Setulus Cinta Naia

Setulus Cinta Naia

Harus pergi

"Tolong beri saya sedikit waktu Bu!" Seorang gadis sedang menunduk menahan kepedihan di hadapan wanita yang sedang menagih uang kontrakan rumah yang dia tempati bersama kedua orang tuanya.

"Maaf ya Nai, Ibu kali ini tidak bisa lagi memberi kelonggaran waktu. Ibu juga sangat butuh uang, Pak Dayat harus segera di rawat di rumah sakit."

Gadis bernama Naia itu menitihkan air matanya. Dia harus bagaimana? sedangkan waktu gajian masih seminggu lagi.

"Nai, Ibu cuma bisa kasih kamu waktu dua jam dari sekarang untuk beberes, karena sebentar lagi penghuni baru akan datang."

Naia meremas gamis lusuhnya. Dia bingung ingin berbuat apa. Setelah kepergian Ibu Laila Nai buru-buru menghubungi Kaka sulungnya.

"Halo, Assalamualaikum Mas Wahid."

"Waalaikumsalam, Nai."

"Mas, Nai bisa minta tolong tidak? Nai gajian masih satu minggu lagi, sedangkan Nai harus membayar kontrakan rumah sekarang juga, kalau tidak Kami harus mengosongkan isi...."

"Aduh Nai maaf ya, Mas nggak bisa bantu. Kamu tau sendiri Mbak mu lagi hamil muda dikit-dikit pingin makan ini-itu. Kalau uangnya kamu pinjam kalau Mbakmu pas mau apa-apa bagaimana? Coba deh kamu pinjam Duwi." Ucapan Naia yang belum selesai langsung dipotong oleh si sulung.

Setelah Wahid menutup teleponnya, Naia segera menghubungi Kaka keduanya.

"Halo, Assalamualaikum Mba." Sapa Nai ketika panggilannya sudah di angkat oleh Duwi.

Naia juga langsung menyampaikan tujuannya menghubungi Kaka nya itu, dan lagi-lagi Naia harus menelan kekecewaan.

"Aduh Nai, Suami Mbak nggak ngebolehin sembarangan hutangin orang apalagi kalau tidak ada jaminan."

"Tapi Mba, aku kan adiknya Mbak." Naia dibuat terkejut oleh perkataan Duwi.

"Uang itu bukan saudara Nai, lagian siapa suruh kamu nggak nikah-nikah biar ada yang belikan kamu rumah kayak Mbak mu ini." bukannya membantu Kaka kedua Naia justru memberi petuah sesatnya.

"Mba kasihan Bapak sama Ibu kalau sampai kami harus keluar kontrakan." Iba Naia.

"Maaf ya Nai, itu urusan kamu. Kamu kan anak terakhir jadi warisan Ibu dan Bapak itu milik kamu sudah menjadi tugasmu mengurus orang tua, sudah ya, mba mau arisan."

Begitu panggilan di tutup. Nai langsung menghela napasnya dalam.

Kini harapan satu-satunya adalah Trianto Kaka ketiganya. Sebelum menekan nama yang tertera di layar ponselnya Naia berdoa dengan segenap harapan.

Ya Allah bantu hamba mu ini.

Tut

Tut

Tut

"Halo," Nai mengernyit mendengar suara perempuan di sebrang sana.

"Halo, Assalamualaikum mba, Mas Trio ada?" Mendengar Kaka iparnya yang mengangkat panggilannya Naia bertanya keberadaan Trianto.

"Mas Trio ada nih di samping lagi dengerin suara kamu, kenapa Nai?"

"Anu, Mba, Nai mau ... "

"Kalau kamu telpon cuma mau minta uang maaf ya Nai, kami ini bukan tempat meminta sumbangan."

"Astagfirullah, Mba. Nai memang butuh uang, tapi niat Nai mau pinjam bukan minta sumbangan, Nai belum gajian dan kami harus membayar uang sewa kontrakan, kalau tidak kami harus meninggalkan rumah."

"Nah, dengarkan? Kalau adikmu telpon pasti ada maunya."

Naia mengelus dada saat terdengar keributan di sebrang sana, Harapan Naia pupus sudah. Karena tidak mau mendengar suara bising Kaka iparnya yang sedang mengamuk akhirnya Naia memilih mematikan panggilan.

Naia menarik napas lalu menghembuskan pelan. Wajahnya mendongak dengan mata yang berkaca-kaca.

Naia memikirkan bagaimana nanti mengatakan kepada Bapak dan Ibunya jika mereka harus segera pergi.

Bapak dan Ibu Naia hanya seorang petani, sedari kecil Nai dan saudaranya makan dari hasil bertani. Dari hasil bertani juga kedua orang tuanya menyekolahkan mereka hingga tamatan SMA, meskipun kadang tidak cukup uang dari hasil pertanian kedua orang tuanya rela pinjam uang sana sini untuk menyekolahkan mereka berempat.

Wahid begitu lulus SMA langsung merantau, dia bernasib baik sampai bisa melanjutkan pendidikannya hingga kuliah dan menjadi sarjana.

Setelah sukses Wahid menikah dengan wanita yang dia inginkan, tetapi tak sedikitpun mengingat kedua orang tuanya.

Duwi Kaka kedua Naia juga bernasib baik, dapat suami mapan dan katanya seorang direktur di sebuah perusahaan. Tetapi dia tidak pernah mau mengunjungi kedua orang tuanya katanya di desa kurang ramah lingkungan.

Sementara Trianto yang kerap di panggil Trio dia adalah anak kesayangan kedua orangtuanya, dulu setelah menikah dengan istrinya dia masih sempat tinggal bersama kedua orang tuanya sampai pada akhirnya Trianto berencana membuka sebuah usaha. Karena sama-sama dari keluarga tak berpunya kedua orang tuanya meminjam modal ke bank untuk modal Trianto membuka usaha.

Tetapi usaha Trianto bangkrut membuat rumah akhirnya disita oleh Bank karena tidak mampu membayar bunganya.

Dan setelah rumah di sita Bank, akhirnya Naia dan kedua orang tuanya terpaksa tinggal di kontrakan.

Sementara nasib Trianto sudah jauh lebih baik, tetapi dia juga melupakan kedua orang tuanya.

Jujur Naia jadi takut memikirkan sebuah pernikahan. Dia takut salah memilih calon suami.

Dia tidak mau seperti kedua Mas dan Mbaknya. Mereka berubah setelah menikah. Harta membuat mereka lupa akan baktinya.

Mereka lupa kehidupan susah dahulu, lupa dengan pengorbanan orang tua saat harus berhutang sana sini, rela memeras tenaga mencari nafkah demi bisa menyekolahkan anak-anaknya, memberi makanan halal dari jerih payah yang memeras tenaga.

Naia mencium punggung tangan Bapak dan Ibunya takzim. Menguatkan hati untuk mengabarkan berita yang kurang baik.

Tanpa sadar air mata Naia sudah mengalir begitu saja. Naia cepat menghapusnya.

Pak Subhan mengelus puncak kepala putrinya.

Naia mengukir senyum, dia memberikan plastik hitam yang ada di tangannya pada sang Ibu.

"Kita makan gado-gado dulu ya Pak, Bu."

Wajah kedua orang tuanya berbinar saat mendengar putrinya membeli makanan untuk makan bersama.

Ketiganya makan dengan lahap, mereka duduk lesehan dengan beralaskan tikar. Naia senang bisa menyenangkan hati orang tuanya, meski mungkin sebentar lagi mereka akan bersedih.

Selesai makan Naia memberikan obat pegel linu untuk Pak Subhan dan memberi minyak kayu putih untuk Ibu Sari.

Nai mengambilkan air minum untuk Bapaknya meminum obat dan juga memijit lengan Ibunya yang di balur minyak kayu putih.

Mau bicara saja Nai sangat sulit, kedua orang tuanya sudah sepuh. Bapak nya sudah berumur Tujuh puluh dua tahun, Sementara Ibunya berusia enam puluh delapan tahun. Usia yang semestinya tidak memikirkan beban hidup. Tetapi mau bagaimana lagi. Rumah ini bukan milik mereka.

'Bismillah' niat Naia dalam hati.

"Pak, Bu, Nai minta maaf jika Nai belum bisa membuat kalian bahagia." ucap Naia menahan tangis. "Kita tidak bisa tetap tinggal di sini, Ibu Laila tidak bisa lagi memberi kelonggaran waktu untuk kita membayar kontrakan, beliau juga sedang kesusahan, karena itu ....."

"Tidak apa-apa." Pak Subhan langsung menyela dengan suara bergetar menahan tangis.

Terpopuler

Comments

Sandisalbiah

Sandisalbiah

izin baca ya thor... semangat

2023-08-29

0

Aisyah Nabila

Aisyah Nabila

aku mampir ya thor🌹

2023-08-25

0

Kusii Yaati

Kusii Yaati

baru baca langsung mewek thorrr☹️

2023-02-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!