5. Aku Menyerah, Na

Hatiku benar-benar bahagia sekarang. Paling tidak di balik penderitaan yang kualami, akan terbalaskan oleh kehadiran Dien.

Aku sangat merindukan laki-laki itu. Tak sabar rasanya segera memeluk dan menumpahkan semua resah ini.

“Ma-af, Di..., ak-u la-ma.”

Aku hampir kehabisan napas karena saking semangatnya berlari.

“Enggak papa, Na. Sini duduk! Aku juga baru sampai,” ucapnya lembut sembari disuruhnya aku duduk di sofa—di sampingnya.

Entah mengapa perasaanku menjadi tak enak. Meski sikap Dien terlihat biasa-biasa saja, tetapi gelagat pria ini tidak wajar.

Sedari tadi, ia memang masih memamerkan senyumnya, tetapi laki-laki ini tidak bisa menipuku. Senyum yang ia persembahkan terlihat dipaksakan.

Matanya pun menyiratkan kehampaan, tidak ada binar kebahagiaan sebagaimana yang ia kerap tunjukkan setiap kami bertemu.

Sekarang, ia lebih banyak diam. Padahal biasanya, ia akan selalu bertanya banyak saat kita berjumpa.

Mulai dari kabarku, bahkan hingga hal-hal remeh sekali pun. Seperti sudahkah aku mencabut charger ponsel dari colokannya. Karena kebiasaanku memang seperti itu, sering lupa mencabut charger hp.

Masih teringat betul bagaimana ia menasihatiku saat aku terus mengulang kebiasaan burukku itu.

“Na..., charger yang masih menancap di stopkontak itu..., punya aliran listrik kuat. Kalau disentuh memungkinkan orang bisa kesetrum.

Charger yang ditancapkan terus di colokan dapat membuat usia kabel pendek dan menjadi mengelupas. Itu juga bisa berakibat fatal, contohnya kebakaran.

Charger yang tidak dicabut di colokan saat tidak digunakan juga bisa mengambil daya listrik rumah. Ya, meskipun tidak terlalu besar, tapi jika dilakukan setiap hari itu bisa membuat daya listrik di rumah cepat habis.”

Kurang lebih begitulah nasihatnya.

“Kenapa?” ucapnya datar.

“Enggak papa. Aku cuma lagi mikir kenapa kamu mendadak diam begini. Tidak biasa.”

“Di...”

Kuraih tangan kanannya. Menggenggamnya erat. Lamat-lamat menatap wajahnya yang entah mengapa terlihat kelelahan.

Apakah semalam ia tidak tidur? Apakah ia harus terjaga sepanjang malam demi menemani Ibunya?

Ya Tuhan..., apa yang sebenarnya telah kulakukan. Di saat laki-lakiku seharian ini harus mati-matian menjaga dan menemani Ibunya, aku malah dengan bodohnya merusak diriku sendiri. Melewati malam panas yang tidak kuhendaki itu.

“Di..., apa aku ada salah hingga kamu jadi sependiam ini? Aku minta maaf. Maaf.”

Dasar munafik. Aku tidak bisa berterus terang padanya. Aku hanya bisa meminta maaf, meski itu semua percuma. Tidak lantas mengembalikan kehormatanku. Pun aku tak mungkin menceritakan kejadian itu pada Dien, aku masih belum siap kehilangannya.

Tidak. Aku takut.

“Na...,” panggilnya lembut seperti biasanya.

Ia menatapku. Lagi-lagi dengan tatapan sendunya.

“Aku menyerah dengan hubungan kita, Na. Aku ingin mengakhiri semuanya, termasuk dengan pertunangan kita.”

Deg!

Hatiku yang awalnya terasa ditumbuhi bunga-bunga kini berganti  menjadi dihujani belati.

Sakit. Perih. Sesak. Bercampur menjadi satu.

Netraku memanas, mulai berkaca-kaca. Aku yakin sebentar lagi cairan bening yang sejak tadi terus kutahan akan tumpah ruah.

Mengabaikan tanganku yang bergetar, tetap kugenggam tangan laki-lakiku itu.

Menatapnya sedalam mungkin.

“Di..., ka-mu pasti bercanda, kan? Kamu enggak serius mengatakannya kan? Kita enggak mungkin akan mengakhiri semua ini kan, Di? Aku mencintaimu dan kamu juga mencintaiku. Katakan kalau semuanya ini hanya gurauanmu. Aku mohon katakan!”

Aku menggeleng berulang kali. Sementara, pipiku telah basah oleh kristal bening yang tidak dapat lagi kutahan.

“Maaf, Na. Aku sudah tidak lagi mencintaimu,” ucapnya datar.

Halus sekali, seakan-akan tak ingin menyakiti tanganku, ia  melepas tangannya dari genggamanku.

Sudah pasti, hatiku semakin ngilu melihat penolakannya.

“Kamu mencintaiku, Di. Kamu sendiri yang bilang. Kamu pasti bohong. Aku enggak percaya.”

Memaksa mata mengerjap-ngerjap karena terhalang air bening yang terus mengalir.

Tak peduli bila wajahku terlihat buruk di mata Dien sekarang. Aku sungguh tak peduli dengan make up-ku yang telah luntur. Sama sekali tak kupedulikan hal itu. Aku hanya mau Dien menarik kembali ucapannya.

“Kalau kamu memang tidak mencintaiku. Lalu..., kenapa... kenapa kamu begitu perhatian padaku sampai-sampai kamu mau bertunangan denganku? Kenapa?”

Dien hanya terdiam. Bahkan kini tak lagi ditatapnya diriku. Ia membuang muka.

“Lihat aku dan katakan kalau kamu tidak mencintaiku, Di. Tatap aku! Tatap!”

Kutarik kerah bajunya supaya ia mau menolehkan wajahnya. Namun, sia-sia. Ia tidak juga melihatku.

“Bilang kalau kamu hanya bercanda. Aku mohon!”

Memukul-mukul dadanya.

Aku mulai frustrasi melihatnya yang hanya diam membisu bak patung pajangan.

“Aku hanya memanfaatkanmu, Na. Aku melakukan semua itu karena menginginkan uangmu. Hanya kamu yang bisa bantu Ibuku,” ucapnya tanpa sedikit pun menolehkan wajahnya padaku.

Lagi-lagi aku menggeleng. Ia pasti berbohong. Aku tak percaya.

Namun, meski tak percaya, rasanya amat sakit. Bahkan jauh lebih sakit daripada ketika Kak Zii menyuruhku untuk melayaninya.

“Maaf, Na. Aku minta maaf. Aku tahu aku salah.”

Ia akhirnya menatapku. Lagi-lagi tatapan yang amat kosong.

“Aku akan segera lunasi semua biaya yang kamu keluarkan untuk pengobatan Ibuku. Kebetulan aku sudah mendapatkan uang. Mulai hari ini kamu tidak perlu lagi mengurusi pengobatan Ibu. Aku akan menanggungnya sendiri.”

Sungguh. Aku sama sekali tak menginginkan uang itu dikembalikan karena aku benar-benar ikhlas membantu Tante Mita.

Terlepas Dien adalah calon tunanganku atau tidak, terlepas dia laki-laki pujaanku atau tidak. Aku akan tetap menolongnya.

“Terima kasih sudah mau membantuku dan Ibu, Na. Maaf, bila selama ini aku hanya mempermainkan hatimu. Aku berharap kamu menemukan laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Sekali lagi, maaf.”

“Aku tidak akan memaafkanmu sebelum kamu menarik kembali ucapanmu. Aku mohon. Katakan kalau apa yang aku dengar barusan semuanya bohong.”

Dien menggeleng.

“Di..., aku tahu kamu enggak mau hubungan kita berakhir, kan? Aku..., aku juga begitu. Aku masih butuh bantuanmu. Karena hanya kamu yang bisa menolongku. Aku mohon. Bantu aku keluar dari rumah ini. Menikahlah denganku, Di! Jadikan aku milikmu!”

Kembali lagi, kucoba menggenggam tangan Dien. Memberinya keyakinan bahwa aku memang tidak ingin kehilangannya dan apa yang barusan kuucapkan adalah keniscayaan.

Namun, lagi-lagi Dien melepas tanganku.

“Maaf, Na. Aku tidak bisa. Kamu bukan wanita yang ingin aku nikahi. Maaf. Aku harus segera pergi. Ibu lebih membutuhkanku sekarang.”

Dien kemudian bangkit dari sofa dan berjalan begitu saja tanpa sedikit pun menoleh ke arahku lagi.

Aku sangat ingin mengejarnya, tetapi kakiku telah kehilangan tenaganya bahkan untuk sekadar berdiri sekali pun. Kepalaku terasa berat. Pusing luar biasa.

“Di, lalu apa artinya pengorbananku selama ini? Aku bahkan sudah menyerahkan kesucianku kepada laki-laki itu semata-mata untuk melindungi Ibumu?

Apa sedikit pun tak ada rasa iba di hatimu untukku? Tolong aku, Di! Keluarkan aku dari rumah ini! Hidupku hancur! Aku mohon Di..., kembalilah! Aku membutuhkanmu.”

Dan bruk..., tubuhku ambruk.

Next...

Terpopuler

Comments

Radit Raka15

Radit Raka15

nangis aq bacanya thor.. 😭😭

2023-05-27

0

نورالجنة √🍁 _✍︎

نورالجنة √🍁 _✍︎

keknya Dien bakalan susah ngedapetin maaf dari Kana. hanya karna hasutan pihak luar kok sampe gk ngedengerin penjelasan Kana. jahat kau Dien!!

2023-01-18

0

Ela Suminar

Ela Suminar

dien pasti di ancam zii... kasian kana 🥺😫

2023-01-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!