“Tidak selama semalam? Apa maksudnya itu, Eziio?” Kembali Papa mengulang pertanyaannya.
Kehadiran papa yang tiba-tiba membuat tubuh Kak Zii sempat menegang.
Sepertinya, laki-laki itu terkejut. Namun, tak berlangsung lama.
Sadar akan kehadiran Papa membuat Kak Zii mau tak mau menjaga jarak dariku.
“Kamu belum menjawab pertanyaan Papa Eziio. Dan apa yang kalian berdua lakukan di garasi di jam segini?”
Papa menatap kami penuh selidik.
“Di garasi berduaan dan tadi Papa perhatikan kalian begitu intens. Apa yang sebenarnya kalian lakukan? Rahasia apa yang kalian sembunyikan? Eziio jawab!”
Suara Papa sangat keras. Aku bahkan sampai harus mundur beberapa langkah untuk mengamankan pendengaranku.
Kini, tatapan Papa sepenuhnya berfokus pada Kak Zii.
“I-itu, Pa. Semalam Kana jatuh dari tempat tidur, tapi untung ada Zii yang bantu. Kaki Kana sekarang terkilir. Makanya tadi Zii mau bantu Kana masuk mobil.”
Kak Zii menatap ke arahku. Dari sorot matanya, aku bisa membaca bahwa laki-laki picik itu tengah mengancam. Menyuruhku untuk mengikuti ucapannya.
“Apa benar kamu jatuh dari tempat tidur, Sayang?” tanya Papa sambil mengalihkan pandangannya ke arahku.
Suara Papa tak sekeras yang tadi. Mungkin, emosinya sudah mulai mereda setelah mendengar penjelasan palsu Kak Zii.
Namun, penjelasan palsu itu akan segera terbongkar. Ya, aku sudah bertekad untuk memberitahu Papa perihal kejadian semalam. Tentang anak semata wayangnya yang telah merusakku.
“Kak Zii boho—“
“Apa yang dikatakan Zii benar, Mas. Kana memang jatuh dari kasur. Itulah kenapa tadi pagi dia begitu lama dibangunkan. Luka di kakinya cukup dalam makanya Kana kesulitan berjalan,” ucap Mama yang tiba-tiba memotong perkataanku.
Entah mengapa aku merasa bahwa Mama tahu kalau aku akan menceritakan kejadian sebenarnya kepada Papa sehingga ia dengan sengaja memotong pembicaraan.
“Apa benar, Sayang?” tanya Papa sekali lagi.
Sepertinya tak ada lagi kesempatan untuk berkata jujur karena Mama dan Kak Zii terus menatap lamat-lamat ke arahku. Jelas-jelas, mereka tengah mengintimidasiku supaya aku menuruti kemauannya.
Pasrah. Aku pun menganggukkan kepala.
“Be-benar, Pa. Kana jatuh dari kasur dan kaki Kana sakit.”
Mendengar ucapanku yang nyata-nyata adalah kebohongan itu, air muka Papa berubah khawatir.
Ya, itulah mengapa aku sangat menyayangi Papa. Dia begitu tulus menjaga dan menyayangiku, padahal aku bukanlah anak kandungnya.
“Hari ini kamu istirahat saja, Sayang. Jangan ke kampus. Nanti biar Papa yang hubungi pihak kampus, memberitahu keadaanmu,” ucapnya lembut sambil menatapku sendu.
Masih dengan raut muka yang tak tenang, Papa menoleh ke arah Kak Zii.
“Zii, hubungi dokter Erika. Suruh dia kemari untuk merawat Kana. Hari ini kamu jangan berangkat ke kantor. Jaga adikmu baik-baik. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali.”
Tak perlu menunggu lama. Dengan cepat aku mengangkat suara.
“Kana enggak papa, Pa. Sekarang kakinya sudah agak mendingan. Untuk ke kampus sepertinya masih bisa. Boleh ya, Pa. Kana ke kampus. Please...”
Jangan ditanya kenapa aku sampai harus memohon seperti itu. Sudah pasti karena aku tak ingin di rumah bersama dengan laki-laki munafik itu.
Akan sangat lebih baik bila aku ke kampus dibandingkan berdiam diri di rumah.
Aku begitu yakin, Kak Zii tak akan tinggal diam. Dia pasti akan memaksaku m*muask*nnya lagi.
Sungguh, lebih baik aku pingsan di kampus karena kehabisan tenaga daripada tak sadarkan diri karena harus melayaninya.
Membayangkannya saja benar-benar membuatku mual. Sungguh m3njijikkan.
“Tidak, Sayang. Papa tidak ingin lukamu tambah parah. Tidak ada kuliah untuk hari ini. Kamu harus istirahat.”
“Ta-tapi, Pa Kana baik-baik saja.”
Aku melompat-lompat kecil. Supaya Papa percaya kalau kakiku tidak sakit. Karena memang kenyataannya seperti itu, bukan?
“Papa lihat kan tadi, kaki Kana sudah enggak sakit,” ucapku terus berusaha meyakinkan Papa.
“Sayang..., Mama tahu kamu pasti menahan rasa sakitnya, kan? Jangan berbohong sama Papamu. Turuti ucapannya, Nak. Istirahatlah!”
“Iya, Na. Kakak juga setuju dengan Papa dan Mama. Kamu jangan paksakan dirimu. Kami semua tidak mau melihatmu sakit.”
Dasar laki-laki picik. Mama juga. Kenapa ikut-ikutan. Bukannya seharusnya dia mendukungku?
Akh..., semuanya menyebalkan. Tak ada satu pun orang yang peduli denganku.
“Iya, aku memang sedang sakit. Tapi, bukan kakiku, bukan fisikku yang sakit. Mentalku yang sakit.”
Berapi-api, kupandangi laki-laki yang hanya berjarak beberapa meter di dekatku itu.
“Apa maksudnya, Na? Kenapa bisa kamu bicara seperti itu?”
Papa mulai tertarik dengan ucapanku.
Sebelum membongkar semuanya, satu-satu kupandangi wajah mereka. Mulai dari Papa, Mama, dan terakhir si b3r3ngs3k itu.
Tersenyum semanis mungkin padanya. Dan tanpa mengalihkan sedikit pun pandanganku darinya, aku berucap, “Semalam Kak Zii datang ke kamarku. Dia memperko—“
Belum selesai dengan kalimatku, suara kesakitan Mama lebih dahulu menyita perhatian.
“Ad-aduh, Mas..., perutku..., perutku sakit, Mas. To-tolong...!”
Mengalihkan pandangan ke arah Mama yang kini sudah bersimpuh di depan kami. Wanita itu terlihat kesakitan.
Antara sakit betulan atau memang dibuat-buat. Aku tak tahu. Namun sebagai anak, aku tak ingin berburuk sangka pada Mama sendiri.
Tanpa basa-basi, lekas kuhampiri beliau yang masih mengaduh, kesakitan.
“Mama kenapa?”
“Pe-perut Mama rasanya sakit,” ucap sang wanita sembari memegangi perutnya.
Papa mendekat. Lekas digendongnya Mama.
“Zii..., bawa Kana ke kamarnya,” titah Papa sembari menyuruh Kak Zii mendekat ke arahku.
“Sayang..., kamu istirahat, ya! Biar Mamamu, Papa yang urus,” tambah sang pria setengah baya itu lembut.
“Ta..., Ta-pi, Pa...”
“Sudah, Na. Jangan bantah, Papa!”
Setelah itu, Papa membawa wanita yang kesakitan itu masuk kembali ke dalam rumah. Namun sebelum itu, ia kembali menyuruh anak lelakinya itu untuk mengurusku.
“Zii..., antar adikmu ke kamarnya!”
Sebelum akhirnya, ia dan Mama benar-benar menghilang di balik pintu.
“Aku bisa jalan sendiri. Enggak usah repot-repot diantar,” sambarku cepat.
Dan sebelum si pria kembali berulah, segera membawa kaki berjalan ke dalam rumah.
Menyusul Mama dan Papa.
Namun, langkah ini terhenti setelah salah satu ART di rumah menghadang jalanku.
“Minggir, Bi! Aku sedang enggak mau diganggu. Ceritanya lain kali saja. Aku capek.”
Bi Sirim adalah ART yang paling dekat denganku. Beliau sering sekali bercerita banyak hal dan aku akan dengan senang hati mendengar cerita-ceritanya. Senang saja rasanya.
“Maaf, Non. Bukannya mau ganggu. Bibi cuma mau kasih tahu kalau ada Mas Dien di ruang tamu. Katanya mau ketem—”
Hatiku langsung semringah. Senyum di bibir ini tidak bisa lagi ditahan.
“Makasih, Bi,” ucapku segera, memotong perkataannya.
Kemudian dengan setengah berlari, kulangkahkan kaki menuju ruang tamu.
Jika semua orang tidak mau berpihak padaku, aku sangat yakin Dien—pria pujaanku itu--pasti akan memihakku. Iya, pasti.
Next...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
نورالجنة √🍁 _✍︎
kasian amat Kana gk ada yg simpati
2023-01-18
0