kakinya untuk mencari ke semua celah dan setiap pojok ruangan yang terjamah oleh pandangannya.
Setelah mencari-cari, berkeliling ke sana kemari dengan raut bingung, hasilnya berujung nihil. Ia tidak menemukan dimana ember dan lap kecil yang Hazel maksud. Atau mungkin penglihatannya kurang jeli. Karena pada umumnya, penglihatan rubah lebih tajam saat di malam hari.
Namun Lynx tidak mau menyerah dengan mudah. Dia akan mencarinya kembali, kali ini lebih teliti. Pria bertubuh atletis itu tidak mau dianggap beban masalah yang menyusahkan Hazel. Sebelum gadis itu menginjakkan kaki ke rumah kembali, Lynx harus memastikan keadaan rumah sudah bersih dan nyaman.
Membiarkan Lynx fokus pada aktivitasnya, Hazel saat ini sudah berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan pasar dengan uang seadanya. Tapi sudah beberapa menit berlalu, ia belum memutuskan ingin membeli apa.
Dengan uang terakhir yang ia miliki, tentunya Hazel tidak bisa membeli persediaan makanan sampai beberapa hari ke depan. Mungkin hanya bisa makan satu kali saja.
Mengingat kalau sekarang Hazel tinggal dengan seorang pria aneh dan menyusahkan, kebutuhan pokok sehari-hari pun pastinya akan bertambah. Padahal malam tadi dirinya baru saja dipecat tanpa diberi uang bayarannya selama seminggu.
Kalau-kalau di tengah jalan nanti dirinya benar-benar tak memiliki solusi untuk mengatasi semua permasalahan hidupnya, mungkin Hazel akan pergi menyusul ibunya. Bukannya ingin menyerah, tapi Hazel sudah lelah berusaha.
“Nona? Jadi beli atau tidak?”
Lamunan Hazel dibuyarkan dengan pertanyaan penjual yang sudah menunggu kepastiannya. Karena kepalang malu, Hazel akhirnya mengeluarkan beberapa lembar uang terakhir yang ada di dalam dompetnya.
“Tolong satu potong ikan saja,” pintanya.
“Baik.”
Selesai berbelanja seadanya di pasar. Hazel segera bergegas kembali ke rumah. Berniat untuk memasak ikan beliannya karena perutnya sudah keroncongan sejak tadi.
Satu potong ikan memang tidak akan cukup jika dimakan berdua. Tapi Hazel tidak punya pilihan selain membagi ala kadarnya dengan pria itu tadi.
“Aku pulang.” Hazel membuka pintu, namun ia langsung disuguhi pemandangan yang mampu menghentikan detak jantungnya selama beberapa detik.
Bagaimana tidak, dari ujung ke ujung ruangan yang terpandang oleh maniknya, Hazel melihat kekacauan terjadi. Banyak barang-barang perabot rumahnya yang berserakan di mana-mana.
Sungguh, itu sangat amat berantakan.
Tidak tahu apa yang sebenarnya dilakukan oleh Lynx selama ditinggal olehnya, tapi Hazel tidak bisa mengendalikan amarahnya jika sudah begini. Susah payah ia menjaga rumah tua ini agar bisa ia tinggali dengan nyaman.
Pria tidak jelas itu malah membuat semuanya berantakan begini. Alat masak yang mendadak ada di ruang tengah, sapu injuk sudah patah terbagi dua, bahkan semua barang-barang itu jadi kotor karena terkena genangan hujan yang belum dibersihkan.
“Hei, apa yang sudah kau lakukan pada rumah ini?!” teriak Hazel, netranya mencecar ke seluruh tempat, kedua kakinya menghentak-hentak lantai saat berjalan menuju ruang belakang.
Semakin meletup-letuplah emosinya ketika melihat kalau pria itu seperti sedang menggaruk-garuk sesuatu, melempar barang-barang yang ada dihadapannya ke belakang tanpa menyadari kehadiran Hazel.
Bahkan salah satu dari barang yang dilemparkan itu mengenai kening Hazel. Ketika ringisan gadis itu terdengar nyaring, telinga runcing dari pria rubah itu muncul. Bergerak-gerak seperti sedang terkejut.
Lynx reflek langsung menoleh ke belakang. Mendapati Hazel sedang kesakitan seraya memegangi dahi, matanya seketika membola sempurna. Ia benar-benar tak bermaksud melukai gadis itu. Dan Sepertinya benjolan menyakitkan akan muncul di sana.
“Astaga! Maafkan aku. Sejak kapan kau pulang? Maaf aku tidak menyadarinya.” Lynx mencoba untuk menyentuh Hazel, melihat luka di dahi gadis tersebut.
Namun belum sempat jemari Lynx mendarat pada dahinya, Hazel lebih dulu menepisnya. “Jangan sentuh aku, sialan! Apa yang sedang kau lakukan? Aku menyuruhmu untuk membersihkan rumah, kenapa kau malah membuatnya berantakan begini?”
Telinga runcing Lynx langsung menelungkup turun, begitu pun dengan ekornya yang tidak lagi mengibas-ngibas. Pandangannya pun dialihkan dari Hazel. Lynx menyadari kesalahan yang sudah ia perbuat. Tapi percayalah, ini diluar dugaan dan tidak direncanakan sama sekali kalau akan seperti ini akhirnya.
“Maafkan aku. Ini semua memang salahku. Aku sedang berusaha mencari ember dan kain lap yang kau maksud. Tapi aku kesulitan untuk mencarinya. Jadi aku berniat mencarinya di semua tempat, tak sadar kalau aku telah membuat semuanya jadi berantakan,” papar Lynx berharap kalau Hazel mau mengerti.
Setelah mendengar penjelasannya, amarah Hazel sedikit berangsur turun. Namun rasa kesalnya masih tetap menggebu. Ia masih belum bisa mentolerir kesalahan Lynx. Akan tetapi, Hazel juga tidak bisa menyangkal kalau semua ini salahnya juga.
Andai sejak awal dirinya lebih menyadari kalau nampaknya IQ manusia dan jelmaan aneh seperti Lynx tidak sama, mungkin Hazel akan lebih sabar untuk memberi perintah padanya dengan detail.
Hazel menepuk jidatnya pelan, memutar tubuhnya untuk membelakangi Lynx agar bisa menetralkan emosinya. Karena hanya dengan melihat wajah pria itu, kesabaran Hazel berasa dikikis sampai habis.
“Hah, kau memang menyusahkan. Kalau kau sedang mencari sesuatu, tidak perlu sampai membuat semuanya berantakan seperti ini. Aku tidak mau tahu, kau harus membereskan semuanya seperti semula. Dan jangan lupakan untuk membersihkan genangan di ruang tengah sana.”
“... Ember dan kain pel ada di dalam lemari khusus perabot pembersih. Letaknya ada di sudut ruangan dapur dekat pintu menuju kamar mandi. Mengerti?” Hazel sudah menghadapkan kembali tubuhnya pada Lynx.
Dan dengan patuh Lynx menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Kalau begitu aku akan pergi mandi. Jangan sembarang membuka pintu kamar mandi. Aku akan membunuhmu kalau kau sampai berani mengintip,” ancam Hazel dengan mata setajam elang yang dapat membuat Lynx meneguk ludah ngeri.
Lynx tampak memucat. “A-aku mengerti. Tenang saja, aku pastikan semuanya akan kembali bersih dan beres setelah kau mandi. Ini semua kesalahanku, jadi aku akan bertanggung jawab penuh.” Suaranya pun terdengar sedikit gemetar.
Hazel tidak menunjukkan ekspresi apa pun, semakin kentara terasa aura horor yang bisa membuat Lynx tak mampu menatapnya. Tapi walau begitu, Lynx tetap memuji dalam hati kalau Hazel adalah gadis cantik dengan hati yang sensitif.
“Ya.” Hanya itu yang keluar dari mulut Hazel sebelum akhirnya ia memilih pergi dari hadapan Lynx.
***
Selesai membersihkan diri sekaligus mengganti pakaian, Hazel memeriksa ruangan yang sebelumnya terlihat seperti kapal pecah. Sejauh mata memandang dan kaki terus melangkah ke depan, Hazel cukup takjub dengan apa yang ia lihat.
Masih belum percaya kalau bagian lorong yang menuju dapur sudah rapih tanpa ada barang apa pun yang memenuhi lantai. Saat memeriksa ruang tengah, ternyata Lynx yang sudah bercucuran keringat masih berkutat dengan kain lap.
Mengepel dari satu penjuru ke penjuru ruangan dengan kain lap yang kecil. Terlihat kalau pria itu begitu bersemangat memenuhi tanggung jawabnya pada masalah yang sudah diperbuatnya. Jika sudah begini, Hazel jadi sedikit luluh padanya.
“Maaf terlambat. Sedikit lagi selesai. Tinggal satu putaran lagi, aku harus memastikan kalau ruangan ini benar-benar bersih,” jelas Lynx memberitahu.
Hazel mengangguk singkat, berusaha pura-pura untuk tidak peduli. “Ya, selesaikan semuanya. Aku akan membuat sarapan dulu.”
“Oke.” Lynx mengangguk paham.
Entah apa yang ada dalam pikiran Hazel sehingga ia menghentikan langkah kakinya. Membuat Lynx memiringkan kepala, bingung. Berpikir kalau sepertinya ada yang ingin dikatakan oleh gadis itu.
Tanpa membalikan tubuhnya, Hazel berbicara kembali, “Jangan terlalu kuat menggerakan tanganmu. Perban yang kau pakai itu adalah perban terakhir yang aku punya. Kalau lenganmu terluka lagi, aku tidak mau direpoti lagi.”
Meski terkesan ketus, tapi Lynx terlihat senang saat mendengarnya. Ia merasakan ada kepedulian yang tersirat dari ucapan Hazel barusan. Mungkin karena respon alami dari tubuhnya, ketika senang maka ekor dan telinganya akan muncul secara bersamaan. Ekornya mengibas-ngibas angin, tampak lucu.
Beberapa saat kemudian, Hazel sudah selesai membuat sarapan. Hanya menggoreng ikan dengan bumbu seperlunya saja. Tidak ada nasi, karena sudah lama ia tidak mampu membelinya. Jadi satu ikan yang ia punya harus dibagi dua dengan Lynx.
“Aku akan menaruh ikannya di sini dulu sebentar.”
Hazel berderap ke depan, berniat memanggil Lynx. Ia mendapati pria itu sudah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan baik. Wajah dengan garis rahang tegas itu dipenuhi keringat, menjadikannya nampak seksi. Ditambah baju ketat yang basah itu membuat otot-ototnya jadi tercetak jelas.
Bahkan tak sadar, Hazel sempat terbawa perasaan aneh yang muncul dan seperti berusaha menghasut. Jangan lupakan kalau Hazel juga perempuan normal. Dan ia mengakui kalau Lynx adalah satu-satunya pria tampan yang pernah ia temui.
Tapi sayangnya, Hazel tidak bisa menepis kalau Lynx adalah rubah jelmaan yang masih tidak jelas asal usulnya dari mana. Terlebih lagi, pria itu selalu saja menguras emosinya. Ia memang mengakui ketampanan Lynx, tapi berpikir untuk jatuh cinta padanya mungkin itu mustahil.
“Aku sudah menyelesaikannya. Sekarang bolehkah aku makan sesuatu?” pinta Lynx seraya mengelus perut.
Hazel yang sibuk memandangi pria itu sejak tadi, buru-buru mengalihkan pandangan. “Y-ya, aku sudah membuat sarapan.”
“Woaa! Terima kasih. Aku akan makan sekarang.” Saking semangatnya, Lynx pergi melesat ke dapur mendahului Hazel yang masih berdiri di tempat.
Gadis itu hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Lynx. Tubuhnya memang lebih besar darinya, tapi ekspresi yang dia buat dan tingkahnya itu persis seperti bocah berusia lima tahun.
Belum ada lima menit Hazel membiarkan Lynx sampai ke dapur lebih dulu, percaya atau tidak, ikan di atas piring yang dirinya siapkan tadi sudah ludes tak bersisa. Sang pelaku yang memakannya terlihat rakus menggerogoti sisa tulang kepala ikan tersebut.
Hazel lantas menganga tanpa berkedip. “K-kau menghabiskannya sendirian?”
Lynx mengangguk tanpa bersalah, karena memang dirinya tidak tahu. “Hm. Ini enak. Aku suka sekali ikan.”
Rasa lemas di kedua kakinya membuat pertahanan tubuh Hazel longsor begitu saja pada lantai kayu yang dingin. Harapannya untuk menggganjal perutnya yang keroncongan harus pupus.
“Dasar sialan,” umpat Hazel, rasa simpatinya yang sempat muncul pada Lynx mendadak sirna.
Lynx yang tidak mengerti kenapa Hazel tiba-tiba mengumpat, langsung memandanginya dengan tatapan bertanya-tanya.
“Apa yang salah?”
Tahu bagaimana ekspresi yang dibuat Hazel sekarang? Wajahnya memerah menahan tangis, kedua tangannya sudah mengepal, ia menahan nafas sesaat untuk memupuk amarah ketika berteriak nanti.
“Kau ... Pergilah. Aku menarik kata-kataku yang mau menerimamu untuk tinggal di sini. Aku sadar, aku tidak punya cukup kesabaran untuk menghadapi segala tingkahmu yang membuatku mudah marah. Terlebih, hidupku terlalu sulit untuk menampung orang sepertimu.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments