NovelToon NovelToon

Gadis Desa Dan Pangeran Rubah

Chapter 1 - Penuh Luka.

Pria tambun tampak mondar-mandir, raut wajahnya menahan kesal. Sesekali ia menendang angin, mengacak-acak rambut dan mengusap wajahnya dengan kasar. Melihat ke arah seorang gadis yang menghadapnya saat ini, semakin rasa kesalnya bertambah.

“Kau dipecat!”

Sebuah pernyataan tegas tersebut dilayangkan pada seorang gadis muda berperawakan mungil dengan penampilan acak-acakan. Rambut oranye bergelombangnya dibiarkan tergerai, wajahnya sedikit lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah.

Beberapa saat yang lalu, kekacauan terjadi di sebuah tempat kedai minuman keras. Dan kekacauan tersebut menyangkut si gadis. Beberapa pria sempat menyerangnya tanpa ampun.

“Aku yang menjadi korban, kenapa aku yang harus disingkirkan? Bahkan belum satu minggu aku bekerja di sini. Dan sekarang, Tuan ingin memecatku begitu saja?” Gadis itu mencoba mencari pembelaan untuk dirinya sendiri.

Pria pemilik kedai itu berkacak pinggang seraya menajamkan kedua matanya. “Begitu saja katamu?”

Tangannya menoyor kepala gadis itu, membuat tubuhnya hampir terhuyung. “Sebelum memutuskan untuk bekerja di sini, seharusnya kau sudah tahu ini tempat apa, 'kan? Ini kedai minuman keras. Sudah jelas kalau pelanggan lebih didominasi oleh pria.”

“Jangan bilang kau juga tidak tahu kalau para pria yang datang ke sini seringkali berbuat usil pada pelayan? Mereka bukan hanya tertarik untuk minum, tapi pada tubuhmu juga. Kalau kau tidak mau tubuhmu dijamah oleh mereka, maka jangan bekerja di sini lagi!” sambungnya tegas.

Jika memang begitu keadaannya, sepertinya gadis itu memilih ikhlas kehilangan pekerjaan. Karena dirinya tak mau membiarkan pria bertubuh buncit yang pastinya sudah memiliki istri dan anak itu meraba-raba tubuhnya dengan tampang tak bersalah.

Sungguh, sampai mati pun dia tidak akan menginjakkan kaki ke tempat itu lagi.

“Baik. Kalau begitu aku akan pergi. Terima kasih sudah pernah mau menerimaku bekerja di sini. Semoga harimu menyenangkan, Tuan,” ucap si gadis sambil membungkuk sopan.

Setelah melepas celemek di tubuhnya, ia segera mengambil jubah berbahan kulit miliknya. Buru-buru meninggalkan kedai karena sudah tak tahan menjadi pusat sorotan mata pria-pria nakal yang haus akan nafsu.

Gadis muda yang malang. Hidupnya berantakan setelah ibunya meninggal dan ayahnya kabur begitu saja entah kemana. Parahnya lagi, ia harus menanggung semua hutang milik ayahnya yang terkenal sebagai penjudi dan pemabuk berat.

Ia hidup sebatang kara di sebuah desa yang dipenuhi oleh orang-orang kasar dan kejam. Sulit baginya untuk tetap bertahan hidup. Tapi ia tidak punya pilihan untuk tetap melangkah. Setidaknya ia bisa bekerja dan mendapat upah untuk menyambung hidup.

Namun setelah dirinya dipecat dari kedai tadi, ia harus mencari pekerjaan kemana lagi? Berbagai macam pekerjaan ia lakukan, tapi tak selang beberapa lama ia terpaksa harus berhenti karena satu dan lain hal.

“Hei, kau yang memakai jubah coklat lusuh.”

Bariton berat yang tiba-tiba menyapa cukup membuatnya terkejut.

“Berhenti!”

Perintah tersebut membuat bulu kuduknya merinding. Bukan apa-apa, tapi ia merasakan firasat buruk jika dirinya menoleh ke belakang dan menghadap pria itu. Sehingga ia memilih untuk mempercepat langkah kakinya saja.

“Kubilang berhenti, Hazel!”

Kali ini suara seseorang itu lebih keras terdengar dan langsung bisa menghentikan langkah gadis di depan sana. Terlebih lagi, pria itu tahu nama si gadis. Itu tandanya mereka pasti saling mengenal, bukan?

Bukan karena sihir atau apa, tapi Hazel memang sulit melarikan diri dalam posisi ini. Kedua kakinya mematung di tempat, sulit untuk digerakkan. Alhasil ia hanya bisa mendengar langkah kaki di belakangnya yang kian datang mendekat.

Perlahan namun pasti, pria itu sekarang sudah ada tepat di samping Hazel. Tangannya menurunkan tudung jubah yang dikenakan Hazel, wajahnya mencondong lebih dekat padanya untuk memastikan bahwa dugaannya benar.

“Aku tahu, aku memang tidak pernah salah dalam mengenalimu. Hazel Loreana, putri dari si bajingan tua yang hobinya menghutang untuk berjudi dan bermain perempuan. Sekarang kau mau kabur kemana lagi?”

Glup.

Hazel menelan salivanya susah setengah mati. Ia tidak berani menggerakkan ekor matanya untuk melirik pria di sampingnya. Sebab ia tahu kalau pria tersebut adalah orang yang selama ini dirinya hindari.

“A-aku tidak kabur!” Hazel mencoba berdalih.

“Berpindah-pindah rumah, bahkan kau sudah ada di desa ini, padahal bulan kemarin aku hampir gila mencarimu di desa seberang. Apa itu yang kau sebut tidak kabur, hah?”

Baik, jika sudah seperti ini Hazel tidak punya pilihan untuk menyangkal dengan cara apa pun. Ia tahu dirinya salah karena sudah menghindar dari masalah. Tapi Hazel masih tidak bisa menerima bahwa dirinya dijadikan bahan jaminan hutang ayahnya.

Grep.

Tangan besar pria itu sudah menyentuh belakang kepala Hazel. “Dasar gadis nakal. Padahal jika kau tak mampu membayar semua hutang ayahmu, kau hanya perlu bersedia menjadi mainan istimewaku. Kau bisa bekerja untukku, menghasilkan banyak uang dengan mudah  ... Menggunakan tubuhmu.”

PLAK!

“Sampai mati pun aku tidak akan pernah sudi menerima tawaran gilamu itu, Tuan!” tepis Hazel murka setelah memberi tamparan keras.

Pria itu menyentuh pipinya yang berdenyut perih, lalu tersenyum menyeringai. “Sudah miskin, kau masih mau bertingkah?!”

Dalam hitungan detik, tangan si pria sudah menjambak rambut Hazel. Terus menariknya ke belakang sampai tubuh Hazel melengkung sambil meringis menahan tangis dan sakit.

“Karena aku masih punya hati, jadi aku akan memberimu waktu sedikit lagi. Bulan depan, kau harus membayar semua hutang ayahmu termasuk bunganya. Kalau sampai kau tidak membayar dan berani kabur lagi, aku tak akan segan langsung menyeretmu untuk ikut bersamaku,” ancamnya kemudian.

Hazel hanya mengangguk-angguk saja.

Cup.

Sebuah ciuman di bibir berhasil pria bertubuh tinggi kurus itu lakukan. Tak sampai di situ, tangannya yang sejak tadi menjambak rambut Hazel, kini sudah turun untuk menepuk bokong gadis itu dengan kuat.

“Ingat, bulan depan.” Pria itu mengerling sebelum akhirnya memutuskan menghilang dari pandangan.

Hazel kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia terduduk lesu di tanah sembari menangis sesenggukan. Punggung tangannya ia gosok-gosokan pada bibirnya, merasa jijik telah dicium oleh pria tadi.

“Sialan! Aku tidak akan pernah memaafkanmu!”

Percuma memaki sampai mulut berbusa pun, karena faktanya Hazel tak punya daya untuk membuat keadaan berbalik. Seolah-olah Tuhan memintanya untuk terus menjalani kehidupan memuakkan sekaligus menyedihkan ini.

Hazel memaksakan diri untuk kembali berjalan. Malam sudah semakin larut, tidak mungkin dirinya terus berkutat di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu. Karena bukannya menghadirkan simpati orang lain, bisa saja dirinya mengundang perhatian nafsu dari pria hidung belang.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Hazel terus merenung. Air mata sudah mengering, tapi kedua matanya jadi terlihat sembab. Raganya sudah lelah dan terus menggebukan rasa sakit dari luka yang tertanam, pun dengan jiwanya yang sudah serupa dengan kayu yang lapuk.

Tapi samar-samar dirinya mendengar suara sesuatu. Bukan suara manusia yang selalu berisik karena terus mengoceh. Suara yang didengarnya ini seperti seekor hewan yang merintih kesakitan. Meraung lirih seolah meminta pertolongan.

Hazel menghentikan langkah kaki untuk menajamkan pendengaran. Perlahan ia menggerakan kembali kedua kakinya ke sumber suara. Tepat ke sebuah semak-semak belukar yang gelap dan terlihat menakutkan.

Namun setelah didekati dan dibuka semak-semak tersebut, Hazel cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bukan seekor anjing, bukan juga kucing. Tubuhnya tidak terlalu besar, tapi Hazel tahu itu termasuk hewan yang berbahaya.

“Seekor rubah yang terluka?” Hazel bergumam sedikit merasa takut.

Ia menduga kalau rubah itu peliharaan seseorang, sebab sebuah kalung melingkar pada leher rubah tersebut, selain itu pancaran mata rubah tersebut tampak memelas dan menyedihkan, Hazel berpikir sepertinya ia harus menolongnya.

Tubuh Hazel sudah berjongkok, mengulurkan tangan pada rubah yang terluka di dalam semak sana. Tepat didekat leher dan di kaki kanan depan rubah itu terluka cukup parah. Ia tidak yakin bisa mengobatinya, tapi yang jelas rubah itu harus segera diberi pertolongan.

Setelah berhasil dibawa ke dalam gendongannya, rubah itu tampak tenang. Suara rintihannya sudah melemah, jadi Hazel pun tidak terlalu takut. Untuk menenangkannya, tangan Hazel bergerak untuk mengelusi bulu punggung rubah tersebut.

“Aku tidak janji bisa membuatmu sembuh, tapi tolong bertahanlah sedikit lagi,” bisik Hazel.

***

Chapter 2 - Rubah Jelmaan Manusia.

Ketika Hazel sampai di rumah tua yang ia sewa, hujan mendadak turun deras. Kalau sudah seperti ini keadaannya, maka banyak sekali celah atap yang bocor. Pagi hari nanti pasti lantai becek, hal itu paling memuakkan bagi Hazel untuk membersihkannya.

“Oke, mari jangan mengeluh apa pun. Aku harus mengobati rubah ini terlebih dahulu,” gumamnya sembari menaruh rubah kesakitan itu ke atas sofa tua berbau lembab dan lapuk.

Hazel berjalan ke sana kemari mencari obat yang bisa ia pakai. Karena tak cukup peralatan medis, jadi gadis itu memakai obat tradisional yang dirinya ketahui. Menumbuk dedaunan yang dipercaya bisa menghentikan pendarahan.

Setelah semuanya ia persiapkan, buru-buru Hazel kembali ke ruang tengah. Tidak tahu bisa diselamatkan atau tidak rubah yang sudah sekarat itu, setidaknya Hazel sudah berusaha sebisa dirinya.

Saat obat yang sudah ditumbuk itu dioleskan pada luka-luka di tubuh sang rubah, suara jeritan merintih cukup terdengar nyaring. Untuk menenangkan, Hazel menempelkan dahinya pada dahi rubah itu sambil membisikkan kata-kata penenang.

Tepat di kaki depan sebelah kanan, leher dan ternyata dibagian ujung mulut dekat kumis panjang rubah itu pun juga terluka cukup parah. Dengan telaten Hazel mengoleskannya.

Setelah semuanya dioleskan tanpa ada yang terlewat, Hazel membungkusnya dengan perban lama yang ia punya. Perban bermotif bunga-bunga peninggalan ibunya saat hidup dulu.

“Sudah selesai. Aku sudah membantumu sebisa mungkin. Kuharap kau bisa segera sembuh,” harap Hazel sebelum akhirnya berdiri dari posisi jongkoknya, berniat untuk membersihkan diri ke belakang.

Karena seluruh tubuhnya terasa sakit dan remuk, Hazel hanya mandi sekilas. Yang terpenting ia harus mengganti bajunya. Saat berdiri di depan cermin, ia melihat pantulan dirinya yang terlihat berantakan karena penuh luka.

“Hanya lebam, beberapa hari kemudian akan hilang. Aku tidak perlu risau bukan?” Hazel tersenyum untuk menguatkan diri sendiri.

Berjalan ke ruang tengah untuk menuju kamar, Hazel beradu pandang dengan manik sang rubah yang berbinar. Seolah meminta untuk ikut juga dibawa ke kamar.

“Baiklah. Ayo kita tidur bersama. Kau tidak akan menyakiti aku yang telah menolongmu kan?”

Bagaikan anjing yang paham dengan apa yang dikatakan Tuannya, rubah itu menyahut dengan auman singkat yang lucu.

Hazel tertawa sedikit, dirinya baru sadar kalau suara rubah itu sangatlah menggemaskan. “Ya, jika seandainya kau ingin menyakitiku pun sebenarnya aku tidak peduli. Aku selalu berharap untuk tidak bertemu pagi yang baru, sebab aku sudah tidak lagi ingin membuka mata untuk menjalani dunia yang menyedihkan ini.”

Tangannya mengulur pada rubah itu, membawanya ke dalam gendongan. Sangat berhati-hati ketika ia membawanya, sebisa mungkin tidak ingin menyakiti. Dan sepertinya sang rubah pun dapat merasakan perhatian hangat yang diberikan Hazel.

“Hanya kasur jelek ini yang aku punya. Tapi setidaknya kita bisa berbagi tempat tidur di sini. Kasurnya memang dingin, tapi tidak lebih dingin dari angin malam di luar sana,” kata Hazel mengoceh sendirian, seolah menganggap rubah itu manusia.

Mereka tidur berhadapan. Hazel juga ikut menyelimuti rubah dengan warna mata yang cantik itu. Dirinya baru sadar kalau ternyata kedua warna mata rubah itu tak sama. Lebih tak sadar lagi bahwasanya warna rubah pada umumnya tidak seperti itu.

Mata kanan berwarna aquamarine, yang sebelah kiri berwarna tanzanite. Dalam pencahayaan remang-remang seperti ini, kedua mata tersebut seolah bercahaya. Sungguh, itu berkilau cantik.

Namun ada yang lebih menarik perhatian Hazel. Liontin yang terpasang pada leher rubah itu. Sangat indah dan Hazel yakin kalau liontin itu pasti harganya cukup mahal. Dilihat dari warna batu liontin yang oranye gelap dengan tali yang penuh ukiran rumit dan sulit dimengerti, sepertinya itu bukan liontin biasa.

“Hei, sepertinya Tuanmu sangat menyayangimu. Liontin ini pasti lebih mahal dari seluruh yang aku miliki di dunia ini. Kau rubah yang beruntung, lebih dari aku yang bisa dibilang manusia dengan hidup seperti sampah,” lirih Hazel meracau.

Entahlah, ia hanya ingin mengatakannya saja tanpa punya pikiran apa-apa. Toh dirinya hanya berbicara pada seekor rubah, apa yang bisa Hazel harapkan?

“Tidurlah. Setelah sembuh nanti, pergi dan kembalilah pada Tuanmu.”

***

Sinar pagi yang cerah mulai menelusup masuk ke dalam kamar melalui celah jendela kayu yang berongga. Membuat gadis cantik yang masih terlelap seraya mendengkur halus jadi terusik.

Kicauan burung yang merdu di luar sana pun sudah terdengar saling bersahutan. Itu tandanya sang surya sudah semakin beranjak naik. Mau tak mau Hazel harus membuka matanya, harapannya yang ingin berhenti dengan pagi yang baru ternyata sudah sirna.

Dahinya mengerut-ngerut, alis cokelatnya pun ikut menyatu. Kelopak mata dengan bulu mata yang mengibar panjang pun tampak berusaha untuk terbuka. Sampai akhirnya Hazel membuka matanya secara sempurna, masih mencoba beradaptasi dengan cahaya di sekitar.

“Huh, ternyata Tuhan masih menginginkan aku menjadi pecundang dengan menjalani kehidupan nelangsa seperti ini.”

Sudah biasa jika Hazel terus mengeluh dan mendumel. Dia itu gadis muda yang masih labil sekaligus manusia biasa yang amat perasa. Ditambah keadaan hidupnya memang selalu membuatnya harus terus menghela nafas.

Saat Hazel sudah duduk dan mencoba membuka jendela di sampingnya, membiarkan cahaya matahari lebih banyak masuk. Sebuah erangan berat terdengar di samping tubuhnya.

Karena reflek, Hazel langsung menoleh untuk memeriksa. Dan betapa terkejutnya ia melihat seorang laki-laki bertelanjang dada asik tertidur di sampingnya sejak tadi. Detik itu juga Hazel langsung terperangah lebar.

Kenapa Hazel baru sadar kehadiran laki-laki itu sekarang?

“AAA!!!”

“Siapa kau?!”

“Kenapa kau bisa ada di kamarku? Dasar brengsek! Pasti kau berusaha menyelinap saat malam tadi. Apa yang sudah kau lakukan, hah?!”

Hazel tidak bisa mengontrol diri. Pikirannya langsung ke mana-mana. Tangannya gemetaran hanya dengan membayangkan apa yang bisa laki-laki itu lakukan tadi malam ketika dirinya sedang tertidur pulas.

Karena merasa terganggu dengan teriakan Hazel yang pengang, laki-laki itu membuka matanya. Memaksakan untuk duduk. Lalu mengucek matanya sebentar agar bisa melihat dengan jelas.

Saliva yang menuruni kerongkongan terasa sulit diterima, Hazel sempat melotot beberapa detik melihat dada bidang dengan perut kotak-kotak terbentuk sempurna milik laki-laki yang tidak diketahui siapa namanya itu.

Namun luka-luka yang ada pada tubuh laki-laki itu terasa tidak asing, terlebih lagi perban yang menyelimuti luka tersebut adalah perban miliknya yang ia gunakan pada luka di tubuh rubah semalam.

Hazel langsung menduga-duga, mungkinkah ...

“Apa yang kau bicarakan? Memangnya kau tidak ingat sama sekali? Akulah rubah yang kau selamatkan tadi malam. Kau mengobatiku, kau juga yang membawaku ke tempat tidur ini,” jelas laki-laki tampan itu.

“A-apa?! Tidak mungkin!” Hazel tidak bisa mempercayai apa yang dikatakannya, karena sejak dulu dirinya tidak pernah menganggap mahluk seperti itu ada di zaman ini.

“Perhatikan baik-baik. Atau cuci wajahmu dulu agar bisa melihat dengan benar. Liontin yang kau bilang indah, ini melekat di leherku. Semua luka-luka ini sama persis dengan luka rubah yang kau obati tadi malam. Apa lagi yang coba kau sangkal?”

Itu semua benar. Tapi tetap saja Hazel perlu waktu untuk beradaptasi dengan keadaan seperti ini. Dunia yang ia pijaki bukanlah dunia sihir, bagaimana bisa dirinya bertemu dengan mahluk macam itu sekarang ini?

“Apa pun itu, menyingkirlah dahulu dari kasurku!” suruh Hazel seraya menarik selimut miliknya, guna menutupi tubuh seperti sedang bertelanjang.

Padahal Hazel berpakaian lengkap. Tapi dirinya sangat ketakutan.

Dan tahu apa yang terjadi sebaliknya? Semakin selimut itu ditarik, maka bagian selimut yang menutupi tubuh laki-laki itu ikut tersingkap. Sehingga menampilkan jelas seluruh bagian tubuhnya untuk terekspos.

“Kau mau aku menunjukan ini dengan terus menarik selimut seperti itu?”

Pupil mata Hazel kian melebar. Dirinya baru sadar kalau ternyata tubuh bagian bawah laki-laki itu tidak tertutup oleh satu helai benang pun. Ia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berteriak sembari mengumpat ke dalam selimut.

“AAAAA!!!”

“Menyebalkan! Kenapa aku bisa bertemu orang sepertimu? Sana pakai baju terlebih dahulu,” titahnya kemudian.

“Oh, ayolah. Jangan berlebihan. Aku seperti ini hanya pada siang hari. Saat malam, aku akan kembali pada wujud rubah kembali.”

Hazel berdecak kesal saat mendengarnya, “Ck! Lalu kau mau aku melihatmu terus seperti itu sepanjang hari ini?”

***

Chapter 3 - Membuat Kesepakatan.

Bergerak menuruni kasur, Hazel sudah melemparkan selimut itu pada pria aneh yang memasang wajah polos tanpa merasa malu sama sekali. Sedang dirinya segera bergegas mencari pakaian yang bisa ia pinjamkan padanya.

Sesekali Hazel menggelengkan kepalanya, mengusir bayang-bayang pemandangan yang ia lihat secara tak sengaja beberapa saat lalu. Itu memang bukan pengalaman pertamanya untuk melihat hal semacam itu, tapi tetap saja

rasanya sangat menggelikan.

“Huh! Aku hanya memiliki tiga pasang baju dan dua celana panjang. Ini pun milik Ayah yang tak sengaja terbawa olehku. Bajunya terlihat kecil untuk ukuran tubuhnya itu, bagaimana jika tidak muat?” Hazel bergumam kecil dengan terus mengamati baju di tangannya.

Kemudian pandangannya secara bergantian menatap wajah pria di sana dengan baju berwarna hijau lumut yang sudah lusuh dihadapannya. Tidak ada pilihan lain, muat atau tidak muat, dia harus tetap memakainya.

Pria berambut gondrong itu memiringkan kepalanya. “Ada apa?”

Hazel sudah membalikan tubuhnya, berderap ke arahnya lalu menyerahkan pakaian itu padanya. “Pakailah. Hanya ini yang aku punya. Kau tidak mungkin memakai pakaian perempuan kan?”

Dia mengangguk patuh. Mengambil satu setel pakaian itu dari tangan Hazel. Lalu tanpa aba-aba langsung berdiri begitu saja, berniat untuk segera mengenakan pakaian tersebut. Tapi dengan bodohnya, ia tidak sadar kalau selimut yang menempel di tubuhnya sudah lungsur ke lantai.

Sontak Hazel yang mendapati pemandangan itu untuk kedua kalinya, kembali menjerit sembari menempelkan kedua tangan di wajahnya. Wajahnya berubah merah sempurna karena malu.

“KYAAA!!!”

“Dasar bodoh! Mataku rusak karenamu!”

Pria dengan ekspresi polos tersebut menunjuk dirinya sendiri, tidak bisa mencerna dengan baik ucapan Hazel barusan. “Aku merusak matamu? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?”

Tangan besar nan berurat itu menyentuh lengan Hazel, ingin melihat wajah gadis cantik itu. Hingga ketika manik mereka bersirobok satu sama lain, Hazel malah melototkan matanya. Ingin rasanya mendorong jauh tubuh tinggi pria di depannya ini, tapi ia sadar diri kalau tenaganya tidak sekuat itu.

“Hei, katakan padaku. Aku melakukan apa sampai membuat matamu rusak?”

Dia semakin mendekatkan tubuhnya pada Hazel, mengikis jarak yang membentang diantara wajah mereka, nyaris saja ujung hidung mereka bersentuhan jika tidak buru-buru Hazel memundurkan kepalanya.

Hazel tidak berani menurunkan pandangan, karena dirinya tahu kalau laki-laki dihadapannya ini pasti belum memakai baju. Sehingga yang bisa ia lakukan untuk keluar dari situasi seperti ini hanya dengan satu cara saja.

PLAK!

Suara nyaring itu merubah atmosfer ruangan menjadi tegang. Terlihat sekali dari sorot mata pria itu tampak terkejut sekaligus bingung. Sedangkan Hazel, dia langsung membelakangi tubuh lawan bicaranya tersebut.

“Pakailah baju itu, setelahnya kau harus pergi dari sini. Aku tidak mau melihat dirimu lagi. Tidak peduli jika kau memang benar seekor rubah malam tadi. Karena faktanya, lukamu tidak menghambatmu untuk berkeliaran di luar sana kan?” perintah Hazel, terdengar dingin.

Selepas mengatakannya, Hazel berlalu pergi. Meninggalkan laki-laki yang masih membeku di tempat seorang diri di dalam kamar. Hanya ada suara decitan pintu kayu tua yang tertutup ketika Hazel benar-benar hilang dari pandangan.

Hazel tidak merasa bersalah sama sekali setelah menampar pria tadi. Karena menurutnya, ia pantas melakukannya pada pria dengan tingkah bodoh seperti itu. Sampai detik ini jika dipikir-pikir, semua ini berasa tidak masuk akal.

Kemunculannya yang sangat mengejutkan, membuat Hazel harus berpikir keras dan mencoba percaya kalau mahluk yang konon katanya pernah hidup di zaman dulu sekarang kembali ada pada zaman ini.

“Tapi jika dilihat dari sisi mana pun, dia persis seperti manusia pada umumnya. Dia tidak memiliki telinga runcing bagaikan rubah, atau ekor yang bergerak-gerak di belakang tubuhnya. Hanya kebetulan ciri-cirinya saja yang mirip dengan kondisi rubah tadi malam. Dia tidak sedang menipuku kan?” Hazel bermonolog sendirian di ruang tengah.

Siapa sangka, ternyata pria yang berada di dalam kamar tadi sekarang sudah ada di belakang Hazel secara mengejutkan. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu.

“Maksudmu ini?”

Suara berat sedikit serak itu sukses membuat Hazel jantungan. Karena suaranya seperti tepat berada di telinganya. Ketika tubunya sudah berbalik karena reflek, mulut Hazel menganga lebar dengan kedua mata yang membelalak tanpa sadar.

Sepasang telinga runcing muncul di sisi kanan kiri kepala milik pria itu, dan ketika tubuhnya berputar, Hazel juga melihat ekor panjang lebat berwarna oranye terang itu bergerak-gerak seperti ekor kucing yang sedang senang.

“Bagaimana? Apa kau sudah benar-benar percaya sekarang? Mungkin ini memang aneh bagimu, tapi jika kau masih penasaran, aku akan menjelaskan semuanya secara runtut. Tapi sebagai gantinya biarkan aku tinggal sementara denganmu di sini,” ungkapnya dengan pemberi penawaran.

Hazel mengerenyit sambil bersidekap di depan dada. Dia tidak langsung menjawab. Ia menelisik secara berulang kali dari ujung rambut sampai ujung kaki pria itu dengan teliti. Pakaian milik ayahnya sudah melekat pada tubuh atletis pria tersebut.

Memang terlihat sempit dan tampaknya tidak cukup nyaman untuk dipakai, karena benar-benar mencetak jelas semua otot tangan dan perut. Tapi setidaknya itu lebih baik ketimbang tidak memakai apa-apa.

Gadis berambut panjang bergelombang itu membuang muka, terlihat angkuh. “Tch, aku tidak akan terpedaya olehmu. Apa untungnya setelah aku mengetahui semua cerita tentangmu? Itu tidak ada kaitannya denganku. Jadi silakan pergi. Dan kau harus tau, mahluk sepertimu bisa saja menjadi buruan para warga di sini. Aku hanya bisa menyarankanmu untuk hati-hati.”

Pria yang masih belum diketahui namanya itu seketika menyembunyikan telinga runcing dan ekor panjangnya. Kembali pada mode manusia normal. Tanpa ragu dia berlutut untuk memohon pada Hazel.

“Ayolah, kumohon. Aku bisa melakukan apa pun untuk membantumu di sini. Suruh aku apa saja, maka aku akan melakukannya tanpa protes. Atau jika kau ingin meminta sesuatu dariku, aku akan mengabulkannya,” pintanya dengan wajah memelas.

Hazel berpikir kembali. Ia memang bisa memanfaatkan tenaga pria itu untuk melakukan sesuatu. Dengan tingkah polos yang sepertinya mudah diatur, Hazel jadi bisa bertindak semaunya. Dan ini terdengar menyenangkan jika dilakukan.

Tapi selain itu, Hazel ingin meminta sesuatu dari pria itu. Ia tahu permintaannya ini mungkin berlebihan dan bisa saja pria itu tidak memberikannya. Lalu jika itu terjadi, maka Hazel punya alasan untuk benar-benar mengusirnya dari sini.

Kedua kaki Hazel berjalan memutari tubuh pria yang masih berlutut di bawah sana. Ekspresi Hazel benar-benar menjiwai peran antagonis. Padahal hatinya serapuh kertas yang mudah terbakar. Tapi sesekali Hazel juga ingin merasakan hal ini.

“Bagaimana dengan liontinmu itu? Apa aku bisa memilikinya?”

Mimik pria itu seketika berubah saat mendengarnya. Bukannya tak ingin, hanya saja ada satu dan dua lain hal yang membuatnya tidak bisa memberikan liontin itu dengan mudah.

“Sudah kutebak, kau pasti tidak akan bisa memberiku liontin mahal itu. Sudahlah, pergi sana. Jika kau ingin tinggal di sini, setidaknya kau bisa berguna untuk membantu perekonomian hidupku,” usir Hazel, dirinya hendak pergi, tapi segera ditahan oleh lengan besar milik pria itu.

“Jika aku bisa memberikannya, pasti aku tidak akan ragu untuk memberikannya padamu. Tapi untuk sekarang ini aku tidak bisa melakukannya, bagaimana jika kau menunggu sampai aku bisa melepaskannya?”

Hazel menepis lengan besar yang menggelayutinya dengan kasar. “Sudahlah, hentikan. Kau---”

“Liontin ini sudah seperti nyawaku sendiri. Kau tahu, kalau aku ini bukan manusia seutuhnya. Tanpa liontin ini, aku tidak bisa berubah menjadi manusia. Sebagai gantinya, aku akan bekerja dan menghasilkan uang untukmu. Aku janji aku tidak akan menyusahkan,” selanya untuk menjelaskan.

Helaan nafas panjang Hazel keluarkan. Ia memijat pelipisnya, berupaya mengurangi pening di kepala. Perlu waktu bagi dirinya memahami semua ini. Tapi karena pikirannya sudah penuh dengan banyak hal, sulit baginya untuk membuat keputusan sambil memikirkan konsekuensi bagi kedepannya nanti.

Untuk sekarang, mungkin tak apa jika mengizinkan mahluk aneh itu tinggal bersamanya. Selagi bisa menguntungkan, maka Hazel tidak akan membuangnya. Setidaknya pria itu bisa membantunya untuk mengurus dan membersihkan rumah.

“Ambil ember dan lap di belakang,” suruh Hazel tiba-tiba.

“Eh?” Wajah pria itu terlihat cengo.

“Kenapa? Kau harus membersihkan genangan bekas air hujan di dalam rumah. Jangan bermalas-malasan, karena aku tidak mau menerima beban pemalas,” ketusnya seraya mengangkat kakinya untuk pergi menjauh.

Sedang pria itu yang mengetahui kalau ternyata Hazel sudah memberi izin untuk tinggal di sini, langsung berjingkrak riang. Berputar-putar di tempat untuk mengekspresikan rasa senangnya yang berlebih.

“Aku juga benci beban yang terlalu aktif dan berisik.” Hazel kembali bersuara, secara mendadak mampu membuat pria di sana langsung terdiam di detik itu juga.

Pria itu mengusap tengkuknya, merasa canggung. Matanya melirik-lirik punggung Hazel. “Baiklah, aku tidak akan banyak berbicara lagi.”

“... Ngomong-ngomong kau tidak ingin tahu siapa namaku? Kita sudah tinggal serumah, tapi tidak tahu nama satu sama lain. Bukankah itu aneh?”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!