Ketika Hazel sampai di rumah tua yang ia sewa, hujan mendadak turun deras. Kalau sudah seperti ini keadaannya, maka banyak sekali celah atap yang bocor. Pagi hari nanti pasti lantai becek, hal itu paling memuakkan bagi Hazel untuk membersihkannya.
“Oke, mari jangan mengeluh apa pun. Aku harus mengobati rubah ini terlebih dahulu,” gumamnya sembari menaruh rubah kesakitan itu ke atas sofa tua berbau lembab dan lapuk.
Hazel berjalan ke sana kemari mencari obat yang bisa ia pakai. Karena tak cukup peralatan medis, jadi gadis itu memakai obat tradisional yang dirinya ketahui. Menumbuk dedaunan yang dipercaya bisa menghentikan pendarahan.
Setelah semuanya ia persiapkan, buru-buru Hazel kembali ke ruang tengah. Tidak tahu bisa diselamatkan atau tidak rubah yang sudah sekarat itu, setidaknya Hazel sudah berusaha sebisa dirinya.
Saat obat yang sudah ditumbuk itu dioleskan pada luka-luka di tubuh sang rubah, suara jeritan merintih cukup terdengar nyaring. Untuk menenangkan, Hazel menempelkan dahinya pada dahi rubah itu sambil membisikkan kata-kata penenang.
Tepat di kaki depan sebelah kanan, leher dan ternyata dibagian ujung mulut dekat kumis panjang rubah itu pun juga terluka cukup parah. Dengan telaten Hazel mengoleskannya.
Setelah semuanya dioleskan tanpa ada yang terlewat, Hazel membungkusnya dengan perban lama yang ia punya. Perban bermotif bunga-bunga peninggalan ibunya saat hidup dulu.
“Sudah selesai. Aku sudah membantumu sebisa mungkin. Kuharap kau bisa segera sembuh,” harap Hazel sebelum akhirnya berdiri dari posisi jongkoknya, berniat untuk membersihkan diri ke belakang.
Karena seluruh tubuhnya terasa sakit dan remuk, Hazel hanya mandi sekilas. Yang terpenting ia harus mengganti bajunya. Saat berdiri di depan cermin, ia melihat pantulan dirinya yang terlihat berantakan karena penuh luka.
“Hanya lebam, beberapa hari kemudian akan hilang. Aku tidak perlu risau bukan?” Hazel tersenyum untuk menguatkan diri sendiri.
Berjalan ke ruang tengah untuk menuju kamar, Hazel beradu pandang dengan manik sang rubah yang berbinar. Seolah meminta untuk ikut juga dibawa ke kamar.
“Baiklah. Ayo kita tidur bersama. Kau tidak akan menyakiti aku yang telah menolongmu kan?”
Bagaikan anjing yang paham dengan apa yang dikatakan Tuannya, rubah itu menyahut dengan auman singkat yang lucu.
Hazel tertawa sedikit, dirinya baru sadar kalau suara rubah itu sangatlah menggemaskan. “Ya, jika seandainya kau ingin menyakitiku pun sebenarnya aku tidak peduli. Aku selalu berharap untuk tidak bertemu pagi yang baru, sebab aku sudah tidak lagi ingin membuka mata untuk menjalani dunia yang menyedihkan ini.”
Tangannya mengulur pada rubah itu, membawanya ke dalam gendongan. Sangat berhati-hati ketika ia membawanya, sebisa mungkin tidak ingin menyakiti. Dan sepertinya sang rubah pun dapat merasakan perhatian hangat yang diberikan Hazel.
“Hanya kasur jelek ini yang aku punya. Tapi setidaknya kita bisa berbagi tempat tidur di sini. Kasurnya memang dingin, tapi tidak lebih dingin dari angin malam di luar sana,” kata Hazel mengoceh sendirian, seolah menganggap rubah itu manusia.
Mereka tidur berhadapan. Hazel juga ikut menyelimuti rubah dengan warna mata yang cantik itu. Dirinya baru sadar kalau ternyata kedua warna mata rubah itu tak sama. Lebih tak sadar lagi bahwasanya warna rubah pada umumnya tidak seperti itu.
Mata kanan berwarna aquamarine, yang sebelah kiri berwarna tanzanite. Dalam pencahayaan remang-remang seperti ini, kedua mata tersebut seolah bercahaya. Sungguh, itu berkilau cantik.
Namun ada yang lebih menarik perhatian Hazel. Liontin yang terpasang pada leher rubah itu. Sangat indah dan Hazel yakin kalau liontin itu pasti harganya cukup mahal. Dilihat dari warna batu liontin yang oranye gelap dengan tali yang penuh ukiran rumit dan sulit dimengerti, sepertinya itu bukan liontin biasa.
“Hei, sepertinya Tuanmu sangat menyayangimu. Liontin ini pasti lebih mahal dari seluruh yang aku miliki di dunia ini. Kau rubah yang beruntung, lebih dari aku yang bisa dibilang manusia dengan hidup seperti sampah,” lirih Hazel meracau.
Entahlah, ia hanya ingin mengatakannya saja tanpa punya pikiran apa-apa. Toh dirinya hanya berbicara pada seekor rubah, apa yang bisa Hazel harapkan?
“Tidurlah. Setelah sembuh nanti, pergi dan kembalilah pada Tuanmu.”
***
Sinar pagi yang cerah mulai menelusup masuk ke dalam kamar melalui celah jendela kayu yang berongga. Membuat gadis cantik yang masih terlelap seraya mendengkur halus jadi terusik.
Kicauan burung yang merdu di luar sana pun sudah terdengar saling bersahutan. Itu tandanya sang surya sudah semakin beranjak naik. Mau tak mau Hazel harus membuka matanya, harapannya yang ingin berhenti dengan pagi yang baru ternyata sudah sirna.
Dahinya mengerut-ngerut, alis cokelatnya pun ikut menyatu. Kelopak mata dengan bulu mata yang mengibar panjang pun tampak berusaha untuk terbuka. Sampai akhirnya Hazel membuka matanya secara sempurna, masih mencoba beradaptasi dengan cahaya di sekitar.
“Huh, ternyata Tuhan masih menginginkan aku menjadi pecundang dengan menjalani kehidupan nelangsa seperti ini.”
Sudah biasa jika Hazel terus mengeluh dan mendumel. Dia itu gadis muda yang masih labil sekaligus manusia biasa yang amat perasa. Ditambah keadaan hidupnya memang selalu membuatnya harus terus menghela nafas.
Saat Hazel sudah duduk dan mencoba membuka jendela di sampingnya, membiarkan cahaya matahari lebih banyak masuk. Sebuah erangan berat terdengar di samping tubuhnya.
Karena reflek, Hazel langsung menoleh untuk memeriksa. Dan betapa terkejutnya ia melihat seorang laki-laki bertelanjang dada asik tertidur di sampingnya sejak tadi. Detik itu juga Hazel langsung terperangah lebar.
Kenapa Hazel baru sadar kehadiran laki-laki itu sekarang?
“AAA!!!”
“Siapa kau?!”
“Kenapa kau bisa ada di kamarku? Dasar brengsek! Pasti kau berusaha menyelinap saat malam tadi. Apa yang sudah kau lakukan, hah?!”
Hazel tidak bisa mengontrol diri. Pikirannya langsung ke mana-mana. Tangannya gemetaran hanya dengan membayangkan apa yang bisa laki-laki itu lakukan tadi malam ketika dirinya sedang tertidur pulas.
Karena merasa terganggu dengan teriakan Hazel yang pengang, laki-laki itu membuka matanya. Memaksakan untuk duduk. Lalu mengucek matanya sebentar agar bisa melihat dengan jelas.
Saliva yang menuruni kerongkongan terasa sulit diterima, Hazel sempat melotot beberapa detik melihat dada bidang dengan perut kotak-kotak terbentuk sempurna milik laki-laki yang tidak diketahui siapa namanya itu.
Namun luka-luka yang ada pada tubuh laki-laki itu terasa tidak asing, terlebih lagi perban yang menyelimuti luka tersebut adalah perban miliknya yang ia gunakan pada luka di tubuh rubah semalam.
Hazel langsung menduga-duga, mungkinkah ...
“Apa yang kau bicarakan? Memangnya kau tidak ingat sama sekali? Akulah rubah yang kau selamatkan tadi malam. Kau mengobatiku, kau juga yang membawaku ke tempat tidur ini,” jelas laki-laki tampan itu.
“A-apa?! Tidak mungkin!” Hazel tidak bisa mempercayai apa yang dikatakannya, karena sejak dulu dirinya tidak pernah menganggap mahluk seperti itu ada di zaman ini.
“Perhatikan baik-baik. Atau cuci wajahmu dulu agar bisa melihat dengan benar. Liontin yang kau bilang indah, ini melekat di leherku. Semua luka-luka ini sama persis dengan luka rubah yang kau obati tadi malam. Apa lagi yang coba kau sangkal?”
Itu semua benar. Tapi tetap saja Hazel perlu waktu untuk beradaptasi dengan keadaan seperti ini. Dunia yang ia pijaki bukanlah dunia sihir, bagaimana bisa dirinya bertemu dengan mahluk macam itu sekarang ini?
“Apa pun itu, menyingkirlah dahulu dari kasurku!” suruh Hazel seraya menarik selimut miliknya, guna menutupi tubuh seperti sedang bertelanjang.
Padahal Hazel berpakaian lengkap. Tapi dirinya sangat ketakutan.
Dan tahu apa yang terjadi sebaliknya? Semakin selimut itu ditarik, maka bagian selimut yang menutupi tubuh laki-laki itu ikut tersingkap. Sehingga menampilkan jelas seluruh bagian tubuhnya untuk terekspos.
“Kau mau aku menunjukan ini dengan terus menarik selimut seperti itu?”
Pupil mata Hazel kian melebar. Dirinya baru sadar kalau ternyata tubuh bagian bawah laki-laki itu tidak tertutup oleh satu helai benang pun. Ia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berteriak sembari mengumpat ke dalam selimut.
“AAAAA!!!”
“Menyebalkan! Kenapa aku bisa bertemu orang sepertimu? Sana pakai baju terlebih dahulu,” titahnya kemudian.
“Oh, ayolah. Jangan berlebihan. Aku seperti ini hanya pada siang hari. Saat malam, aku akan kembali pada wujud rubah kembali.”
Hazel berdecak kesal saat mendengarnya, “Ck! Lalu kau mau aku melihatmu terus seperti itu sepanjang hari ini?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments