2. Aku Dip3rk0sa, Ma

Membuka mata ini perlahan. Langsung, menatap kosong langit-langit kamar di atas sana.

Kedua tangan ini terangkat. Menangkup wajah yang ingin kusembunyikan. Malu rasanya memperlihatkan muka hina ini, bahkan meski pada langit-langit kamar sekalipun.

“Kenapa semua ini harus terjadi padaku, Tuhan?”

Mulai berisik lisan ini. Memprotes Sang Pencipta atas apa yang telah terjadi pada diri.

“Mama..., Dien..., Papa..., maaf. Kana sudah tidak suci lagi. Kana kotor.”

Mata ini mulai berair. Lebih tepatnya, bulir-bulir air bening ini kembali menetes.  Persis, seperti semalam.

“Kana..., bangun, Nak! Kamu harus kuliah. Ayo, Sayang bangun! Mama sudah siapkan sarapan kesukaanmu.”

Cukup kaget mendengar suara Mama yang tiba-tiba. Refleks kutarik selimut dan melilitkannya ke seluruh tubuh yang kini tak memakai sehelai pakaian pun.

Susah payah kucoba pijakkan kaki ke lantai. Bermaksud beranjak dari kasur karena tak mau Mama melihatku dalam kondisi seperti ini.

Jujur, tubuhku terasa sakit luar biasa, apalagi di bagian bawah sana. Namun, mati-matian kutahan.

Lekas, memunguti pakaian yang masih berceceran di mana-mana. Sepertinya semalam, laki-laki tak tahu diri itu membuangnya asal sehingga letaknya tak karuan begini.

“Kana..., apa kamu masih belum bangun, Sayang?”

Kudengar Mama memanggilku sekali lagi. Terus diketuknya pula pintu kamarku.

“Iya, Ma. Kana baru bangun. Ini mau mandi dulu. Nanti kalau udah selesai pasti Kana turun,” ucapku serak.

Mungkin akibat terus menangis semalaman, tenggorokanku jadi begitu kering.

“Mama tunggu di bawah ya, Sayang. Jangan lama-lama! Nanti kamu terlambat!”

Setelah mengatakan itu, dapat kudengar suara langkah kaki wanita yang kupanggil Mama itu menjauh dari kamar.

Sambil membawa semua pakaian yang telah kuambil, kuseret kaki menuju kamar mandi. Menaruh pakaian-pakaian yang sudah tak berbentuk itu sembarangan ke dalam mesin cuci.

Rasanya ingin kubuang saja semuanya. Toh, juga sebagian tidak layak dipakai lagi. Namun entah karena apa, aku masih mau menyimpannya.

Barangkali, aku sudah tak waras hingga masih mau melihat pakaian yang kukenakan di saat kesucianku itu direnggut.

“B3r3ngs3k. Dasar laki-laki jahanam. Aku benci. Aku benci dia.”

Tubuhku meluruh di lantai kamar mandi. Berbarengan dengan air mata yang bercucuran.

“Apa salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Apa... apa salahku, Tuhan?”

Memeluk lutut sedalam-dalamnya. Menumpahkan semua kesedihan—keterpurukan—yang aku tidak yakin apakah setelah ini hidupku akan tetap baik-baik saja.

Cukup lama terdiam dengan posisi yang entahlah. Aku tak tahu betul kondisi diri ini. Namun, satu hal yang pasti. Aku mengenaskan.

Mencoba bangkit. Menarik napas dalam-dalam. Lalu, membuangnya asal.

Menghapus linangan-linangan air mata yang kuyakini tak lama lagi akan kembali keluar.

Sekitar tiga puluh menit lebih mengurung diri di kamar mandi. Membersihkan semua noda yang melekat pada tubuh. Terutama jejak-jejak yang ditinggalkan laki-laki kurang 4j4r itu.

Terus dan terus menggosok-gosok tubuh yang hina ini. Namun, sekuat apa pun aku membersihkannya, bekas laki-laki itu tak kunjung hilang.

“Aku benci diriku. Aku... benci...”

Lagi-lagi..., tumpah ruah tangis yang sejak tadi tak kunjung berhenti.

“Na, apa kamu sudah selesai, Sayang? Ini sudah jam tujuh lewat sepuluh menit.”

Aku mendengar suara seseorang. Meski samar-samar, aku sangat yakin kalau itu adalah Mama.

Sepertinya Mama kembali lagi ke kamarku karena mungkin khawatir akan aku yang terlalu lama turun.

Mematikan keran dan meraih handuk setelah sebelumnya menghapus jejak-jejak kristal bening yang masih menggenang.

Susah payah memaksa kaki berjalan, keluar dari kamar mandi.

Membawa kaki menuju pintu kamar karena berniat membukakan pintu untuk Mama.

“Na, kamu kenapa lam—, astaga..., Sayang kamu kenapa? Kenapa mukamu pucat begini? Kamu sakit, Na?”

Mama merangkulku kemudian dibawanya aku duduk di sofa yang ada di sebelah kiri kamar.

“Ceritakan sama Mama. Apa yang sebenarnya terjadi?” ucapnya sambil menatapku serius.

“A-aku di-p*rkosa, Ma.”

Langsung kutundukkan kepala karena tak berani menatap wajah Mama. Perasaan bersalah karena tak bisa menjaga mahkotaku kembali membuat hatiku meringis.

Aku memang b0d0h. Mau begitu saja menyerahkan kesucianku pada laki-laki b***ngsek itu.

“A... a-apa, Na? Di-dip**kosa?”

Mama memelukku. Didekapnya aku erat.

“Katakan sama Mama, Na. Siapa yang sudah melakukan itu? Apakah Dien orangnya? Dasar anak tidak tahu diri. Apa laki-laki itu lupa kalau Ibunya jelas-jelas sudah kamu tolong, tapi inikah balasannya untukmu?”

Melepaskan pelukannya. Mama menatapku.

Walau dari ekspresi Mama yang terlihat tenang, aku yakin kalau wanita yang ada di sebelahku ini sedang marah.

“Mama akan buat perhitungan sama anak itu, Sayang. Mama akan paksa dia tanggung jawab. Mama janji.”

Aku menggeleng.

“Bu-bukan Dien, Ma. Dien enggak akan berani melakukan hal keji seperti itu. Dien sangat mencintaiku. Dia pria baik-baik.”

“Kalau bukan Dien pelakunya, siapa, Na? Katakan sama Mama. Mama akan tetap menuntut pertanggungjawabannya.”

Mendongakkan kepala semata-mata supaya air bening ini berhenti mengalir.

Menatap Mama lurus-lurus meski masih terhalang air mata yang tak jua reda.

“K-Kak Zii. D-dia yang su-dah melakukannya, Ma,” ujarku sesenggukan.

“A-apa? Zii?”

Mama terlihat syok. Ekspresinya benar terbaca. Terkejut luar biasa.

“Jangan bercanda, Na? Mana mungkin Zii melakukan itu? Dia Kakakmu. Tidak mungkin. Mama tidak percaya.”

Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan terus berusaha menyangkal apa yang barusan didengarnya.

“Aku enggak bohong, Ma. Buat apa aku bohong. Kenyataannya memang begitu. Laki-laki... laki-laki licik itu yang sudah buat Kana jadi seperti ini,” balasku dengan suara yang bergetar.

Mama bungkam. Dipalingkan wajahnya dariku.

Cukup lama Mama terdiam. Hingga akhirnya, wanita setengah baya itu membalas. Namun, bukan jawaban yang ingin kudengar. Jawabannya sungguh di luar dugaan.

Jawaban yang bahkan amat sangat menyakitkan untukku. Seolah-olah, tak akan ada satu pun manusia yang akan percaya bahwa kalimat seperti itu keluar dari mulutnya sebagai seorang ibu kandungku.

“Kalau apa yang kamu katakan memang benar, kalau Zii yang telah melakukan itu...”

Mama menatapku. Terlihat sendu memang.

Sang wanita menarik napas, lantas dibuangnya.

Lanjut ia berucap, “Rahasiakan kejadian ini, apalagi dari Papamu. Mama belum mau bercerai dengannya, Na. Mama tidak ingin kita hidup menderita seperti dulu lagi. Kamu mengerti kan, Sayang dengan maksud Mama?”

Menggeleng kepalaku berulang-ulang.

“Tidak, Ma. Kana tidak sanggup. Kita harus segera kasih tahu Papa. Laki-laki itu harus dihukum. Dia harus dapat balasannya. Tidak boleh seperti ini, Ma. Tidak.”

Kepalaku tertunduk. Air bening yang tak pernah berhenti itu seketika jatuh satu per satu. Membasahi sofa.

Sesak. Dadaku tersayat. Bukan. Lebih daripada itu. Aku takut. Benar-benar ketakutan. Bagaimana kalau nanti laki-laki laknat itu melakukan aksinya lagi? Bagaimana jika ia kembali memaksaku memuaskannya?

Akankah aku bisa melawan dan menolaknya bila ia kembali memaksa? Bagaimana jika ternyata pada akhirnya, diri ini tetap kalah dan akhirnya menyerah? Masih adakah mas depan yang cerah untukku nanti? Masih adakah peluang untukku bahagia setelah ini?

Memikirkannya saja sudah membuat seluruh tubuhku bergetar, perutku rasanya mual. Apalagi bila itu betul-betul terulang.

Kepalaku kembali menggeleng. Tidak. Semua itu tidak boleh terjadi lagi.

Next...

Terpopuler

Comments

نورالجنة √🍁 _✍︎

نورالجنة √🍁 _✍︎

kok ada sih ibu kek gini. mengorbankan masa depan anaknya hanya demi kebahagiaan nya sendiri. dimana naluri keibuannya. 9bulan didalam perutmu apakah tidak berarti???
mengsyedih 😭😭

2023-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!