Nirmala adalah perempuan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Adam sejak lama. Ia pula yang merawat Adam sejak lelaki itu dilahirkan. Sejak kecelakaan yang merenggut seluruh keluarga besar Adam. Nirmala orang terdekat lelaki dua puluh sembilan tahun itu.
Saat ini Nirmala sudah siap meninggalkan rumah yang sudah puluhan tahun menjadi tempat mencari rejeki. Rumah besar pinggir kota yang begitu luas dengan pilar-pilar besar. Rumah yang di bangun di daerah yang masih sangat asri. Ada hal yang menarik, Seluruh lantai di rumah ini datar, bebas dari undakan apalagi tangga. Pintu-pintunya lebar berdaun dua keseluruhan. Bukan tanpa alasan, Arsitek benar-benar merancang rumah ini agar ramah untuk penguna kursi roda. Ya kenyataan pahitnya adalah pemilik rumah mewah ini adalah lelaki yang memiliki kekurangan fisik, alias disabilitas.
Nirmala membawa langkah beratnya meninggalkan rumah besar itu beserta pemiliknya yang sudah dianggap sebagai anak sendiri. Andai saja suaminya di kampung mau diboyong ke luar pulau dan tinggal disini bersama lelaki yang sudah dirawatnya sejak lahir, dia sudah lama akan melakukannya, tetapi apa daya orang desa masih sangat kolot. Suaminya takut untuk menyebrangi lautan baik jalur udara maupun laut dan sebagai seorang istri dia wajib berbakti mengurus suami dan meninggalkan seseorang yang akan selalu ada dihatinya.
Nirmala menagis. Dia diantarkan ke stasiun untuk menaiki kereta ekspres sebelum turun di bandara dan melakukan perjalanan udara, sungguh perjalanan yang sangat panjang.
☘️☘️☘️☘️☘️
"Naia kamu sudah pulang?"
Naia menghapus air matanya dengan cepat agar Bapak dan Ibunya tidak melihat ia menangis. Namun terlambat, Pak Subhan dan Bu Sari sudah terlanjur melihat mata Naia yang basah.
Tangan keriput Pak Subhan menempel di pipi Naia yang masih lembab.
'Jangan menatap Nai seperti ini Pak, Nai tidak akan kuat melihat mata Bapak, Mata dengan penuh kesedihan dan rasa kecewa.' Jerit Naia dalam hati.
Naia cepat-cepat mendongak ke atas agar matanya yang sudah berkaca-kaca tak meneteskan buliran air. Tapi sia-sia Pak Subhan sudah menahan dagunya.
"Jangan menangis, Nduk. Kami tidak bisa memberikan apa-apa padamu"lirih Pak Subhan.
Ucapan Pak Subhan menghunus jantung Naia, Rasanya sangat sakit tidak bisa melakukan apapun untuk mengobati kerinduan kedua orang tuanya. Apa daya Tiga banding satu. Nai tak berdaya, hanya air mata yang mewakili segala sesak dihatinya.
Naia mencoba tersenyum, dan buru-buru menghapus air matanya, kepala bertudung kuning telur itu mengangguk.
"Njih Pak, kita masuk ya. Nggak enak nanti dilihat tetangga, nanti Nai dikatakan cengeng lagi nangis di pojokan." Naia mencoba mencairkan suasana yang sedih. Sedikit berhasil karena kedua orang tuanya langsung mencubit pipinya dengan gemas.
Bu Sari menuntun Pak Subhan dengan pelan kedalam rumah. Sebelum benar-benar masuk kedalam, Mereka kembali menoleh ke arah Nai dengan tatapan sendu.
"Kalau Nai dengar keluhan Ibu tadi jangan diambil hati ya Nduk. Ibu memang bodoh selalu ingat sama orang-orang yang bahkan tak pernah mengingat Ibu." Ucap Bu Sari pada Naia yang masih menunduk.
Bohong jika Nai tidak ambil hati keluhan Ibunya. Manusiawi sekali jika orang tua merindukan anak-anak yang pernah dibesarkan sepenuh hati.
Nai tau itu tadi adalah isi hati seorang Ibu, rintihan, luapan kerinduan kepada anak-anaknya yang lupa jalan pulang.
Sudah seharusnya jika anak-anak sudah dewasa berlomba-lomba untuk membahagiakan kedua orang tuanya.
Apalagi Wahid dan Trianto, dia anak laki-laki yang seharusnya menafkahi dan bertanggung jawab penuh atas orang tuanya. Bukan malah menelantarkan setelah sukses dan berpunya.
Naia tidak pernah membenci saudaranya, Nai hanya membenci sikap dan sifat saudaranya yang berubah.
Masalah memang tidak ingin jauh-jauh dari hidup Naia, seharusnya dia bisa sedikit berkesah tentang dia yang kehilangan pekerjaan tetapi dia justru mendengarkan ratapan seorang Ibu yang merindukan anak-anaknya.
Lagi dan lagi yang bisa Naia lakukan adalah mencari solusi seorang diri, tidak mungkin baginya bercerita, Nai tidak mau menambah beban pikiran kedua orang tuanya yang sudah sepuh.
"Nai,"
"Ya, Pak?"
"Kamu jangan terlalu memikirkan Bapak dan Ibu, jika kamu memang sudah ada calon dan ingin menikah, segerakan nak, jangan khawatirkan kami. Mas dan Mbakmu juga nikah di usia muda"
Naia menatap Bapaknya sebentar dan langsung menunduk.
"Nai belum punya pikiran untuk menikah." Naia memang belum memikirkan hal itu, saat ini prioritas Nai adalah cara membahagiakan kedua orang tuanya, sebelum itu Naia tidak ingin memikirkan tentang masa depannya.
"Kamu khawatir dengan kami, Nai?" Tanya Bu Sari mengenggam tangan putrinya.
"Bukan begitu Pak, Bu. Nai masih belum memiliki calon." 'Dan belum ingin meninggalkan kalian dan harus hidup bersama orang baru yang akan merenggut kebahagiaan bapak dan Ibu karena menjadikan pasangan sebagai tuhan dan melupakan jasa orang tua.' Tentu saja sederat kalimat Nai hanya sebatas di pangkal lidah dan tak Naia ucapkan.
"Jangan terlalu mengkhawatirkan kami berdua. Kamu juga punya kehidupan sendiri, Nduk." kali ini suara Pak Subhan terdengar parau.
"Pak, Bu. Sudah jam istirahat, bagaimana kalau kita Videocall dengan mereka, tadi Nai sudah beli Pulsa untuk beli kuota internet. Sebentar Nai daftar dulu."
Harapan Nai tidak muluk-muluk semoga Mas dan Mbanya mau mengangkat panggilan telepon darinya.
"Pak, Ibu mau ber sisiran dulu biar rapi, nanti Wahid, Duwi dan Trianto biar seneng lihat Ibunya."
Tangan Naia yang mengetik angka di layar ponsel sempat terhenti melihat betapa antusiasnya sang Ibu ingin melihat wajah-wajah anaknya yang bahkan tak sedikitpun meluangkan waktu untuk pulang.
"Bapak juga Bu. Apa baju Bapak sudah pantes ya? Coba ambilkan baju biru Bapak yang bekas shalat subuh tadi biar bapak kelihatan gagah."
Air mata Naia jatuh bergantian. Lihatlah betapa sederhana kebahagiaan yang ingin dirasakan Kedua orang tuanya, mereka tidak menginginkan uang dan harta, disaat tua renta mereka hanya menginginkan sedikit waktu dari sang anak, sedikit perhatian sebagai balas budi bagaimana dulu mereka tak jemu menghabiskan seluruh waktunya untuk anak-anaknya bahkan merelakan jam tidurnya hilang demi terus membersamai anak-anaknya.
Naia menatap sendu kedatangan kedua orang tuanya yang sudah bersiap sedemikian rupa.
Nai sudah mengirimkan pesan pada ketiga saudaranya jika dia ingin Videocall Ibu dan Bapak rindu. Tetapi tanggapan keduanya membuat Naia geram. Seandainya Ketiga saudaranya itu berada di hadapannya saat ini Nai tidak akan sungkan menyiramnya dengan minyak panas.
["Assalamualaikum. Mas Wahid Bapak dan Ibu rindu ingin teleponan sama Mas. Tolong di angkat ya mas!🙏🙏.]
["Apa sih Nai? Nggak penting!!! Mas lagi makan di luar sama mbak mu, jangan bikin Mba mu bad mood, Mas nggak mau calon anak mas kenapa-kenapa."]
Membaca balasan dari Wahid Nai segera menekan tombol hijau untuk menghubungi, tetapi baru sekejap Direject oleh Wahid.
["Dasar keras kepala. Telpon saja terus, aku nggak bakal angkat."] ancam Wahid tak berperasaan.
Naia langsung menekan kontak Duwi. Panggilannya tidak di angkat tapi setelahnya ada pesan gambar masuk. Seketika Nai langsung lemas saat Duwi mengirimkan sebuah gambar dimana dirinya berada. Duwi mengirimkan foto selfie yang disana ada gambar dirinya, dan kedua saudara yang lain, Wahid dan Trianto beserta pasangannya. Hati Naia bak terbakar api. Panas tiada ampun. Melihat kedatangan kedua orang tuanya yang sudah bersiap sedemikian rupa semakin membuat hatinya berkobar oleh rasa kebencian terhadap ketiga saudaranya.
'Tolong jangan menangis Pak. Air mata Bapak terlalu berharga untuk anak-anak durhaka seperti mereka.' jerit Naia dalam hati.
Allahu Akbar......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Meby
begitulah hati seorang ibu
2024-03-13
0
Sandisalbiah
semoga mas2 dan mbak nya Nai segera diterima di sisi Allah...
2023-08-29
1
Aisyah Nabila
ya Allah nyesek bngt
2023-08-25
0