“Apa salahku?”
Pertanyaan Lynx barusan mengundang gejolak emosi Hazel kian memuncak. Terlebih, ekspresi polos tanpa menunjukkan rasa bersalah itu membuat Hazel ingin sekali mencabik-cabik wajah tampan pria tersebut.
Tapi karena saat ini ia sudah tidak memiliki tenaga untuk meluapkan amarah, jadi Hazel memutuskan menahan segala kekesalannya. Tapi untuk kali ini, dirinya benar-benar tidak bisa mentolerir lagi.
“Itu ikan terakhir yang aku miliki. Sejak kemarin, aku belum makan apa pun. Dan kau menghabiskan semuanya tanpa memikirkan aku,” ungkap Hazel, sukses membuat hati Lynx mencelos.
Jika Lynx tahu seperti itu kebenarannya, ia tidak mungkin melahap ikan tersebut sendirian. Dalam pikirannya, Hazel sengaja menyiapkan satu ikan utuh itu untuknya. Karena sebenarnya, porsi yang diberikan masih terlalu sedikit untuk rubah rakus seperti Lynx.
“M-maafkan aku. Sungguh, aku tidak tahu jika kau belum makan. Aku---”
“Sudahlah. Aku tidak akan marah, tapi kau harus pergi dari sini. Sekarang juga,” putus Hazel, air mata yang menggenang dengan segera ia susut sebelum menetes.
Saat akan berlalu menghindari situasi ini, Lynx yang menyadari Hazel sudah mengambil pergerakan, langsung buru-buru menahannya untuk jangan pergi.
“Kumohon. Maafkan aku, Hazel.”
Tak!
Lengan besar itu berhasil Hazel tangkis, kemudian menyorot sinis Lynx dengan bibir yang sedikit bergetar. “Jika kehadiranmu di sini hanya untuk menyulitkanku, maka pergilah dan jangan pernah kembali. Hidupku sudah rumit dan sulit jika harus mengurusi pria bodoh sepertimu.”
Tubuh Hazel sudah berbalik, namun kedua tangannya masih mengepal erat. “Kau tahu? Aku ini orang miskin. Apa yang kau harapkan dari aku yang tidak memiliki apa-apa ini? Jika kau kesulitan mencari tempat tinggal untuk tetap hidup...”
“... Kenapa tidak gunakan dirimu untuk merayu para wanita kaya raya di luar sana? Aku yakin, mereka berani memberimu uang jika kau mau menjadi peliharaan mereka,” sambungnya, bibirnya tersenyum merendahkan.
Itu terdengar menyakitkan. Tidak menyangka juga kalau perkataan seperti itu bisa keluar dari bibir manis yang dimiliki Hazel. Tapi Lynx cukup memahami situasinya, karena sudah berulang kali dirinya membuat gadis itu marah.
Pastinya saat ini kesabaran Hazel sudah habis. Sehingga semua yang terlintas di dalam pikirannya langsung membludak tanpa disaring lebih dahulu. Dan Lynx semakin merasa bersalah ketika melihat punggung gadis itu bergetar, tangisan pilu pun mulai terdengar.
“Kumohon, pergilah...” Setelah mengatakan ini, Hazel berlari menuju kamar. Membanting pintu hingga suara kasarnya membuat Lynx mengerejat kaget.
Di dalam kamar, Hazel memilih untuk berbaring di atas kasur. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Lalu menangis sepuasnya di sana. Ia tidak akan menahannya lagi, tak peduli jika pria di luar sana menganggap dirinya terlalu berlebihan atau apa.
Semua yang terjadi secara mendadak ini tidak bisa diterima oleh pikiran Hazel. Gadis itu tidak bisa beradaptasi dengan kemunculan pria aneh yang bisa berubah menjadi rubah tersebut. Semakin dipikirkan, Hazel hanya berharap kalau semua ini hanyalah mimpi.
Dan saat dirinya terbangun esok pagi, dirinya akan menyadari kalau kemarin memanglah sebuah mimpi yang aneh. Yah, walau pun Hazel tetap dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit tentang hidupnya yang mau tak mau harus tetap dijalani.
“Tak apa, mungkin hanya dengan tidur rasa lapar ini akan segera hilang,” bisiknya pada diri sendiri untuk memenangkan.
***
Sinar mentari sudah berubah menjadi lembayung senja yang cantik, langit oranye terang di atas sana akan segera berganti dengan langit malam gulita yang panjang. Entah sudah berapa jam lamanya Hazel tertidur selepas menangis tadi.
Yang jelas saat terbangun, rasa laparnya benar-benar hilang. Tapi lemas di tubuhnya tetap terasa. Langkah kakinya pun terlihat lunglai, tidak bertenaga. Namun Hazel tetap berjalan keluar kamar.
Maniknya mengabsen semua tempat. Melihat kalau semua ruangan kosong melompong. Tidak ada siapa pun. Berjalan ke dapur, Hazel melihat piring kosong bekas ikan yang dihabisi Lynx sebelumnya.
Tenyata bukan mimpi. Hanya saja keberadaan Lynx sudah tidak ada di rumah ini. Namun ini sedikit aneh, pasalnya Hazel tidak merasa senang saat tahu kalau pria itu ternyata benar-benar pergi.
“Benar, dia pasti akan pergi setelah dikatai seperti itu olehku. Meski dia bukan manusia seutuhnya, dia juga pasti memiliki perasaan,” gumam Hazel dengan pandangan sayu.
Sedetik kemudian, Hazel menggelengkan kepalanya. Menepis perasaan aneh yang menyelinap dalam dadanya.
“Tunggu, kenapa aku harus merasa sedih dan bersalah? Seharusnya aku senang dia sudah pergi. Dengan begitu, dia tidak akan membuatku repot lagi. Aku kembali hidup sendirian dengan kemiskinan yang menyiksaku di sini. Mungkin sebentar lagi aku akan mati karena kelaparan.”
Lamunan tak berujung itu akhirnya pecah setelah Hazel mendengar suara ketukan di pintu. Mungkin lebih tepatnya bukan ketukan, seperti ada yang memukul-mukul pintu dengan tempo tak beraturan. Yang pastinya, itu bukan seseorang yang ingin bertamu.
Apa mungkin babi hutan mencoba mendobrak pintu? Karena itu terdengar seperti sesuatu yang menyundul-nyundul pintu secara berulang kali.
Karena langit sudah menggelap, sebab matahari sudah terbenam, Hazel jadi sedikit takut untuk memeriksa ke depan sana. Tapi jika tidak dibuka dan dilihat sendiri ada apa di sana, suara benturan keras itu tidak kunjung berhenti.
Ketika Hazel perlahan mendekat ke arah pintu, lalu menempelkan telinganya ke papan pintu kayu tersebut. Hazel menemukan suara lain. Dugaannya kalau benturan tadi ulah dari seekor binatang, ternyata itu benar. Namun sepertinya bukan babi hutan.
Melainkan ... Seperti seekor anjing, mungkin?
Tapi tunggu, Hazel bisa memastikan kalau itu bukan anjing. Karena suaranya tidak dalam dan berat, lebih ke nyaring dan berisik.
Apa mungkin itu suara rubah?
Meraung nyaring dan juga sesekali melolong. Suaranya amat khas.
Karena tak mau menduga-duga lagi, dengan segera Hazel membuka pintu. Melihat sendiri kalau ternyata yang ada di depan pintu benarlah seekor rubah. Dan dapat dipastikan kalau itu rubah yang Hazel selamatkan malam kemarin.
Itu tandanya, dia adalah Lynx dalam wujud rubah.
Bukan hanya terkejut karena ternyata rubah tersebut kembali ke sini, Hazel juga tidak menyangka kalau ternyata Lynx pulang bukan tanpa alasan. Dalam ember yang dibawa oleh moncong rubah itu, ternyata banyak sekali ikan di dalamnya.
Bagaimana bisa Lynx mendapatkannya?
Hazel mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba untuk fokus. Tubuhnya berjongkok. Mencoba mensejajarkan tingginya dengan rubah bermata indah tersebut.
“Kau ... Dari mana bisa mendapatkan ikan sebanyak ini?” Hazel bertanya sedikit gugup.
Tapi tidak ada jawaban apa pun yang diberikan sang rubah. Hanya kembali melolong singkat. Mungkin jika dalam wujud rubah, Lynx tidak bisa menggunakan bahasa manusia.
Perhatian Hazel teralihkan oleh sesuatu yang lain. Ketika pandangannya menelisik ke seluruh tubuh rubah di depannya. Hazel baru menyadari kalau luka pada tubuh Lynx semakin bertambah parah.
Luka di kaki depan bagian kanannya semakin menganga lebar, kucuran darah pun terus keluar dari sana. Perban yang sebelumnya melekat sudah tidak ada lagi. Juga bagian sudut moncongnya pun kembali berdarah.
Banyak bulu rubah yang rontok, dan sedikit botak didekat ekor. Tidak tahu apa yang sudah dilalui Lynx sepanjang hari ini untuk mendapatkan seember ikan itu. Tapi yang jelas, Hazel tidak bisa membiarkannya terus terluka.
“Apa pun itu, kau harus diobati dulu. Ayo masuk, aku akan segera mengobatimu,” suruh Hazel, sudah membukakan pintu dengan lebar.
Namun sang rubah masih bergeming di tempat. Tatapan matanya kosong, tapi tampak berkaca-kaca. Pikirannya kembali melambung pada kejadian dimana Hazel memarahinya.
“Ada apa? Jangan membuang-buang darahmu dan membiarkan luka itu bertambah parah. Ayo cepat masuk,” bujuk Hazel lagi.
“Wfoof!”
“Wfoof!”
Rubah bernama Lynx itu membuang wajah ke samping, pura-pura merajuk. Hanya menggonggong singkat tanpa mau mendengarkan apa yang diperintahkan oleh Hazel.
Hembusan nafas berat pun dikeluarkan gadis itu, ia kembali berjongkok. Memang rasa kesalnya pada Lynx belum benar-benar hilang, tapi tetap saja ia masih mempunyai hati untuk menolong rubah yang terluka tersebut.
“Maafkan aku. Mari kita bicarakan kembali nanti. Sekarang luka-lukamu perlu diobati. Dengan ikan sebanyak ini, aku tidak akan kelaparan lagi. Aku akan membuat makanan enak untukmu juga. Jadi bagaimana? Penawaran ini tidak akan aku tawarkan lagi, lho.” Lagi, Hazel kembali membujuk.
Mendadak ekor rubah itu berdiri tegap, mengibas-ngibas senang. Netranya sudah kembali mendarat pada Hazel. Lalu masuk begitu saja ke dalam rumah. Setiap kali kakinya melangkah, tetesan darah memberi jejak pada lantai kayu yang dilewatinya.
“Dia memang pembuat masalah, tapi dia tahu caranya bertanggung jawab dengan baik,” gumam Hazel dalam hati, tak sadar bibirnya mengukir senyuman.
Mungkinkah ini pertanda baik bagi keduanya untuk berani membagi rahasia kehidupan masing-masing ke depannya nanti? Mengingat, tampaknya Hazel akan kembali mempertimbangkan keputusannya setelah melihat perjuangan rubah itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
gaby
Aq baru gabung ka, dr awal ceritanya bagus& menarik. Dan yg pasti blm ada typo sjauh ini bikin smakin menarik
2024-06-22
0