Terpaksa Menikahi Kakak Tiri
Kuputar pintu kamar sepelan mungkin karena takut pintunya akan berderit. Aku menghela lega karena apa yang dikhawatirkan tak terjadi.
Masih hati-hati, kulangkahkan kaki menuju ranjang. Aku ingin lekas tertidur karena hari ini amat melelahkan. Jika tubuh bisa memprotes, mungkin ia tentu akan menuntut untuk segera dibaringkan.
Kuletakkan flatshoes hitamku di bawah ranjang. Sedikit kutundukkan tubuh supaya kolong bawah kasur bisa kulihat dengan jelas.
Suasana kamar yang minim pencahayaan menjadi faktor mengapa aku sedikit kesusahan melakukannya. Ya, karena aku tak mungkin menyalakan lampu di jam selarut ini. Barang pasti Mama, Papa, dan Kak Eziio akan langsung tahu kalau aku pulang.
Setelah selesai dengan urusan sepatuku, kini aku menaruh tas punggung yang sejak tadi masih melekat di tubuh. Meja nakas di samping tempat tidur menjadi tempat yang kupilih. Dengan kasar, kuletakkan tas mini tersebut secara asal.
Aku lantas naik ke atas r4nj4ng dan bermaksud meraih guling karena aku tak bisa tidur bila tak memeluk bantal panjang itu.
Namun, bukannya guling yang kutemukan, aku malah merasakan tanganku ditarik hingga membuat tubuhku menindih sesuatu.
“Baru pulang, hmm?”
“Apa yang Kakak lakukan di kamarku?” ucapku sedikit keras.
Namun, lekas kubekap mulut.
Hampir lupa kalau Mama dan Papa bisa jadi bangun karena mendengar teriakanku.
“A-apa yang mau Kak Zii lakukan? Lepas!”
“Hei..., kamu mau Mama dan Papa melihat kita seperti ini, hmm? Kecilkan suaramu, Sayang!”
“Jangan sentuh aku!” ketusku saat Kak Zii mencoba menyentuh rambutku.
Aku tak peduli bila Mama atau Papa melihat kami sekarang. Aku malah senang mereka melihatnya karena itu artinya aku bisa mengadu.
Aku sangat yakin, Papa akan membelaku. Meski, bukan anak kandungnya, aku merasa bahwa Papa sangat menyayangiku. Pun halnya denganku. Aku menyayangi laki-laki baya itu halnya aku menyayangi papa kandungku dulu.
Aku mencoba bangkit dari posisi yang sangat amat tak nyaman untukku. Seumur-umur aku belum pernah men*ndih dan duduk di atas seseorang.
Aku berusaha melepaskan tangan Kak Zii yang masih setia memegang pinggangku.
“Kak Zii, lepas! Aku mau turun!”
“Yakin?”
“Iya, lepas! Aku enggak senang kayak gini,” ucapku sambil terus membuka cekalan tangannya di pinggangku.
“Kamu yang minta, Na. Jadi jangan salahkan Kakak!”
Minta apa? Aku mulai bingung dengan ucapan Kak Zii hingga entah bagaimana ceritanya.
Kak Zii menurunkanku di sampingnya atau lebih tepatnya membaringkanku. Iya, memang benar dia menepati ucapannya, tetapi kini giliran dia berada di atasku. Ya, Kakak sambungku itu men*ndihku.
“Apa yang Kakak lakukan? Turun! Kak Zii berat!”
“Bukannya ini permintaanmu? Kamu mau turun, kan?” ujarnya lengkap dengan seringai yang membuatku bergidik takut.
“Aku mau turun dari kasur. Bukan malah seperti ini. Lepas!”
“Tidak. Malam ini Kakak akan menjadikanmu milikku. Sudah cukup Kakak bersabar Kana. Kamu akan jadi istri Kakak!”
“Enggak. Aku enggak mau nikah sama Kak Zii. Kita ini saudara, Kak. Dan aku juga enggak cinta sama, Kakak.”
Kucoba bangun dari posisi berbaringku meski pinggangku ditahan kuat Kak Zii.
“Kakak lepas, ih! Aku enggak suka diperlakukan kayak gini!” ucapku setelah berhasil mendudukkan diri.
Kini posisiku adalah mem*ngku Kak Zii. Posisi yang tak kalah tak nyaman dengan yang tadi saat aku berbaring di bawahnya.
“Batalkan pertunanganmu dengan Dien. Laki-laki itu tak pantas untukmu. Dia hanya mengincar tubuhmu,” ujarnya sembari mengelus-elus pipiku.
Menyingkirkan tangan Kak Zii yang kini semakin berani menyentuh tubuhku.
“Aku menolak. Aku mencintai Dien, Kak. Aku enggak mungkin membatalkan pertunangan yang sudah aku nanti-nantikan dari dulu.”
Meski suasana kamar temaram, aku bisa melihat bila air muka Kak Zii berubah. Rahangnya terlihat mengeras, sudut-sudut bibirnya tak lagi tertarik ke atas.
“A-pa yang Kak Zii lakukan...., ja-ja-ngan...”
“Kenapa, Na. Bukankah kamu sama tunanganmu sering melakukan ini, hah?” tanyanya tajam sambil terus merobek-robek pakaian yang aku kenakan.
“Dien enggak pernah sama sekali melakukan ini. Dia selalu menjagaku. Dia sanggup menunggu sampai aku benar-benar rela menyerahkan semuanya untuknya.”
Srek...
Sepertinya percuma saja melawan karena kini baju kaosku telah berhasil disobeknya hingga memperlihatkan bagian tubuh yang tak boleh terlihat orang lain.
Refleks langsung kusilangkan kedua tanganku, menutupi bagian tubuh yang terbuka.
Aku baru akan melakukan perlawanan dengan mencoba menggigit lengan kiri si pria, tetapi tubuhku lebih dahulu didorongnya kembali ke kasur.
Kini posisiku menjadi berbaring. Lagi-lagi ditInd*hnya.
“K-Kak aku mohon jangan lakukan ini padaku. Aku enggak sanggup berpisah sama Dien. Aku men-cintainya, Kak.”
Tak disangka aliran bening yang terasa hangat mulai merembes membasahi pipi. Tubuhku turut bergetar hebat. Takut luar biasa apalagi setelah menatap air muka Kak Zii yang tak berubah sedikit pun.
“Kamu tidak mencintai dia, Na. Laki-laki miskin itu tidak pantas untukmu. Dia tidak akan bisa memberimu kebahagiaan. Kamu akan menderita bila hidup dengannya.”
Plak
Entah keberanian dari mana, tanganku bergerak begitu saja. Menampar pipi Kak Zii.
Aku paling tidak suka melihat laki-laki yang kucinta direndahkan begitu saja.
“Kak Zii dengar baik-baik. Aku sama sekali enggak peduli dengan Dien yang miskin. Karena selama dia ada di sampingku, aku enggak masalah harus hidup susah. Aku rela. Jadi, Kakak jangan sekali-kali berkeinginan untuk memisahkan kami. Karena percuma, Kak. Sia-sia saja.”
Setelah mengatakan itu, aku mencoba bangun kembali dan dengan sekuat tenaga, kudorong tubuh si lelaki supaya menyingkir dari atasku. Dan beruntung. Berhasil.
Tak kusia-siakan kesempatan yang ada, aku segera berdiri dan turun dari kasur. Namun, belum sempat kakiku menyentuh lantai, tubuhku sudah terhuyung ke belakang. Ya, Kak Zii menarik lenganku dan kembali mengurung tubuhku.
“Mau ke mana? Urusan kita belum selesai.”
“Kakak mau apa lagi, aku kan sudah bilang. Aku mencintai Dien. Aku enggak mungkin mengkhianatinya. Dan asal Kak Zii tahu, sampai mati pun aku enggak akan melakukan hal itu sama Kakak.”
“Oh, ya? Apa kamu akan tetap menolakku setelah melihat ini?”
Kak Zii menyodorkan ponselnya ke arahku. Seketika, langsung kubekap mulut. Tak percaya dengan apa yang barusan kulihat.
“Kakak jahat. Kasihan Dien, Kak. Kakak jangan lakukan ini. Dien cuma punya Tante Mita. Jangan cabut semua alat penunjang kesehatan Tante Mita. Aku mohon jangan.”
Sungguh, tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Dien sekarang saat tahu alat penunjang kesehatan Ibunya telah dilepas paksa.
Laki-laki pujaanku itu pasti akan sangat marah bila tahu kalau Kak Zii adalah dalangnya. Memang benar, aku yang menanggung semua biaya pengobatan Tante Mita—Ibu Dien, tetapi aku tak lantas bisa memerintah petugas medis untuk memasang kembali alat bantuan tersebut.
Sebab, rumah sakit tempat Ibu Dien dirawat adalah rumah sakit milik papa tiriku. Namun, yang memegang kendali atasnya adalah Kak Zii.
Bisa dipastikan keselamatan Tante Mita berada di bawah kendali Kak Zii. Dan itu artinya, aku harus membujuk kakakku itu.
“Kak, aku mohon. Kembalikan alat penunjang Tante Mita.”
“Kakak akan pasangkan kembali penunjang kesehatannya, asalkan kamu l*y4ni Kakak. Serahkan t*buhmu, Na. Kakak menginginkanmu.”
“Enggak. Aku enggak mungkin melakukan itu."
Kepalaku menggeleng.
"Aku kan sudah bilang, aku enggak mau mengkhianati Dien,” tambahku kembali sambil terus menggelengkan kepala berulang kali.
Sepertinya kali ini aku berhasil karena Kak Zii tiba-tiba bangkit dan tak lagi berada di atasku.
“Pilihan ada di tanganmu, Na. Wanita tua itu m4ti atau berikan tubuhmu pada Kakak.”
“Enggak. Aku enggak mau. Aku kan su—“
Ucapanku terhenti karena ponselku berbunyi. Bangun dari r4nj4ng dan berjalan ke arah meja nakas. Mengambil tasku dan merogohnya.
“Di-en?” ucapku setelah membaca nama si pemanggil di layar gawai.
“Iya..., Di. Kenapa?”
“Na, tolong Ibuku. Pihak rumah sakit melepas alat penunjang Ibu, padahal kondisi Ibu sedang kritis. Aku mohon sama kamu. Aku akan lakukan apa saja asalkan Ibu bisa selamat. Hanya Ibu yang aku punya sekarang, Na. Aku enggak mau kehilangan dia. Sayang, tolong aku!”
Suara Dien bergetar. Deru napasnya pun tak menentu. Aku sangat tahu, kini laki-laki itu tengah terpuruk dan aku tak ingin melihatnya terus-terusan seperti itu.
Hatiku terasa nyeri karena harus mendapati laki-laki pujaanku menderita lantaranku.
Sejenak, memejamkan mata. Menghirup napas kemudian membuangnya kasar.
“I-iya, Di. Ak-u akan tolong Tante. Ak-u jan-ji.”
Setelah mengatakan kalimat itu, langsung kuputuskan sambungan secara sepihak. Sebab, aku tak ingin Dien menyadari bahwa kini aku tengah menangis.
Aku tak mau membuat khawatir. Sudah cukup penderitaan yang diterimanya.
“Pilihan yang tepat, Na,” ujar Kak Zii tiba-tiba.
Meski samar, senyum liciknya mengembang di wajahnya yang tampan. Iya, Kakakku itu memang tampan, tetapi jangan tertiup. Dia laki-laki b3j4t.
“Kemarilah, Na!"
Ditepuk-tepuknya sofa bagian samping yang tengah ia duduki kini.
"Kakak akan perkenalkan permainan yang akan membuatmu mabuk kepayang," tambahnya lagi.
‘Tuhan, maafkan aku. Ini semua demi Dien dan Tante Mita. Iya, aku melakukannya demi mereka.’
Next...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Noly Indah Permata
dak da lanjutan nya?
2023-01-22
1
🍒 rizkia Nurul hikmah 🍒
mampir membawa Pengasuh Cantik Kesayangan Tuan Muda
2023-01-18
1
نورالجنة √🍁 _✍︎
wah baru sempet mampir. semangat kak!!
2023-01-18
1