Kemarahan si bungsu

Genap satu minggu Naia dan kedua orang tuanya tinggal bersama Tanti. Tanti sangat senang sejak memboyong keluarga Naia tinggal dirumahnya, tidak hanya rumah yang terurus, tetapi dia tak lagi kesepian, ada Pak Subhan dan Ibu Sari yang suka menemaninya menonton televisi ketika malam, ada Naia yang rajin membuatkannya sarapan. Tanti seperti mendapatkan keluarga baru. Dia sudah menganggap Naia seperti adiknya sendiri.

Naia baru pulang saat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.

Rumah sudah sepi. Tanti memang sedang ada kesibukan di luar kota, dan akan datang tiga hari lagi.

Tok!

Tok!

"Pak, Bu. boleh Nai masuk?"

"Buka aja, Nduk, pintunya nggak di kunci."

Nai segera masuk kedalam kamar yang di tempati oleh kedua orang tuanya. Pak Subhan terbaring di atas ranjang, sementara Bu Sari sedang melipat pakaian.

"Nai belikan nasi padang, kita makan baru nonton tv ya Pak, Bu!"

Tampak kedua orang tuanya terseyum bahagia. Membuat hati Naia ikut senang. Pak Subhan yang dulu gagah dan kuat kini terlihat ringkih termakan usia, sejak setahun lalu Pak Subhan sering sakit-sakitan. Begitu juga dengan Bu Sari, matanya sudah tidak awas, sudah pikun, suka lupa, bahkan pada Naia sekalipun.

"Nai, boleh Bapak bertanya?" Ucap Pak Subhan sambil mengelus puncak kepala Naia yang tertutup hijab abu-abu.

Naia mengangguk pelan.

"Lelaki seperti apa yang Nai inginkan untuk jadi Suami?" tanya pak Subhan pada bungsunya.

"Nai ingin lelaki yang bisa menghormati Bapak dan Ibu. Tidak hanya mencintai Nai, tetapi harus sayang pada kedua orang tua Nai. Menerima segala kekurangan maupun kelebihan Nai dan yang paling penting dia saleh dan paham agama."

Pak Subhan mangut-mangut menarik sudut bibirnya.

"Nai, Bapak dan Ibu sudah tua.Tinggal kamu yang belum menikah. Semoga umur Bapak dan Ibu panjang agar bisa melihat mu menikah dengan laki-laki pilihanmu. Laki-laki yang baik, bertanggung jawab, saleh. Dan bisa membimbing mu menjadi istri yang shalihah menjadi pembuka pintu surga."

Dulu waktu anak-anaknya masih kecil Pak Subhan selalu menasehati putra - putrinya.

Untuk Wahid dan Trianto Pak Subhan memberi wejangan. Jika nanti punya istri, mereka harus memperlakukan istrinya dengan baik. Ajari istri untuk bisa menghargai Kedua mertuanya seperti menghargai orang tuanya sendiri. Jangan ada yang ditutupi, apalagi mengaku orang berpunya. Harus jujur jika terlahir dari keluarga sederhana dan berasal dari desa.

Untuk Duwi dan Naia Pak Subhan selalu mengingatkan pesan Rasulullah tentang empat wanita yang layak di nikahi, satu karena hartanya, dua karena nasabnya, tiga karena kecantikannya, dan yang terakhir karena agamanya. Sejak kecil Pak Subhan sudah mengajarkan agama yang baik, mengajarkan tanggung jawab pada ke empat anaknya. Tapi entah mengapa ajaran yang Pak Subhan tanamkan pada putra putrinya seolah tak bermakna.

☘️☘️☘️☘️☘️

Naia baru akan berangkat kerja dengan berjalan kaki, sedikit mengernyit melihat orang-orang berlarian kearah jalan raya.

"Ada apa Bu?" Nai bertanya pada salah seorang wanita yang terlihat akan ikut berlari.

"Ada mobil yang nabrak tukang becak, tapi yang nabrak malah yang marah-marah minta ganti rugi. Kasian Nai, tukang becaknya sudah sepuh."

Nai yang harusnya gegas bekerja malah ikut melihat kearah jalan raya.

Sayup-sayup suara seorang pria memaki dan bersikeras minta ganti rugi mulai dapat Nai dengar. Tetapi semakin dekat Naia merasa tidak asing dengan suara itu.

Nai masuk kedalam kerumunan, ikut melihat becak yang sudah ringsek, kemudian menatap pada si pengemudinya yang sudah tua, Bapak itu tampak ketakutan, kini Naia menatap si pria sombong pemilik mobil, matanya langsung terbelalak saat melihat laki-laki itu yang juga ikut menatapnya.

"Mas Wahid?"

Wahid memutar matanya melihat kedatangan Naia.

"Mas, sudah. Bapaknya kan sudah minta maaf kenapa mas maksa minta ganti rugi? Dimana-mana tetap yang nabrak yang salah." Nai ikut bersungut membela si Bapak tukang becak.

"Tau apa kamu soal beginian. Orang miskin aja belagu!" Sembur Wahid.

"Astagfirullah Mas. Istighfar, kamu terlalu sombong."

"Ada apasih Nai, kamu jangan ikut campur deh. Iri kan kamu lihat mas mu bisa naik mobil sementara kamu nyeker" Ines istri Wahid turun dari mobil dan mendorong bahu Naia kebelakang.

Naia malu sama orang-orang, dia merasa tidak enak orang lain harus melihat pertengkaran antara adik dan kakak seperti ini.

"Untuk apa aku iri mba? Aku hanya ingin mas ku punya etika dan sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Meskipun minta ganti rugi, tidak seharusnya mas Wahid memaki dan membentak, kan bisa dibicarakan baik-baik."

Memang benar adanya. Harta bisa merenggangkan hubungan orang tua dan anak, persaudaraan juga pertemanan.

"Halah Nai-Nai, baru juga kemarin kamu ngemis-ngemis ke masmu minta di kirimkan uang, kamu marah? Karena Suamiku nggak kasih?" Ucapan istri Wahid sangat kasar dan juga ketus.

"Aku nggak minta uang sama mas Wahid." Naia membela diri.

"Suamiku sendiri yang cerita kalau adiknya suka minta uang ini dan itu. Nggak habis-habisnya untuk kebutuhan makan kalian."

Mata Naia terbelalak, sejak kapan Naia pernah meminta uang pada Wahid untuk kebutuhan makan? Dan apa katanya nggak habis-habisnya.

Mata Naia berkaca-kaca, dia berjalan menghampiri si sulung dengan hati yang patah.

Plak!!

Semua orang tercengang melihat Naia menampar saudaranya.

Meskipun setelahnya Naia langsung mendapatkan tamparan balasan dari Wahid yang jauh lebih keras dan tidak cuma sekali melainkan dua kali di kedua pipinya.

Wahid menatap tajam ke arah Naia. "Jaga sopan santun mu Naia." Bentaknya.

"Jangan ajarkan aku sopan santun sama manusia nggak ada akhlak kaya kalian!" Nai menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu sudah membuka aib keluarga di depan umum seperti ini mas, harta sudah membutakan mata hatimu. Tega kamu memfitnah Ibu- Bapak mengemis uang padamu untuk makan. Apa kamu lupa dengan pengorbanan orang tua kita selama ini? Setelah kamu dewasa dan sukses kamu menganggap orang tua mengemis belas kasihmu? Bahkan jika pun kamu memberikan dunia dan seisinya ini pada mereka, itu masih belum cukup untuk mengembalikan darah dan air susu yang Ibu keluarkan saat melahirkan dan menyusui mu!"

Air mata Naia menetes jatuh bercampur darah yang mengalir di sudut bibirnya. Naia menatap mata Wahid dengan penuh kekecewaan. Wahid tidak hanya gagal sebagai seorang anak dan suami, dia juga gagal telak menjadi seorang Kaka yang harusnya menjaga adiknya sebagai pengganti Bapak.

"Nai ..." Wahid ingin mengulurkan tangannya ke wajah Naia, tetapi Naia buru-buru menepis tangannya.

"Demi Allah, aku tidak rela kamu mengatakan kepada istri mu jika kami pernah mengemis uang padamu. Empat tahun mas. Sejak mas menikah mas melupakan tanggung jawab mas sebagai seorang anak, sebagai seorang Kaka dan sebagai seorang keluarga."

"Jangan lancang kamu, Nai" Bentak Ines mendelik.

"Nai cuma berkata jujur." Naia masih sempat menjawab, tapi setelahnya Naia memilih pergi dengan rasa luka dan malu teramat sangat. Karena Wahid sudah mengumbar aib keluarga mereka. Bahkan rela mengambing hitamkan Ibu dan Bapaknya masalah uang. Astaghfirullah.

Terpopuler

Comments

Sandisalbiah

Sandisalbiah

harta iti titipan dan kamu Wahit nyatanya gak mampu memikul titipan di punggung mu.. hingga kamu lupa sebesar apapun harta yg kamu punya gak mbuatvkamu tinggi di langit.. nyatanya kaki kamu majih memijak di bumi.. tp sayang kesombongan mu membuat kamu lupa kalau di bumi yg sama dulu kamu pernah merangka dan ter jatuh saat belajar menjalani hidup mu..

2023-08-29

0

Aisyah Nabila

Aisyah Nabila

ya Tuhan sombong bngt

2023-08-25

0

Zuli Lestary

Zuli Lestary

roda berputar sesuai alurnya.. ada kalanya yg di atas kan berada di bawah.. .

alurnya bagus kak.. sesuai dgn real khiduapan ..

2023-03-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!