Sudah sepuluh menit sejak kepergian Mama dari kamarku. Namun, aku masih tetap mematung di tempat semula—sofa.
Benakku masih memikirkan ucapan Mama tempo lalu. Apa Mama memang sekejam itu? Perkataan Mama yang menyuruhku tutup mulut benar-benar tak masuk di logika.
Ibu mana yang tega melihat anaknya dil3c3hkan dan hanya memilih bungkam tanpa meminta pertanggungjawaban.
Kini, aku meragukan Mama. Apakah wanita yang telah melahirkanku itu betul-betul sayang padaku? Apakah beliau mencintaiku? Menganggapku sebagai anaknya?
B0d0h. Payah. Tukang buat masalah. Gegabah.
Aku tahu..., aku memang seperti itu. Tapi, tidak bisakah aku bahagia? Padahal, beberapa hari yang lalu, semuanya terlihat sempurna.
Aku bahkan pernah memimpikan hidupku yang akan berjalan luar biasa indahnya saat tahu bahwa pertunanganku dengan Dien tinggal menghitung minggu.
Namun, apakah mimpi itu—harapan itu—akan tetap terwujud setelah apa yang semalam terjadi padaku?
Apakah..., apakah Dien masih mau menerima gadis yang kini tak lagi suci? Apakah laki-laki pujaan hatiku itu masih mau melihat diriku yang hina ini?
Aku takut. Di saat semua orang yang ada di sekitarku pada akhirnya memilih pergi dan tak lagi menyayangiku. Aku benar-benar takut.
Bila tahu akan begini akhirnya—bila bisa membaca masa depan—tentu waktu itu, tatkala Ibu meminta izin padaku untuk menikah lagi dengan laki-laki kaya raya, aku pasti dengan tegas akan menolak.
Hidup sederhana, tanpa seorang ayah di sisiku jauh lebih aku harapkan daripada harus dikaruniai kemewahan harta benda—seperti sekarang, tetapi justru malah membuat hidupku hancur.
Percuma. Harta berlimpah kalau tidak bisa mendatangkan ketenangan. Percuma memiliki banyak emas, berlian, permata kalau semuanya itu malah mendatangkan kehancuran. Lagi-lagi percuma.
“Huf...”
Menghela napas.
‘Kana..., kamu harus kuat. Aku tahu kamu mampu melewati ini semua. Walau kini hidupmu telah hancur. Tapi, kamu tidak boleh patah semangat.
Ayo..., Na. Aku mohon..., kamu harus kuat. Kamu pasti bisa. Kamu enggak boleh lemah seperti ini lagi. Kamu harus tunjukkan pada dunia kalau kamu masih bisa berdiri tegak dengan kakimu sendiri.’
Terangkat sudut-sudut bibirku.
Walau masih sesak, aku harus bangkit seperti bisikan hati kecilku tadi. Aku pasti bisa melewati ini semua. Tidak selamanya roda yang di bawah akan tetap terinjak. Semua ada masanya.
Kemarin, mungkin boleh jadi hari yang buruk bagiku, tetapi hari ini akan menjadi hari yang baik.
Aku mengangguk yakin. Iya, semuanya pasti akan baik-baik saja.
“Huf...”
Kembali membuang napas. Menenangkan detak jantung. Menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa. Kemudian beranjak dari sofa.
Berjalan menuju lemari pakaian. Mencari baju yang kira-kira dapat menutup seluruh tubuhku supaya bekas-bekas kejadian semalam tak terlihat orang.
Setelah menemukan pakaian yang tepat, lanjut kusapukan bedak ke wajah. Aku harus menutupi wajahku yang pucat. Pun halnya dengan bibirku yang membengkak.
Memasukkan buku-buku yang telah kusiapkan jauh-jauh hari. Lanjut, memakai tas punggung dan sepatu. Kemudian bergegas keluar dari kamar.
Aku harus sarapan supaya tubuhku mempunyai tenaga yang cukup untuk melewati hari ini.
“Apa kamu mengadu sama Mama?”
Sontak langkah kakiku langsung terhenti. Tubuhku turut menegang setelah mendengar suara itu.
Bisa kurasakan tubuhku dibalik secara paksa. Laki-laki keji itu berdiri dengan angkuhnya di depanku.
“Ka-kak mau apa la-gi?” ujarku ketus sambil melepas kedua tangannya yang sudah mencengkeram bahuku.
“Kakak antar ke kampus. Kamu pasti masih lelah kalau harus bawa mobil sendiri.”
Cih. Dasar laki-laki tidak punya urat malu.
“Enggak. Aku bisa sendiri. Mending, Kak Zii enggak usah sok peduli sama aku.”
Menatap sang pria tajam.
“Semua ini juga karena Kakak. Lepas! Aku mau berangkat,” amukku.
Dengan segera membalikkan badan. Melanjutkan perjalanan menuju lantai satu.
“Kata siapa Kakak tidak peduli padamu? Kakak peduli, Na. Bahkan lebih daripada itu.”
B0doh amat dengan ucapannya. Aku terus melangkahkan kaki, tak peduli dengan kata-kata manis yang terus ia ucapkan.
“Aaa..., Kak Zii mau apa? Turunkan aku!”
Lagi-lagi entah bagaimana ceritanya, tubuhku sudah berada dalam gendongan si lelaki. Ya, secepat itu memang.
“Kak Zii mau bawa aku ke mana? Lepas! Aku bukan karung! Lepas!”
Menendang-nendangkan kaki. Berontak. Berharap tubuh sang pria kesakitan hingga aku lekas dilepasnya.
“Diam, Kana!” ancamnya.
Namun, gertakan itu tidak membuatku patuh. Malah, aku semakin menjadi-jadi.
Kugigit bahu kanan si pria dengan kuat. Tanganku juga tak tinggal diam. Kujambak-jambak rambut halusnya itu.
Usahaku tidak sia-sia. Detik berikutnya, Kak Zii menurunkanku. Kulihat ia memegang bahu kanannya. Pasti sakit.
Melihat ia kesakitan seperti itu membuat garis-garis bibirku melebar. Tersenyum sinis.
“Makanya jangan suka ikut campur urusan orang.”
Bersedap. Menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Setelah puas menertawakan penderitaan laki-laki b3r3ngs3k itu, aku langsung berlalu.
“Si4l..., aku bisa telat kalau begini,” umpatku frustrasi setelah melihat jam di pergelangan tangan kiriku.
Dengan berat hati, aku memutuskan untuk melewatkan sarapan. Segera, kubawa kaki melangkah ke arah garasi.
Baru akan membuka pintu mobil. Namun, tiba-tiba tanganku dihalangi.
“Kamu masih belum Kakak izinkan bawa mobil sendiri. Kakak tahu tubuhmu masih lemah. Naik! Kakak antar!”
Aku menggeleng seraya melangkah mundur. Tampaknya laki-laki kur4ng ajar ini belum mau menyerah juga.
“Jangan uji kesabaran Kakak, Na. Naik!”
“Enggak. Aku enggak mau semobil sama laki-laki b3r3ngs3k.”
“Naik atau Kakak akan cabut lagi semua alat penunjang kesehatan Ibu calon tunanganmu itu?”
Aku tersenyum sinis. Lagi-lagi ancaman itu.
“Kakak memang peng3cut. Sedikit-sedikit memanfaatkan kelemahan orang. Dasar licik.”
“Naik!” tegasnya seolah tak peduli dengan ucapanku.
“Padahal aku sudah serahkan apa yang Kak Zii mau. Tapi, kenapa Kakak masih mengusikku? Apa yang semalam belum cukup, Kak? Apa Kak Zii belum puas? Apa Kakak mau lihat aku m4ti dulu baru puas? Apa itu yang Kak Zii mau, hah?”
Laki-laki jangkung itu mendekat. Mata hitamnya menatapku lekat.
“Kakak ingin kamu hamil anak Kakak, Na. Karena dengan itu, Kakak bisa membujuk Papa untuk menikahimu,” ujarnya sambil beralih menatap perutku.
“Dasar gil4. Lebih baik aku m4ti dibanding harus mengandung anak laki-laki b3j4t.”
“Kakak memang gil4, Na. Kakak gil4 gara-gara kamu. Kakak tidak mau wanita yang Kakak cintai harus bertunangan dengan lelaki lain. Kakak tidak rela.”
Kak Zii semakin mendekat, sedang aku kembali mundur.
“Apa yang Kakak lakukan itu bukan cinta namanya. Kalau Kak Zii memang mencintaiku, seharusnya Kak Zii menjagaku. Bukan malah merusakku. Kak Zii tahu..., gara-gara Kakak hidupku sekarang hancur. Aku hina. Aku kotor. Seharusnya Kak Zii tahu itu.”
Kak Zii hanya diam. Tak ada pembelaan yang ia lakukan.
Namun, beberapa saat kemudian. Ia memelukku. Aku sempat menolak, tetapi lama-kelamaan tubuhku mulai lelah.
“Kakak akan tanggung jawab. Kakak janji akan menikahimu, Sayang. Kakak janji.”
Kak Zii semakin merapatkan pelukannya. Sedikit demi sedikit kepalanya diturunkan, mendekat ke arah wajahku.
Aku yang melihat hal itu hanya terdiam. Bingung. Haruskah kumenghindar?
“A-apa yang mau Kak Zii lakukan?” ujarku sambil memberontak.
Sekuat tenaga kudorong wajahnya dengan tanganku yang bebas.
“Izinkan Kakak m3nciUmmu, Na. Hanya sebentar. Tidak selama seperti yang kita lakukan semalam.”
Aku baru akan menolak kembali, tetapi sebuah suara yang aku kenal mengurungkan niatanku.
“Tidak selama seperti semalam? Apa maksudnya itu, Eziio?”
Benar. Itu suara Papa.
Next...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
نورالجنة √🍁 _✍︎
sodara tiri emang meresahkan.
2023-01-18
1