Tempat tinggal untuk Nai

"Jangan menangis nduk, Bapak, sama Ibu tidak apa-apa."

Naia tidak berani menatap wajah kedua orang tuanya, dia merasa gagal menjadi seorang anak. Naia merasa tidak bisa diandalkan.

Saat ini Naia sangat mengkhawatirkan kedua orang tuanya, Naia memang selalu memprioritaskan kebahagiaan kedua orang tuanya diatas segalanya. Tapi Naia hanya bekerja di sebuah minimarket tak jauh dari tempat tinggalnya. Gajinya tidak seberapa, jauh dari kata cukup.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Naia kadang rela mengantikan jam kerja temannya, atau mencari pekerjaan lain diluar jam kerja misalnya membantu warga sekitar beberes rumah, cuci gosok dan lainnya.

Capek sih, tapi uangnya lumayan buat tambahan bayar kontrakan.

Naia ingin jika suatu hari nanti menikah, suaminya bisa mengerti kondisinya, syukur-syukur mau mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal bersama.

Kadang Naia begitu merindukan saat mereka masih berkumpul dan tinggal bersama seperti dulu. Walaupun hidup serba pas-pasan tetapi kakak beradik hidup rukun, saling berbagi dan yang penting selalu ada untuk memikul beban hidup bersama.

Sekarang semuanya berubah setelah mereka memiliki kehidupan masing-masing. Kedua mas dan Mbanya sudah melupakan kedua orang tuanya setelah hidup berkecukupan. Memang benar, lingkungan sekitar akan merubah seseorang.

Naia mengenggam tangan kedua orang tuanya dan berpamitan mengemasi barang mereka.

Hanya sedikit perabotan karena mereka memang hidup dengan serba kekurangan.

Naia baru saja selesai mengepak kardus bekas mie instan yang berisikan pakaian kedua orang tuanya saat pintu rumah diketuk dari luar.

Nai memijit pelan keningnya yang berdenyut nyeri, sebelum melangkah membuka pintu.

Ternyata orang yang datang adalah calon penghuni baru.

"Tunggu sebentar ya Mba, ini sudah hampir selesai."

Nai berkata ramah. Padahal Bu Laila memberikan mereka waktu dua jam, tetapi penghuni baru datang setengah jam lebih cepat.

Berkali-kali Naia menghela napas panjang. Beban pikirannya mengikis wajah ceria gadis 20 tahun itu.

Naia meninggalkan kamarnya dengan lemas, begitupun kedua orang tuanya.

'Tolong beri solusi dan jalan keluarnya ya Allah.'

"Sudah selesai nduk?" tanya Bu Sari.

"Alhamdulillah sudah Bu." Naia terseyum sambil memamerkan deretan giginya yang rapi, lesung pipinya tampak cekung, menambah kecantikan bungsu Pak Subhan.

Pak Subhan melihat kearah putrinya dan bibirnya seperti ingin berkata sesuatu. Namun beliau tidak bicara malah terlihat menghela napas.

Di halaman kontrakan sudah ada mobil yang berisikan barang calon penghuni baru.

'Kemana aku harus membawa Ibu dan Bapak ya Allah.'

Saat Naia mengeluarkan barangnya yang tak seberapa, ada tetangga yang datang membantu.

"Jadi kamu akan pindah Nai?" Mba Tanti orang yang kenal dekat sama Naia kaget melihat ada mobil yang sudah terparkir di depan kontrakan Naia.

"Iya mba."

"Kamu pindah kemana, Nai?"Tanya Mba Tanti sambil membantu Pak Subhan turun dari undakan tangga.

Naia menunduk. "Masih belum tau Mba "

"Loh gimana to Nai? Jadi kalian belum memiliki tujuan?" Tanti ini seorang guru, dia kerap kali mengunakan jasa Naia untuk menyetrika baju dan juga beberes rumah.

Naia mengangguk malu. Tas di tangan Naia langsung di tarik oleh Tanti.

"Ojo edan koe, kalau nggak ada tujuan ya kasihan Pak Subhan dan Bu Sari, ini sudah mau gelap nggak lama magrib, kerumah Mba dulu, besok baru tak carikan tepat tinggal"

Mata Naia langsung berkaca-kaca mendengar ucapan Tanti, dia yang hanya orang lain saja tak tega melihat keadaan kedua orang tuanya, mengapa ketiga saudara kandungnya malah tega?

Tanti benar-benar memboyong Naia dan kedua orang tuanya. Meskipun rumah Tanti tidak besar tetapi itu rumah sendiri, tidak menyewa.

Bahkan Tanti juga membelikan mereka makan setelah mereka selesai shalat Maghrib.

"Mba ngelesin anak Pak RT dulu, nggak apa-apakan mba tinggal? Nanti sebelum jam sembilan mba udah pulang. Kunci aja pintunya dari dalam, mba bawa kunci cadangan, kamu ajak Pak Subhan dan Bu Sari nonton tv aja sambil menunggu shalat isya."

Tidak ada yang bisa Naia katakan selain terimakasih pada Tanti.

Setelah Tanti pergi Naia menghampiri kedua orang tuanya yang duduk di kursi rotan di ruang tamu.

Bu Sari memandang Naia sendu, Pak Subhan mengelus punggung tangan putrinya.

"Kalau nanti kamu sukses. Jangan lupakan Bapak - Ibu seperti Mas, Mbakmu, ya Nai. Gini-gini kami yang membesarkan kalian dengan penuh perjuangan, bahkan Bapak-Ibu reka mati untuk bisa mencukupi kebutuhan kalian semasa kecil." Suara Pak Subhan terdengar parau. Matanya berkaca-kaca dengan tangan yang gemetaran karena nelangsa.

Tangis Naia pecah di pelukan kedua orang tuanya.

Naia tau, kedua orang tuanya takut si bungsu juga akan melupakan segala pengorbanan mereka dan menganggap mereka beban yang harus di jauhi sejauh-jauhnya. Apa mereka tidak berpikir menyia-nyiakan orang tua adalah dosa? Mengapa mereka tak ingat susah nya dulu sama siapa? Setelah sukses tak ubahnya seperti kacang lupa kulitnya.

"Insyaallah, Nai nggak akan seperti itu Pak, Kalian adalah kebahagiaan Nai. Kalian prioritas Nai." Lirih Naia yang semakin mengeratkan pelukan kedua orang tuanya.

Demi Allah, lebih baik hidup miskin asal ber- akhlak mulia dari pada kaya tapi durhaka.

"Maaf kalau kami yang tua ini menjadi beban untuk mu, Nai."

Ucapan Ibunya membuat tangis Naia semakin kencang.

☘️☘️☘️☘️☘️

Nai terbiasa bangun pagi. Setelah shalat subuh Nai tidak kembali tidur, dia berzikir sebentar meraih ketenangan hatinya.

Usai melakukan kewajibannya, Nai, membersihkan rumah, memasak air panas memasukkan kedalam termos dan menyirami tanaman bunga milik Tanti.

Saat bangun tidur, Tanti sudah menemukan rumahnya yang bersih dan rapi.

"Mba memintamu tinggal disini bukan untuk beres-beres lo Nai." Suara Tanti mengejutkan Naia yang sedang membakar sampah di belakang rumah.

"Nggak apa-apa mba, mba udah mau numpang kami semalam, mungkin jika nggak ada mba, kami bisa tidur di emperan."

Tanti menghela napasnya. Tanti ini seorang Janda kembang yang di tinggal mati oleh suaminya.

Dia hidup sebatang kara di desa ini. Rumah yang di tempati nya sekarang adalah peninggalan orang tua suaminya, yang sudah berpulang jauh lebih lama dibandingkan suaminya sendiri.

Tanti pilih menetap di desa ini karena tidak ada tempatnya untuk pulang di kota kelahirannya. Kedua orang tuanya juga sudah meninggal, sedangkan Tanti anak tunggal.

"Nai, bagaimana kalau kalian tinggal disini sama aku? Aku juga kesepian sebenarnya Nai, rumah ini juga nggak terurus di tangan ku, karena rumah ini ibarat tempat singgah untuk ku yang jarang pulang ini."

"Maksud Mba Tanti bagaimana?" Naia sudah tak mampu membendung air matanya, benarkah Tanti mau menumpang mereka?

Nai tidak takut menjadi gelandangan jika dia seorang diri, tetapi ada kedua orang tuanya yang tidak bisa Nai abaikan. Bahkan jika bisa Nai rela menukar nyawanya untuk kebahagiaan Bapak dan Ibunya yang sudah sangat tua.

Terpopuler

Comments

Sandisalbiah

Sandisalbiah

saat saudara sendiri berpaling dr penderitaan ayah dan ibunya.. masih ada tangan yg ter ulur utk membantunya.. mungkin krn Nai ank yg baik maka ada balasan kebaikan utknya..

2023-08-29

0

Aisyah Nabila

Aisyah Nabila

Alhamdulillah ad yg bntu

2023-08-25

0

HSL

HSL

😭😭😭😭

2023-07-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!