NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Kakak Tiri

1. Kakak Menginginkanmu, Na

Kuputar pintu kamar sepelan mungkin karena takut pintunya akan berderit. Aku menghela lega karena apa yang dikhawatirkan tak terjadi. 

Masih hati-hati, kulangkahkan kaki menuju ranjang. Aku ingin lekas tertidur karena hari ini amat melelahkan. Jika tubuh bisa memprotes, mungkin ia tentu akan menuntut untuk segera dibaringkan.

Kuletakkan flatshoes hitamku di bawah ranjang. Sedikit kutundukkan tubuh supaya kolong bawah kasur bisa kulihat dengan jelas.

Suasana kamar yang minim pencahayaan menjadi faktor mengapa aku sedikit kesusahan melakukannya. Ya, karena aku tak mungkin menyalakan lampu di jam selarut ini. Barang pasti Mama, Papa, dan Kak Eziio akan langsung tahu kalau aku pulang.

Setelah selesai dengan urusan sepatuku, kini aku menaruh tas punggung yang sejak tadi masih melekat di tubuh. Meja nakas di samping tempat tidur menjadi tempat yang kupilih. Dengan kasar, kuletakkan tas mini tersebut secara asal.

Aku lantas naik ke atas r4nj4ng dan bermaksud meraih guling karena aku tak bisa tidur bila tak memeluk bantal panjang itu.

Namun, bukannya guling yang kutemukan, aku malah merasakan tanganku ditarik hingga membuat tubuhku menindih sesuatu.

“Baru pulang, hmm?”

“Apa yang Kakak lakukan di kamarku?” ucapku sedikit keras.

Namun, lekas kubekap mulut.

Hampir lupa kalau Mama dan Papa bisa jadi bangun karena mendengar teriakanku.

“A-apa yang mau Kak Zii lakukan? Lepas!”

“Hei..., kamu mau Mama dan Papa melihat kita seperti ini, hmm? Kecilkan suaramu, Sayang!”

“Jangan sentuh aku!” ketusku saat Kak Zii mencoba menyentuh rambutku.

Aku tak peduli bila Mama atau Papa melihat kami sekarang. Aku malah senang mereka melihatnya karena itu artinya aku bisa mengadu.

Aku sangat yakin, Papa akan membelaku. Meski, bukan anak kandungnya, aku merasa bahwa Papa sangat menyayangiku. Pun halnya denganku. Aku menyayangi laki-laki baya itu halnya aku menyayangi papa kandungku dulu.

Aku mencoba bangkit dari posisi yang sangat amat tak nyaman untukku. Seumur-umur aku belum pernah men*ndih dan duduk di atas seseorang.

Aku berusaha melepaskan tangan Kak Zii yang masih setia memegang pinggangku.

“Kak Zii, lepas! Aku mau turun!”

“Yakin?”

“Iya, lepas! Aku enggak senang kayak gini,” ucapku sambil terus membuka cekalan tangannya di pinggangku.

“Kamu yang minta, Na. Jadi jangan salahkan Kakak!”

Minta apa? Aku mulai bingung dengan ucapan Kak Zii hingga entah bagaimana ceritanya.

Kak Zii menurunkanku di sampingnya atau lebih tepatnya membaringkanku. Iya, memang benar dia menepati ucapannya, tetapi kini giliran dia berada di atasku. Ya, Kakak sambungku itu men*ndihku.

“Apa yang Kakak lakukan? Turun! Kak Zii berat!”

“Bukannya ini permintaanmu? Kamu mau turun, kan?” ujarnya lengkap dengan seringai yang membuatku bergidik takut.

“Aku mau turun dari kasur. Bukan malah seperti ini. Lepas!”

“Tidak. Malam ini Kakak akan menjadikanmu milikku. Sudah cukup Kakak bersabar Kana. Kamu akan jadi istri Kakak!”

“Enggak. Aku enggak mau nikah sama Kak Zii. Kita ini saudara, Kak. Dan aku juga enggak cinta sama, Kakak.”

Kucoba bangun dari posisi berbaringku meski pinggangku ditahan kuat Kak Zii.

“Kakak lepas, ih! Aku enggak suka diperlakukan kayak gini!” ucapku setelah berhasil mendudukkan diri.

Kini posisiku adalah mem*ngku Kak Zii. Posisi yang tak kalah tak nyaman dengan yang tadi saat aku berbaring di bawahnya.

“Batalkan pertunanganmu dengan Dien. Laki-laki itu tak pantas untukmu. Dia hanya mengincar tubuhmu,” ujarnya sembari mengelus-elus pipiku.

Menyingkirkan tangan Kak Zii yang kini semakin berani menyentuh tubuhku.

“Aku menolak. Aku mencintai Dien, Kak. Aku enggak mungkin membatalkan pertunangan yang sudah aku nanti-nantikan dari dulu.”

Meski suasana kamar temaram, aku bisa melihat bila air muka Kak Zii berubah. Rahangnya terlihat mengeras, sudut-sudut bibirnya tak lagi tertarik ke atas.

“A-pa yang Kak Zii lakukan...., ja-ja-ngan...”

“Kenapa, Na. Bukankah kamu sama tunanganmu sering melakukan ini, hah?” tanyanya tajam sambil terus merobek-robek pakaian yang aku kenakan.

“Dien enggak pernah sama sekali melakukan ini. Dia selalu menjagaku. Dia sanggup menunggu sampai aku benar-benar rela menyerahkan semuanya untuknya.”

Srek...

Sepertinya percuma saja melawan karena kini baju kaosku telah berhasil disobeknya hingga memperlihatkan bagian tubuh yang tak boleh terlihat orang lain.

Refleks langsung kusilangkan kedua tanganku, menutupi bagian tubuh yang terbuka.

Aku baru akan melakukan perlawanan dengan mencoba menggigit lengan kiri si pria, tetapi tubuhku lebih dahulu didorongnya kembali ke kasur.

Kini posisiku menjadi berbaring. Lagi-lagi ditInd*hnya.

“K-Kak aku mohon jangan lakukan ini padaku. Aku enggak sanggup berpisah sama Dien. Aku men-cintainya, Kak.”

Tak disangka aliran bening yang terasa hangat mulai merembes membasahi pipi. Tubuhku turut bergetar hebat. Takut luar biasa apalagi setelah menatap air muka Kak Zii yang tak berubah sedikit pun.

“Kamu tidak mencintai dia, Na. Laki-laki miskin itu tidak pantas untukmu. Dia tidak akan bisa memberimu kebahagiaan. Kamu akan menderita bila hidup dengannya.”

Plak

Entah keberanian dari mana, tanganku bergerak begitu saja. Menampar pipi Kak Zii.

Aku paling tidak suka melihat laki-laki yang kucinta direndahkan begitu saja.

“Kak Zii dengar baik-baik. Aku sama sekali enggak peduli dengan Dien yang miskin. Karena selama dia ada di sampingku, aku enggak masalah harus hidup susah. Aku rela. Jadi, Kakak jangan sekali-kali berkeinginan untuk memisahkan kami. Karena percuma, Kak. Sia-sia saja.”

Setelah mengatakan itu, aku mencoba bangun kembali dan dengan sekuat tenaga, kudorong tubuh si lelaki supaya menyingkir dari atasku. Dan beruntung. Berhasil.

Tak kusia-siakan kesempatan yang ada, aku segera berdiri dan turun dari kasur. Namun, belum sempat kakiku menyentuh lantai, tubuhku sudah terhuyung ke belakang. Ya, Kak Zii menarik lenganku dan kembali mengurung tubuhku.

“Mau ke mana? Urusan kita belum selesai.”

“Kakak mau apa lagi, aku kan sudah bilang. Aku mencintai Dien. Aku enggak mungkin mengkhianatinya. Dan asal Kak Zii tahu, sampai mati pun aku enggak akan melakukan hal itu sama Kakak.”

“Oh, ya? Apa kamu akan tetap menolakku setelah melihat ini?”

Kak Zii menyodorkan ponselnya ke arahku. Seketika, langsung kubekap mulut. Tak percaya dengan apa yang barusan kulihat.

“Kakak jahat. Kasihan Dien, Kak. Kakak jangan lakukan ini. Dien cuma punya Tante Mita. Jangan cabut semua alat penunjang kesehatan Tante Mita. Aku mohon jangan.”

Sungguh, tak bisa kubayangkan bagaimana perasaan Dien sekarang saat tahu alat penunjang kesehatan Ibunya telah dilepas paksa.

Laki-laki pujaanku itu pasti akan sangat marah bila tahu kalau Kak Zii adalah dalangnya. Memang benar, aku yang menanggung semua biaya pengobatan Tante Mita—Ibu Dien, tetapi aku tak lantas bisa memerintah petugas medis untuk memasang kembali alat bantuan tersebut.

Sebab, rumah sakit tempat Ibu Dien dirawat adalah rumah sakit milik papa tiriku. Namun, yang memegang kendali atasnya adalah Kak Zii.

Bisa dipastikan keselamatan Tante Mita berada di bawah kendali Kak Zii. Dan itu artinya, aku harus membujuk kakakku itu.

“Kak, aku mohon. Kembalikan alat penunjang Tante Mita.”

“Kakak akan pasangkan kembali penunjang kesehatannya, asalkan kamu l*y4ni Kakak. Serahkan t*buhmu, Na. Kakak menginginkanmu.”

“Enggak. Aku enggak mungkin melakukan itu."

Kepalaku menggeleng.

"Aku kan sudah bilang, aku enggak mau mengkhianati Dien,” tambahku kembali sambil terus menggelengkan kepala berulang kali.

Sepertinya kali ini aku berhasil karena Kak Zii tiba-tiba bangkit dan tak lagi berada di atasku.

“Pilihan ada di tanganmu, Na. Wanita tua itu m4ti atau berikan tubuhmu pada Kakak.”

“Enggak. Aku enggak mau. Aku kan su—“

Ucapanku terhenti karena ponselku berbunyi. Bangun dari r4nj4ng dan berjalan ke arah meja nakas. Mengambil tasku dan merogohnya.

“Di-en?” ucapku setelah membaca nama si pemanggil di layar gawai.

“Iya..., Di. Kenapa?”

“Na, tolong Ibuku. Pihak rumah sakit melepas alat penunjang Ibu, padahal kondisi Ibu sedang kritis. Aku mohon sama kamu. Aku akan lakukan apa saja asalkan Ibu bisa selamat. Hanya Ibu yang aku punya sekarang, Na. Aku enggak mau kehilangan dia. Sayang, tolong aku!”

Suara Dien bergetar. Deru napasnya pun tak menentu. Aku sangat tahu, kini laki-laki itu tengah terpuruk dan aku tak ingin melihatnya terus-terusan seperti itu.

Hatiku terasa nyeri karena harus mendapati laki-laki pujaanku menderita lantaranku.

Sejenak, memejamkan mata. Menghirup napas kemudian membuangnya kasar.

“I-iya, Di. Ak-u akan tolong Tante. Ak-u jan-ji.”

Setelah mengatakan kalimat itu, langsung kuputuskan sambungan secara sepihak. Sebab, aku tak ingin Dien menyadari bahwa kini aku tengah menangis.

Aku tak mau membuat khawatir. Sudah cukup penderitaan yang diterimanya.

“Pilihan yang tepat, Na,” ujar Kak Zii tiba-tiba.

Meski samar, senyum liciknya mengembang di wajahnya yang tampan. Iya, Kakakku itu memang tampan, tetapi jangan tertiup. Dia laki-laki b3j4t.

“Kemarilah, Na!"

Ditepuk-tepuknya sofa bagian samping yang tengah ia duduki kini.

"Kakak akan perkenalkan permainan yang akan membuatmu mabuk kepayang," tambahnya lagi.  

‘Tuhan, maafkan aku. Ini semua demi Dien dan Tante Mita. Iya, aku melakukannya demi mereka.’

Next...

2. Aku Dip3rk0sa, Ma

Membuka mata ini perlahan. Langsung, menatap kosong langit-langit kamar di atas sana.

Kedua tangan ini terangkat. Menangkup wajah yang ingin kusembunyikan. Malu rasanya memperlihatkan muka hina ini, bahkan meski pada langit-langit kamar sekalipun.

“Kenapa semua ini harus terjadi padaku, Tuhan?”

Mulai berisik lisan ini. Memprotes Sang Pencipta atas apa yang telah terjadi pada diri.

“Mama..., Dien..., Papa..., maaf. Kana sudah tidak suci lagi. Kana kotor.”

Mata ini mulai berair. Lebih tepatnya, bulir-bulir air bening ini kembali menetes.  Persis, seperti semalam.

“Kana..., bangun, Nak! Kamu harus kuliah. Ayo, Sayang bangun! Mama sudah siapkan sarapan kesukaanmu.”

Cukup kaget mendengar suara Mama yang tiba-tiba. Refleks kutarik selimut dan melilitkannya ke seluruh tubuh yang kini tak memakai sehelai pakaian pun.

Susah payah kucoba pijakkan kaki ke lantai. Bermaksud beranjak dari kasur karena tak mau Mama melihatku dalam kondisi seperti ini.

Jujur, tubuhku terasa sakit luar biasa, apalagi di bagian bawah sana. Namun, mati-matian kutahan.

Lekas, memunguti pakaian yang masih berceceran di mana-mana. Sepertinya semalam, laki-laki tak tahu diri itu membuangnya asal sehingga letaknya tak karuan begini.

“Kana..., apa kamu masih belum bangun, Sayang?”

Kudengar Mama memanggilku sekali lagi. Terus diketuknya pula pintu kamarku.

“Iya, Ma. Kana baru bangun. Ini mau mandi dulu. Nanti kalau udah selesai pasti Kana turun,” ucapku serak.

Mungkin akibat terus menangis semalaman, tenggorokanku jadi begitu kering.

“Mama tunggu di bawah ya, Sayang. Jangan lama-lama! Nanti kamu terlambat!”

Setelah mengatakan itu, dapat kudengar suara langkah kaki wanita yang kupanggil Mama itu menjauh dari kamar.

Sambil membawa semua pakaian yang telah kuambil, kuseret kaki menuju kamar mandi. Menaruh pakaian-pakaian yang sudah tak berbentuk itu sembarangan ke dalam mesin cuci.

Rasanya ingin kubuang saja semuanya. Toh, juga sebagian tidak layak dipakai lagi. Namun entah karena apa, aku masih mau menyimpannya.

Barangkali, aku sudah tak waras hingga masih mau melihat pakaian yang kukenakan di saat kesucianku itu direnggut.

“B3r3ngs3k. Dasar laki-laki jahanam. Aku benci. Aku benci dia.”

Tubuhku meluruh di lantai kamar mandi. Berbarengan dengan air mata yang bercucuran.

“Apa salahku? Kenapa semua ini harus terjadi? Apa... apa salahku, Tuhan?”

Memeluk lutut sedalam-dalamnya. Menumpahkan semua kesedihan—keterpurukan—yang aku tidak yakin apakah setelah ini hidupku akan tetap baik-baik saja.

Cukup lama terdiam dengan posisi yang entahlah. Aku tak tahu betul kondisi diri ini. Namun, satu hal yang pasti. Aku mengenaskan.

Mencoba bangkit. Menarik napas dalam-dalam. Lalu, membuangnya asal.

Menghapus linangan-linangan air mata yang kuyakini tak lama lagi akan kembali keluar.

Sekitar tiga puluh menit lebih mengurung diri di kamar mandi. Membersihkan semua noda yang melekat pada tubuh. Terutama jejak-jejak yang ditinggalkan laki-laki kurang 4j4r itu.

Terus dan terus menggosok-gosok tubuh yang hina ini. Namun, sekuat apa pun aku membersihkannya, bekas laki-laki itu tak kunjung hilang.

“Aku benci diriku. Aku... benci...”

Lagi-lagi..., tumpah ruah tangis yang sejak tadi tak kunjung berhenti.

“Na, apa kamu sudah selesai, Sayang? Ini sudah jam tujuh lewat sepuluh menit.”

Aku mendengar suara seseorang. Meski samar-samar, aku sangat yakin kalau itu adalah Mama.

Sepertinya Mama kembali lagi ke kamarku karena mungkin khawatir akan aku yang terlalu lama turun.

Mematikan keran dan meraih handuk setelah sebelumnya menghapus jejak-jejak kristal bening yang masih menggenang.

Susah payah memaksa kaki berjalan, keluar dari kamar mandi.

Membawa kaki menuju pintu kamar karena berniat membukakan pintu untuk Mama.

“Na, kamu kenapa lam—, astaga..., Sayang kamu kenapa? Kenapa mukamu pucat begini? Kamu sakit, Na?”

Mama merangkulku kemudian dibawanya aku duduk di sofa yang ada di sebelah kiri kamar.

“Ceritakan sama Mama. Apa yang sebenarnya terjadi?” ucapnya sambil menatapku serius.

“A-aku di-p*rkosa, Ma.”

Langsung kutundukkan kepala karena tak berani menatap wajah Mama. Perasaan bersalah karena tak bisa menjaga mahkotaku kembali membuat hatiku meringis.

Aku memang b0d0h. Mau begitu saja menyerahkan kesucianku pada laki-laki b***ngsek itu.

“A... a-apa, Na? Di-dip**kosa?”

Mama memelukku. Didekapnya aku erat.

“Katakan sama Mama, Na. Siapa yang sudah melakukan itu? Apakah Dien orangnya? Dasar anak tidak tahu diri. Apa laki-laki itu lupa kalau Ibunya jelas-jelas sudah kamu tolong, tapi inikah balasannya untukmu?”

Melepaskan pelukannya. Mama menatapku.

Walau dari ekspresi Mama yang terlihat tenang, aku yakin kalau wanita yang ada di sebelahku ini sedang marah.

“Mama akan buat perhitungan sama anak itu, Sayang. Mama akan paksa dia tanggung jawab. Mama janji.”

Aku menggeleng.

“Bu-bukan Dien, Ma. Dien enggak akan berani melakukan hal keji seperti itu. Dien sangat mencintaiku. Dia pria baik-baik.”

“Kalau bukan Dien pelakunya, siapa, Na? Katakan sama Mama. Mama akan tetap menuntut pertanggungjawabannya.”

Mendongakkan kepala semata-mata supaya air bening ini berhenti mengalir.

Menatap Mama lurus-lurus meski masih terhalang air mata yang tak jua reda.

“K-Kak Zii. D-dia yang su-dah melakukannya, Ma,” ujarku sesenggukan.

“A-apa? Zii?”

Mama terlihat syok. Ekspresinya benar terbaca. Terkejut luar biasa.

“Jangan bercanda, Na? Mana mungkin Zii melakukan itu? Dia Kakakmu. Tidak mungkin. Mama tidak percaya.”

Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan terus berusaha menyangkal apa yang barusan didengarnya.

“Aku enggak bohong, Ma. Buat apa aku bohong. Kenyataannya memang begitu. Laki-laki... laki-laki licik itu yang sudah buat Kana jadi seperti ini,” balasku dengan suara yang bergetar.

Mama bungkam. Dipalingkan wajahnya dariku.

Cukup lama Mama terdiam. Hingga akhirnya, wanita setengah baya itu membalas. Namun, bukan jawaban yang ingin kudengar. Jawabannya sungguh di luar dugaan.

Jawaban yang bahkan amat sangat menyakitkan untukku. Seolah-olah, tak akan ada satu pun manusia yang akan percaya bahwa kalimat seperti itu keluar dari mulutnya sebagai seorang ibu kandungku.

“Kalau apa yang kamu katakan memang benar, kalau Zii yang telah melakukan itu...”

Mama menatapku. Terlihat sendu memang.

Sang wanita menarik napas, lantas dibuangnya.

Lanjut ia berucap, “Rahasiakan kejadian ini, apalagi dari Papamu. Mama belum mau bercerai dengannya, Na. Mama tidak ingin kita hidup menderita seperti dulu lagi. Kamu mengerti kan, Sayang dengan maksud Mama?”

Menggeleng kepalaku berulang-ulang.

“Tidak, Ma. Kana tidak sanggup. Kita harus segera kasih tahu Papa. Laki-laki itu harus dihukum. Dia harus dapat balasannya. Tidak boleh seperti ini, Ma. Tidak.”

Kepalaku tertunduk. Air bening yang tak pernah berhenti itu seketika jatuh satu per satu. Membasahi sofa.

Sesak. Dadaku tersayat. Bukan. Lebih daripada itu. Aku takut. Benar-benar ketakutan. Bagaimana kalau nanti laki-laki laknat itu melakukan aksinya lagi? Bagaimana jika ia kembali memaksaku memuaskannya?

Akankah aku bisa melawan dan menolaknya bila ia kembali memaksa? Bagaimana jika ternyata pada akhirnya, diri ini tetap kalah dan akhirnya menyerah? Masih adakah mas depan yang cerah untukku nanti? Masih adakah peluang untukku bahagia setelah ini?

Memikirkannya saja sudah membuat seluruh tubuhku bergetar, perutku rasanya mual. Apalagi bila itu betul-betul terulang.

Kepalaku kembali menggeleng. Tidak. Semua itu tidak boleh terjadi lagi.

Next...

3. Papa?

Sudah sepuluh menit sejak kepergian Mama dari kamarku. Namun, aku masih tetap mematung di tempat semula—sofa.

Benakku masih memikirkan ucapan Mama tempo lalu. Apa Mama memang sekejam itu? Perkataan Mama yang menyuruhku tutup mulut benar-benar tak masuk di logika.

Ibu mana yang tega melihat anaknya dil3c3hkan dan hanya memilih bungkam tanpa meminta pertanggungjawaban.

Kini, aku meragukan Mama. Apakah wanita yang telah melahirkanku itu betul-betul sayang padaku? Apakah beliau mencintaiku? Menganggapku sebagai anaknya?

B0d0h. Payah. Tukang buat masalah. Gegabah.

Aku tahu..., aku memang seperti itu. Tapi, tidak bisakah aku bahagia? Padahal, beberapa hari yang lalu, semuanya terlihat sempurna.

Aku bahkan pernah memimpikan hidupku yang akan berjalan luar biasa indahnya saat tahu bahwa pertunanganku dengan Dien tinggal menghitung minggu.

Namun, apakah mimpi itu—harapan itu—akan tetap terwujud setelah apa yang semalam terjadi padaku?

Apakah..., apakah Dien masih mau menerima gadis yang kini tak lagi suci? Apakah laki-laki pujaan hatiku itu masih mau melihat diriku yang hina ini?

Aku takut. Di saat semua orang yang ada di sekitarku pada akhirnya memilih pergi dan tak lagi menyayangiku. Aku benar-benar takut.

Bila tahu akan begini akhirnya—bila bisa membaca masa depan—tentu waktu itu, tatkala Ibu meminta izin padaku untuk menikah lagi dengan laki-laki kaya raya, aku pasti dengan tegas akan menolak.

Hidup sederhana, tanpa seorang ayah di sisiku jauh lebih aku harapkan daripada harus dikaruniai kemewahan harta benda—seperti sekarang, tetapi justru malah membuat hidupku hancur.

Percuma. Harta berlimpah kalau tidak bisa mendatangkan ketenangan. Percuma memiliki banyak emas, berlian, permata kalau semuanya itu malah mendatangkan kehancuran. Lagi-lagi percuma.

 “Huf...”

Menghela napas.

‘Kana..., kamu harus kuat. Aku tahu kamu mampu melewati ini semua. Walau kini hidupmu telah hancur. Tapi, kamu tidak boleh patah semangat.

Ayo..., Na. Aku mohon..., kamu harus kuat. Kamu pasti bisa. Kamu enggak boleh lemah seperti ini lagi. Kamu harus tunjukkan pada dunia kalau kamu masih bisa berdiri tegak dengan kakimu sendiri.’

Terangkat sudut-sudut bibirku.

Walau masih sesak, aku harus bangkit seperti bisikan hati kecilku tadi. Aku pasti bisa melewati ini semua. Tidak selamanya roda yang di bawah akan tetap terinjak. Semua ada masanya.

Kemarin, mungkin boleh jadi hari yang buruk bagiku, tetapi hari ini akan menjadi hari yang baik.

Aku mengangguk yakin. Iya, semuanya pasti akan baik-baik saja.

“Huf...”

Kembali membuang napas. Menenangkan detak jantung. Menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa. Kemudian beranjak dari sofa.

Berjalan menuju lemari pakaian. Mencari baju yang kira-kira dapat menutup seluruh tubuhku supaya bekas-bekas kejadian semalam tak terlihat orang.

Setelah menemukan pakaian yang tepat, lanjut kusapukan bedak ke wajah. Aku harus menutupi wajahku yang pucat. Pun halnya dengan bibirku yang membengkak.

Memasukkan buku-buku yang telah kusiapkan jauh-jauh hari. Lanjut, memakai tas punggung dan sepatu. Kemudian bergegas keluar dari kamar.

Aku harus sarapan supaya tubuhku mempunyai tenaga yang cukup untuk melewati hari ini.

“Apa kamu mengadu sama Mama?”

Sontak langkah kakiku langsung terhenti. Tubuhku turut menegang setelah mendengar suara itu.

Bisa kurasakan tubuhku dibalik secara paksa. Laki-laki keji itu berdiri dengan angkuhnya di depanku.

“Ka-kak mau apa la-gi?” ujarku ketus sambil melepas kedua tangannya yang sudah mencengkeram bahuku.

“Kakak antar ke kampus. Kamu pasti masih lelah kalau harus bawa mobil sendiri.”

Cih. Dasar laki-laki tidak punya urat malu.

“Enggak. Aku bisa sendiri. Mending, Kak Zii enggak usah sok peduli sama aku.”

Menatap sang pria tajam.

“Semua ini juga karena Kakak. Lepas! Aku mau berangkat,” amukku.

Dengan segera membalikkan badan. Melanjutkan perjalanan menuju lantai satu.

“Kata siapa Kakak tidak peduli padamu? Kakak peduli, Na. Bahkan lebih daripada itu.”

B0doh amat dengan ucapannya. Aku terus melangkahkan kaki, tak peduli dengan kata-kata manis yang terus ia ucapkan.

“Aaa..., Kak Zii mau apa? Turunkan aku!”

Lagi-lagi entah bagaimana ceritanya, tubuhku sudah berada dalam gendongan si lelaki. Ya, secepat itu memang.

“Kak Zii mau bawa aku ke mana? Lepas! Aku bukan karung! Lepas!”

Menendang-nendangkan kaki. Berontak. Berharap tubuh sang pria kesakitan hingga aku lekas dilepasnya.

“Diam, Kana!” ancamnya.

Namun, gertakan itu tidak membuatku patuh. Malah, aku semakin menjadi-jadi.

Kugigit bahu kanan si pria dengan kuat. Tanganku juga tak tinggal diam. Kujambak-jambak rambut halusnya itu.

Usahaku tidak sia-sia. Detik berikutnya, Kak Zii menurunkanku. Kulihat ia memegang bahu kanannya. Pasti sakit.

Melihat ia kesakitan seperti itu membuat garis-garis bibirku melebar. Tersenyum sinis.

“Makanya jangan suka ikut campur urusan orang.”

Bersedap. Menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Setelah puas menertawakan penderitaan laki-laki b3r3ngs3k itu, aku langsung berlalu.

“Si4l..., aku bisa telat kalau begini,” umpatku frustrasi setelah melihat jam di pergelangan tangan kiriku.

Dengan berat hati, aku memutuskan untuk melewatkan sarapan. Segera, kubawa kaki melangkah ke arah garasi.

Baru akan membuka pintu mobil. Namun, tiba-tiba tanganku dihalangi.

“Kamu masih belum Kakak izinkan bawa mobil sendiri. Kakak tahu tubuhmu masih lemah. Naik! Kakak antar!”

Aku menggeleng seraya melangkah mundur. Tampaknya laki-laki kur4ng ajar ini belum mau menyerah juga.

“Jangan uji kesabaran Kakak, Na. Naik!”

“Enggak. Aku enggak mau semobil sama laki-laki b3r3ngs3k.”

“Naik atau Kakak akan cabut lagi semua alat penunjang kesehatan Ibu calon tunanganmu itu?”

Aku tersenyum sinis. Lagi-lagi ancaman itu.

“Kakak memang peng3cut. Sedikit-sedikit memanfaatkan kelemahan orang. Dasar licik.”

“Naik!” tegasnya seolah tak peduli dengan ucapanku.

“Padahal aku sudah serahkan apa yang Kak Zii mau. Tapi, kenapa Kakak masih mengusikku? Apa yang semalam belum cukup, Kak? Apa Kak Zii belum puas? Apa Kakak mau lihat aku m4ti dulu baru puas? Apa itu yang Kak Zii mau, hah?”

Laki-laki jangkung itu mendekat. Mata hitamnya menatapku lekat.

“Kakak ingin kamu hamil anak Kakak, Na. Karena dengan itu, Kakak bisa membujuk Papa untuk menikahimu,” ujarnya sambil beralih menatap perutku.

“Dasar gil4. Lebih baik aku m4ti dibanding harus mengandung anak laki-laki b3j4t.”

“Kakak memang gil4, Na. Kakak gil4 gara-gara kamu. Kakak tidak mau wanita yang Kakak cintai harus bertunangan dengan lelaki lain. Kakak tidak rela.”

Kak Zii semakin mendekat, sedang aku kembali mundur.

“Apa yang Kakak lakukan itu bukan cinta namanya. Kalau Kak Zii memang mencintaiku, seharusnya Kak Zii menjagaku. Bukan malah merusakku. Kak Zii tahu..., gara-gara Kakak hidupku sekarang hancur. Aku hina. Aku kotor. Seharusnya Kak Zii tahu itu.”

Kak Zii hanya diam. Tak ada pembelaan yang ia lakukan.

Namun, beberapa saat kemudian. Ia memelukku. Aku sempat menolak, tetapi lama-kelamaan tubuhku mulai lelah.

“Kakak akan tanggung jawab. Kakak janji akan menikahimu, Sayang. Kakak janji.”

Kak Zii semakin merapatkan pelukannya. Sedikit demi sedikit kepalanya diturunkan, mendekat ke arah wajahku.

Aku yang melihat hal itu hanya terdiam. Bingung. Haruskah kumenghindar?

“A-apa yang mau Kak Zii lakukan?” ujarku sambil memberontak.

Sekuat tenaga kudorong wajahnya dengan tanganku yang bebas.

“Izinkan Kakak m3nciUmmu, Na. Hanya sebentar. Tidak selama seperti yang kita lakukan semalam.”

Aku baru akan menolak kembali, tetapi sebuah suara yang aku kenal mengurungkan niatanku.

“Tidak selama seperti semalam? Apa maksudnya itu, Eziio?”

Benar. Itu suara Papa.

Next...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!